Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.
Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.
:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan.
"Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"
Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas. Didorongnya dengan kuat tubuh Prayogi hinggah laki-laki itu terjungkal ke ranjang di belakangnya.
"Kamu sudah dipuaskan oleh dia, kenapa kamu masih menggangguku? Kenapa kamu tidak di sana saja sekalian biar kamu tak perlu menutupi bekas mulutnya itu! " ujar Gayatri kesal.
"Satu hal lagi, jangan pernah anakmu melihat tanda itu. Kalau kamu kerepotan dengan seharian menutupnya, lebih baik kamu pergi pagi sekali," ucap Gayatri kesal. Dia tau betul kebiasaan suaminya yang kalau siang hanya bertelanjang dada mengusir hawa panas yang katanya kental di Gresik karena asap pabrik.
Prayogi yang bangkit dari ranjang melototkan tajam matanya. "Kamu mengusirku, Tri?"
"Aku tidak mengusirmu, Yah. Ini rumahmu, selama ini aku hanya numpang hidup ke kamu. Makanya kamu bisa semena-mena kepadaku. Aku hanya menjaga anak-anakku. Selama ini dia tak pernah melihat hal-hal seperti itu, bagaimana tanggapannya melihat bekasmu itu? Bagaimanapun mereka sudah remaja, dan hal-hal seperti itu bagi anak sekarang bukan hal yang tak mereka mengerti. Terlebih mereka kini telah tau kalau ayahnya memiliki wanita lain, tentu mereka bisa menerka, hasil siapa di badanmu itu. Dan itu tak baik untuk perkembangan jiwanya." Gayatri kemudian mengambil mukenanya dan keluar dari kamarnya, mengambil wudlu lagi ke belakang, dan sholat di ruang keluarga, di sisi Galing yang tengah tertidur pulas. Dalam sujudnya dia tergugu, memohon kekuatan untuk yang sedang terjadi di rumah tangganya.
"Bund!"
Gayatri terkejut dengan suara di dekatnya.
"Jangan terus menangis, Bund." kata Galing yang kini sudah terduduk lalu memeluk bundanya erat. "Kami akan selalu ada untuk bunda. Jangan menangis!' kata Galing yang suaranya kini terdengar parau. Matanya sudah memburam mengingat apa yang kini menimpa bundanya.
Gayatri mengerjapkan matanya, berusaha mengusir sedih yang selalu datang menyayat.
"Tidurlah kembali, Ling. Bunda sudah tidak apa-apa," kata Gayatri berusaha tegar. "Bunda juga mau tidur, Galing ingat kan, Bunda besuk ada kerja dengan Bu Ratna di gedung. Acaranya mulai pagi nikahan di rumah mempelai putri, lalu balik lagi sore sampai malam resepsi di gedung."
"Bunda yang tegar, ya!" Hibur Galing.
Gayatri mencium kening putranya lalu menyelimutinya agar tak digigit nyamuk. "Tadi sudah baca do'a tidur?" tanyanya yang kemudian dianggui oleh Galing karena dia tak lagi bisa bicara. Dalam hati dia menahan tangis yang sama untuk bundanya.
Gayatri tersenyum ke Galing sebelum beranjak pergi ke kamarnya.
Sementara Prayogi yang juga masih tak dapat memejamkan matanya, merutuki apa yang telah terjadi di pernikahannya. Kejadian yang baru saja dia lakukan terhadap Gayatri amat disesalinya. Bagaimana bisa dia kini selalu terpancing emosi dengan kata-kata yang dilontarkan Gayatri sampai dia berbuat kasar yang membuat Gayatri makin terluka.
