"Kamu udah yakin sama keputusan ini?" gumam Sasa tanpa menatap Badai. Keduanya akhirnya duduk berdua di ruang tamu samping yang langsung berhadapan dengan taman bunga milik Ran. Damar sengaja membiarkan mereka saling mengobrol dan membicarakan mengenai rencana pernikahan yang tiba-tiba itu. "Apa aku bisa nolak?" tanya Badai balik. Secepat kilat Sasa menoleh Badai yang sudah tentu sedang menatapnya, "Brengsek ya kamu, Dai! Kenapa nggak nolak? Menurutmu, aku maen-maen?" gemasnya."Sa," Badai menghela napas panjang, "aku nggak akan nolak, nggak peduli itu perintah atau bukan," tegasnya. "Kenapa?" "Kamu punya semua material yang diinginkan cowok sebagai pendamping hidup, di luar umur kamu yang masih muda banget. Jangan ngecap aku pedofil ya!" pinta Badai, "kamu cantik, kamu baik, kamu ceria dan dari keluarga yang luar biasa. Mana mungkin aku nolak?""Jangan bersikap seolah kamu emang nggak punya pilihan Dai!""Awalnya aku sempet nolak kok," sahut Badai. "Sebelom aku berinteraksi seca
"Sekarang aku tanya ke kamu, apa ketika kamu bilang pengin segera nikah, itu beneran keegoisan kamu semata?" tanya Badai serius. "Kalau kita nikah, kamu jadi milikku yang sah secara hukum dan agama. Jadi, kamu nggak akan bisa bikin aku ngejauh lagi, bahkan sejengkalpun!""Bukan karena kamu berusaha nyelametin nama baik keluargaku di depan orang-orang kesatuan yang tau soal perjodohan kita?" tebak Badai sangat peka. Sasa tertegun. Bagaimana ini? Dari mana Badai tahu maksud terselebungnya setelah dengan rapatnya ia jaga pikiran itu untuk dirinya sendiri?"Apaan? Aku nggak paham maksud kamu, ih!" elak Sasa berpaling. "Kamu tau banget maksudku apa, Som. Aku tau kalau perjodohan antara kita dibatalin, yang bahagia mungkin kita, tapi kedua orang tua kita belom tentu. Apalagi orang tuaku, bakalan banyak obrolan sumbang soal keluarga kami nantinya. Apa kami ada kesalahan? Atau aku kurang kompeten sebagai suami kamu, itu kan yang melandasi keputusan kamu? Kamu ngejaga keluarga kita dari omo
Dan kemudian, keputusan untuk menikah itu tersampaikan pada kedua pihak keluarga. Meski sempat khawatir, Damar akhirnya legowo dan setuju menikahkan Sasa dengan Badai karena penggagas perjodohan itu adalah dirinya sendiri. Lagipula, di mata Damar, tidak akan ada lagi menantu yang lebih baik dari Badai dalam hal menjaga dan melindungi anak gadis kesayangannya. "Pernah mikir nggak kalau pada akhirnya calon suami kamu itu ternyata aku?" tanya Badai saat ia memiliki kesempatan untuk menjemput Sasa berangkat ke kampus dengan mobilnya. "Enggak sama sekali," jawab Sasa jujur. "Gimana mau mikir sampe ke situ kalau penampilan kamu aja nggak kayak tentara Mas," sebutnya tertawa kecil. Badai ikut tertawa, "Keluarganya Arleta sejauh ini taunya aku dinas di tingkat Koramil, kayak Babinsa dan semacamnya. Mereka nggak tau aku ada di pasukan elite dan apa pangkatku sebenernya," ungkapnya. "Kenapa mereka bisa nggak tau?""Untuk kepentingan klandestin, semua harus dijaga, Som. Termasuk identitas gu
"Kejam banget ya perjodohan kita," desis Sasa. "Egoisnya aku," tambahnya berganti sendu. "Ada di posisiku dan ngejalanin hubungan monoton tanpa restu itu nggak gampang, Som. Setiap kali aku dateng ke rumahnya, selalu yang ditanyain soal kerjaan dan tabungan. Mau jujur itu nggak sesuai SOP, nggak jujur aku makan ati terus. Makanya selama setahun terakhir kami selalu ketemu di luar. Dan lima bulan belakangan, kami bahkan jarang ketemu, saling ngirim kabar aja nggak pernah. Kamu tau alasannya apa? Dia ngejar karir demi kehidupan yang lebih baik kalau besok kami jadi nikah," urai Badai panjang lebar, begitu jujurnya. "Sebagai cowok dan prajurit, rada ngelukain harga diriku kan yang begitu?" tambahnya tersenyum getir. "Mungkin dia ngerasa butuh jaminan, Mas," kata Sasa berusaha ada di posisi netral."Jaminan?" dahi Badai mengerut. "Iya. Semua perempuan pengin hidupnya bahagia sama pasangannya, nggak ada lah yang pengin sengsara. Dengan pemahaman dia soal profesi kamu yang menurut dia ng
