Hari telah menjelang sore. Suara adhan ashar telah berlalu. Gayatri sudah mematuk dirinya dengan berdandan secantik mungkin, sama seperti tiap hari Jum'at yang sering dia lakukan tiap sebelum sholat ashar.
Diliriknya kalender yang berada di ruang keluarga. Ini adalah minggu ke empat setelah tiga minggu yang lalu suaminya tak juga nampak pulang. Dan Gayatri tak pernah lelah berharap akan kedatangan suaminya itu.
Dia belum juga memasak, sementara sebentar lagi kedua buah hatinya akan pulang dari sekolah. Sengaja Gayatri berpuasa walau hari ini hari Jum'at, walau tak ada tuntunan untuk puasa hari Jum'at, selain puasa Daud yang dilakukan Gayatri. Setidaknya selain mendapat pahala, dengan puasa dia akan lebih menghemat pengeluaran, mengurangi jatah nasi yang akan masuk ke perutnya.
“Assalamualikum!” Ternyata anak laki-lakinya sudah pulang.
“Waalaikumussalam!” jawab Gayatri sambil mengulurkan tangannya untuk dicium putranya itu.
“Kamu sudah lapar, Ling?” tanyanya hanya basa basi, dia mana mungkin tidak tau anaknya sudah lapar mengingat tubuhnya yang tinggi melebihi dia dan membutuhkan makanan lebih. Sedangkan bekal yang dia bawa tadi juga sedikit.
“Ghak juga, Bund. Aku tadi ditraktir teman makan bakso, jadi agak kenyang,” katanya sambil melepas sepatu dan kaos kakinya. “Kenapa? Bunda belum masak?”
“Nunggu sebentar Bunda masak, barangkali ayahmu pulang hari ini, bisa untuk membeli beras,” kata Gayatri sambil tetap berusaha tersenyum.
“Bunda hari ini juga puasa?” tanya putranya lagi setelah melepas baju seragam dan menaruhnya di bak cucian.
Gayatri mengangguk.
“Sabar ya, Bund. Nanti kalau Galing sudah besar, Galing akan bekerja agar Bunda tidak dalam kelaparan terus,” ucap Galing sambil memeluk Bundanya.
“Ih, bau nih adik!” seloroh Gayatri untuk tak membuat suasana makin dalam kesusahan.
Galing terkekeh. “Bunda sih sudah harum, sudah dandan cantik begini.” Galing lalu beranjak ke kamar mandi untuk mandi.
Gayatri melirik jam di dinding ruang keluarga. Tak terasa sudah jam 16.30. Dia menghela nafas panjang. Haruskah dia masih menunggu sementara yang ditunggu tak datang jua. Sedangkan untuk melangkah ke warung Bu Ratih, rasanya dia malu. Yang kemarin saja belum dibayar, apa dia kini harus berhutang lagi. Uang yang diberikan suaminya biasanya memang hanya cukup untuk kebutuhan mereka selama seminggu dengan menyisakan sedikit untuk keperluan sekolah anak-anak. Setelah tiga minggu suaminya tak pulang, uang itu pun kini sudah habis.
“Kamu tadi ghak lihat kak Galuh?” tanyanya setelah Galing keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya melilit di pinggangnya. Nampak dia lebih besar dari usianya yang masih 12 tahun.
"Engak tuh Bund. Aku pikir tadi sudah pulang kok sepedanya ghak ada."
“Terus kemana dia, Ling?” tanya Gayatri cemas. Akhir-akhir ini Galuh memang sering pulang telat, bahkan pernah malam hari. Kalau ditanya ke mana, dia pasti marah-marah dengan menghubungkan uang sakunya yang sekarang memang berkurang.
“Bund, aku nyoba cari kak Galuh.” Galing sudah memakai kaos santai dan pamit, lalu menaiki sepeda gunungnya.
“Iya. Ling. Terimakasih.”
Lagi-lagi Gayatri melihat ke halaman rumahnya yang tak seberapa luas. Rumah yang mereka tempati hanyalah perumahan dengan tipe 21 yang tak jua direnofasi, kecuali ditambah satu kamar untuk Galuh. Dua orang yang ditunggu tak jua nampak. Akhirnya Gayatri kemudian ke warung Bu Ratih dengan menebalkan mukanya karena malu.
Setelah mengayuh sepedanya, Gayatri menunggu agak lama sampai yang antri sudah pergi semua.
“Maaf, Bu,.. boleh ngebon lagi?”
“Ghak apa-apa, Mbak. Jangan sungkan. Sekarang minta apa?” tanya Ratih ramah. Dia memang orangnya baik, kapan hari sudah berpesan untuk tak segan-segan meminta bantuannya jika memerlukan sesuatu.
“Beras sekilo, tahu satu, sama telor setengah kilo, Bu.”
“Itu saja, Mbak?”