Semuanya telah asing kini baginya. Terlebih anaknya yang bahkan dia sapa saja sudah tak menjawab. Di ajak ngobrol juga tak menyahut. Dia bahkan memendam kekhawatirannya sendiri untuk Galuh yang tadi sampai malam juga baru pulang. Inginnnya dia menunggu bersama Gayatri kepulangan anak yang selama ini akrab dengannya, dan kini juga menjahuinya. Namun sampai Galuh pulang tadi dia hanya bisa menunggunya dengan cemas di kamar, lalu mengintipnya lewat jendela yang dia buka sedikit.
Siapa lelaki yang mengantar Galuh itu? Kenapa dia seperti mengenal Gayatri? Prayogi memang tak mendengar percakapan mereka, namun dia dapat melihat sorot mata lelaki itu yang sering mencuri pandang untuk Gayatri. Rasa cemburu tentu saja bersarang di hatinya, apalagi saat melihat Gayatri yang dia rasa sering tertunduk malu, sama seperti sikapnya duluh terhadap Prayogi. Bagaimanapun juga Gayatri adalah miliknya walau kini dia telah memiliki wanita lain. Tak layak bagi lelaki itu seenaknya memandang istrinya. Hinggah saat Gayatri tiba di kamar tadi, dia ingin mengatakan bahwa dialah, hanya dialah yang berhak untuk Gayatr. Berhak atas segala yang dimiliki Gayatri, termasuk tatap matanya yang kini memang sudah tak mesra lagi untuknya.
Egois sekali memang, terlebih siang tadi dia sudah merasa terpuaskan oleh pelayanan Sasmita. Namun dia kini masih berharap diperlakukan yang sama oleh Gayatri.
Terdengar pintu kamar terbuka. Gayatri datang, duduk di meja riasnya untuk membersihkan wajah dan lehernya seperti yang sering dia lakukan jika mau tidur. Rambut yang dijepit ke atas, menampakkan leher putihnya, membuat Prayogi menelan salivanya. Walau dia telah merasa lelah dengan permainan yang diberikan Sasmita. Entah kenapa tiap melihat Gayatri, jiwa lelakinya terpancing. Selelah apapun, secapek apapun, dia bahkan merasa kehangatan Gaytri sering memberinya kesan relaksasi untuk keluar dari kelelahan.
Terakhir Gayatri memberikan krem di wajahnya. Biasanya setelah itu dia akan melulurkan handbody segar dan wangi ke seluruh tubuhnya. Namun kali ini dia tak melakukan itu. Selama ini dia melakukan hanya untuk menyegarkan rasa Prayogi terhadapnya. Dan sekarang dia tak ingin melakukannya lagi. Toh semua itu tak mengurungkan niat Prayogi untuk membagi diri dan jiwanya untuk orang lain. Percuma juga memberinya pelayanan maximal kalau hasilnya juga mencari yang lain.
Gayatri merebahkan dirinya di ranjang. Dengan meletakkan bantal guling di tengah dia lalu memunggungi suaminya. Dia tau Prayogi tidak tidur karena jika dia tidur, dia pasti sudah mendengar dengkurannya.
"Tri!"
Gayatri hanya terdiam mendengar suaminya memanggil namanya. Namun setelah dia tau bantal telah diambil dari punggungnya dan berganti dengan tubuh suaminya yang kini lekad dengannya, dia bergeser.
"Tri, apa kamu ingin jatuh dengan terus menepi seperti itu?"
Gayatri masih terdiam.
"Sampai kapan kamu menghukumku dengan sikap dinginmu itu? Aku masih suamimu, Tri. Aku berhak atas dirimu."
Gayatri mengubah posisi tidurnya dengan kini menghadap suaminya. Memandang suaminya denga tatapan membunuh. Bahkan andai tidak takut Tuhan, dia ingin mencekik pria yang kini di sampingnya.
"Kamu jangan bicara hak sementara kamu melalaikan tugasmu. Kamu pikir perkawinan kita dengan mengatakan kamu suamiku membuatmu bisa semena-mena kepadaku? Menyuruhku melayanimu diantara bayang-bayang wanita lain yang memuaskanmu?"
"Aku sudah minta maaf, Tri atas apa yang telah terjadi. Lalu aku harus bagaimana lagi?"
"Ceraikan aku!" kembali Gayatri mengatakan itu.
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai
“Kalau boleh tau, siapa namamu? Kenapa mirip sekali dengan keponakanku?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah tantenya Gayatri, istri Hariwijaya.Gayatri gelagapan. Namun dia berusaha menguasai dirinya.“Saya pembantunya Bu Ratna, Bu,” katanya dengan menekan segala rasa untuk tantenya itu. Gayatri tidak ingin siapa dirinya diketahui oleh keluarganya. Dia sudah lama pergi, dan dia tak ingin setelah kehancuran rumah tangganya akan menjadi bahan tertawaan keluarganya yang dari duluh melarang seorang Prayogi untuk dekat dengannya.“O, saya kira kamu Dyah Ayu. Maaf!” Wanita itu kemudian pergi.Gayatri menghela nafas berat. Lalu kembali mneruskan langkahnya ke kamar pengantin, saat itu kebetulan Bu Ratna juga keluar.“Dibilangi langsung pulang, kok malah ke sini."“Maaf, Bu,.. takutnya masih ada kerjaan.”“Sudah, pulang duluh sana.”“Terimakasih, Bu.”Gayatri memakai maskernya kembali dengan melewati kerumunan orang yang masih lalu lalang. Mereka adalah kerabatnya.“Lama sekali. Aku sa
“Aku kembali ke mess. Kepergianku mungkin membuatmu akan merasa lebih baik. Kuharap setelah nanti aku kembali, kamu bisa menerimaku lagi seperti duluh. Akan kubuang wanita itu dari kehidupan kita. Aku selalu mencintaimu. Dan selamanya mencintaimu.” Suamimu yang penuh penyesalan.Gayatri tergugu dalam tangisnya. Maafkan aku, Yah! Aku juga mencintaimu! Aku tak ingin kita terus dalam situasi seperti ini. Biarkan aku mencerna semuanya. Aku berharap setelah kamu kembali nanti aku bisa menerimamu lagi. Terlebih kamu telah berjanji menjahuinya.Terdengar mobil berhenti di depan. Gayatri sudah bersiap hendak pergi. Kedua buah hatinya pun turut mengantarnya.“Mbak, disuruh pakai ini oleh bu Ratna.” Pak Supri, supir Bu Ratna mengangsurkan kresek hitam. Gayatri membukanya. Sepertinya seragam rias walau beda dengan yang tadi pagi.“Tunggu sebentar, Pak,” kata Gayatri untuk berganti pakaian ke dalam. Pak Supri menggangguk.Tidak lama Gayatri sudah keluar dengan
“Dyah Ayu Gayatri?” tanyanya. Namun Gayatri yang sudah membetulkan maskernya kembali itu menggeleng.“Maaf, Anda siapa?” bohongnya dengan hati yang terasa sesak berkata seperti itu kepada mamanya. “Jadi benar kamu bukan Dyah Ayu Gaytri?” “Maaf,..” kata Gayatri dengan mengatupkan kedua tangannya di dada. Maaf, Ma, Gayatri belum siap diketahui mama, tambah Gayatri dalam hatinya. Gayatri berjanji setelah hubungannya kembali baik dengan Prayogi, akan menemui orangtuanya dengan mengatakan untuk hati-hati dengan omnya.Perempuan itu kemudian melangkah ke ruangan tempatnya dirias dengan tatapan penuh kecewa. Dia begitu berharap akan bertemu dengan anaknya kembali walau suaminya sering mengatakan untuk melupakan semuanya. Dan mengubur nama Gayatri dalam-dalam dari kehidupan mereka.Gayatri yang segera berlari, menumpahkan tangisnya di kamar mandi. Dia tidak mengira sama sekali job pertama yang dia ikuti ternyata di rumah keluarganya. Dia memang tak pernah bertanya-tanya ke Bu Ratna mau mer
Gayatri tersekat.“Aku ibumu, Ayu. Kamu tak bisa membohongi Mama lagi.” katanya dengan langsung memeluk Gayatri.“Maafkah Ayu, Ma. Ayu yang duluh sudah tiada sejak Mama tak merestui kami.”Wanita yang lebih tinggi dari Gayatri itu melepaskan pelukannya.“Mama telah berusaha mencarimu. Keluarga suamimu tak pernah memberitahu mama akan kebaradaan kalian.”“Sudahlah, Ma, Ayu mohon, tolong rahasiakan pertemuan ini dari siapapun, termasuk papa. Jika Prayogi tau, hubungan kami takkan baik-baik saja.” Wanita yang masih kelihatan muda di usianya yang sudah 57 tahun itu menggelengkan kepalanya, seolah tak terima dengan apa yang diinginkan Gayatri.“Ma, aku mohon. Ada sesuatu yang mama tidak tau, diketahui Gayatri. Jika ketahuan Gayatri kembali ke Mama, Gayatri tidak bisa menjamin keluarga Gayatri dalam keadaan baik-baik saja. Kami selama ini sudah bahagia dengan kesederhanaan, Ayu tak ingin masuk kembali ke keluarga kita dan menjadi tumbal dari ambisi seseorang.”Garnis menatap tajam Gayat
“Kamu memang beda sekali. Terimakasih." katanya lalu tergelepar di sisi tubuh perempuan itu.Itu adalah adegan mereka untuk kesekian kalinya setelah kedatangan Prayogi siang tadi yang membuat Sasmita menyuruh pegawainya menutup salon dan meliburkan salon sementara. Dia amat senang dengan hadirnya Prayogi yang tiba-tiba. Sementara Prayogi yang berpamitan dengan meninggalkan kertas di meja Gayatri memang bermaksud untuk kembali ke mesnya di pabrik. Namun bayang-bayang Gayatri yang tadi dilihatnya sedang telanjang, membuat dia tak bisa mengerem hasratnya. Untuk kembai ke Gayatri tak mungkin mengangat bagaimana sikap wanita itu kepadanya. Maka di meneruskan perjalanannya melewati pabriknya dan singgah di rumah Sasmita.“Kamu tak mungkin tak kembali kepadaku.” kata Sasmita kemudian. “Aku bisa memberimu kepuasan lebih dari yang diberikan Ayu.” kata Sasmita yang memanggil Gayatri dengan nama panggilan yang diberikan keluarganya.“Benar, Sayang.” kata Prayogi dengan masih memeluk dan meraba
Namun kata-kata itu tak terdengar lagi oleh Rendra setelah pandangannya tertuju ke pintu. Seorang gadis tengah berdiri di sana dengan memamerkan senyumnya yang cantik.“Apa kabar pak penghulu?” ucapanya riang“Tuh, kamu bisa melupakan Gayatri dengan menggandengnya. Dia tak kalah cantik dengan Gayatri. Hanya wajahnya saja kalah bersinarnya dengan Gayatri.” kata bu Ratna. Dia memang kadang heran dengan wajah putih Gayatri yang bersinar walau tanpa make up tebal. Hanya berdandan tipis, demikian juga warna lipstiknya yang lebih mirip dengan lip glos. “Kita sudah pernah membahas dia, Bude.” kata Rendra lalu berdiri.“Lho, mau ke mana, Mas, belum juga jam setengah delapan. Memang mau dinas ke luar, nikahin orang lagi?"“Tidak, hanya ngantor ke KUA.” katanya lalu beranjak pergi. Sekilas dilihatnya sepeda pancal Gayatri yang terparkir di depan garasi bu Ratna. Tak sadar dia menghampiri sepeda itu dan memegangnya, seolah kini dia telah memegang tangan Gayatri yang memegangi stir sepeda.“Ehe