“Aku mencari mas Prayogi, tolong panggilkan.”
“Kamu siapa?” tanya Gayatri masih memandangi wanita di depannya. Wanita yang sepertinya lebih muda darinya yang sudah 33 tahun.
“Sama seperti mbak Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya, saya juga istrinya. Saya Sasmita.”
Gayatri terkejut. wanita itu bahkan kini telah datang ke rumahnya, sebelum dia mau mengutarakan kepada suaminya agar anak-anak tidak tau persoalan mereka.
Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya? Gayatri mengeja sendiri namanya setelah teringat wanita itu menyebutnya. Bagaimana wanita itu tau nama lengkapnya? Siapakah dia? Atau karena begitu dekatnya dia dengan suaminya sampai dia telah mengetahui namanya dengan baik? Hadiwijaya,.. begitu lama nama pengusaha terkenal itu tak pernah disebut siapapun dalam keluarganya setelah apa yang Gayatri lakukan dengan menikahi Prayogi, lelaki kalangan biasa teman SMA-nya yang bisa masuk di sekolah elit karena beasiswa.
“Tolong duduk di depan sebentar, saya akan memanggilnya,” kata Gayatri berusaha menahan wanita itu agar tak masuk. Gayatri masuk rumah dengan mendapati Prayogi dengan burung peliharaannya di belakang rumah. Melihat Gayatri yang datang, Prayogi berusaha melempar senyum namun diacuhkan oleh Gayatri.
“Aku belum mengatakan kepadamu, Yah,.. kamu jangan berusaha merusak anakku dengan membawa wanita itu ke rumah kita.”
“Aku tak mungkin melakukan itu.”
“Tapi kenapa kini dia telah berada di sini?” tanya Gayatri menekankan suaranya dengan pelan agar tak terdengar anak-anaknya.
Prayogi yang terkejut segera keluar dengan mempercepat langkahnya.
“Dari mana kamu tau rumahku?” tanya Prayogi begitu mendapati wanita yang berdiri di depannya.
Wanita itu mendekati Prayogi, Lalu mencium bibirnya tanpa malu. Gayatri yang menyaksikan semua itu seolah sesak rasa di dadanya. Sementara Prayogi berkali kali memandang ke arah Gayatri dengan perasaan tak enak.
“Bawa saja wanita itu dari sini, Yah. Jangan sampai anak-anak mengetahui semua ini.”
“Kenapa baru sekarang ngomong begitu Mbak?”
“Maksud kamu?”
“Kamu jangan serakah, Mbak. Dia telah menikah dengan saya, seharusnya hari liburnya yang dua hari, sehari di tempat mbak, sehari di tempat saya. Bukan di mbak Gayatri terus seperti kemarin.”
Gayatri menatap suaminya dengan bingung. “Apa maksudnya ini, Yah. Kenapa dia malah mengatakan aku telah mengurungmu, bukankah selama tiga minggu kamu ghak pulang karena kamu bersamanya?”
“Aku di mes, Tri,” kata Prayogi yang membuat Gayatri tak habis mengerti.
“Sebulan yang lalu dia menikahiku setelah aku hamil dan menuntutnya. Lalu dia pergi begitu saja, dan tak datang lagi. Mungkin dia ghak suka dengan orang hamil kali ya? Apa duluh saat mbak hamil dia juga begitu?”
Gayatri hanya menatapnya jengkel. Wanita tanpa perasaan! “Bawa dia pergi, Yah,” katanya kemudian.
Prayogi yang kebingungan, menatap Gayatri lekad.
“Aku mau pergi, aku ada janji dengan orang yang akan memberiku pekerjaan. Kamu sekarang bisa bebas bersamanya.”
Kening Prayogi berkerut. Oh, karena itukah dia tak lagi mengambil uang itu semuanya, karena dia kini telah memiliki pekerjaan, bathinnya.
“Mbak, kenapa Mbak sekarang mau bekerja, saya ghak akan mengganggu keuangan mas Prayogi, harta saya sudah lebih dari cukup. Saya hanya,..” Wanita itu mendekat ke Gayatri. “membutuhkan kehangatannya. Aku rasa mbak tau betapa hebatnya dia di ranjang,” bisiknya lirih, namun membuat telinga Gayatri seolah meledak.
“Bawa dia, Yah, sebelum anak-anak tau,” ucap Gayatri keras dengan mata yang mulai penuh embun.
