"Ayah kenapa nggak bertato?" tanya Sasa suatu ketika saat ia dan Damar duduk santai sambil menonton televisi.
"Hem? Kenapa tiba-tiba tanya gitu?" gumam Damar heran, matanya tetap melihat ke layar televisi, tapi seperti biasa, fokus Damar yang kini masih aktif sebagai salah satu penembak runduk terbaik negara, bisa dibagi-bagi."Mas Badai bertato, Mas Ernest bertato. Kenapa Ayah bolehin Mas Ernest bertato?" desis Sasa lugu."Masmu kan orang reserse.""Kalau Mas Badai?" Sasa masih mengejar jawaban."Pacarmu kan orang intelejen," jawab Damar sabar.Mendengar Damar menyebut Badai sebagai pacarnya, Sasa tersenyum-senyum, tersipu. Ia mainkan ujung piyamanya malu-malu, hatinya membuncah senang."Emang boleh ya Yah begitu? Maksudku, sama kesatuannya diperbolehkan bertato?" tanya Sasa semakin tertarik dengan profesi Badai."Selama itu untuk mendukung penyelidikan dan pekerjaan ya boleh. Yang nggak boleh itu kalau"Duduk Alpha," ucap Damar setelah tawa gelinya karena tingkah Sasa, mereda. "Siap!" seperti biasa Badai selalu memberi hormat militer pada sang calon mertua, "mohon ijin Komandan!" lanjutnya sebelum duduk menghadapi Damar. "Silakan, silakan," Damar mengangsurkan telapak tangannya. "Mau minum apa?" tawarnya. "Siap! Ijin menjawab, apa saja Komandan!" balas Badai tegas. "Mas Badai," panggil Ran lembut. "Panggil Ayah dong, masa sama calon mertua begitu manggilnya. Lagian ini di rumah, santai aja," katanya lalu menoleh Damar. "Ayah juga! Panggil nama dong, kebiasaan asal panggil kode namanya aja!" omelnya. "Iya, iya," Damar menurut. "Bunda tolong minta Mbak bikinin minum buat Badai," katanya sedikit tersendat saat memanggil nama asli calon menantunya. Hangat, akrab, dan penuh keceriaan, itulah cerminan keluarga sang jenderal besar, Panglima Tentara yang perkasa. Damar di dalam rumah dengan Damar saat bertugas memang jauh berbeda
Akhirnya, semua persiapan menyambut kunjungan mahasiswa dari universitas tamu selesai. Semua panitia dari Himpunan Mahasiswa standby di posnya masing-masing, termasuk Sasa dan Badai yang tugasnya sudah selesai sebelum kunjungan berlangsung. Diaz tampak gagah dan siap memberi sambutan dengan jas almamaternya dan rambut sedikit gondrongnya yang disisir ke belakang rapi."Berapa jumlah yang bakalan dateng?" bisik Badai di samping telinga Sasa.Sekarang, satu jurusan tidak ada yang tidak tahu bahwa Badai memacari Sasa. Dengan begitu, tidak ada yang berani mendekati Sasa lagi, termasuk Diaz meski sesekali masih sering menyindir kedekatan Sasa dengan Badai itu."Kerja, kerja, mojok mulu lo berdua," sungut Dira yang susah-payah membawa air mineral kemasan gelas satu karton, dari lantai satu."Sirik aja lo! Kalau iri pacaran makanya!" balas Sasa tak kalah sengitnya."Bawa nih!" ucap Dira meletakkan bawaannya di meja samping Badai. "Lo kan cowok, machoan dikit napa lo!""Tinggal nyuruh doang,
"Kenapa sih Mas?" tanya Sasa meneliti wajah serius Badai lekat-lekat."Nanti aja," jawab Badai tersenyum lagi, melegakan.Sasa mengangguk pelan, menyadari kondisi sekitar dan ia tahu tidak mungkin Badai bercerita apapun untuk saat ini. Jadi, ia memilih untuk menikmati acara yang adalah hasil kerja keras semua panitia itu. Dan satu demi satu acara terlalui dengan baik. Kesepakatan dibuat, kelak, giliran tuan rumah yang akan ganti bertandang ke Universitas Negeri Djogjakarta."Capek?" tegur Badai seusai semua panitia dibubarkan dan ia serta Sasa duduk berdua di selasar lantai dasar dekanat."Lumayan," sambil melepas jas almamaternya, Sasa tersenyum ke arah Badai. "Mau pulang sekarang?" tanyanya."Ke kost dulu ya?" ajak Badai. "Penting!" ujarnya menekan nada suara agar Sasa tahu tingkat urgensi dari ajakannya."Aku ikut nggak pa-pa?""Nggak pa-pa. Tapi kalau kamu mau istirahat dulu, aku anter pulang aja gimana?""Enggak," Sasa cepat-cepat menggeleng, "ikut aja. Lagian ngapain juga aku di
