"Duduk Alpha," ucap Damar setelah tawa gelinya karena tingkah Sasa, mereda.
"Siap!" seperti biasa Badai selalu memberi hormat militer pada sang calon mertua, "mohon ijin Komandan!" lanjutnya sebelum duduk menghadapi Damar."Silakan, silakan," Damar mengangsurkan telapak tangannya. "Mau minum apa?" tawarnya."Siap! Ijin menjawab, apa saja Komandan!" balas Badai tegas."Mas Badai," panggil Ran lembut. "Panggil Ayah dong, masa sama calon mertua begitu manggilnya. Lagian ini di rumah, santai aja," katanya lalu menoleh Damar. "Ayah juga! Panggil nama dong, kebiasaan asal panggil kode namanya aja!" omelnya."Iya, iya," Damar menurut. "Bunda tolong minta Mbak bikinin minum buat Badai," katanya sedikit tersendat saat memanggil nama asli calon menantunya.Hangat, akrab, dan penuh keceriaan, itulah cerminan keluarga sang jenderal besar, Panglima Tentara yang perkasa. Damar di dalam rumah dengan Damar saat bertugas memang jauh berbedaAkhirnya, semua persiapan menyambut kunjungan mahasiswa dari universitas tamu selesai. Semua panitia dari Himpunan Mahasiswa standby di posnya masing-masing, termasuk Sasa dan Badai yang tugasnya sudah selesai sebelum kunjungan berlangsung. Diaz tampak gagah dan siap memberi sambutan dengan jas almamaternya dan rambut sedikit gondrongnya yang disisir ke belakang rapi."Berapa jumlah yang bakalan dateng?" bisik Badai di samping telinga Sasa.Sekarang, satu jurusan tidak ada yang tidak tahu bahwa Badai memacari Sasa. Dengan begitu, tidak ada yang berani mendekati Sasa lagi, termasuk Diaz meski sesekali masih sering menyindir kedekatan Sasa dengan Badai itu."Kerja, kerja, mojok mulu lo berdua," sungut Dira yang susah-payah membawa air mineral kemasan gelas satu karton, dari lantai satu."Sirik aja lo! Kalau iri pacaran makanya!" balas Sasa tak kalah sengitnya."Bawa nih!" ucap Dira meletakkan bawaannya di meja samping Badai. "Lo kan cowok, machoan dikit napa lo!""Tinggal nyuruh doang,
"Kenapa sih Mas?" tanya Sasa meneliti wajah serius Badai lekat-lekat."Nanti aja," jawab Badai tersenyum lagi, melegakan.Sasa mengangguk pelan, menyadari kondisi sekitar dan ia tahu tidak mungkin Badai bercerita apapun untuk saat ini. Jadi, ia memilih untuk menikmati acara yang adalah hasil kerja keras semua panitia itu. Dan satu demi satu acara terlalui dengan baik. Kesepakatan dibuat, kelak, giliran tuan rumah yang akan ganti bertandang ke Universitas Negeri Djogjakarta."Capek?" tegur Badai seusai semua panitia dibubarkan dan ia serta Sasa duduk berdua di selasar lantai dasar dekanat."Lumayan," sambil melepas jas almamaternya, Sasa tersenyum ke arah Badai. "Mau pulang sekarang?" tanyanya."Ke kost dulu ya?" ajak Badai. "Penting!" ujarnya menekan nada suara agar Sasa tahu tingkat urgensi dari ajakannya."Aku ikut nggak pa-pa?""Nggak pa-pa. Tapi kalau kamu mau istirahat dulu, aku anter pulang aja gimana?""Enggak," Sasa cepat-cepat menggeleng, "ikut aja. Lagian ngapain juga aku di
Sasa tak sempat menjawab lamaran Badai karena tepat saat Sasa membuka mulutnya, sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel Badai. Keduanya lantas bergegas menuju kost Badai yang biasanya digunakan sebagai titik berkumpul tim Raider."Status?" tanya Badai begitu tiba di kamar kost dan Sasa bingung dengan situasinya.Semua orang sudah berkumpul. Fadil dan Anung menenteng senjatanya masing-masing, sedangkan Lion sibuk menghubungi entah siapa lagi. Badai memilih masuk ke balik pintu besi yang tempo hari ia masuki saat bersama Sasa. Ia keluar tak lama sambil membawa tas besar entah berisi apa dan meletakkannya di atas meja di ruang tengah. Setelahnya ia mendatangi Sasa yang mematung bingung, membawakan calon istrinya itu kursi kecil dan meminta Sasa untuk duduk."Ada apa Mas?" tanya Sasa masih belum reda kebingungannya."Ada perintah baru turun, tim Raider 2 yang ditugasin di Pertiwi University ngirim sinyal minta bantuan dukungan buat back up kekuatan mereka. Salah satu target operasi terbunu
Di balik hati Sasa yang membuncah karena Badai semakin hari semakin memperlakukannya dengan sangat manis, muncul kekhawatiran yang tak bisa ditepisnya. Badai adalah tim khusus, andalan yang wilayah tugasnya bersifat undercover. Artinya, Sasa harus siap dengan semua beban tanggung jawab yang harus dijalani Badai. Saking galaunya ia, sampai-sampai Sasa terlelap dalam posisi duduk."Kenapa?" tanya Lion yang melihat Badai mengambil dog tag miliknya di akhir penutup koordinasi."Aku punya tempat yang tepat buat ninggalin ini sekarang," ujar Badai tersenyum penuh arti. Ia lalu berbalik dan berjalan untuk membangunkan Sasa di kamar sebelah.Melihat Sasa yang masih terlelap cantik sambil duduk itu, Badai sengaja bersila menghadapinya. Sasa memang gampang tertidur, apalagi di tempat yang menurutnya aman dan nyaman. Kegiatan favorit Badai saat mengamati Sasa seperti ini adalah menyibak poni pendek calon istrinya dan menyelipkannya di belakang telinga."Ayok pulang," bisik Badai di samping telin
Tidak mengetahui kabar Badai selama hampir 24 jam tentu membuat hati Sasa tidak tenang. Apalagi, saat mereka terakhir bertemu, Badai mengantar Sasa pulang dan terburu-buru pergi tanpa sempat menyapa Damar. Hal ini tentu membuat Sasa menempel seharian pada sang Ayah, berharap ada informasi penting mengenai calon suaminya. "Kamu nggak kuliah?" tanya Damar melihat sang putri masih ada di rumah sejak pagi, bahkan saat dirinya sudah siap berangkat bertugas. "Ayah hari ini jadi ke Surabaya?" tak menjawab pertanyaan Damar, Sasa justru balas melempar umpan lain. "Tim Raider 1, timnya Alpha udah ditarik dari lokasi kejadian, semua baik-baik aja," kata Damar sangat paham makna kekhawatiran dalam sorot mata Sasa. "Terus Mas Badai langsung balik Jakarta kan Yah? Nggak ada perintah laen dari Ayah biar dia jaga-jaga di sana kan?" cerocos Sasa bak mendapat angin segar dari ucapan sang Ayah. "Kalau bahasanya udah ditarik, artinya dia udah dalam perjalanan pulang ke Jakarta," ungkap Damar. "Takut
"Mas Badai!" seru Sasa bahkan ketika ia belum mencapai ambang pintu.Badai yang sudah melepas penutup wajah dan kepalanya itu menoleh, ia cukup berantakan karena timnya ditarik langsung dan ia serta tim diminta menghadap Damar secepatnya ke kediaman. Meski tanpa persiapan, ia sambut Sasa yang langsung menubruk tubuhnya, memeluknya erat. Sempat terhuyung, tapi Badai bisa menguasai dirinya. "Hape kamu mati Mas," lirih Sasa masih menyembunyikan wajahnya di ceruk leher hangat Badai. "Ah, selama tugas semua alat komunikasi nirkabel harus nonaktif, Nduk," ucap Badai teringat bahwa ia tak memberitahu Sasa tentang hal ini sebelumnya. "Kecuali yang terhubung langsung ke pusat komando biar nggak ngeganggu keamanan operasi senyap kami," lanjutnya. Sasa manggut-manggut mengerti. Ia lepaskan pelukannya dan baru tersadar jika anggota tim yang lainnya tengah menonton. Senyum malu-malu Sasa terbit, ia canggung seketika, garuk-garuk kepala. "Tim! Bapak pengin ketemu," ujar Waskito yang menyusul Sa
"Nduk Sasa," Badai menghela napas panjang, tatapannya teduh sekali pada Sasa yang berbalut dress putih berenda. Karena semua digelar serba mendadak dan terbatas, baik Badai maupun Sasa tak ada yang mempersiapkan seragam lamaran. Mengingat bagaimana posisi pekerjaan Badai yang harus benar-benar rahasia, dokumentasinya pun diambil dari orang militer. "Iya, Mas Badai," jawab Sasa malu-malu. Mengimbangi Sasa yang berkostum modern simple, Badai mengenakan jas warna khaki, satu stel dengan celana dan kemeja putih sebagai dalamannya. Gaya kerah tanpa dasi membuat bahu dan punggungnya terlihat semakin lebar dan kokoh, apalagi tinggi tubuhnya yang terhitung menjulang itu. "Maukah kamu jadi perempuan tempatku pulang kalau lagi capek dan perlu semangat?" tanya Badai kikuk. "Mas, aku bukan taman hiburan," celetuk Sasa spontan, memicu tawa semua yang hadir, termasuk mencipta pelototan galak dari Ran. "Maksudku, jadilah istriku, perempuan yang paling berarti dalam hidupku, yang bakalan mengis
Dan tawa keduanya pecah. Tak pernah disangka, Sasa yang di awal tidak pernah dipandang oleh Badai sebagai calon istrinya, kini benar-benar dilamarnya. Ia bawa ayah dan ibunya, juga keluarga dekatnya, ia minta Sasa memberi hidup untuk menjadi pendampingnya yang setia. "Bakalan ada seminar kebangsaan yang diadain BEM Fakultas, kerjasama bareng HIMA PKn, kamu udah denger itu Mas?" tanya Sasa teringat agenda kampus yang pasti akan melibatkan mereka berdua."Iya," Badai mengangguk. "Dandi, wakil ketuanya yang kemaren ngasih info. Dia juga yang masukin aku ke grup anak-anak HIMA," katanya. "Kalau di kita gimana sih Mas? Statusnya Fara sama Mas Diaz itu kayak apa?" "Target itu dibagi per level Nduk," ujar Badai sambil menyeruput es buahnya, "Diaz ada di level satu karena dia ada kontak langsung sama Fara dan sempet beberapa kali ikut acara Fara di kampus lain. Dari cara dia mimpin HIMA juga keliatan dia bawa ideologi beda sama ideologi negara. Dan yang paling penting, dia punya eksklusivi
Interaksi mesra keduanya, juga candaan Badai yang kini seringkali menghangatkan suasana membuat Sasa tak hanya menikmati bulan madu mereka, tapi juga menyembuhkan semua rasa sakit yang bertubi diterimanya. Badai membuat Sasa tidak pernah menyesali satupun keputusan yang diambil setelah mereka saling mengenal dan berbagi rasa, termasuk kekecewaan saat tahu bahwa Badai pernah dinikmati perempuan lain. Kini, Sasa sudah berlapang dada menerimanya. Ia juga tak mau ambil pusing dengan apapun yang Arleta perbuat untuk meretakkan hubungannya dengan Badai. Semakin lama, ia akan kebal dengan sendirinya."Cari makan di pinggiran danau aja ya Yang?" tawar Badai setelah ia dan Sasa siap untuk menikmati sore hari Luzern yang menawan."Emang ada yang buang Mas?" tanya Sasa polos sekali."Yang buang?" alis Badai bertaut."Lha katanya mau nyari," gumam Sasa."Apa sih Nduk," Badai terbahak. "Maksudku beli, bukan nyari dalam arti yang sebenernya," terangnya."Iya, aku juga cuma bercanda, bukan karena ak
Adalah Luzern, kota kecil dengan pemandangan indah nan romantis di malam hari ini yang akhirnya ditetapkan Sasa dan Badai untuk menghabiskan sisa waktu 8 hari mereka setelah dua hari tinggal di Frankfurt, Jerman. Badai tahu, Luzern adalah kota sempurna bagi ia dan Sasa untuk menumbuhkan cinta, merajut kembali asa pernikahan mereka yang sempat koyak karena perpisahan dan rasa sakit yang sempat melanda. Suasana kota yang tenang, aroma angin yang manis, juga pemandangan alamnya yang menakjubkan langsung membuat Sasa jatuh cinta. "Kota ini adalah pilihan yang tepat banget buat bulan madu," bisik Sasa sambil sesekali menggigiti telinga suaminya sensual. Badai tersenyum simpul, tangannya sudah menangkup kedua dada Sasa yang tanpa balutan. Musim dingin baru saja berlalu, cuaca menghangat, matahari bersinar cerah. Baru siang tadi mereka tiba di hotel dan berniat untuk berjalan-jalan sore harinya. Alih-alih beristirahat, sang pengendali naga tak tahan untuk melakukan aksinya."Aku goyang Mas