Prayogi mendekati wanita di depannya. “Kamu pulanglah duluh, nanti aku ke sana,” katanya kemudian.
Wanita itu menatap Gayatri dan Prayogi bergantian. “Bener, mas? Aku tunggu ya.” Dia kemudian memesan taksi online.
Tak lama taxi telah datang menjemputnya, setelah dia membisikkan sesuatu di telinga Prayogi.
Gayatri membuang mukanya melihat adegan itu. Dia lalu melangkah, mengayuh sepedanya dengan airmata yang telah luruh satu persatu menetes di pipinya. Prayogi yang memandang punggung Gayatri yang sudah tak tampak di belokan gang, merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia terjebak dengan wanita itu. Dan kini rumah tangganya berada di jurang kehancuran. Biduk yang duluh dia perjuagkan dengan membawa Gayatri pergi meninggalkan keluarganya yang kaya raya, itu kini telah retak.
“Dia tak baik untukmu, Tri. Jangan bergaul dengannya.” Sambil mengayuh sepeda Gayatri teringat mamanya, Garnis, yang melarang dia bersama Prayogi. Saat itu dia baru menyelesaikan SMA dan berusaha diambil dari kediaman Prayogi, tempat dia pergi setelah dua hari tak pulang ke rumahnya.
Namun watak keras Gayatri tak mengindahkan kedua orangtuanya. Dia nekad bersama dengan Prayogi dan tak mau pulang, karena jika pulang, dia takkan bisa keluar lagi untuk bertemu dengan Prayogi. Keluarga Prayogi yang tak bisa berbuat apa-apa dengan nekadnya dua anak baru 18 tahun yang ingin bersama, akhirnya menikahkan mereka tanpa sepengetahuan orangtua Gayatri. Sejak saat itu Gayatri tak lagi menemui keluarganya. Demikian juga dengan keluarganya yang seolah tak lagi mengenal siapa Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya.
“Mama, maafkan saya,” lirih Gayatri mengucapkan itu.
Prayogi setelah menatap kepergian Gayatri, dia melangkah ke dalam rumah. Namun alangkah terkejutnya dia melihat kedua anaknya berada di balik pintu. “Sejak kapan kalian berada di situ?”
“Kenapa? Ayah malu setelah kami mengetahui semua perselingkuhan Ayah?” Galuh mengucapkan semua itu dengan wajah membunuh.
Prayogi menunduk.
“Ayah tega ya, berbuat semua ini di belakang Bunda. Apa salah Bunda, Yah? Bunda bahkan ihlas menahan lapar dengan terus menjalankan puasa, saat jatah Ayah tak pulang, sementara Ayah enak-enakan bersama wanita macam dia.” Galing membuka suaranya.
“Ayah tak pulang bukan karena dia, Ling.”
“Lalu karena apa?”
“Ayah telah khilaf, tapi ayah takut pulang karena takut menyakiti Bunda.”
“Ayah tidak tau betapa Galuh sampai melakukan kerja yang sampai kini tak bisa Galuh cerita hanya untuk mencari uang saku tambahan karena uang saku Galuh makin menipis sementara kebutuhan di sekolah banyak sekali.”
“Maaafkan Ayah, Nak,” ucap Prayogi berusaha merangkul kedua anaknya, namun Galing segera pergi keluar dan mengayuh sepeda gunungnya. Sementara Galuh malah masuk kamar.
“Galuh!” panggil Prayogi ke kamar Galuh. Gadis itu menutup pintu kamarnya rapat.
Prayogi menatap pintu kamar anaknya yang terbuat dari triplek dengan tatapan penyesalan. Anak gadis yang selama ini bermanja dengannya, kini telah membencinya.
Dengan langkah layu, Prayogi menyambar kunci motornya, juga jaket. Perjalanan yang melelahkan pikirannya setelah beberapa jam kini telah menghantarkan dirinya ke pintu sebuah salon kecantikan.
“Akhirnya kamu datang juga, Sayang,” sambut Sasmita senang dengan mendaratkan ciumannnya di bibir Prayogi. Prayogi yang merasa risih menghindari tatapan mata pegawai Sasmita dan pengunjung salon. Salon milik Sasmita memang sudah terkenal dan selalu ramai oleh pengunjung. Lima pegawinya bahkan masih kewalahan.
“Kita ke dalam, MIta, aku perlu bicara.”
“Mbak Reina, tolong dihandel duluh, ya. Jangan mengganggu saya," katanya dengan penuh riang.