“Iya, Bu,.. mudah-mudahan ayahnya anak-anak nanti pulang.”
Ratih mengulurkan barang Gayatri.
“Aku bawa ya, Bu. Maaf sebelumnya.”
“Ghak apa, Mbak. Lain kali jangan segan,” kata Ratih. Gayatri adalah pelanggan warungnya. kalau bukan karena terpaksa dia tidak pernah berhutang.
Gayatri hampir mengayuh sepeda pancalnya, kembali Ratih memanggilnya.
“Mbak, mau bantu-bantu di Griya riasnya Bu Ratna? Kapan hari dia ngomong-ngomong sama saya kalau membutuhkan pegawai."
“Mau sekali, Bu. Kapan hari saya sampai menawarkan diri menjadi buruh paruh waktu di perumahan.” Gayatri menunduk. “Tapi semua menolak saya dengan memandang saya curiga, mungkin takut barangnya saya curi.”
“Itu sih bukan barang yang takut Mbak curi, tapi suaminya yang takut dicuri lihat mbaknya cantik begitu,” kata Ratih, terkekeh.
Gayatri tersenyum. “Tapi saya tidak bisa apa-apa, Bu.”
“Asal ada kemauan, Mbak. Kalau iya, besuk ke rumah dia. Kapan hari saya sudah ngomong tentang mbak Gayatri."
“Kalau begitu terimakasih, Bu,” kata Gayatri pamit.
Dengan semangat dia pun tiba di rumahnya. Tak lama terdengar sepeda motor berhenti. Dengan senyum Gayatri segera menyongsong suaminya yang tampak lain, melangkah dengan gontai ke rumahnya.
“Kemana saja, Yah,… kok tiga minggu ghak pulang? Handponemu dihubungi juga ghak bisa," kata Gayatri cemas. “Bagaimanapun juga pekerjaanmu itu di jalan, aku kuatir kamu ada apa-apa.”
“Maafkan saya, Bund,” ucap Prayogi menatap istrinya lekad. Lalu dia tiba-tiba saja luruh dan sudah bersimpuh di kaki Gayatri.
Gayatri kebingungan dengan ulah suaminya.
“Aku khilaf, Bund. Aku menghamili seseorang dan aku harus menikahinya.”
Gayatri mundur selangkah, lututnya terasa lemas. Bertahun, biduk rumah tangga yang dibangunnya dengan Prayogi tak pernah ada masalah. Walau dia supir truk luar kota, dia tak pernah macam-macam. Penghasilannya yang memang tak sebanyak truk muatannya, tak jua membuat mereka tak bahagia.
“Jadi selama tiga minggu ini kamu menghabiskan waktu bersamanya, Yah?”
Proyogi terdiam.
“Kenapa sekarang kamu kembali, Yah? Kenapa kamu tak selamanya saja di sana?”
“Kenapa kamu bilang begitu, Tri? Aku tetap mencintaimu. Kamu istriku, kenapa kamu menyuruhku di sana terus?"
“Sekarang aku bukan istrimu lagi, Yah. Aku jijik mengingat kamu telah bersama dengan wanita lain.”
“Jangan begitu, Tri, aku khilaf.”
“Ceraikan aku!” kata Gayatri keras dengan mata yang mulai buram.
“Apa?”
“Apa?” Prayogi tak percaya dengan permintaan Gayatri. "Aku mencintaimu, aku takkan bisa hidup tanpa kamu," kata Prayogi menggenggam tangan Gayatri erat “Beri aku kesempatan, Tri. Maafkan aku!”“Kamu sudah menghianati kepercayaannku, Yah. Bagaimana aku bisa menerimamu kembali?” kata Gayatri sambil melangkah ke dapur, hendak memasak. Matanya sudah dipenuhi genangan air yang terus mengalir di kedua pipi beninganya. Seandainya saja dia tidak mengingat kedua buah hatinya yang akan pulang dan mencari makanan, dia akan mengurung dirinya di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya teramat sakit dan terluka. Orang yang selama ini dia abdikan hidupnya dengan meninggalkan segalanya kini telah menghianatinya.Prayogi masih mengekornya. Memeluknya dari belakang. “Bund, maafkan aku! Ini uangmu selama aku tidak pulang,” katanya kembali sambil memberikan uang untuk digenggam Gayatri.Gayatri mengibaskan tangan suaminya. Uang yang dinantinya selama empat minggu berhamburan memenuhi ruangan dapur s
“Dari mana kamu, Galuh? Kenapa wajahmu habis di make up?”Terlihat Galuh berusaha menutupi mukanya. Namun Gayatri masih berusaha melihat dengan menarik tangan Galuh dan memegang dagunya. “Ini apa, Galuh? Apa yang telah kamu lakukan di luar sana?”“Dibilangi bukan apa-apa juga,” kata Galuh dengan melototkan matanya."Kalau orangtua ngomong itu yang sopan jawabnya. Kamu ghak tau betapa khawatirnya kami dengan mencarimu kemana-mana tadi," sahut Prayogi yang juga merasa curiga dengan kelakuan anaknya.“Apa yang kau lakukan dengan anak berandal itu?”“Maksud Bunda apa?” tanya Galuh yang sudah nglonyor ke kamarnya tanpa memperdulikan ayahnya yang baru datang setelah berminggu-minggu tak pulang. Dia bahkan memandang Prayogi dengan tatapan yang menghujat.Gayatri yang sudah panas hatinya dengan kelakuan suaminya, membuat makin panas dengan yang dilakukan putrinya.“Bukankah kamu keluar sama Raksa, anak band itu?"Galuh terdiam sejenak. Dari duluh bundanya mengatakan tidak suka dia dekat deng
“Aku mencari mas Prayogi, tolong panggilkan.”“Kamu siapa?” tanya Gayatri masih memandangi wanita di depannya. Wanita yang sepertinya lebih muda darinya yang sudah 33 tahun.“Sama seperti mbak Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya, saya juga istrinya. Saya Sasmita.”Gayatri terkejut. wanita itu bahkan kini telah datang ke rumahnya, sebelum dia mau mengutarakan kepada suaminya agar anak-anak tidak tau persoalan mereka. Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya? Gayatri mengeja sendiri namanya setelah teringat wanita itu menyebutnya. Bagaimana wanita itu tau nama lengkapnya? Siapakah dia? Atau karena begitu dekatnya dia dengan suaminya sampai dia telah mengetahui namanya dengan baik? Hadiwijaya,.. begitu lama nama pengusaha terkenal itu tak pernah disebut siapapun dalam keluarganya setelah apa yang Gayatri lakukan dengan menikahi Prayogi, lelaki kalangan biasa teman SMA-nya yang bisa masuk di sekolah elit karena beasiswa.“Tolong duduk di depan sebentar, saya akan memanggilnya,” kata Gayatri berusaha menahan
"Apa? Kenapa kamu menjebakku?" tanya Prayogi dengan segera bangkit dari duduknya. Namun tangan Sasmita kembali meraihnya dan mendudukkannya di dekatnya."Kalau aku tidak mengatakan hamil, mungkinkah kamu akan menikahiku?" "Brengset kamu, Mita." maki Prayogi geram.Namun perempuan itu malah memamerkan senyumnya. "Kamu kan ghak mungkin berhubungan dengan wanita yang tidak sah denganmu. Makanya aku membuatmu sah denganku agar kamu tak segan lagi bermesraan denganku." "Kamu telah enjebakku untuk kedua kalinya.""Yang menikmati saat itu juga siapa? Kamu kan?""Itu karena obat yang kamu campur di minumanku."Prayogi yang langganan warung di sebelah salon Sasmita setiap mengirim barang ke Mojokerto, tiba-tiba saja pusing. Lalu Sasmita menawari untuk tidur sebentar di salonnya yang telah tutup. Dia sudah lama megenal Sasmita yang sering membelikan pegawainya jajan atau sekedar minuman di waung sebelahnya. Hanya sekedar bercanda dan ngobrol biasa. Gayanya yang sopan tak terbersit ada niat ya
Masih dengan tanda tanya di kepalanya, Gayatri kemudian pulang dengan membawa makanan dari bu Ratna, katanya dia masak sengaja banyak untuk dibawa pulang Gayatri. Saat di depan rumah megah itu, tak sengaja dia menoleh ke rumah samping. Di sebuah balkom rumah itu, tampak Rendra menyunggingkan senyumnya ke Gayatri. Dengan menuntun sepedanya Gayatri mengangguk tersenyum membalasnya.Setelah mengayuh sepedanya yang lumayan jauh, sampai juga Gayatri di toko bu Ratih."Bu, tolong hutang saya di total." kata Gayatri setelah menunggu sepinya pembeli."Suaminya sudah pulang, Mbak?" tanya bu Ratih dengan senyumnya menyambut Gayatri.Gayatri mengangguk."Kalau sudah pulang, kenapa mbak e wajahnya malah kusut begitu? Ghak seceria seperti biasanya kalau suami pulang."Gayatri hanya tersenyum masam. "Lelah saja, Bu. Ini tadi habis kerja dari bu Ratna.""Alhamdulillah sudah kerja di sana. Memang kerjanya berat?""Bukan kerjanya, Bu, tapi mengayuh sepedanya yang jauh.""Iya, apalagi semalaman kangen-
"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk."Bund." Galing memegang tangan Bundanya.Gayatri menoleh, memandang lurus putranya."Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi.""Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum.""Sepertinya kepergian mereka ada
"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman."Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya."Kak,...""Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman.""Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu."Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas