"Apa? Kenapa kamu menjebakku?" tanya Prayogi dengan segera bangkit dari duduknya. Namun tangan Sasmita kembali meraihnya dan mendudukkannya di dekatnya.
"Kalau aku tidak mengatakan hamil, mungkinkah kamu akan menikahiku?"
"Brengset kamu, Mita." maki Prayogi geram.
Namun perempuan itu malah memamerkan senyumnya. "Kamu kan ghak mungkin berhubungan dengan wanita yang tidak sah denganmu. Makanya aku membuatmu sah denganku agar kamu tak segan lagi bermesraan denganku."
"Kamu telah enjebakku untuk kedua kalinya."
"Yang menikmati saat itu juga siapa? Kamu kan?"
"Itu karena obat yang kamu campur di minumanku."
Prayogi yang langganan warung di sebelah salon Sasmita setiap mengirim barang ke Mojokerto, tiba-tiba saja pusing. Lalu Sasmita menawari untuk tidur sebentar di salonnya yang telah tutup. Dia sudah lama megenal Sasmita yang sering membelikan pegawainya jajan atau sekedar minuman di waung sebelahnya. Hanya sekedar bercanda dan ngobrol biasa. Gayanya yang sopan tak terbersit ada niat yang tersembunyi dari perempuan cantik yang hanya tinggal sendiri di rumahnya yang besar dan di pinggir jalan itu.
"Aku sudah lama mengagumimu, Mas," terdengar suaranya yang merdu di telinga Prayogi yang saat itu kesadarannya terkikis oleh pengaruh obat yang dimasukkan Sasmita saat mengajakknya ngobrol, sudah kelimpungan menahan hasratnya.
"Ini tidak mungkin aku lakukan. Kamu bukan istriku," kata Prayogi begitu tersadar dan mendapati dirinya tergeletak memeluk tubuh Sasmita yang masih tanpa sehelei benang pun.
"Kalau begitu kita menikah saja, Mas."
"Aku telah memiliki istri."
"Aku bisa mengaturnya, Mas."
"Kamu jangan mimpi aku kan pergi dari istriku." Kata-kata itulah yang membuat Sasmita berusaha mengikat Prayogi dengan mengatakan dirinya hamil setelah mendatangi Prayogi di tempat kerjanya di Sidoarjo, hinggah Prayogi kemudian menikahinya.
"Sekali lagi kamu mendatangi rumahku, aku takkan segan,.."
"Kamu mau apa? Mau membunuhku?" tantang Sasmita sambil membuka kancing baju atasnya.
Prayogi yang merasa haus setelah lama tak menikmati kemesraan, terlebih dengan servis yang tak memuaskan dari Gayatri semalam, menelan ludahnya.
"Aku bisa tenang tak mengganggu keluargamu, Mas. Tapi kamu harus datang padaku. Jika tidak, aku bisa menghancurkan keluargamu itu," ancam Sasmita. "Aku hanya butuh belaianmu, Mas." ucapkan dengan merapatkan tubuhnya ke tubuh Prayogi, mencium bibir pria yang kini di hadapannya.
******
Gayatri masih mengayuh sepedanya, hinggah sampai di rumah gedung. Memarkir sepeda mininya di depan rumah bertuliskan Griya rias Ratna tersebut. Tulisan yang masih sama sejak Gayatri menjadi penghuni di perumahan itu. Walau kini Griya rias itu sudah berubah menjadi WO {Wedding Organiser), mengikuti perkembangan dunia rias pengantin.
"Assalamualikum!" kata Gayatri begitu melihat seorang ibu setengah baya menyiram tanamannya. Dialah bu Ratna, pemilik WO.
"Waalaikumussalam," jawab Ratna dengan meletakkan alat siramnya. "Gayatri ya? Aku di WA bu Ratih katanya kamu mau kerja di sini. Tadi aku pikir kamu ghak jadi datang karena sampai siang begini.""Maaf, Bu. Tadi ada sedikit masalah."
"Ayo masuk, ibu ambilkan kamu minuman di kulkas. Kamu pasti kehausan dengan mengayuh sepeda sampai di sini. Lihat, keringatmu sampai kayak orang mandi begitu."
"Terimakasih, Bu." Gayatri masuk dengan canggung. Namun sikap manis Ratna meluntruhkan kecanggungannya.
"Ini ada sedikit kue, dimakan, ya."
"Terimakasih, Bu. Ghak usah repot-repot. Saya di sini kerja, bukan tamu."
"Ghak usah sungkan, anggap rumah sendiri," kata Ratna lalu membuka lemari pakaian yang berisikan baju pengantin setelah membiarkan Gayatri istirahat.
"Kamu harus mengenal duluh isi almari-alamari ini. Ini pakaian pengantinnya." Lalu dia beralih yang almari yang lebih panjang dan besar. "Kalau yang ini untuk terima tamu, orangtua dan kerabat."
