"Ceraikan aku!"
"Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?"
"Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?"
"Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu."
"Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.
Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya.
"Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu."
"Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka.
"Kamu mencari kambing hitam untuk menutupi kelakuanmu sendiri."
"Jangan kau anggap aku buta. Aku bisa melihat lelaki itu yang menatapmu mesra. Aku bukan lelaki yang bisa kaukelabu. Suatu saat nanti aku pasti akan mengetahuinya. Aku takkan memberimu ruang dengan menceraikanmu dan kamu bisa bersamanya,"kata Prayogi lalu membalikkan badan dengan melakukan yang sama dengan yang dilakukan Gayatri, memunggunginya.
Dalam diam Gayatri mencerna kata-kata Prayogi yang mengaitkan Rendra dalam hubungan mereka. Ih, dia malah mengaitkan orang lain untuk menutupi aibnya. Siapa juga Rendra? Sejenak Gayatri teringat saat pemuda itu memamerkan senyumnya di balkom. Senyum menawannya,...Cepat-cepat Gayatri mengusir bayang-bayang itu.*****
Jam 3 pagi seperti biasa Gayatri sudah bangun. Bedanya kali ini dia cepat-cepat memasak dengan meletakkan nasi di magic com. Lalu tanpa jeda, ke kamar mandi untuk mandi. Setelah sholat tahajut, segera bersiap-siap dengan memakai gamis terbaiknya untuk pergi kerja setelah sholat subuh nanti. Begitu arahan yang diberikan Bu Ratna. Habis subuh krunya sudah berkumpul di rumahnya untuk pergi ke kediaman pengantin putri.
Sebentar lagi azhan, Gayatri sudah membangunkan Galuh.
"Galuh, bangun duluh, Nak."
Gadis untuk menggeliak. Matanya mengerjap menatap bundanya.
"Bunda jam segini kok sudah rapi, mau ke mana?"
"Maaf, Bunda belum memberitahumu. Bunda dapat kerjaan diajak Bu Ratna kerja di WO-nya. Hari ini ada job ngrias. Bisa Bunda minta tolong?"
Galuh bangun lalu menegakkan punggungnya, bersandar ke tembok. "Tolong apa, Bund?"
"Bisa nanti kamu bikin mi atau telor dadar untuk Galing juga ayahmu? Kalau Bunda bikin sekarang takutnya nanti sudah ghak enak."
"Oh, kalau itu beres, Bund. Galing sih ghak macam-maca. Kalau Ayah,... " Galuh mengangkat bahunya.
"Kamu ghak boleh gitu sama Ayah, Luh."
"Jangan paksa Galuh hormat sama dia. Dia tak pantas setelah apa yang dia lakukan ke kita."
"Galuh,..." ucap Gayatri sambil mengelus rambut panjang anaknya. Di hatinya teramat miris dengan kebencian anak-anaknya.
"Sukurlah, Bund, kalau sekarang Bunda kerja. Setidaknya Bunda merasa lebih terhibur berkumpul dengan banyak orang. Keuangan kita juga lebih baik," kata Galuh lalu beranjak ke almari plastiknya. "Lihat nih, Bund,.. ini yang kudapat dari nyanyi di cafe, lumayan banyak untuk sekedar uang jajan," katanya sambil menunjukkan beberapa lembar uang merah.
Gayatri yang terharu, merangkul anaknya. "Kamu masih pakai jilbab kan kalau kamu nyanyi?" tanyanya dengan hati-hati.
"Pakai dong, Bund. Kapan duluh sih pernah yang punya cafe keberatan dengan penyanyi yang berjilbab, lalu Raksa dengan marah malah memarahi orang itu. Lalu kita cari cafe yang bisa nerima jilbab aku."
Gayatri terlenguh mendengar nama Raksa disebut. "Kamu sepertinya mencintai dia dengan sangat."
"Galuh harap Bunda tak keberatan."
"Asal kamu bisa menjaga diri, Luh. Walau Bunda berharap nanti kamu bisa sekolah sampai tinggi, dan tak mengalami kebodohan seperti yang Bunda alami."
"Raksa juga ingin sekolah sampai sarjana, Bund. Rencananya setelah ini dia nyoba ke SMAN I yang isinya orang pintar semua. Kalau aku, nilaiku pas-pasan, ghak berani ke sana, yang di sini saja asal biayanya ghak banyak."
