"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk.
"Bund." Galing memegang tangan Bundanya.
Gayatri menoleh, memandang lurus putranya.
"Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi."
"Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum."
"Sepertinya kepergian mereka ada kaitannya dengan seni, Bund. Aku lihat tadi Raksa membawa stik untuk menabuh drum." kata Galing lagi.
"Lalu apa yang dilakukan kakakmu jika berhubungan dengan seni?"
"Memang Bunda ghak tau kak Galuh pandai bernyanyi? Dia penyanyi band sekolah Galing, yang suka menjuarai berbagai perlombaaan antar sekolah."
"Maksud kamu, kak Galuh menjadi penyanyi begitu?" Gayatri menebak, sebentar dia teringat Galuh yang waktu kemarin pulang dengan bekas make up. Beda denga Galing, Galuh anaknya memang suka tertutup. Tak banyak cerita kepadanya. Entah apa dia cerita sama ayahnya mengingat kedekatan mereka selama ini.
"Oh, tidak, tidak, Ling. Bagaimana mungkin Galuh menjadi penyanyi? Nyanyi di mana dia? Pakai baju apa? Apa dia melepas jilbabnya?" berbagai pertanyaan bergayut di pikiran Gayatri, hinggah tak sadar azhan maghrib telah bergema.
"Galing mau ke masjid, Bund." pamit Galing namun Gayatri masih mematung. "Bund,.." panggil Galing lagi.
"Percaya Galing, kak Galuh tidak akan mengecewakan Bunda." kata Galing penuh dengan keyakinan menggenggam tangan bundanya. Saat mereka tau ayah mereka selingkuh tadi, mereka telah mengikat janji untuk menjadi anak yang membanggakan Bunda agar Bunda tak lagi bersedih dengan kelakuan ayahnya.
Gayatri manggut-manggut. Lalu menepuk bahu anaknya pelan sebelum anak itu menghilang dengan sepedanya di ujung gang.. Galing tak pernah mengatakan yang asalan selama ini. Mungkin benar yang dia katakan, saat ini Galuh tidak sedang dalam pergaulan yang tidak baik. Apalagi kata-kata Galing tentang Raksa, membuat Gayatri lebih tenang. Namun walau bagaimanapun dia harus tau apa yang dilakukan Galuh di luar. Jika ditanya baik-baik, Galuh juga selalu marah-marah. Diam-diam Gayatri menyesali kenapa dia tak belajar sepeda motor. Pikirnya, karena sepeda motor juga cuma satu yang dipakai suaminya itu, untuk apa juga belajar, toh sepeda motornya juga ghak ada di rumah selain dua hari sabtu dan minggu. Setidaknya jika dia bisa, dia akan mencari tau di mana keberadaan Galuh. Sedangkan untuk mencari dengan Prayogi, dia enggan berhubungan dengan orang itu setelah kejadian yang menimpa rumah tangga mereka.
Gayatri menghembuskan nafas panjang. Dia bertekad akan berjuang sendiri untuk anak-anaknya, walau mungkin penghasilan yang dia dapat nanti mungkin tak banyak. Termasuk menghadapi masalah anak perempuannya kini.
******
"Hey, gimana kabarmu? Lama ghak ketemu. Aku dengar konter handphone-mu bertambah di mall yang baru berdiri itu." kata-kata Alan tiba-tiba mengagetkan Rendra yang duduk di sudut, menikmati indahnya suara penyanyi yang kini menyanyikan lagu kesukaannya, Satu Rasa yang kini lagi booming.
"Menurut kamu gimana lagi?" katanya dengan mengangkat sebelah bahunya. Matanya yang hitam kelam, masih memandang penyanyi di depannya dengan tak berkedip. Wajah itu ada yang mengingatkan dia dengan seseorang namun kini masih samar.
Alan yang datang mengambil posisi dengan duduk di depan Rendar sambil menyamping turut memindai penyanyi walau maksud Alan memang lain, karena dialah pemilik cafe ini dan dia juga yang harus menilai group anak-anak itu layak apa tidak terus di tempatnya. Terlebih saat malam minggu seperti ini.
"Makanya nikah. Lihat aku. Sekarang jadi anteng setelah menikah." tepuk Alan di pundak Renda.
"Kamu sih enak, bisa dapatkan gadis yang kaucintai dengan mudah, sedang aku, jatuh cinta aja sulit banget. Sekalinya dapat yang menggetarkan hati, ternyata dia emak-emak."
"Buset kamu! Ceritanya naksir istri orang?"
"Mungkin saja, anaknya aja udah 14 tahun kata Bude, masak juga ghak punya suami?"
"Kali aja suaminya out." kata Alan sambil terkekeh.
"Do'a ghak bener kamu."
"Emang kalau out, kamu mau tuh janda punya anak perawan?"
Rendra tersenyum penuh arti. "Kalau dia, sih,.. mau aja. Habisnya, rasanya lain banget saat pertama tadi aku melihatnya, terlebih saat dia mendongakkan wajahnya, serasa ada yang copot di dadaku."
"Huh!" Alan memukul sahabatnya. "Tadi? Baru tadi melihatnya?" Alan ngakak.
Rendra mengangguk. "Bener, nih aku ghak ngobus. Aku sampai ghak bisa tidur siang kepikiran dia terus."
"Bener-bener nih kamu da gila!" kata Alan menyandarkan punggungnya di kursi. Lagu berganti kembali dengan lagu hits Tri Suaka dan teman-temannya, Merayu Tuhan.
"Ini lagu, kenapa makin bikin aku teringat aja sama istri orang itu."
"Buset! Istghfar kamu, Ren!" kata Alan lalu kembali ngakak melihat muka sahabatnya yang ngenes. "Emang cantik banget?"
"Cantik itu relatif, Lan. Yang menggetarkan hati itu yang jadi spesial." kata Rendra lalu menatap penyanyi di depan mereka. "Eit, apa aku udah gila apa gimana y, itu anak mirip banget dengan emak-emak itu."
"Kamu udah otak ghak bener, sampai-sampai bocil itu juga kamu rasa kayak dia. Jangan-jangan aku juga sama saat kamu lihat, mirip dengan dia!" Alan tertawa.
"Beneran, mirip. Emang kamu dapat dari mana dia?" pertanyaan Rendra sambil mengarahkan pandangannya ke gadis yang bernyanyi.
"Mereka band sekolah. Seharusnya malam minggu ini bukan mereka yang ngisi. Band yang seharusnya ngisi kabur. Yah, begitulah kalau sudah tenar, suka ghak datang dengan alasan ada aja."
"Tapi sambutan penonton bagus sama mereka ." kata Rendra dengan melihat tepukan dan antusias pengunjung cafe yang raa-rata masih anak muda. Mereka bahkan merekam dengan handphone-nya. Kali aja habis ini juga akan nongol di status wa mereka, atau di I*, Tik Tok,.. biasanya kan begitu kalau anak-anak muda, beda dengan aku, kelu Rendra. hal-hal seperti itu sudah ghak ada di kamusnya. Sudah lewat kedaluarsa.
"Bener, aku juga dari tadi perhatiin begitu. Suara anak itu bagus banget, Terlebih kalau lagi duet sama yang nabuh drum, lagu yang mereka bawakan hidup banget."
"Maksudnya?" tanya Rendra menautkan alisnya. Kebetulan mereka mulai beranjak duet lagu 'Masya Allah'.
"Gimana ghak hidup, lihat aja tatapan mesra mereka yang menghidupkan. Kayaknya mereka sejoli deh!"
"Bocil-bocil juga sejoli. Kalah deh yang tuaan gini."
"Jangan ngiri!" kata Alan sambil beranjak dari kursinya. "Aku tinggal duluh ngurus kerjaan aku, cafe mau tutup." ucapnya sambil menepuk bahu Rendra pelan.
Rendra masih betah duduk di sana, sekali lagi memandangi wajah cewek di atas panggung. Bukan karena ada getaran walau wajah mereka mirip. Sampai semua pergi, Rendra pun baru pergi. Dilajukan mobilnya untuk kembali ke rumahnya, namun karena teringat ada barangnya yang tertinggal di konternya, dia kembali ke mall untuk mengambil. Pegawainya yang baru tau barang Rendra ketinggalan, mengangsurkannya.
Rendra lalu kembali melajukan sedannya membela kota Gresik yang sudah agak sunyi, hinggah dia berhenti saat dari kejauhan seorang pemuda melambaikan tangan menyuruhnya berhenti. Melihat penampilan pemuda itu yang agak urakan dengan celananya yang sobek-sobek, antara ragu dan takut, Rendra pun keluar dari mobilnya seperti arahan pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman."Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya."Kak,...""Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman.""Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu."Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai
“Kalau boleh tau, siapa namamu? Kenapa mirip sekali dengan keponakanku?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah tantenya Gayatri, istri Hariwijaya.Gayatri gelagapan. Namun dia berusaha menguasai dirinya.“Saya pembantunya Bu Ratna, Bu,” katanya dengan menekan segala rasa untuk tantenya itu. Gayatri tidak ingin siapa dirinya diketahui oleh keluarganya. Dia sudah lama pergi, dan dia tak ingin setelah kehancuran rumah tangganya akan menjadi bahan tertawaan keluarganya yang dari duluh melarang seorang Prayogi untuk dekat dengannya.“O, saya kira kamu Dyah Ayu. Maaf!” Wanita itu kemudian pergi.Gayatri menghela nafas berat. Lalu kembali mneruskan langkahnya ke kamar pengantin, saat itu kebetulan Bu Ratna juga keluar.“Dibilangi langsung pulang, kok malah ke sini."“Maaf, Bu,.. takutnya masih ada kerjaan.”“Sudah, pulang duluh sana.”“Terimakasih, Bu.”Gayatri memakai maskernya kembali dengan melewati kerumunan orang yang masih lalu lalang. Mereka adalah kerabatnya.“Lama sekali. Aku sa
“Aku kembali ke mess. Kepergianku mungkin membuatmu akan merasa lebih baik. Kuharap setelah nanti aku kembali, kamu bisa menerimaku lagi seperti duluh. Akan kubuang wanita itu dari kehidupan kita. Aku selalu mencintaimu. Dan selamanya mencintaimu.” Suamimu yang penuh penyesalan.Gayatri tergugu dalam tangisnya. Maafkan aku, Yah! Aku juga mencintaimu! Aku tak ingin kita terus dalam situasi seperti ini. Biarkan aku mencerna semuanya. Aku berharap setelah kamu kembali nanti aku bisa menerimamu lagi. Terlebih kamu telah berjanji menjahuinya.Terdengar mobil berhenti di depan. Gayatri sudah bersiap hendak pergi. Kedua buah hatinya pun turut mengantarnya.“Mbak, disuruh pakai ini oleh bu Ratna.” Pak Supri, supir Bu Ratna mengangsurkan kresek hitam. Gayatri membukanya. Sepertinya seragam rias walau beda dengan yang tadi pagi.“Tunggu sebentar, Pak,” kata Gayatri untuk berganti pakaian ke dalam. Pak Supri menggangguk.Tidak lama Gayatri sudah keluar dengan
“Dyah Ayu Gayatri?” tanyanya. Namun Gayatri yang sudah membetulkan maskernya kembali itu menggeleng.“Maaf, Anda siapa?” bohongnya dengan hati yang terasa sesak berkata seperti itu kepada mamanya. “Jadi benar kamu bukan Dyah Ayu Gaytri?” “Maaf,..” kata Gayatri dengan mengatupkan kedua tangannya di dada. Maaf, Ma, Gayatri belum siap diketahui mama, tambah Gayatri dalam hatinya. Gayatri berjanji setelah hubungannya kembali baik dengan Prayogi, akan menemui orangtuanya dengan mengatakan untuk hati-hati dengan omnya.Perempuan itu kemudian melangkah ke ruangan tempatnya dirias dengan tatapan penuh kecewa. Dia begitu berharap akan bertemu dengan anaknya kembali walau suaminya sering mengatakan untuk melupakan semuanya. Dan mengubur nama Gayatri dalam-dalam dari kehidupan mereka.Gayatri yang segera berlari, menumpahkan tangisnya di kamar mandi. Dia tidak mengira sama sekali job pertama yang dia ikuti ternyata di rumah keluarganya. Dia memang tak pernah bertanya-tanya ke Bu Ratna mau mer
Gayatri tersekat.“Aku ibumu, Ayu. Kamu tak bisa membohongi Mama lagi.” katanya dengan langsung memeluk Gayatri.“Maafkah Ayu, Ma. Ayu yang duluh sudah tiada sejak Mama tak merestui kami.”Wanita yang lebih tinggi dari Gayatri itu melepaskan pelukannya.“Mama telah berusaha mencarimu. Keluarga suamimu tak pernah memberitahu mama akan kebaradaan kalian.”“Sudahlah, Ma, Ayu mohon, tolong rahasiakan pertemuan ini dari siapapun, termasuk papa. Jika Prayogi tau, hubungan kami takkan baik-baik saja.” Wanita yang masih kelihatan muda di usianya yang sudah 57 tahun itu menggelengkan kepalanya, seolah tak terima dengan apa yang diinginkan Gayatri.“Ma, aku mohon. Ada sesuatu yang mama tidak tau, diketahui Gayatri. Jika ketahuan Gayatri kembali ke Mama, Gayatri tidak bisa menjamin keluarga Gayatri dalam keadaan baik-baik saja. Kami selama ini sudah bahagia dengan kesederhanaan, Ayu tak ingin masuk kembali ke keluarga kita dan menjadi tumbal dari ambisi seseorang.”Garnis menatap tajam Gayat