"Bentar," Badai menepuk pundak istrinya sebentar dan berjalan mendekati seorang petugas avsec di dekat pintu keberangkatan bandara.Melihat keanehan suaminya dan bagaimana Badai dan dirinya dikawal oleh petugas itu menuju check in counter tentu saja membuat Sasa bingung. Namun, ia tidak banyak bertanya, ia ikuti saja langkah Badai yang melepas genggaman tangannya untuk mengurus dokumen keberangkatan bulan madunya."Kenapa sih Mas? Ada masalah sama dokumen kita?" tanya Sasa sambil melempar senyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang wartawan."Enggak, aman aja," jawab Badai."Terus tadi ngapain?" gumam Sasa penasaran."Badai kudu dipisahin sama pacarnya kan kalau lagi naek pesawat?""Hem?" dahi Sasa berkerut, bingung dengan maksud sang suami. "Aku? Kita nggak bisa duduk deketan di pesawat?" tanyanya sedikit panik."Nggak gitu," Badai menahan tawa. Dibawanya Sasa duduk setelah tiba di executive lounge. "Ini kan penerbangan sipil, handgun-ku musti didaftarin dulu dan dititipin, ala
Arleta tercekat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berjalan dan turun dari pelaminan. Hatinya tak menyangka, Badai akan sekejam itu padanya dan keluarga."Siapa Ibuk?" tanya Sasa heran."Mamanya," desis Badai. "Aku biasa manggil Ibuk ke beliau," tambahnya.Sasa mengulum bibir merah meronanya, hatinya tergerak, "Mungkin kita nggak boleh terlalu kejam Mas. Sekedar jenguk pun aku nggak akan keberatan," ujarnya."Aku udah nitip salam, itu udah cukup Nduk," kata Badai mantap. "Aku harus jaga perasaan banyak orang, sedangkan dia justru berusaha menyakiti dirinya sendiri dan mamanya dengan memelihara harapan. Aku sekarang adalah suami orang. Banyak pelajaran yang kuambil setelah kita sama-sama dipisahkan. Jadi, biarin kujaga kamu dan keluargaku sebaik mungkin!" ikrarnya.Sasa tak lagi membantah. Jika ini memang keputusan yang sudah menjadi keyakinan sang suami, ia tinggal mengikuti. Sebenarnya Sasa juga bahagia karena Badai menjadikannya prioritas utama dengan tak lagi memedulik
Akhirnya, apa yang Sasa impi-impikan sebagai pernikahan khayalan masa kecil putri cantik Damar, terlaksana. Berbalut kebaya modern nan elegan, Sasa menuntaskan langkahnya di samping Badai dalam prosesi pedang pora nan sakral. Sebagai tanda jasa karena pengorbanan luar biasa Badai dalam menyelesaikan perlawanan Organisasi Kriminal Bersenjata bersama tim, ia dianugerahi kenaikan pangkat. Kini, Sasa adalah istri seorang Kapten Akai Badai Bagaspati. "Kamu sengaja ngebiarin banyak wartawan yang ngeliput acara kita?" gumam Badai berbisik pada sang istri saat keduanya menyelesaikan prosesi pedang pora dan duduk di pelaminan. Sasa mengangguk, "Iya, biar aku nggak diserang sama rumor jahat lagi. Jadi, nanti kalau aku hamil, aku bisa menikmati kehamilanku dengan bahagia dan tanpa beban. Jujur, aku ngerasa bersalah banget karena selama kehamilanku dulu, aku nggak jaga Gala dengan baik Mas," ungkapnya. "Bukan salah kamu Nduk, semua udah jadi kehendak Allah, gitu kan kata kamu?" "Iya Mas, tapi