"Ternyata kalian telah merencanakan masa depan. Bunda harap kalian bisa salin menjaga."
Terdengar azhan subuh. "Jamaah sama Bunda yuk, sekalian ajak Galing."
Galuh mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi.
"Ling bangun, ayo jamaah subuh sama Bunda," kata Gayatri, namun Galing masih terlelap.
"Biar nanti dibangunin Galuh, Bund. Bunda nanti telat," kata Galuh.
Gayatri kemudian mengangguk. Jarak rumah Bu Ratna lumayan jauh, dia memang takut telat. Mereka kemudian sholat berjamah.
Gayatri sudah mengeluarkan sepedanya ketika dia dikejutkan dengan Prayogi di belakangnya.
"Kok kerjanya sekarang pergi pagi sekali, Tri?"
Gayatri hanya diam, meletakkan tas kecilnya di ranjang depan.
"Tri, masih malam, aku antar," kata Prayogi sambil memegang tangan Gayatri.
"Ghak usah, Aku bisa sendiri."
Prayogi hanya bisa menatap punggung Gayatri yang mengayuh sepedanya. Rasa penyesalan melihat orang yang dikasihi itu teramat membencinya. Sampai dia tak mau menerima bantuannya dengan tetap mengayuh sepedanya sejauh itu. Diam-diam Prayogi yang khawatir terjadi sesuatu dengan Gayatri mengikutinya dari belakang dengan memelankan sepedanya. sampai akhirnya dia melihat Gayatri telah sampai di rumah yang dia tuju. Dilihatya sebuah mobil mngangkut beberapa orang perempuan berseragam, dan Gayatri ikut masuk di mobil itu tanpa seragam sendiri.
Prayogi masih menyaksikan semuanya sampai mobil itu pergi lalu gerbang ditutup. Namun yang menyisakan pandangannya, seseorang dengan kaos oblong dan celana pendek, telah memperhatikan dari balkom sebelah rumah itu, sejak Gayatri datang hinggah pergi dengan mobil. Walau dari kejauhan, Prayogi bisa melihat, dialah pria yang mengantar Galuh tadi malam. Gemertak gigi prayogi menyaksikan itu. Tangannya mengepal keras.
"Ini yang akan bekerja di rumah Ibu, ngurus WO ibu. Tolong diterima ya! Dia Gayatri," kata Bu Ratna mengenalkan Gayatri setelah mobil melaju. Gayatri menjabat tangan teman-teman barunya dengan takjub dengan dandanan mereka saat pergi merias. Empat orang kru Bu Ratna kemudian tersenyum sambil mengajak Gayatri ngobrol.
"Maaf saya belum bisa apa-apa," kata Gayatri di sela-sela ngobrolnya.
"Ghak apa, Mbak, asal ada kemauan nanti mbak bisa," kata Jani.
"Asal kita juga kerja dari hati, Mbak. Karena pekerjaan ngrias itu seni," kata Sisi.
"Juga kita harus mengerti orang dengan sabar, karena ghak sedikit orang yang kita rias akan melayangkan protes dengan pekerjaan kita." ucap Rani pula.
Hanya Sisil, yang terlihat tak begitu bersahabat entah kenapa. Terlebih jika dia melihat keakraban Gayatri dengan Bu Ratna.
Mereka sudah tiba di kediaman pengantin putri. Rumah gedung yang lamat membuat Gayatri sedikit mengingat. Ayunan di depan rumah, di dekat pohon mangga, sepertinya itu tak asing bagi Gayatri. Namun saat mereka memasuki ruangan, sepertinya memang ada yang sedikit berubah walau setelah dia ke dalam dan memasuki sebuah kamar, dia masih ingat, bahwa dia pernah main di kamar yang catnya tak pernah berganti dengan warna salem itu. Bahkan dia tiduran di sana. Meski saat ini kamar itu telah disulap dengan hiasan bunga beraneka warni beserta dekorasi lain yang mengagungkan sebuah kamar pengantin.
"Apa betul ini kamar Nastiti?" bathin Gayatri. Lalu sebentar dia mengingat pakaian pengantin yang dia siapkan untuk pakaian pengantin gedung yang semuanya bernuansa salem. "Pengantinnya menyukai warna salem," demikian kata bu Ratna.