Sasa tak sempat menjawab lamaran Badai karena tepat saat Sasa membuka mulutnya, sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel Badai. Keduanya lantas bergegas menuju kost Badai yang biasanya digunakan sebagai titik berkumpul tim Raider."Status?" tanya Badai begitu tiba di kamar kost dan Sasa bingung dengan situasinya.Semua orang sudah berkumpul. Fadil dan Anung menenteng senjatanya masing-masing, sedangkan Lion sibuk menghubungi entah siapa lagi. Badai memilih masuk ke balik pintu besi yang tempo hari ia masuki saat bersama Sasa. Ia keluar tak lama sambil membawa tas besar entah berisi apa dan meletakkannya di atas meja di ruang tengah. Setelahnya ia mendatangi Sasa yang mematung bingung, membawakan calon istrinya itu kursi kecil dan meminta Sasa untuk duduk."Ada apa Mas?" tanya Sasa masih belum reda kebingungannya."Ada perintah baru turun, tim Raider 2 yang ditugasin di Pertiwi University ngirim sinyal minta bantuan dukungan buat back up kekuatan mereka. Salah satu target operasi terbunu
Di balik hati Sasa yang membuncah karena Badai semakin hari semakin memperlakukannya dengan sangat manis, muncul kekhawatiran yang tak bisa ditepisnya. Badai adalah tim khusus, andalan yang wilayah tugasnya bersifat undercover. Artinya, Sasa harus siap dengan semua beban tanggung jawab yang harus dijalani Badai. Saking galaunya ia, sampai-sampai Sasa terlelap dalam posisi duduk."Kenapa?" tanya Lion yang melihat Badai mengambil dog tag miliknya di akhir penutup koordinasi."Aku punya tempat yang tepat buat ninggalin ini sekarang," ujar Badai tersenyum penuh arti. Ia lalu berbalik dan berjalan untuk membangunkan Sasa di kamar sebelah.Melihat Sasa yang masih terlelap cantik sambil duduk itu, Badai sengaja bersila menghadapinya. Sasa memang gampang tertidur, apalagi di tempat yang menurutnya aman dan nyaman. Kegiatan favorit Badai saat mengamati Sasa seperti ini adalah menyibak poni pendek calon istrinya dan menyelipkannya di belakang telinga."Ayok pulang," bisik Badai di samping telin
Tidak mengetahui kabar Badai selama hampir 24 jam tentu membuat hati Sasa tidak tenang. Apalagi, saat mereka terakhir bertemu, Badai mengantar Sasa pulang dan terburu-buru pergi tanpa sempat menyapa Damar. Hal ini tentu membuat Sasa menempel seharian pada sang Ayah, berharap ada informasi penting mengenai calon suaminya. "Kamu nggak kuliah?" tanya Damar melihat sang putri masih ada di rumah sejak pagi, bahkan saat dirinya sudah siap berangkat bertugas. "Ayah hari ini jadi ke Surabaya?" tak menjawab pertanyaan Damar, Sasa justru balas melempar umpan lain. "Tim Raider 1, timnya Alpha udah ditarik dari lokasi kejadian, semua baik-baik aja," kata Damar sangat paham makna kekhawatiran dalam sorot mata Sasa. "Terus Mas Badai langsung balik Jakarta kan Yah? Nggak ada perintah laen dari Ayah biar dia jaga-jaga di sana kan?" cerocos Sasa bak mendapat angin segar dari ucapan sang Ayah. "Kalau bahasanya udah ditarik, artinya dia udah dalam perjalanan pulang ke Jakarta," ungkap Damar. "Takut
"Mas Badai!" seru Sasa bahkan ketika ia belum mencapai ambang pintu.Badai yang sudah melepas penutup wajah dan kepalanya itu menoleh, ia cukup berantakan karena timnya ditarik langsung dan ia serta tim diminta menghadap Damar secepatnya ke kediaman. Meski tanpa persiapan, ia sambut Sasa yang langsung menubruk tubuhnya, memeluknya erat. Sempat terhuyung, tapi Badai bisa menguasai dirinya. "Hape kamu mati Mas," lirih Sasa masih menyembunyikan wajahnya di ceruk leher hangat Badai. "Ah, selama tugas semua alat komunikasi nirkabel harus nonaktif, Nduk," ucap Badai teringat bahwa ia tak memberitahu Sasa tentang hal ini sebelumnya. "Kecuali yang terhubung langsung ke pusat komando biar nggak ngeganggu keamanan operasi senyap kami," lanjutnya. Sasa manggut-manggut mengerti. Ia lepaskan pelukannya dan baru tersadar jika anggota tim yang lainnya tengah menonton. Senyum malu-malu Sasa terbit, ia canggung seketika, garuk-garuk kepala. "Tim! Bapak pengin ketemu," ujar Waskito yang menyusul Sa
"Nduk Sasa," Badai menghela napas panjang, tatapannya teduh sekali pada Sasa yang berbalut dress putih berenda. Karena semua digelar serba mendadak dan terbatas, baik Badai maupun Sasa tak ada yang mempersiapkan seragam lamaran. Mengingat bagaimana posisi pekerjaan Badai yang harus benar-benar rahasia, dokumentasinya pun diambil dari orang militer. "Iya, Mas Badai," jawab Sasa malu-malu. Mengimbangi Sasa yang berkostum modern simple, Badai mengenakan jas warna khaki, satu stel dengan celana dan kemeja putih sebagai dalamannya. Gaya kerah tanpa dasi membuat bahu dan punggungnya terlihat semakin lebar dan kokoh, apalagi tinggi tubuhnya yang terhitung menjulang itu. "Maukah kamu jadi perempuan tempatku pulang kalau lagi capek dan perlu semangat?" tanya Badai kikuk. "Mas, aku bukan taman hiburan," celetuk Sasa spontan, memicu tawa semua yang hadir, termasuk mencipta pelototan galak dari Ran. "Maksudku, jadilah istriku, perempuan yang paling berarti dalam hidupku, yang bakalan mengis
Ran dan Badai sama-sama tertawa melihat kelakuan ayah-anak di depan mereka ini. Benar, Damar memang sangat menyayangi Sasa hingga menurutnya hanya Badai yang pantas menjadi pendampingnya. Ia sadar bahwa usia Sasa yang masih sangat muda pasti akan menjadi salah satu kendala pernikahan mereka, tapi Damar percaya, Badai akan mampu mengimbanginya. Terbukti, meski pasangan muda ini sedang sama-sama membara, Damar bisa mempercayai ikatan cinta mereka yang akan mengatasi segala, termasuk masalah yang nantinya akan sering datang mendera. "Katanya kalian mau kencan? Bunda sama Ayah juga ada pertemuan sama pejabat pemerintahan, kami tinggal nggak pa-pa?" tanya Ran menunjuk pakaian yang dikenakannya. "Pantes Bunda udah setelan cantik banget gini, ada kencan sama Ayah ternyata," ledek Badai canggung sekali. Ia memang masih terlihat kikuk saat harus bercanda dengan kedua mertuanya itu. "Ayah nggak marah Mas Badai muji Bunda di depan Ayah?" pancing sama imut."Nanti kita selesaikan di lapangan y
"Jadi, selama Badai di Papua, Sasa di rumah sini aja," kata Ran setelah ia dan Damar saling melempar pandangan lama, syok tentu saja. "Mau gimana lagi, Bunda mengakui kalau Sasa pasti pinter ngegoda kan Mas Badai," ujarnya senyum dikulum. "Nda," Damar berdehem sebentar, "Sasa dan Badai udah tau resikonya setelah menikah itu seperti apa. Dan kamu Nduk," ditatapnya Sasa penuh keteduhan, "kamu tau suamimu itu adalah prajurit dari kesatuan khusus, menjadi istrinya adalah sama dengan merelakan separuh jiwanya untuk negara. Dengan kondisi kamu yang hamil di tengah misinya yang belum selesai, kamu nggak bisa nuntut suamimu untuk selalu ada dan siaga di sisimu," nasihatnya. "Iya Yah," Sasa menghela napas panjang. "Dari kemarin, saat kami tau kalau aku positif, kami udah diskusi panjang dan ketemu pada satu kesepakatan kalau selama hamil dan Mas Badai masih di Papua, aku tinggal di sini," katanya. "Sa," senyum Ran melebar, "Sasa tau kan Mas Badai itu posisi di tim seperti apa?" tanyanya. "
"Kamu bener, dulu kalau dia lagi ada di masa subur, dia selalu minta aku pake pengaman," desis Badai mengaku. Tangis Sasa semakin menggugu, hatinya tersayat. Bukan itu yang ingin Sasa dengar dari mulutmu, Lettu Badai. Perempuanmu yang tengah rapuh ini hanya perlu kau sentuh, kau peluk pundaknya penuh rasa aman. Membawa lagi nama Arleta ke dalam biduk rumah tangga dan bercerita tentang hal yang sangat intim di masa lalu hanya menambah sakit di hati sang bunga. "Aku bahkan nggak tau kapan masa suburku dan berapa lama periode menstruasiku," ucap Sasa setelah ia merasa cukup tenang. "Salahku karena ngerasa udah cukup bisa berumah tangga padahal aku baru dapet menstruasi pertamaku di umur 14 tahun," sebutnya. "Maaf," sesal Badai lirih. "Aku seneng kamu hamil, Nduk, seneng banget malah. Ekspresi yang kamu baca pas aku denger tentang kehamilan kamu itu bukan ekspresi nggak bahagia, tapi ekspresi takut ninggalin kamu di sini dalam keadaan hamil. Kamu tau tugas ini harus berhasil. Kalau sam
Badai dan Sasa sama-sama terdiam. Mobil masih terparkir di halaman, Badai tidak langsung memasukkannya ke dalam garasi. Sasa melamun dengan menatap kolam ikan kecil di sebelah kanan pintu utama. Sedangkan Badai akhirnya memilih untuk turun dari mobil, menyulut rokoknya sambil menengadah menatap ke langit."Kita musti bersyukur kan?" gumam Sasa sambil menyusul Badai turun dari mobil. "Anak itu rejeki, pasti kusyukuri," jawab Badai mengembus asap rokoknya ke udara. "Terus, kenapa kita jadi saling ngediemin kayak gini?""Aku kaget pastinya kan? Kita sama-sama tau kalau nggak boleh bobol, bener?" kali ini Badai menyempatkan menatap istrinya yang duduk lesehan di teras depan rumah. "Jadi Mas nyesel karena aku hamil?" tanya Sasa lebih spesifik."Aku nggak bilang gitu Nduk," Badai terdengar menekan suaranya. "Kita ngobrol di dalem, di sini nggak enak didenger sama tetangga," ajaknya. "Nanti, kepalaku pusing, sempoyongan kalau buat jalan," tolak Sasa dingin. Badai segera mematikan bara r
"Nanti pulangan beli nasi kebuli yang di deket perempatan terakhir tadi boleh Mas?" tanya Sasa saat Badai membantunya membuka pintu mobil."Nggak jadi masak berdua?" tanya Badai mengingatkan."Ah iya," Sasa menepuk keningnya sendiri."Tapi kalau kamu emang pengin nasi kebuli, kita beli aja," putus Badai tak ingin terlalu memperpanjang bahasan mengenai makan malam mereka. "Aku daftarin kamu dulu ya," ujarnya seraya meminta Sasa menunggu di deretan kursi panjang.Sasa mengangguk lemah. Penampilan sederhana Sasa yang sangat flawless itu membuatnya tak dikenali sebagai putri Damar ataupun mantan artis yang vakum cukup lama dari dunia hiburan. Tanpa akses khusus, ia menunggu dengan sabar antrean untuk berkonsultasi dengan dokter umum itu. Beruntung, Badai selalu standby mendampinginya."Yok, giliran kamu," ajak Badai membimbing lengan istrinya menuju pintu poli umum.Saat pintu dikuak oleh seorang perawat yang sangat ramah, tampaklah wajah Dokter Puspa, salah satu Dokter yang menjadi kenal
"Gimana?" Sasa mengulum bibirnya dengan tatapan yang tak lepas dari sang suami, ia bahkan menahan napas."Enak," ucap Badai sambil manggut-manggut. "Rada asin," tambahnya membuat ekspresi Sasa berubah."Maaf, Mas tau aku nggak bisa masak," cengir Sasa merasa bersalah. Ia tarik mangkok sop ayam yang tengah dinikmati suaminya. "Jajan di luar aja yok Mas, ini nggak layak makan," katanya."Siapa bilang? Enak kok," kata Badai tulus. "Apapun itu kalau dari tangan kamu, pasti kumakan," ujarnya begitu manis, ia ambil lagi mangkok sopnya dari sang istri, ia lahap isinya rakus."Jangan gitu," hidung Sasa kembang kempis, pertanda ia tengah berusaha untuk tidak bersedih. "Harusnya aku masak yang enak biar Mas seneng, kan tiga hari lagi Mas berangkat," katanya.Surat perintah agar Badai dan timnya segera berangkat ke Papua terbit kemarin sore. Setelah dua minggu melakukan peran sebenar-benarnya sebagai suami-istri di rumah mereka sendiri, kabar yang paling tidak ingin didengar Sasa itu akhirnya da
"Ganteng kan kalau udah pake baju, gemes, pengin di atas," bisik Sasa penuh godaan."Yok, ke sebelah," ajak Badai langsung sigap."Kok jadi serius," Sasa menutup mulutnya spontan. "Mas nggak capek? Abis maen bola juga ih," desisnya."Sekalian capeknya. Lagian kalau kamu yang di atas, aku nggak capek, Nduk.""Kok vulgar gini jadinya kita ngobrolnya ya Mas?"Lalu, tawa mereka berderai ceria. Badai melakukan kebiasaan wajibnya, mengacak rambut Sasa, membuat beberapa mahasiswi lain dari universitas tuan rumah yang ikut dikarantina memekik iri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sasa sengaja pamer kemesraan di depan mereka, juga di depan Dira yang sudah pasti sedang tak aman posisinya."Ayok sarapan!" ajak Badai menunjuk gedung induk di paling depan, semua aktivitas dari makan termasuk hiburan diadakan di ruangan itu."Emang yang laen udah?""Tuh, Ramdan udah ngusap sekitar bibirnya. Udah selesai dia," jawab Badai."Mas udah laper? Aku kok belom. Pengin sarapan yang lain," pancing Sasa imut."
"Aku juga baru tau kalau tim penyelamat kita itu semua hobi pamer," desis Sasa geleng-geleng kepala. Bagaimana Nyonya Badai ini tidak merasa heran dan kesal saat mendapati sang suami bersama anggota timnya bertelanjang dada. Benar, Badai hanya mengenakan celana pendek olahraga dengan running shoes bermotif hitam putih saat bermain sepakbola. Sebagai istri sah, Sasa tentu measa tidak rela Badai mengumbar daya tarik seperti itu."Dari semua sesi karantina buat penyembuhan trauma, ini sih sesi healing yang paling manjur menurutku," cengir Nana puas sekali."Kebanyakan dari mereka emang bertato ya Dek," kata Wulan ikut menatap takjub. "Tadi gue liat ada juga yang telinganya bertindik," tambah Karin tak kalah terpesonanya. "Sasa beruntung dapet yang paling ganteng, damage-nya nggak ada obat pula," katanya kagum."Kalau dia begitu keselku muncul lagi," gumam Sasa lagi-lagi keceplosan. "Kesel kenapa? Bukannya kalian bulan madu?" bisik Nana yang akhirnya benar-benar diberi pengertian ke ma
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri