"Mas Badai!" seru Sasa bahkan ketika ia belum mencapai ambang pintu.Badai yang sudah melepas penutup wajah dan kepalanya itu menoleh, ia cukup berantakan karena timnya ditarik langsung dan ia serta tim diminta menghadap Damar secepatnya ke kediaman. Meski tanpa persiapan, ia sambut Sasa yang langsung menubruk tubuhnya, memeluknya erat. Sempat terhuyung, tapi Badai bisa menguasai dirinya. "Hape kamu mati Mas," lirih Sasa masih menyembunyikan wajahnya di ceruk leher hangat Badai. "Ah, selama tugas semua alat komunikasi nirkabel harus nonaktif, Nduk," ucap Badai teringat bahwa ia tak memberitahu Sasa tentang hal ini sebelumnya. "Kecuali yang terhubung langsung ke pusat komando biar nggak ngeganggu keamanan operasi senyap kami," lanjutnya. Sasa manggut-manggut mengerti. Ia lepaskan pelukannya dan baru tersadar jika anggota tim yang lainnya tengah menonton. Senyum malu-malu Sasa terbit, ia canggung seketika, garuk-garuk kepala. "Tim! Bapak pengin ketemu," ujar Waskito yang menyusul Sa
"Nduk Sasa," Badai menghela napas panjang, tatapannya teduh sekali pada Sasa yang berbalut dress putih berenda. Karena semua digelar serba mendadak dan terbatas, baik Badai maupun Sasa tak ada yang mempersiapkan seragam lamaran. Mengingat bagaimana posisi pekerjaan Badai yang harus benar-benar rahasia, dokumentasinya pun diambil dari orang militer. "Iya, Mas Badai," jawab Sasa malu-malu. Mengimbangi Sasa yang berkostum modern simple, Badai mengenakan jas warna khaki, satu stel dengan celana dan kemeja putih sebagai dalamannya. Gaya kerah tanpa dasi membuat bahu dan punggungnya terlihat semakin lebar dan kokoh, apalagi tinggi tubuhnya yang terhitung menjulang itu. "Maukah kamu jadi perempuan tempatku pulang kalau lagi capek dan perlu semangat?" tanya Badai kikuk. "Mas, aku bukan taman hiburan," celetuk Sasa spontan, memicu tawa semua yang hadir, termasuk mencipta pelototan galak dari Ran. "Maksudku, jadilah istriku, perempuan yang paling berarti dalam hidupku, yang bakalan mengis
Dan tawa keduanya pecah. Tak pernah disangka, Sasa yang di awal tidak pernah dipandang oleh Badai sebagai calon istrinya, kini benar-benar dilamarnya. Ia bawa ayah dan ibunya, juga keluarga dekatnya, ia minta Sasa memberi hidup untuk menjadi pendampingnya yang setia. "Bakalan ada seminar kebangsaan yang diadain BEM Fakultas, kerjasama bareng HIMA PKn, kamu udah denger itu Mas?" tanya Sasa teringat agenda kampus yang pasti akan melibatkan mereka berdua."Iya," Badai mengangguk. "Dandi, wakil ketuanya yang kemaren ngasih info. Dia juga yang masukin aku ke grup anak-anak HIMA," katanya. "Kalau di kita gimana sih Mas? Statusnya Fara sama Mas Diaz itu kayak apa?" "Target itu dibagi per level Nduk," ujar Badai sambil menyeruput es buahnya, "Diaz ada di level satu karena dia ada kontak langsung sama Fara dan sempet beberapa kali ikut acara Fara di kampus lain. Dari cara dia mimpin HIMA juga keliatan dia bawa ideologi beda sama ideologi negara. Dan yang paling penting, dia punya eksklusivi
Berusaha keras untuk memperlakukan Sasa lebih baik dari sebelumnya dan memberikan rasa nyaman baginya, Badai mengajak Sasa untuk membuat foro prewedding. Meskipun Sasa sempat mengatakan bahwa ia tidak perlu membuat kenangan semacam itu, Badai tahu diri. Ia tidak memberikan pernikahan impian setiap perempuan pada Sasa, sebaliknya sebagai mantan public figure yang sosoknya dikenal oleh masyarakat luas, Sasa justru mendapatkan rencana pernikahan yang sangat rahasia dan tertutup. "Padahal nggak perlu kayak gini, Mas," ucap Sasa tak bisa menutupi senyum bahagianya saat ia diminta untuk berpose mesra dengan Badai oleh Lion. Selain berubah identitas sebagai mahasiswa, Lion juga memiliki usaha sampingan sebagai fotografer lepas. Hasil pekerjaannya pun terbilang rapi dan mumpuni, jadi Badai berani memakai jasanya. "Nggak pa-pa, fotografernya Lion ini," jawab Badai nyengir. "Lagian lumayan bisa dapet foto keren bareng mantan model begini, kebanggaan Nduk," bisiknya sambil mencuri kesempatan