"Kamu dekat saya saja, Tri, bantuin saya di kamar pengantin. Yang lainnya biar di kamar sebelah," kata Bu Ratna dengan memakai maskernya yang kemudian diikuti oleh Gayatri.
Calon pengantin datang. Berdebar hati Gayatri setelah tebakannya benar, dia adalah Nastiti, Nastiti Hariwijaya, sepupunya, teman bermainnya sejak kecil. Namun hinggah selesai merias, Gayatri tak ingin mengungkap siapa dirinya.
Tepat jam delapan, penghulu sudah datang, demikian juga dengan rombongan pengantin pria yang datang terlebih dahulu.
Gayatri yang kebingungan disuruh dengan tiba tiba oleh Bu Ratna untuk membawa pengantin putri ke depan, makin bingung setelah melihat siapa penghulu yang akan menikahkan sepupunya. Ucapan Prayogi tiba-tiba saja membuat dia memandang lelaki yang tak jauh duduk di dekatnya.
"Sudah ghak asing sama saya kan?" bisik Rendra halus di dekat Gayatri yang membawa pengantin putri, sambil melempar senyum artinya.
Gayatri tersenyum kaku menatapnya sekilas.
"Sudah bisa dimulai acaranya, Pak?" tanya Rendra ke lelaki yang kini memperhatikan Gayatri. Lelaki yang sebenarnya sudah berusia namun masih terlihat bugar itu kemudian mengangguk.
Rendra mendekati Gayatri yang terlihat tegang. Lalu tersenyum, "Kamu mau menikah dengan saya?"
"Apa?" Mata gayatri terbelalak.
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai
“Kalau boleh tau, siapa namamu? Kenapa mirip sekali dengan keponakanku?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah tantenya Gayatri, istri Hariwijaya.Gayatri gelagapan. Namun dia berusaha menguasai dirinya.“Saya pembantunya Bu Ratna, Bu,” katanya dengan menekan segala rasa untuk tantenya itu. Gayatri tidak ingin siapa dirinya diketahui oleh keluarganya. Dia sudah lama pergi, dan dia tak ingin setelah kehancuran rumah tangganya akan menjadi bahan tertawaan keluarganya yang dari duluh melarang seorang Prayogi untuk dekat dengannya.“O, saya kira kamu Dyah Ayu. Maaf!” Wanita itu kemudian pergi.Gayatri menghela nafas berat. Lalu kembali mneruskan langkahnya ke kamar pengantin, saat itu kebetulan Bu Ratna juga keluar.“Dibilangi langsung pulang, kok malah ke sini."“Maaf, Bu,.. takutnya masih ada kerjaan.”“Sudah, pulang duluh sana.”“Terimakasih, Bu.”Gayatri memakai maskernya kembali dengan melewati kerumunan orang yang masih lalu lalang. Mereka adalah kerabatnya.“Lama sekali. Aku sa
“Aku kembali ke mess. Kepergianku mungkin membuatmu akan merasa lebih baik. Kuharap setelah nanti aku kembali, kamu bisa menerimaku lagi seperti duluh. Akan kubuang wanita itu dari kehidupan kita. Aku selalu mencintaimu. Dan selamanya mencintaimu.” Suamimu yang penuh penyesalan.Gayatri tergugu dalam tangisnya. Maafkan aku, Yah! Aku juga mencintaimu! Aku tak ingin kita terus dalam situasi seperti ini. Biarkan aku mencerna semuanya. Aku berharap setelah kamu kembali nanti aku bisa menerimamu lagi. Terlebih kamu telah berjanji menjahuinya.Terdengar mobil berhenti di depan. Gayatri sudah bersiap hendak pergi. Kedua buah hatinya pun turut mengantarnya.“Mbak, disuruh pakai ini oleh bu Ratna.” Pak Supri, supir Bu Ratna mengangsurkan kresek hitam. Gayatri membukanya. Sepertinya seragam rias walau beda dengan yang tadi pagi.“Tunggu sebentar, Pak,” kata Gayatri untuk berganti pakaian ke dalam. Pak Supri menggangguk.Tidak lama Gayatri sudah keluar dengan