Melajukan mobil kesayangan Badai itu meninggalkan halaman rumah, Sasa menemukan jalanan sudah mulai lengang oleh orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja. Meski ramai lancar, Badai tetap saja khawatir dan merasa was-was saat sopirnya adalah Sasa, si labil manja nan imut itu."Apa aku perlu nemuin Arleta ya Mas?" tanya Sasa memecah keheningan, setidaknya ia membuat Badai lupa pada ketegangannya."Buat apa?" gumam Badai bingung."Kita nikah udah lama, udah banyak yang terlalui berdua kan ya? Kok dia kayak masih nggak rela ngelepasin Mas Badai gitu.""Terus kamu mau ngomong apa kalau udah ketemu sama dia?" tantang Badai.Sasa mengedikkan bahunya, "Ngobrol sebagai selayaknya perempuan yang udah pernah menikmati Mas Badai," katanya santai sekali."Nduk!" Badai mendesis."Emang bener gitu kan? Setelah dulu nggak berhasil nyerang kepercayaanku ke Mas Badai, sekarang dia nyoba nyerang aku secara mental lewat media sosial," desis Sasa terdengar kesal tapi tak tahu harus bagaimana melampi
Sasa cembetut, matanya tak lepas dari layar ponsel di tangannya. Saat Badai keluar dari kamar mandi seusai mandi pagi, ekspresi yang sama masih ia temui."Something's wrong, Love?" tegur Badai yang langsung menyadari bahwa ada yang aneh di layar ponsel istrinya."Mantan Mas Badai nyebelin deh," sungut Sasa jujur."Kenapa lagi dia?" tanya Badai langsung nyambung."Dia komentar di postingan foto yang aku pasang di Instagram. @arletanyumnyum kan nama akunnya? Childish banget gitu," gerutu Sasa jengah."Kamu emang posting foto apa?""Posting foto Mas Badai. Cuma nggak ngeliatin muka aja sih. Pas kemaren dari rumah sakit itu, aku kan foto punggungnya Mas, lha aku posting pake caption so called him BOJO pake huruf gede semua tulisan bojonya. Lha kok dia tiba-tiba masuk komentar ngatain aku!" lapor Sasa bersungut-sungut."Ngatain apa sih?" tanya Badai sabar."Aku dibilang pelakor! Kan aku kesel, ya emang sih aku pelakor," Sasa tertawa penuh kemenangan, "tapi dia kan war-nya cuma sepihak, aku
Badai menggeleng lemah, "Mereka yang ngarahin senjatanya ke tim langsung kulumpuhin, kubidik tangan dan kakinya. Langsung diamanin sama Raider 2, diobatin, biar tetep selamat. Umur mereka masih muda, ideologi yang tercetak di kepalanya masih bisa diperbaiki. Tapi kalau yang sekiranya bawa bom atau basoka, terpaksa dilumpuhkan selamanya," jawabnya dengan suara bergetar, tersirat penyesalan di sana."Aku paham," kedua tangan Sasa menangkup rahang Badai. "Bukan salah Mas Badai, jangan jadi beban pikiran ya Mas," hiburnya lembut.Senyum Badai terkembang, ia peluk seketika tubuh mungil sang istri dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sasa, mencari kenyamanan dan kehangatan di sana."Aku pengin banget melepas rindu, tapi tangan Mas Badai kayaknya lagi nggak bisa diajak enak-enak," bisik Sasa nakal."Hem?" Badai menegakkan kepalanya, melirik wajah cantik istrinya sebentar, "siapa bilang nggak bisa enak-enak? Yang sakit kan tangannya, bukan nagan
"Ehem,"Badai berdehem seraya memejamkan matanya untuk menahan sakit. Setelah Badai pulang dan mendapat banyak hari cuti, Sasa memutuskan untuk kembali ke rumah pribadi mereka dan tidak lagi menginap di rumah sang ayah. Lagipula, dengan tinggal di rumah sendiri, Badai dan Sasa akan lebih bebas melepas rindu."Ada ya orang jago nembak kepala sama dada tapi diobatin lukanya meringis-meringis kesakitan gini," desis Sasa manyun."Gimanapun aku tetep manusia Nduk. Aku punya sisi manjaku sendiri dan itu cuma kutunjukin ke istriku. Lagian, boleh kan manja sama istri yang udah nggak kutemui berbulan-bulan lamanya?" gumam Badai sambil meniup-niup luka robek lebar di lengannya itu."Untung nggak kena tulang ini tu, kalau sampe kena tulang kan bisa berpengaruh ke kemampuan menembak Mas kan?""Iya," Badai membenarkan. "Udah kepalang basah. Aku kudu milih ngorbanin timku atau pasang badan, kupilih pasang badan biar timku bisa keluar dari barak dulu baru aku yang paling terakhir," ceritanya."Mas l