Rapat HIMA yang diadakan di ruang kelas untuk kuliah itu tampak ramai oleh para pengurus baru, termasuk Badai dan Sasa yang baru pertama kali ini ikut dalam kegiatan HIMA. Rapat berlangsung cukup cepat dengan pembagian tugas di masing-masing bidang, juga bagaimana skema penyambutan untuk para mahasiswa tamu nantinya."Jadi, kita mulai dari dekanat kan?" tanya Sasa saat beberapa orang sudah mulai membubarkan diri, termasuk anggota bidang Humas lainnya kecuali ia dan Badai. Keduanya ada di departemen yang sama, Badai bertindak sebagai Ketua Departemen Humas."Emang ini cuma lingkup dekanat aja. Kita perlu tembusan dari Humas dekanat buat pinjaman ruang Ki Hajar Dewantoro yang nanti dipake buat acara penyambutan sama ijin pelaksanaan kegiatan," jawab Badai nampak serius. "Oke, nanti kamu bagi-bagi aja siapa yang ke mana, biar efisien waktunya," balas Sasa. "Udah nggak ada kuliah abis ini, kamu mau acara ke mana lagi Mas? Ke kost?" tanyanya. "Iya, kamu perlu kenal sama seluruh timku," b
"Gimana rasanya nyolong start dan bisa ngedapetin hatinya Sasa duluan?" tegur Diaz yang muncul dari arah gedung UKM dan langsung duduk menghadapi Badai. "Sejak awal gue nggak pernah ngerasa saingan atau bertanding sama lo buat dapetin hatinya Sasa," jawab Badai santai tapi tatapannya tak berubah ke arah Diaz, tetap tajam dan menusuk. "Dengan gaya sok melindungi dan menjaga, sampe berapa lama lo bakalan maenin perasaannya?""Wah," Badai tertawa meremehkan, "lo emang udah niat gitu ke Sasa makanya lo nuduh gue juga? Bisa nggak lo berhenti ngurusin hubungan gue sama Sasa dan fokus aja sama HIMA? Ngebet amat sama cewek gue. Apa karena dia anak Panglima makanya lo merasa perlu ngedeketin dia? Biar apa?" tantangnya hampir kelepasan bicara. "Nggak tau gue, apa yang diliat Sasa dari lo," gumam Diaz geleng-geleng kepala. "Hati-hati lo di sini!" katanya setengah mengancam. "Lo juga!" balas Badai memilih untuk beranjak dan menunggu Sasa di dekat ruang tamu Humas dekanat. Menghadapi orang se
"Letda Anung, Angkatan Darat, kode nama Romeo," ujar Badai memperkenalkan rekan kerja termudanya pada Sasa. "Siap!" Anung spontan memberi hormat, "selamat datang Kakak Ipar Cherry Blossom!" sambutnya. "Ni anak!!" Lion cekikikan, "panik dia kayak biasa," kekehnya lalu mendekat pada Sasa dan Badai. "Halo Cherry Blossom, udah pernah ketemu ya kan? Lion, Letnan Satu, Angkatan Darat, kode nama King!" sebutnya. "Halo Lettu Lion," sapa Sasa balik, "sama kayak Mas Badai ya kalau Mas Lion? Mas Anung satu korps sama Ayah di AU," katanya. "Itu Letda Fadil, Angkatan Laut," ucap Badai menunjuk Fadil yang memberi hormat pada Sasa dari tempatnya berdiri."Hah," Sasa mendesah kasar, "nggak nyangka kalau ternyata ini pos rahasia kalian. Postur kalian sama sekali nggak keliatan kayak tentara," ujarnya. "Bagus, berarti kami berhasil mengelabuhi semua orang. Sekelas anak Panglima pun nggak sadar," ujar Lion bangga. "Maaf, ijin menjawab tidak sopan!" ujarnya tersadar setelah mendapat lirikan maut dar