Reina, asistennya, mengangguk.
“Mas aku kagen kamu, lho!” katanya manja setelah Prayogi duduk. Perempuan itu lalu memeluk Prayogi dengan manja. Lalu berusaha lebih dekat dengan Prayogi.
“Mita, lepaskan aku, aku tak mungkin menyentuhmu, karena kamu hamil.“
"Siapa bilang aku hamil?”
“Apa? Kenapa kamu menjebakku?”
"Apa? Kenapa kamu menjebakku?" tanya Prayogi dengan segera bangkit dari duduknya. Namun tangan Sasmita kembali meraihnya dan mendudukkannya di dekatnya."Kalau aku tidak mengatakan hamil, mungkinkah kamu akan menikahiku?" "Brengset kamu, Mita." maki Prayogi geram.Namun perempuan itu malah memamerkan senyumnya. "Kamu kan ghak mungkin berhubungan dengan wanita yang tidak sah denganmu. Makanya aku membuatmu sah denganku agar kamu tak segan lagi bermesraan denganku." "Kamu telah enjebakku untuk kedua kalinya.""Yang menikmati saat itu juga siapa? Kamu kan?""Itu karena obat yang kamu campur di minumanku."Prayogi yang langganan warung di sebelah salon Sasmita setiap mengirim barang ke Mojokerto, tiba-tiba saja pusing. Lalu Sasmita menawari untuk tidur sebentar di salonnya yang telah tutup. Dia sudah lama megenal Sasmita yang sering membelikan pegawainya jajan atau sekedar minuman di waung sebelahnya. Hanya sekedar bercanda dan ngobrol biasa. Gayanya yang sopan tak terbersit ada niat ya
Masih dengan tanda tanya di kepalanya, Gayatri kemudian pulang dengan membawa makanan dari bu Ratna, katanya dia masak sengaja banyak untuk dibawa pulang Gayatri. Saat di depan rumah megah itu, tak sengaja dia menoleh ke rumah samping. Di sebuah balkom rumah itu, tampak Rendra menyunggingkan senyumnya ke Gayatri. Dengan menuntun sepedanya Gayatri mengangguk tersenyum membalasnya.Setelah mengayuh sepedanya yang lumayan jauh, sampai juga Gayatri di toko bu Ratih."Bu, tolong hutang saya di total." kata Gayatri setelah menunggu sepinya pembeli."Suaminya sudah pulang, Mbak?" tanya bu Ratih dengan senyumnya menyambut Gayatri.Gayatri mengangguk."Kalau sudah pulang, kenapa mbak e wajahnya malah kusut begitu? Ghak seceria seperti biasanya kalau suami pulang."Gayatri hanya tersenyum masam. "Lelah saja, Bu. Ini tadi habis kerja dari bu Ratna.""Alhamdulillah sudah kerja di sana. Memang kerjanya berat?""Bukan kerjanya, Bu, tapi mengayuh sepedanya yang jauh.""Iya, apalagi semalaman kangen-
"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk."Bund." Galing memegang tangan Bundanya.Gayatri menoleh, memandang lurus putranya."Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi.""Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum.""Sepertinya kepergian mereka ada
"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman."Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya."Kak,...""Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman.""Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu."Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai
“Kalau boleh tau, siapa namamu? Kenapa mirip sekali dengan keponakanku?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah tantenya Gayatri, istri Hariwijaya.Gayatri gelagapan. Namun dia berusaha menguasai dirinya.“Saya pembantunya Bu Ratna, Bu,” katanya dengan menekan segala rasa untuk tantenya itu. Gayatri tidak ingin siapa dirinya diketahui oleh keluarganya. Dia sudah lama pergi, dan dia tak ingin setelah kehancuran rumah tangganya akan menjadi bahan tertawaan keluarganya yang dari duluh melarang seorang Prayogi untuk dekat dengannya.“O, saya kira kamu Dyah Ayu. Maaf!” Wanita itu kemudian pergi.Gayatri menghela nafas berat. Lalu kembali mneruskan langkahnya ke kamar pengantin, saat itu kebetulan Bu Ratna juga keluar.“Dibilangi langsung pulang, kok malah ke sini."“Maaf, Bu,.. takutnya masih ada kerjaan.”“Sudah, pulang duluh sana.”“Terimakasih, Bu.”Gayatri memakai maskernya kembali dengan melewati kerumunan orang yang masih lalu lalang. Mereka adalah kerabatnya.“Lama sekali. Aku sa