Sasa terdiam. Ia tatap Badai lekat seolah tak ingin melepaskan sang calon suami dari pengakuan dusta yang sempat diungkapkannya. Namun, Badai membalas tatapan itu tak kalah dalam dan teduh, membuat Sasa menyerah dan berpaling lebih dulu. Kabur adalah satu-satunya jalan yang bisa Sasa lakukan saat ini, jadi ia berbalik untuk melangkah keluar ruangan tapi Badai sigap menahan pergelangan tangannya. "Apa menurut kamu perasaan semacam itu bisa kurekayasa cuma biar bisa nahan kamu nggak deket-deket sama Diaz? Aku bisa ngelindungin kamu dengan caraku tanpa perlu ngaku omong kosong begitu, Som!" tegas Badai dengan raut seriusnya yang sedikit menyeramkan. Sasa tertegun kali ini. Posisi tubuhnya yang tadinya sudah menghadap ke arah pintu ia putar lagi menjadi saling tatap dengan Badai."Aku tipe orang yang nggak pernah basa-basi soal perasaan. Jadi, aku serius soal bilang suka waktu itu. Oke, kamu bisa nganggep aku emosional atau lagi galau karena hubunganku sama Arleta makanya aku asal bilan
Sasa mengitarkan pandangannya ke sekeliling sementara Badai nampak sibuk memberesi beberapa barang dan memasukkannya secara paksa ke dalam almari. Suasa sederhana dan lengang benar-benar terasa di kamar besar milik Badai itu. Karena Riana belum selesai dengan masakan untuk makan malamnya, ia minta sang putra tampan untuk membiarkan Sasa baring-baring di kamar. Sambil menunggu, Riana ingin Sasa beristirahat sejenak. "Kenangan sama Arleta?" tebak Sasa sangat peka. "Sorry, aku lebih sering tidur di kost ketimbang di rumah, jadi beberapa barang yang ada sangkut-pautnya sama dia belom sempet kuberesin," ungkap Badai jujur. Sasa menggeleng santai, "Nggak masalah, kamu pasti butuh waktu," ujarnya mendekat dan meneliti satu potret cantik yang ia taksir itulah sosok Arleta. "Cantik banget, dewasa dan anggun keliatannya," gumamnya lirih. "Keliatannya kan?" gumam Badai sengaja menghentikan aktivitasnya sebentar. "Anggun, cantik, santun, semua itu cuma cover. Ini bukan aku mau ngejelek-jeleki
"Mas!" panggil Sasa lirih, antara berniat memanggil atau sekadar mengetes daya tangkap telinga sang calon suami."Ya?" jawab Badai langsung menoleh, reaksi yang tidak diperkirakan oleh Sasa. "Cepet amat responnya. Padahal aku nggak niat manggil juga sih," desis Sasa heran. "Kamu lupa calon suami kamu ini tugas di mana? Apa kemampuannya? Gimana cara kerjanya?" tanya Badai di ambang pintu. "Makasih ya udah jadiin aku cinta pertama lo," kekehnya geli kemudian berlalu pergi. "Sialan!" sengal Sasa merasa senang dan malu di saat yang bersamaan. "Salah siapa ganteng dan seksi gitu, kan aku gampang jatoh cintanya," tambahnya seraya berbaring ke ranjang Badai nan rapi. "Wangi pemiliknya khas banget. Jadi pengin meluk yang punya tiap hari."Dan saking menikmatinya aroma Badai yang tertinggal di ranjang putih bersih itu, Sasa terlena hingga ketiduran. Bahkan, setengah jam setelahnya saat Badai masuk untuk memberitahunya makan malam siap, Sasa tak merasa sama sekali. Seolah mendapat kesempatan
"Ayah kenapa nggak bertato?" tanya Sasa suatu ketika saat ia dan Damar duduk santai sambil menonton televisi. "Hem? Kenapa tiba-tiba tanya gitu?" gumam Damar heran, matanya tetap melihat ke layar televisi, tapi seperti biasa, fokus Damar yang kini masih aktif sebagai salah satu penembak runduk terbaik negara, bisa dibagi-bagi. "Mas Badai bertato, Mas Ernest bertato. Kenapa Ayah bolehin Mas Ernest bertato?" desis Sasa lugu. "Masmu kan orang reserse.""Kalau Mas Badai?" Sasa masih mengejar jawaban. "Pacarmu kan orang intelejen," jawab Damar sabar. Mendengar Damar menyebut Badai sebagai pacarnya, Sasa tersenyum-senyum, tersipu. Ia mainkan ujung piyamanya malu-malu, hatinya membuncah senang. "Emang boleh ya Yah begitu? Maksudku, sama kesatuannya diperbolehkan bertato?" tanya Sasa semakin tertarik dengan profesi Badai. "Selama itu untuk mendukung penyelidikan dan pekerjaan ya boleh. Yang nggak boleh itu kalau
"Duduk Alpha," ucap Damar setelah tawa gelinya karena tingkah Sasa, mereda. "Siap!" seperti biasa Badai selalu memberi hormat militer pada sang calon mertua, "mohon ijin Komandan!" lanjutnya sebelum duduk menghadapi Damar. "Silakan, silakan," Damar mengangsurkan telapak tangannya. "Mau minum apa?" tawarnya. "Siap! Ijin menjawab, apa saja Komandan!" balas Badai tegas. "Mas Badai," panggil Ran lembut. "Panggil Ayah dong, masa sama calon mertua begitu manggilnya. Lagian ini di rumah, santai aja," katanya lalu menoleh Damar. "Ayah juga! Panggil nama dong, kebiasaan asal panggil kode namanya aja!" omelnya. "Iya, iya," Damar menurut. "Bunda tolong minta Mbak bikinin minum buat Badai," katanya sedikit tersendat saat memanggil nama asli calon menantunya. Hangat, akrab, dan penuh keceriaan, itulah cerminan keluarga sang jenderal besar, Panglima Tentara yang perkasa. Damar di dalam rumah dengan Damar saat bertugas memang jauh berbeda
Akhirnya, semua persiapan menyambut kunjungan mahasiswa dari universitas tamu selesai. Semua panitia dari Himpunan Mahasiswa standby di posnya masing-masing, termasuk Sasa dan Badai yang tugasnya sudah selesai sebelum kunjungan berlangsung. Diaz tampak gagah dan siap memberi sambutan dengan jas almamaternya dan rambut sedikit gondrongnya yang disisir ke belakang rapi."Berapa jumlah yang bakalan dateng?" bisik Badai di samping telinga Sasa.Sekarang, satu jurusan tidak ada yang tidak tahu bahwa Badai memacari Sasa. Dengan begitu, tidak ada yang berani mendekati Sasa lagi, termasuk Diaz meski sesekali masih sering menyindir kedekatan Sasa dengan Badai itu."Kerja, kerja, mojok mulu lo berdua," sungut Dira yang susah-payah membawa air mineral kemasan gelas satu karton, dari lantai satu."Sirik aja lo! Kalau iri pacaran makanya!" balas Sasa tak kalah sengitnya."Bawa nih!" ucap Dira meletakkan bawaannya di meja samping Badai. "Lo kan cowok, machoan dikit napa lo!""Tinggal nyuruh doang,
"Kenapa sih Mas?" tanya Sasa meneliti wajah serius Badai lekat-lekat."Nanti aja," jawab Badai tersenyum lagi, melegakan.Sasa mengangguk pelan, menyadari kondisi sekitar dan ia tahu tidak mungkin Badai bercerita apapun untuk saat ini. Jadi, ia memilih untuk menikmati acara yang adalah hasil kerja keras semua panitia itu. Dan satu demi satu acara terlalui dengan baik. Kesepakatan dibuat, kelak, giliran tuan rumah yang akan ganti bertandang ke Universitas Negeri Djogjakarta."Capek?" tegur Badai seusai semua panitia dibubarkan dan ia serta Sasa duduk berdua di selasar lantai dasar dekanat."Lumayan," sambil melepas jas almamaternya, Sasa tersenyum ke arah Badai. "Mau pulang sekarang?" tanyanya."Ke kost dulu ya?" ajak Badai. "Penting!" ujarnya menekan nada suara agar Sasa tahu tingkat urgensi dari ajakannya."Aku ikut nggak pa-pa?""Nggak pa-pa. Tapi kalau kamu mau istirahat dulu, aku anter pulang aja gimana?""Enggak," Sasa cepat-cepat menggeleng, "ikut aja. Lagian ngapain juga aku di