Sasa terdiam. Ia tatap Badai lekat seolah tak ingin melepaskan sang calon suami dari pengakuan dusta yang sempat diungkapkannya. Namun, Badai membalas tatapan itu tak kalah dalam dan teduh, membuat Sasa menyerah dan berpaling lebih dulu. Kabur adalah satu-satunya jalan yang bisa Sasa lakukan saat ini, jadi ia berbalik untuk melangkah keluar ruangan tapi Badai sigap menahan pergelangan tangannya. "Apa menurut kamu perasaan semacam itu bisa kurekayasa cuma biar bisa nahan kamu nggak deket-deket sama Diaz? Aku bisa ngelindungin kamu dengan caraku tanpa perlu ngaku omong kosong begitu, Som!" tegas Badai dengan raut seriusnya yang sedikit menyeramkan. Sasa tertegun kali ini. Posisi tubuhnya yang tadinya sudah menghadap ke arah pintu ia putar lagi menjadi saling tatap dengan Badai."Aku tipe orang yang nggak pernah basa-basi soal perasaan. Jadi, aku serius soal bilang suka waktu itu. Oke, kamu bisa nganggep aku emosional atau lagi galau karena hubunganku sama Arleta makanya aku asal bilan
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa
"Kayak Alpha yang dipake Badai sama si Mas Scorpion ya," gumam Nana terlihat benar-benar jatuh cinta pada sosok Ramdan."Penyanderaan berujung kisah asmara," kekeh Karin geleng-geleng kepala. "Ayok, kita juga disuruh ikut senam tuh. Katanya pembina perempuan tadi, kita hari ini full olahraga, biar pikiran kita fresh lagi dan nggak kepikiran soal kemaren," tambahnya. Sasa berdiri malas-malas, ia menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya. Saat itulah Badai juga muncul dari dalam barak, langsung mendatanginya. "Udah tau jadwal kegiatan hari ini?" tanya Badai mengembangkan senyumnya. "Olahraga?" gumam Sasa tak berminat."Ketemu sama keluarga juga. Kemaren kan belom puas tuh baru ketemu bentar sama keluarga sandera, makanya sekarang ada sesi pertemuan khusus. Ngasih pengertian ke keluarganya juga soal karantina ini. Apalagi keluarga yang dari universitas kita kan baru pada dateng hari ini," jelas Badai. "Kalian memutuskan buat rilis muka kalian semuanya?" gumam Sasa sudah tak fokus saat
Menunggu ijin dari Damar untuk membawa Sasa ke hotel selama karantina berlangsung, Badai kembali mengajak Sasa ke barak menjelang pagi, setelah ia dan sang istri puas menikmati suasana sibuk perempatan Gondomanan. Beberapa mahasiswa yang ada di barak laki-laki sudah banyak yang bangun, sepertinya tidur mereka sangatlah nyenyak. Sedangkan dari barak perempuan, ada Nana yang duduk-duduk di depan barak bersama Karin dan Wulan. "Dari mana?" tanya Nana saat Sasa mendekat, Badai harus berganti baju olahraga, jadi, mereka berpisah arah."Nongkrong di angkringan depan, nggak bisa tidur aku," jawab Sasa ikut duduk di sebelah Nana. "Nggak nyangka kalau pacar Sasa itu tentara ya," gumam Karin menimbrung. "Gimana emangnya Mbak? Nggak keliatan kalau Badai itu punya postur tentara ya?" kata Sasa berjenggit. "Kalau postur sih dapet banget Dek, cuma kan potongan rambutnya gondrong gitu, ya meskipun tinggi menjulang juga sih dia. Cuma kaget aja. Pas di kolam renang kan kami semua sempat liat tato
Senyum Badai terkembang mendengar pertanyaan Sasa. Ia tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sasa pasti khawatir terhadap keselamatannya. Namun, sebagai seorang prajurit yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada negara, misi apapun yang dibebankan padanya, wajib bagi Badai untuk menjalaninya."Malah senyum begitu, kan aku jadi penasaran!!" sungut Sasa gemas."Jadi, dengan terbunuhnya semua anggota teroris termasuk Diaz yang tuntutannya adalah memisahkan diri dari Indonesia, para anggota gerakan separatis yang ada di Papua sana pasti juga bakalan bergejolak. Taktik mereka menyusup ke kampus-kampus udah terendus tim intelejen, satu-satunya cara buat lepas dari kejaran negara adalah melakukan serangan balasan. Ayah minta aku sama yang laen buat antisipasi hal ini, makanya Ayah bilang belom selesai," jelas Badai tanpa ada yang ditutup-tutupi."Bentar Mas, biar kucerna pelan-pelan," desis Sasa terlihat cukup syok, "kalau Mas tugas ke Papua, terus aku gimana?" tanyanya mulai panik. Bad