Gayatri mengangguk paham.
"Aku jelaskan semua ini biar nanti kamu gampang mengambilnya." Pandangan Ratna kemudian mengarah ke Gayatri. "Bener kamu mau kerja setengah hari di sini?"
"Bener, Bu,... saya bisa. Cuma nunggu anak-anak setelah berangkat sekolah saya ke sini. Soal pulangnya, jam satu atau dua. Sebelum anak-anak pulang, saya kan harus menyiapkan makanan untuk mereka."
"Alhamdulillah kalau begitu. Lagian kerjaannya juga ghak berat, kok. Cuma agak banyak kalau habis ada job. Selebihnya hanya menunggu barangkali ada custumer yang datang dan melayani mereka dengan baik."
Gayatri tersenyum mengangguk.
"Ok, mari ita mulai belajar kamu," kata Ratna sambil mengambil jarit, kebaya, dan kerudung terima tamu.
Ini yang akan kamu lakukan besuk setelah kru rias menyelesaikan riasannya," kata Ratna lalu memakai jarit, kebaya, dan terakhir, menaruh kerudung, memberinya peniti di bawa dagu, lalu menarik kedua ujungnya ke balakang. "Sekarang kerudungnya simpel, jadi gampang kamu pelajari," katanya mengulas senyum. Terakhir, dia meletakkan acsesoris di atasnya.
"Jadi deh bu Ratna terima tamunya," ucap Ratna sambil mengembangkan tangannya di cermin besar di depannya sambil terkekeh.
Gayatri yang memandangnya ikut tertawa kecil.
"Sampai di sini ada pertanyaan?"
"Masih belum, Bu," jawab Gayatri. Memiliki anak gadis memang tak membuatnya sulit. karena tiap hari Kartini atau ada keperluan tertentu dengan mengharuskan anaknya berdandan, dia yang mendandani anaknya sendiri. Lagi-lagi karena biaya. Dia tak mampu membawa anaknya ke perias.
"Kalau begitu, kita masukkan untuk besuk ke koper. Kamu boleh memakai buku itu kalau kamu takut lupa."
Gayatri kemudian memulai kerjanya dengan memulai dari baju pengantin yang ada tiga pasang. Membuka lemari panjang lalu mengambil baju terima tamu, baju ibu/bapak besan, dan terakhir baju sepasang kembar mayang, sesuai arahan Ratna.
"Berhenti sebentar, Tri. Capek," kata Ratna dengan menyelonjorkan kakinya. "Nanti kita lanjut ke baju keluarga."
"Yang bantuin biasanya siapa, Bu?"
"Mbak Tanti, ART. Tapi tidak secekatan kamu, suka bikin ibu pusing."
Gayatri tersenyum.
"Syukurlah kamu mau kerja sama saya. Lagian saya juga butuh teman. Serasa kesepian sendiri di rumah cuma dengan Tanti."
"Emang saya belum cukup menjadi teman?"
Ratna terkejut denga seseorag yang tiba tiba saja muncul dari belakang. Terlebih Gayatri yang tadi baru diceritai bu Ratna kalau dia hanya dengan Tanti.
"Dia Rendra, anak adik saya. Anaknya hanya dua. Sewaktu orangtunya membeli rumah di sebelah saya yang kebetulan dijual, dia katakan agar saya punya teman, karena anak-anak saya jauh semua. Kebetulan kerjanya dia dekat-dekat sini."
Gayatri tersenyum mengangguk saat Rendra, keponakan Ratna menyapanya dengan tersenyum.
"Saya pikir tadi tamu, Bude. Sampai saya menyelinap lewat belakang."
"Kamu kok tau aja ada orang cantik di sini."
Lelaki yang menyandarkan punggungnya di tembok dengan kaki disilang itu tertawa kecil. "Ya taulah Bude. Saya kan lelaki normal."
"Normal kok sampai 32 tahun masih jomblo."
"Belum ada jodoh aja, Bude."
"Jodoh itu dicari. Ghak didiemi aja. Nanti kalau ada yang nyarikan, katanya ghak menggetarkan jiwa."
Lagi-lagi Rendra terkekeh.
"Ini aja Gayatri, 33 tahun sudah punya anak gadis 14 tahun."
Rendra melototkan matanya kaget. "Lho, kirain masih gadis, ghak taunya emak-emak."
Gayatri tersenyum geli melihat reaksi Rendra.
"Kasihan deh, lho!" cibir Ratna. "Makanya cepet cari, ghak kirain emak-emak jadi gadis."
"Saya hanya menanti takdir yang menghadirkan wanita yang bisa menggetarkan hati saya," katanya sambil menatap Gayatri lekad, membuat Gayatri kikuk dibuatnya.
"Lalu sampai kapan? Sampai kamu tua? Sampai ubanan?" canda Ratna.
"Sampai kapanpun, Bude," katanya sambil menghadirkan senyum artinya kembali dengan sekilas untuk Gayatri.
"O, ya...nanti kamu jangan asing kalau kita sering bertemu," katanya ke Gayatri.
"Saya?" tanya Gayatri menunjuk tangannya ke dadanya.
"Kenapa begitu?" tanya Gayatri lagi setelah terdiam lama sambil memandang ke Ratna. Namun dia hanya mendapatkan senyuman Ratna, sama seperti juga yang Rendra lakukan sebelum dia pergi. Sampai Gayatri bertanya-tanya maksud dari kata-kata itu.
Masih dengan tanda tanya di kepalanya, Gayatri kemudian pulang dengan membawa makanan dari bu Ratna, katanya dia masak sengaja banyak untuk dibawa pulang Gayatri. Saat di depan rumah megah itu, tak sengaja dia menoleh ke rumah samping. Di sebuah balkom rumah itu, tampak Rendra menyunggingkan senyumnya ke Gayatri. Dengan menuntun sepedanya Gayatri mengangguk tersenyum membalasnya.Setelah mengayuh sepedanya yang lumayan jauh, sampai juga Gayatri di toko bu Ratih."Bu, tolong hutang saya di total." kata Gayatri setelah menunggu sepinya pembeli."Suaminya sudah pulang, Mbak?" tanya bu Ratih dengan senyumnya menyambut Gayatri.Gayatri mengangguk."Kalau sudah pulang, kenapa mbak e wajahnya malah kusut begitu? Ghak seceria seperti biasanya kalau suami pulang."Gayatri hanya tersenyum masam. "Lelah saja, Bu. Ini tadi habis kerja dari bu Ratna.""Alhamdulillah sudah kerja di sana. Memang kerjanya berat?""Bukan kerjanya, Bu, tapi mengayuh sepedanya yang jauh.""Iya, apalagi semalaman kangen-
"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk."Bund." Galing memegang tangan Bundanya.Gayatri menoleh, memandang lurus putranya."Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi.""Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum.""Sepertinya kepergian mereka ada
"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman."Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya."Kak,...""Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman.""Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu."Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai
“Kalau boleh tau, siapa namamu? Kenapa mirip sekali dengan keponakanku?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah tantenya Gayatri, istri Hariwijaya.Gayatri gelagapan. Namun dia berusaha menguasai dirinya.“Saya pembantunya Bu Ratna, Bu,” katanya dengan menekan segala rasa untuk tantenya itu. Gayatri tidak ingin siapa dirinya diketahui oleh keluarganya. Dia sudah lama pergi, dan dia tak ingin setelah kehancuran rumah tangganya akan menjadi bahan tertawaan keluarganya yang dari duluh melarang seorang Prayogi untuk dekat dengannya.“O, saya kira kamu Dyah Ayu. Maaf!” Wanita itu kemudian pergi.Gayatri menghela nafas berat. Lalu kembali mneruskan langkahnya ke kamar pengantin, saat itu kebetulan Bu Ratna juga keluar.“Dibilangi langsung pulang, kok malah ke sini."“Maaf, Bu,.. takutnya masih ada kerjaan.”“Sudah, pulang duluh sana.”“Terimakasih, Bu.”Gayatri memakai maskernya kembali dengan melewati kerumunan orang yang masih lalu lalang. Mereka adalah kerabatnya.“Lama sekali. Aku sa
“Aku kembali ke mess. Kepergianku mungkin membuatmu akan merasa lebih baik. Kuharap setelah nanti aku kembali, kamu bisa menerimaku lagi seperti duluh. Akan kubuang wanita itu dari kehidupan kita. Aku selalu mencintaimu. Dan selamanya mencintaimu.” Suamimu yang penuh penyesalan.Gayatri tergugu dalam tangisnya. Maafkan aku, Yah! Aku juga mencintaimu! Aku tak ingin kita terus dalam situasi seperti ini. Biarkan aku mencerna semuanya. Aku berharap setelah kamu kembali nanti aku bisa menerimamu lagi. Terlebih kamu telah berjanji menjahuinya.Terdengar mobil berhenti di depan. Gayatri sudah bersiap hendak pergi. Kedua buah hatinya pun turut mengantarnya.“Mbak, disuruh pakai ini oleh bu Ratna.” Pak Supri, supir Bu Ratna mengangsurkan kresek hitam. Gayatri membukanya. Sepertinya seragam rias walau beda dengan yang tadi pagi.“Tunggu sebentar, Pak,” kata Gayatri untuk berganti pakaian ke dalam. Pak Supri menggangguk.Tidak lama Gayatri sudah keluar dengan