Sasa mengangguk, meraih jemari kasar Badai dan balas menggenggamnya erat. Namun, bukannya berangkat, Badai justru menarik Sasa hingga menempel padanya, memeluk pinggangnya erat. "Mau ngapain?" tanya Sasa langsung peka, ia tutup bibirnya dengan punggung telapak tangan. "Mau cium. Nggak boleh?" Sasa tersipu sambil mengangguk, ia lingkarkan kedua lengannya di leher Badai sambil berjinjit. Keduanya berciuman singkat, membagi rasa bahagia bagi satu sama lain. Setelahnya, bergandengan tangan, mereka beriringan menuju mobil. Perjalanan menuju lapangan berlatih itu diisi dengan obrolan mengenai anggota tim Raider lainnya. "Pas SD aku pernah diajak Ayah ke sini," gumam Sasa. "Udah bagus sekarang," tambahnya. "Bapak jadi andalan Paspampres di masanya, beliau yang menginspirasiku buat terus berlatih menembak. Kapan kamu tau kalau Bapak adalah seorang sniper selain tugas asli beliau yang adalah pilot jet tempur?" gumam Badai sambil mengisi data yang disodorkan seorang petugas berseragam leng
Sejak tiba di rumah makan di mana seluruh anggota tim Raider sepakat untuk makan malam, wajah Badai sudah ditekuk dan ia lebih banyak diam. Meski Sasa curiga dan menyadari gelagat aneh sang calon suami, ia memilih untuk ikut bungkam. Sasa berusaha meremas jemari Badai untuk mencari tahu ada apa sebenarnya, tapi Badai hanya menggeleng lemah. "Mohon ijin Mbak Sasa," panggil Ramdan, ketua tim Raider 3 yang duduk di seberang Sasa, "ini mumpung kami kumpul berdua belas, Mbak Sasa nggak pengin milih ulang gitu, yang kira-kira sesuai selera Mbak Sasa?" Pandangan Badai langsung berubah melirik Ramdan, satu gerakan yang sangat mengejutkan Sasa. Pasalnya, sorot dingin dan siap membunuh itu muncul lagi setelah sekian lama Sasa hanya menemukan Badai yang hangat dan perhatian. "Ehm," Sasa melirik Badai lagi sebelum menjawab, "Mas Badai aja, udah terlanjur cinta soalnya," katanya menggombal.Mendengar penuturan Sasa, ekspresi di wajah Badai berubah cerah seketika. Ia tersenyum penuh kebanggaan.
Arleta hanya menatap tajam tanpa suara, menampilkan aura permusuhan yang diciptakannya sendiri. "Mbak masih cinta sama Mas Badai?" gumam Sasa melanjutkan, "kalau masih cinta, kenapa nggak dipertahanin?" "Gimana dipertahanin kalau ngerebutnya pake cara curang kayak lo!" sambar Arleta. "Curang? Mbak berapa tahun sih Mbak pacaran sama Mas Badai? Tau nggak Mas Badai tugas di mana? Unit apa?" pancing Sasa sengaja. "Jangan ngalihin topik ya lo!" tegur Arleta, "pokoknya gue cuma mau bilang, silakan nikmati aja kebersamaan lo sama Badai. Kalau aja lo nggak pake kekuasaan bokap lo, gue yakin dia nggak bakalan mau sama lo. Apalagi kalau dia pangkatnya tinggi dan kerjaannya ada di posisi yang bagus!" "Mbak!" Sasa mengeraskan suaranya. Beruntung hanya ada ia dan Arleta di dalam toilet. "Sadar nggak kenapa Mas Badai lebih milih buat nerima perjodohan ketimbang bertahan sama Mbak? Pertama, karena dia tau dia nggak bisa bertahan sama orang yang nggak menghargai dia sama sekali. Kedua, Mbak ngga
Sasa dan Badai tak sempat mengobrol berdua setelah kejadian bertemu dengan Arleta kemarin, karena seluruh tim Raider tiba-tiba mendapat panggilan mendadak dari Danjen langsung. Jadi, mau tak mau, Sasa menunggu Waskito mengirim sopir untuk menjemputnya. Dan, di dua hari berikutnya, Badai datang ke kediaman Damar untuk menemui calon istrinya. Alangkah beruntungnya Badai karena Ernest yang menemuinya di beranda."Sasa lagi mandi," kata Ernest sambil berbasa-basi menawarkan rokok untuk sang calon adik ipar."Siap! Makasih Mas," kata Badai sopan."Kita pernah ketemu kan ya beberapa bulan yang lalu? Pas aku keluar sama Sasa makan?" gumam Ernest mengingat-ingat."Siap! Iya Mas, waktu ini maaf saya nggak tau kalau Mas ini adalah kakaknya Sasa," ujar Badai malu sekali."Ernest, panggil nama aja. Kita kayaknya seumuran kan? Aku 26 bulan Februari kemaren.""Siap! 26 tahun bulan Juli nanti," sahut Badai."Lemes aja Men, kayak temen nongkrong. Geli dengernya kamu bilang siap, siap mulu," kekeh Ern
"Gimana?" Sasa mengulum bibirnya dengan tatapan yang tak lepas dari sang suami, ia bahkan menahan napas."Enak," ucap Badai sambil manggut-manggut. "Rada asin," tambahnya membuat ekspresi Sasa berubah."Maaf, Mas tau aku nggak bisa masak," cengir Sasa merasa bersalah. Ia tarik mangkok sop ayam yang tengah dinikmati suaminya. "Jajan di luar aja yok Mas, ini nggak layak makan," katanya."Siapa bilang? Enak kok," kata Badai tulus. "Apapun itu kalau dari tangan kamu, pasti kumakan," ujarnya begitu manis, ia ambil lagi mangkok sopnya dari sang istri, ia lahap isinya rakus."Jangan gitu," hidung Sasa kembang kempis, pertanda ia tengah berusaha untuk tidak bersedih. "Harusnya aku masak yang enak biar Mas seneng, kan tiga hari lagi Mas berangkat," katanya.Surat perintah agar Badai dan timnya segera berangkat ke Papua terbit kemarin sore. Setelah dua minggu melakukan peran sebenar-benarnya sebagai suami-istri di rumah mereka sendiri, kabar yang paling tidak ingin didengar Sasa itu akhirnya da
"Ganteng kan kalau udah pake baju, gemes, pengin di atas," bisik Sasa penuh godaan."Yok, ke sebelah," ajak Badai langsung sigap."Kok jadi serius," Sasa menutup mulutnya spontan. "Mas nggak capek? Abis maen bola juga ih," desisnya."Sekalian capeknya. Lagian kalau kamu yang di atas, aku nggak capek, Nduk.""Kok vulgar gini jadinya kita ngobrolnya ya Mas?"Lalu, tawa mereka berderai ceria. Badai melakukan kebiasaan wajibnya, mengacak rambut Sasa, membuat beberapa mahasiswi lain dari universitas tuan rumah yang ikut dikarantina memekik iri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sasa sengaja pamer kemesraan di depan mereka, juga di depan Dira yang sudah pasti sedang tak aman posisinya."Ayok sarapan!" ajak Badai menunjuk gedung induk di paling depan, semua aktivitas dari makan termasuk hiburan diadakan di ruangan itu."Emang yang laen udah?""Tuh, Ramdan udah ngusap sekitar bibirnya. Udah selesai dia," jawab Badai."Mas udah laper? Aku kok belom. Pengin sarapan yang lain," pancing Sasa imut."
"Aku juga baru tau kalau tim penyelamat kita itu semua hobi pamer," desis Sasa geleng-geleng kepala. Bagaimana Nyonya Badai ini tidak merasa heran dan kesal saat mendapati sang suami bersama anggota timnya bertelanjang dada. Benar, Badai hanya mengenakan celana pendek olahraga dengan running shoes bermotif hitam putih saat bermain sepakbola. Sebagai istri sah, Sasa tentu measa tidak rela Badai mengumbar daya tarik seperti itu."Dari semua sesi karantina buat penyembuhan trauma, ini sih sesi healing yang paling manjur menurutku," cengir Nana puas sekali."Kebanyakan dari mereka emang bertato ya Dek," kata Wulan ikut menatap takjub. "Tadi gue liat ada juga yang telinganya bertindik," tambah Karin tak kalah terpesonanya. "Sasa beruntung dapet yang paling ganteng, damage-nya nggak ada obat pula," katanya kagum."Kalau dia begitu keselku muncul lagi," gumam Sasa lagi-lagi keceplosan. "Kesel kenapa? Bukannya kalian bulan madu?" bisik Nana yang akhirnya benar-benar diberi pengertian ke ma
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa