Share

Bab 6. Rizki yang datang di tengah sakit hati.

Masih dengan tanda tanya di kepalanya, Gayatri kemudian pulang dengan membawa makanan dari bu Ratna, katanya dia masak sengaja banyak untuk dibawa pulang Gayatri. Saat di depan rumah megah itu, tak sengaja dia menoleh ke rumah samping. Di sebuah balkom rumah itu, tampak Rendra menyunggingkan senyumnya ke Gayatri. Dengan menuntun sepedanya Gayatri mengangguk tersenyum membalasnya.

Setelah mengayuh sepedanya yang lumayan jauh, sampai juga Gayatri di toko bu Ratih.

"Bu, tolong hutang saya di total." kata Gayatri setelah menunggu sepinya pembeli.

"Suaminya sudah pulang, Mbak?" tanya bu Ratih dengan senyumnya menyambut Gayatri.

Gayatri mengangguk.

"Kalau sudah pulang, kenapa mbak e wajahnya malah kusut begitu? Ghak seceria seperti biasanya kalau suami pulang."

Gayatri hanya tersenyum masam. "Lelah saja, Bu. Ini tadi habis kerja dari bu Ratna."

"Alhamdulillah sudah kerja di sana. Memang kerjanya berat?"

"Bukan kerjanya, Bu, tapi mengayuh sepedanya yang jauh."

"Iya, apalagi semalaman kangen-kangenan terus." goda bu Ratih. Guyonan yang kemudian membuat Gayatri nyeri merahan sakit hatinya yang sejenak tadi terhibur di bu Ratna.

"Empat ratus duapuluh lima ribu, Mbak."

Gayatri mengangsurkan uang lima lembarnya. "Sisanya tolong kasih beras, Bu."

"Iya, mbak." kata bu Ratih lalu mengangsurkan beras Gayatri.

"Ghak pakai telur atau apa untuk laupnya, Mbak?"

Gayatri menunjukan kotak makanan yang dibawanya. "Sudah dikasih bu Ratna, Bu."

"Alhamdulillah, Mbak,.. saya ikut senang mbak Tri bisa kerja di tempat itu. Orangnya sangat dermawan, Mbak. Uangnya tak berseri. Dia meneruskan riasnya hanya sekedar hoby, uang kiriman dari anaknya sudah lebih dari cukup untuk hidupnya."

"Memangnya anaknya kenapa tidak ada yang ikut bu Ratna?"

Kebetulan tak ada pembeli, bu Ratih jadi bisa mengajak Gayatri mengobrol.

"Anaknya tiga lelaki semua. Sukses semua. Yang di Surabaya jadi Polisi. Ada yang di Makasar jadi anggota legislatif, yang di Jakarta juga orang gedean, di perusahaan asing."

"Pantas dia seperti santai begitu."

"Sukurlah mas Rendra, keponakannya kerjanya di dekat sini, jadi penghulu. Walau galeri handponenya tersebar di mana-mana, dia tinggal pantau. Nanti kalau mbak Tri bekerja di bu Ratna, pasti sering ketemu dengan mas Rendra."

Gayatri tersenyum sendiri mengingat kata-kata Rendra. Mungkin itu maksudnya dia mengatakan agar dia tak asing jika nanti sering ketemu.

Bu Ratih sejenak mengamati senyum Gayatri. "Jangan naksir dia, mbak. Walau dia perjaka, ganteng dan mempesona. Apalagi kalau lagi pakai seragam. Mbak Gayatri sudah punya mas Prayogi."

"Apa?" tanya Gayatri kaget.

Bu Ratih terkekeh. "Habisnya mbak Gayatri aku ceritain soal mas Rendra tersenyum-senyum."

Gayatri tertawa kecil. Sepertinya dengan keluar sebentar dari rumah dia bisa melupakan kesedihannya.

"Saya pulang, Bu. Jadi keterusan nih ngobrolnya. o, ya,...terimakasih, bu Ratih sudah WA bu Ratna segala."

"Sama-sama, Mbak. Saya senang melihat orang lain tertolong dari kesulitan."

Sesampainya Gayatri di rumah, bertepatan dengan datangnya Prayogi. Lelaki itu tampak merasa tak enak saat Gayatri menatapnya dengan masih penuh marah. Beda sekali dengan perempuan yang tadi dia datangi, yang begitu menyambutnya dengan suka cita, bahkan memberikan servis yang merilekkan pikiran Prayogi

"Maaf aku tadi keluar sebentar, Bund."

"Kamu sudah ke rumah istri mudamu itu? Sudah kamu bilang ke dia jangan datang ke sini lagi agar anak-anak tidak tau?"

"Sudah, Bund." kata Prayogi tanpa memberitahu Gayatri kalau anak-anak mereka sudah tau. Dia lalu melepas helmnya. Kemudian dia berjalan masuk mendahului Gayatri yang masih mematung di teras.

"Aku belikan kamu ayam panggang kesukaanmu." kata Prayogi setelah melihat Gayatri masuk dapur.

