Masih dengan tanda tanya di kepalanya, Gayatri kemudian pulang dengan membawa makanan dari bu Ratna, katanya dia masak sengaja banyak untuk dibawa pulang Gayatri. Saat di depan rumah megah itu, tak sengaja dia menoleh ke rumah samping. Di sebuah balkom rumah itu, tampak Rendra menyunggingkan senyumnya ke Gayatri. Dengan menuntun sepedanya Gayatri mengangguk tersenyum membalasnya.
Setelah mengayuh sepedanya yang lumayan jauh, sampai juga Gayatri di toko bu Ratih.
"Bu, tolong hutang saya di total." kata Gayatri setelah menunggu sepinya pembeli.
"Suaminya sudah pulang, Mbak?" tanya bu Ratih dengan senyumnya menyambut Gayatri.
Gayatri mengangguk.
"Kalau sudah pulang, kenapa mbak e wajahnya malah kusut begitu? Ghak seceria seperti biasanya kalau suami pulang."
Gayatri hanya tersenyum masam. "Lelah saja, Bu. Ini tadi habis kerja dari bu Ratna."
"Alhamdulillah sudah kerja di sana. Memang kerjanya berat?"
"Bukan kerjanya, Bu, tapi mengayuh sepedanya yang jauh."
"Iya, apalagi semalaman kangen-kangenan terus." goda bu Ratih. Guyonan yang kemudian membuat Gayatri nyeri merahan sakit hatinya yang sejenak tadi terhibur di bu Ratna.
"Empat ratus duapuluh lima ribu, Mbak."
Gayatri mengangsurkan uang lima lembarnya. "Sisanya tolong kasih beras, Bu."
"Iya, mbak." kata bu Ratih lalu mengangsurkan beras Gayatri.
"Ghak pakai telur atau apa untuk laupnya, Mbak?"
Gayatri menunjukan kotak makanan yang dibawanya. "Sudah dikasih bu Ratna, Bu."
"Alhamdulillah, Mbak,.. saya ikut senang mbak Tri bisa kerja di tempat itu. Orangnya sangat dermawan, Mbak. Uangnya tak berseri. Dia meneruskan riasnya hanya sekedar hoby, uang kiriman dari anaknya sudah lebih dari cukup untuk hidupnya."
"Memangnya anaknya kenapa tidak ada yang ikut bu Ratna?"
Kebetulan tak ada pembeli, bu Ratih jadi bisa mengajak Gayatri mengobrol.
"Anaknya tiga lelaki semua. Sukses semua. Yang di Surabaya jadi Polisi. Ada yang di Makasar jadi anggota legislatif, yang di Jakarta juga orang gedean, di perusahaan asing."
"Pantas dia seperti santai begitu."
"Sukurlah mas Rendra, keponakannya kerjanya di dekat sini, jadi penghulu. Walau galeri handponenya tersebar di mana-mana, dia tinggal pantau. Nanti kalau mbak Tri bekerja di bu Ratna, pasti sering ketemu dengan mas Rendra."
Gayatri tersenyum sendiri mengingat kata-kata Rendra. Mungkin itu maksudnya dia mengatakan agar dia tak asing jika nanti sering ketemu.
Bu Ratih sejenak mengamati senyum Gayatri. "Jangan naksir dia, mbak. Walau dia perjaka, ganteng dan mempesona. Apalagi kalau lagi pakai seragam. Mbak Gayatri sudah punya mas Prayogi."
"Apa?" tanya Gayatri kaget.
Bu Ratih terkekeh. "Habisnya mbak Gayatri aku ceritain soal mas Rendra tersenyum-senyum."
Gayatri tertawa kecil. Sepertinya dengan keluar sebentar dari rumah dia bisa melupakan kesedihannya.
"Saya pulang, Bu. Jadi keterusan nih ngobrolnya. o, ya,...terimakasih, bu Ratih sudah WA bu Ratna segala."
"Sama-sama, Mbak. Saya senang melihat orang lain tertolong dari kesulitan."
Sesampainya Gayatri di rumah, bertepatan dengan datangnya Prayogi. Lelaki itu tampak merasa tak enak saat Gayatri menatapnya dengan masih penuh marah. Beda sekali dengan perempuan yang tadi dia datangi, yang begitu menyambutnya dengan suka cita, bahkan memberikan servis yang merilekkan pikiran Prayogi
"Maaf aku tadi keluar sebentar, Bund."
"Kamu sudah ke rumah istri mudamu itu? Sudah kamu bilang ke dia jangan datang ke sini lagi agar anak-anak tidak tau?"
"Sudah, Bund." kata Prayogi tanpa memberitahu Gayatri kalau anak-anak mereka sudah tau. Dia lalu melepas helmnya. Kemudian dia berjalan masuk mendahului Gayatri yang masih mematung di teras.
"Aku belikan kamu ayam panggang kesukaanmu." kata Prayogi setelah melihat Gayatri masuk dapur.
"Mulai sekarang kamu tidak usah menyogokku dengan makanan, Yah." kata Gayatri lalu menaruh rantang yang diberikan bu Ratna di dekat magic com.
Prayogi yang melihat Gayatri dengan terang-terangan meletakkan rantang membuatnya sedikit emosi, merasa tak dihargai. Susah payah dia mencari ayam panggang yang terenak, namun itu tak jua menjadikan hati Gayatri luluh. Ditarikkanya tangan Gayatri yang akan menjauh darinya. Hinggah posisi mereka kini salin berhadapan. Begitu dekat sampai nafas keduanya terasa. Tangan Prayogi kemudian memeluk pinggang Gayatri.
"Sampai kapan kamu bersikap begini kepadaku?" tanya Prayogi menatap lekad Gayatri.
"Lalu menurutmu aku harus bersikap bagaimana dengan penghianatanmu, Yah?"
"Aku sudah berusaha baik kepadamu dengan menceritakan semuanya, tapi kamu masih tak berusaha memaafkan aku."
Gayatri menepiskan tangan suaminya. "Maaf yang bagaimana?" tanyanya mencibir. Matanya yang kini mulai buram menahan butiran bening yang siap tumpah.
"Kalau kamu memintaku berbagi suami, maaf, aku tidak bisa melakukannya."
"Aku bisa menjahui dia jika kamu bisa merubah sikapmu."
"Bagaimana kamu menjahuinya, sedangkan dia bisa menyusulmu kapan pun dan kamu ihlas datang." kata Gayatri yang tengah menatap bekas merah di leher suaminya.
Prayogi yang menyadari tatapan Gayatri merasa tak enak hati. Mungkin ada sesuatu yang diperhatikan Gayatri di dirinya, pikirnya. Dia lalu pergi meninggalkan Gayatri yang kemudian terduduk lemas dengan menangis di dapur.
Matahari sebentar lagi akan tenggelam, Prayogi yang kemudian ke kamar mandi hendak mandi. Tidak seperti biasanya, dia bahkan membawa kaosnya yang berleher ke kamar mandi. Dilihatnya Gayatri telah pergi dari dapur. Saat dia mematuk dirinya di cermin di kamarnya tadi, dia baru menyadari badannya penuh cap yang dilakukan Sasmita saat dia menggaulinya. Pantas Gayatri tadi melihatnya dengan aneh. Sengaja dia tidak hanya memakai handuk seperti biasa jika dari kamar mandi, bahkan memakai kaos berkerah, untuk menutupi cap merahnya dari Gayatri. Walau dia kini telah tau, Gayatri sudah melihatnya tadi walau tak banyak. Namun bagaimanapun Prayogi ingin itu tak terlihat jelas oleh anak-anaknya.
"Assalamualaikum, Bund." kata Galing begitu melihat Gayatri tengah menyiram bunga di halaman.
"Waalaikumussalam, Ling. Maaf tadi Bunda terburu-buru sampai tidak pamitan kalian." kata Gayatri begitu mengingat saat dia berangkat ke bu Ratna dipenuhi emosi sampai lupa pamitan ke anak-anaknya.
"Memangnya Bunda tadi ke mana?"
Gayatri meletakkan alat siramnya dan memeluk putranya hangat. "Alhamduillah, Bunda sekarang kerja, Nak. Walau paruh waktu, mudah-mudahan bisa untuk jajan kalian."
"Memangnya kerja di mana, Bund?" tanya Galing sambil menuntun sepedanya ke depan rumah.
"Di rumah bu Ratna, bantu-bantu WO-nya." kata Gayatri lalu mengajak duduk putranya itu.
"Wah, Bunda yang semangat biar nanti bisa merias seperti bu Ratna, sukur-sukur jadi perias besar seperti dia, Bund." kata Galing dengan mata berbinar.
Gayatri terkekeh. "Ealah, jauhnya pikiran putraku. Emang dapat modal dari mana juga, Ling? Bukankah membuka jaa rjas seperti itu butuh modal besar?"
Galing menggayut manja di lengan bundanya. "Namanya juga cita-cita, Bund."
"Bener juga kamu." katanya dengan menyentil hidung mancung putranya.
Galing yang tersenyum mendapat pujian Bundanya, kemudian menatap Gayatri lekad. Rasa iba untuk Bundanya disimpannya rapat. Dia tau Bundanya saat ini sedang sedih, namun tak ditampakkan di depan Galing. "Kelak aku pasti membuatmu bahagia dan bangga, Bund." katanya berjanj dalam hati.
"O, ya,.. Bund. Kak Galuh tadi pamit suruh bilang ke Bunda kalau dia pergi lagi dan mungkin pulang agak malam mengingat ini malam minggu. Katanya Bunda jangan khawatir, dia tidak akan menjadi anak yang mengecewakan Bunda. Dia hanya mempunyai kegiatan yang kelak akan membuat Bunda bangga padanya."
"Dia pergi sendiri?"
"Dia dijemput Raksa."
"Apa? Kegiatan apa yang dia lakukan dengan pergi bersama Raksa malam minggu?"
"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk."Bund." Galing memegang tangan Bundanya.Gayatri menoleh, memandang lurus putranya."Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi.""Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum.""Sepertinya kepergian mereka ada
"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman."Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya."Kak,...""Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman.""Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu."Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai
“Kalau boleh tau, siapa namamu? Kenapa mirip sekali dengan keponakanku?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah tantenya Gayatri, istri Hariwijaya.Gayatri gelagapan. Namun dia berusaha menguasai dirinya.“Saya pembantunya Bu Ratna, Bu,” katanya dengan menekan segala rasa untuk tantenya itu. Gayatri tidak ingin siapa dirinya diketahui oleh keluarganya. Dia sudah lama pergi, dan dia tak ingin setelah kehancuran rumah tangganya akan menjadi bahan tertawaan keluarganya yang dari duluh melarang seorang Prayogi untuk dekat dengannya.“O, saya kira kamu Dyah Ayu. Maaf!” Wanita itu kemudian pergi.Gayatri menghela nafas berat. Lalu kembali mneruskan langkahnya ke kamar pengantin, saat itu kebetulan Bu Ratna juga keluar.“Dibilangi langsung pulang, kok malah ke sini."“Maaf, Bu,.. takutnya masih ada kerjaan.”“Sudah, pulang duluh sana.”“Terimakasih, Bu.”Gayatri memakai maskernya kembali dengan melewati kerumunan orang yang masih lalu lalang. Mereka adalah kerabatnya.“Lama sekali. Aku sa
“Aku kembali ke mess. Kepergianku mungkin membuatmu akan merasa lebih baik. Kuharap setelah nanti aku kembali, kamu bisa menerimaku lagi seperti duluh. Akan kubuang wanita itu dari kehidupan kita. Aku selalu mencintaimu. Dan selamanya mencintaimu.” Suamimu yang penuh penyesalan.Gayatri tergugu dalam tangisnya. Maafkan aku, Yah! Aku juga mencintaimu! Aku tak ingin kita terus dalam situasi seperti ini. Biarkan aku mencerna semuanya. Aku berharap setelah kamu kembali nanti aku bisa menerimamu lagi. Terlebih kamu telah berjanji menjahuinya.Terdengar mobil berhenti di depan. Gayatri sudah bersiap hendak pergi. Kedua buah hatinya pun turut mengantarnya.“Mbak, disuruh pakai ini oleh bu Ratna.” Pak Supri, supir Bu Ratna mengangsurkan kresek hitam. Gayatri membukanya. Sepertinya seragam rias walau beda dengan yang tadi pagi.“Tunggu sebentar, Pak,” kata Gayatri untuk berganti pakaian ke dalam. Pak Supri menggangguk.Tidak lama Gayatri sudah keluar dengan
“Dyah Ayu Gayatri?” tanyanya. Namun Gayatri yang sudah membetulkan maskernya kembali itu menggeleng.“Maaf, Anda siapa?” bohongnya dengan hati yang terasa sesak berkata seperti itu kepada mamanya. “Jadi benar kamu bukan Dyah Ayu Gaytri?” “Maaf,..” kata Gayatri dengan mengatupkan kedua tangannya di dada. Maaf, Ma, Gayatri belum siap diketahui mama, tambah Gayatri dalam hatinya. Gayatri berjanji setelah hubungannya kembali baik dengan Prayogi, akan menemui orangtuanya dengan mengatakan untuk hati-hati dengan omnya.Perempuan itu kemudian melangkah ke ruangan tempatnya dirias dengan tatapan penuh kecewa. Dia begitu berharap akan bertemu dengan anaknya kembali walau suaminya sering mengatakan untuk melupakan semuanya. Dan mengubur nama Gayatri dalam-dalam dari kehidupan mereka.Gayatri yang segera berlari, menumpahkan tangisnya di kamar mandi. Dia tidak mengira sama sekali job pertama yang dia ikuti ternyata di rumah keluarganya. Dia memang tak pernah bertanya-tanya ke Bu Ratna mau mer