Sasa tak sempat menjawab lamaran Badai karena tepat saat Sasa membuka mulutnya, sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel Badai. Keduanya lantas bergegas menuju kost Badai yang biasanya digunakan sebagai titik berkumpul tim Raider."Status?" tanya Badai begitu tiba di kamar kost dan Sasa bingung dengan situasinya.Semua orang sudah berkumpul. Fadil dan Anung menenteng senjatanya masing-masing, sedangkan Lion sibuk menghubungi entah siapa lagi. Badai memilih masuk ke balik pintu besi yang tempo hari ia masuki saat bersama Sasa. Ia keluar tak lama sambil membawa tas besar entah berisi apa dan meletakkannya di atas meja di ruang tengah. Setelahnya ia mendatangi Sasa yang mematung bingung, membawakan calon istrinya itu kursi kecil dan meminta Sasa untuk duduk."Ada apa Mas?" tanya Sasa masih belum reda kebingungannya."Ada perintah baru turun, tim Raider 2 yang ditugasin di Pertiwi University ngirim sinyal minta bantuan dukungan buat back up kekuatan mereka. Salah satu target operasi terbunu
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa
"Kayak Alpha yang dipake Badai sama si Mas Scorpion ya," gumam Nana terlihat benar-benar jatuh cinta pada sosok Ramdan."Penyanderaan berujung kisah asmara," kekeh Karin geleng-geleng kepala. "Ayok, kita juga disuruh ikut senam tuh. Katanya pembina perempuan tadi, kita hari ini full olahraga, biar pikiran kita fresh lagi dan nggak kepikiran soal kemaren," tambahnya. Sasa berdiri malas-malas, ia menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya. Saat itulah Badai juga muncul dari dalam barak, langsung mendatanginya. "Udah tau jadwal kegiatan hari ini?" tanya Badai mengembangkan senyumnya. "Olahraga?" gumam Sasa tak berminat."Ketemu sama keluarga juga. Kemaren kan belom puas tuh baru ketemu bentar sama keluarga sandera, makanya sekarang ada sesi pertemuan khusus. Ngasih pengertian ke keluarganya juga soal karantina ini. Apalagi keluarga yang dari universitas kita kan baru pada dateng hari ini," jelas Badai. "Kalian memutuskan buat rilis muka kalian semuanya?" gumam Sasa sudah tak fokus saat
Menunggu ijin dari Damar untuk membawa Sasa ke hotel selama karantina berlangsung, Badai kembali mengajak Sasa ke barak menjelang pagi, setelah ia dan sang istri puas menikmati suasana sibuk perempatan Gondomanan. Beberapa mahasiswa yang ada di barak laki-laki sudah banyak yang bangun, sepertinya tidur mereka sangatlah nyenyak. Sedangkan dari barak perempuan, ada Nana yang duduk-duduk di depan barak bersama Karin dan Wulan. "Dari mana?" tanya Nana saat Sasa mendekat, Badai harus berganti baju olahraga, jadi, mereka berpisah arah."Nongkrong di angkringan depan, nggak bisa tidur aku," jawab Sasa ikut duduk di sebelah Nana. "Nggak nyangka kalau pacar Sasa itu tentara ya," gumam Karin menimbrung. "Gimana emangnya Mbak? Nggak keliatan kalau Badai itu punya postur tentara ya?" kata Sasa berjenggit. "Kalau postur sih dapet banget Dek, cuma kan potongan rambutnya gondrong gitu, ya meskipun tinggi menjulang juga sih dia. Cuma kaget aja. Pas di kolam renang kan kami semua sempat liat tato
Senyum Badai terkembang mendengar pertanyaan Sasa. Ia tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sasa pasti khawatir terhadap keselamatannya. Namun, sebagai seorang prajurit yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada negara, misi apapun yang dibebankan padanya, wajib bagi Badai untuk menjalaninya."Malah senyum begitu, kan aku jadi penasaran!!" sungut Sasa gemas."Jadi, dengan terbunuhnya semua anggota teroris termasuk Diaz yang tuntutannya adalah memisahkan diri dari Indonesia, para anggota gerakan separatis yang ada di Papua sana pasti juga bakalan bergejolak. Taktik mereka menyusup ke kampus-kampus udah terendus tim intelejen, satu-satunya cara buat lepas dari kejaran negara adalah melakukan serangan balasan. Ayah minta aku sama yang laen buat antisipasi hal ini, makanya Ayah bilang belom selesai," jelas Badai tanpa ada yang ditutup-tutupi."Bentar Mas, biar kucerna pelan-pelan," desis Sasa terlihat cukup syok, "kalau Mas tugas ke Papua, terus aku gimana?" tanyanya mulai panik. Bad