"Mulai sekarang kamu tidak usah menyogokku dengan makanan, Yah." kata Gayatri lalu menaruh rantang yang diberikan bu Ratna di dekat magic com.

Prayogi yang melihat Gayatri dengan terang-terangan meletakkan rantang membuatnya sedikit emosi, merasa tak dihargai. Susah payah dia mencari ayam panggang yang terenak, namun itu tak jua menjadikan hati Gayatri luluh. Ditarikkanya tangan Gayatri yang akan menjauh darinya. Hinggah posisi mereka kini salin berhadapan. Begitu dekat sampai nafas keduanya terasa. Tangan Prayogi kemudian memeluk pinggang Gayatri.

"Sampai kapan kamu bersikap begini kepadaku?" tanya Prayogi menatap lekad Gayatri.

"Lalu menurutmu aku harus bersikap bagaimana dengan penghianatanmu, Yah?"

"Aku sudah berusaha baik kepadamu dengan menceritakan semuanya, tapi kamu masih tak berusaha memaafkan aku."

Gayatri menepiskan tangan suaminya. "Maaf yang bagaimana?" tanyanya mencibir. Matanya yang kini mulai buram menahan butiran bening yang siap tumpah.

"Kalau kamu memintaku berbagi suami, maaf, aku tidak bisa melakukannya."

"Aku bisa menjahui dia jika kamu bisa merubah sikapmu."

"Bagaimana kamu menjahuinya, sedangkan dia bisa menyusulmu kapan pun dan kamu ihlas datang." kata Gayatri yang tengah menatap bekas merah di leher suaminya.

Prayogi yang menyadari tatapan Gayatri merasa tak enak hati. Mungkin ada sesuatu yang diperhatikan Gayatri di dirinya, pikirnya. Dia lalu pergi meninggalkan Gayatri yang kemudian terduduk lemas dengan menangis di dapur.

Matahari sebentar lagi akan tenggelam, Prayogi yang kemudian ke kamar mandi hendak mandi. Tidak seperti biasanya, dia bahkan membawa kaosnya yang berleher ke kamar mandi. Dilihatnya Gayatri telah pergi dari dapur. Saat dia mematuk dirinya di cermin di kamarnya tadi, dia baru menyadari badannya penuh cap yang dilakukan Sasmita saat dia menggaulinya. Pantas Gayatri tadi melihatnya dengan aneh. Sengaja dia tidak hanya memakai handuk seperti biasa jika dari kamar mandi, bahkan memakai kaos berkerah, untuk menutupi cap merahnya dari Gayatri. Walau dia kini telah tau, Gayatri sudah melihatnya tadi walau tak banyak. Namun bagaimanapun Prayogi ingin itu tak terlihat jelas oleh anak-anaknya.

"Assalamualaikum, Bund." kata Galing begitu melihat Gayatri tengah menyiram bunga di halaman.

"Waalaikumussalam, Ling. Maaf tadi Bunda terburu-buru sampai tidak pamitan kalian." kata Gayatri begitu mengingat saat dia berangkat ke bu Ratna dipenuhi emosi sampai lupa pamitan ke anak-anaknya.

"Memangnya Bunda tadi ke mana?"

Gayatri meletakkan alat siramnya dan memeluk putranya hangat. "Alhamduillah, Bunda sekarang kerja, Nak. Walau paruh waktu, mudah-mudahan bisa untuk jajan kalian."

"Memangnya kerja di mana, Bund?" tanya Galing sambil menuntun sepedanya ke depan rumah.

"Di rumah bu Ratna, bantu-bantu WO-nya." kata Gayatri lalu mengajak duduk putranya itu.

"Wah, Bunda yang semangat biar nanti bisa merias seperti bu Ratna, sukur-sukur jadi perias besar seperti dia, Bund." kata Galing dengan mata berbinar.

Gayatri terkekeh. "Ealah, jauhnya pikiran putraku. Emang dapat modal dari mana juga, Ling? Bukankah membuka jaa rjas seperti itu butuh modal besar?"

Galing menggayut manja di lengan bundanya. "Namanya juga cita-cita, Bund."

"Bener juga kamu." katanya dengan menyentil hidung mancung putranya.

Galing yang tersenyum mendapat pujian Bundanya, kemudian menatap Gayatri lekad. Rasa iba untuk Bundanya disimpannya rapat. Dia tau Bundanya saat ini sedang sedih, namun tak ditampakkan di depan Galing. "Kelak aku pasti membuatmu bahagia dan bangga, Bund." katanya berjanj dalam hati.

"O, ya,.. Bund. Kak Galuh tadi pamit suruh bilang ke Bunda kalau dia pergi lagi dan mungkin pulang agak malam mengingat ini malam minggu. Katanya Bunda jangan khawatir, dia tidak akan menjadi anak yang mengecewakan Bunda. Dia hanya mempunyai kegiatan yang kelak akan membuat Bunda bangga padanya."

"Dia pergi sendiri?"

"Dia dijemput Raksa."

"Apa? Kegiatan apa yang dia lakukan dengan pergi bersama Raksa malam minggu?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status