“Dyah Ayu Gayatri?” tanyanya. Namun Gayatri yang sudah membetulkan maskernya kembali itu menggeleng.“Maaf, Anda siapa?” bohongnya dengan hati yang terasa sesak berkata seperti itu kepada mamanya. “Jadi benar kamu bukan Dyah Ayu Gaytri?” “Maaf,..” kata Gayatri dengan mengatupkan kedua tangannya di dada. Maaf, Ma, Gayatri belum siap diketahui mama, tambah Gayatri dalam hatinya. Gayatri berjanji setelah hubungannya kembali baik dengan Prayogi, akan menemui orangtuanya dengan mengatakan untuk hati-hati dengan omnya.Perempuan itu kemudian melangkah ke ruangan tempatnya dirias dengan tatapan penuh kecewa. Dia begitu berharap akan bertemu dengan anaknya kembali walau suaminya sering mengatakan untuk melupakan semuanya. Dan mengubur nama Gayatri dalam-dalam dari kehidupan mereka.Gayatri yang segera berlari, menumpahkan tangisnya di kamar mandi. Dia tidak mengira sama sekali job pertama yang dia ikuti ternyata di rumah keluarganya. Dia memang tak pernah bertanya-tanya ke Bu Ratna mau mer
Gayatri tersekat.“Aku ibumu, Ayu. Kamu tak bisa membohongi Mama lagi.” katanya dengan langsung memeluk Gayatri.“Maafkah Ayu, Ma. Ayu yang duluh sudah tiada sejak Mama tak merestui kami.”Wanita yang lebih tinggi dari Gayatri itu melepaskan pelukannya.“Mama telah berusaha mencarimu. Keluarga suamimu tak pernah memberitahu mama akan kebaradaan kalian.”“Sudahlah, Ma, Ayu mohon, tolong rahasiakan pertemuan ini dari siapapun, termasuk papa. Jika Prayogi tau, hubungan kami takkan baik-baik saja.” Wanita yang masih kelihatan muda di usianya yang sudah 57 tahun itu menggelengkan kepalanya, seolah tak terima dengan apa yang diinginkan Gayatri.“Ma, aku mohon. Ada sesuatu yang mama tidak tau, diketahui Gayatri. Jika ketahuan Gayatri kembali ke Mama, Gayatri tidak bisa menjamin keluarga Gayatri dalam keadaan baik-baik saja. Kami selama ini sudah bahagia dengan kesederhanaan, Ayu tak ingin masuk kembali ke keluarga kita dan menjadi tumbal dari ambisi seseorang.”Garnis menatap tajam Gayat
“Kamu memang beda sekali. Terimakasih." katanya lalu tergelepar di sisi tubuh perempuan itu.Itu adalah adegan mereka untuk kesekian kalinya setelah kedatangan Prayogi siang tadi yang membuat Sasmita menyuruh pegawainya menutup salon dan meliburkan salon sementara. Dia amat senang dengan hadirnya Prayogi yang tiba-tiba. Sementara Prayogi yang berpamitan dengan meninggalkan kertas di meja Gayatri memang bermaksud untuk kembali ke mesnya di pabrik. Namun bayang-bayang Gayatri yang tadi dilihatnya sedang telanjang, membuat dia tak bisa mengerem hasratnya. Untuk kembai ke Gayatri tak mungkin mengangat bagaimana sikap wanita itu kepadanya. Maka di meneruskan perjalanannya melewati pabriknya dan singgah di rumah Sasmita.“Kamu tak mungkin tak kembali kepadaku.” kata Sasmita kemudian. “Aku bisa memberimu kepuasan lebih dari yang diberikan Ayu.” kata Sasmita yang memanggil Gayatri dengan nama panggilan yang diberikan keluarganya.“Benar, Sayang.” kata Prayogi dengan masih memeluk dan meraba
Namun kata-kata itu tak terdengar lagi oleh Rendra setelah pandangannya tertuju ke pintu. Seorang gadis tengah berdiri di sana dengan memamerkan senyumnya yang cantik.“Apa kabar pak penghulu?” ucapanya riang“Tuh, kamu bisa melupakan Gayatri dengan menggandengnya. Dia tak kalah cantik dengan Gayatri. Hanya wajahnya saja kalah bersinarnya dengan Gayatri.” kata bu Ratna. Dia memang kadang heran dengan wajah putih Gayatri yang bersinar walau tanpa make up tebal. Hanya berdandan tipis, demikian juga warna lipstiknya yang lebih mirip dengan lip glos. “Kita sudah pernah membahas dia, Bude.” kata Rendra lalu berdiri.“Lho, mau ke mana, Mas, belum juga jam setengah delapan. Memang mau dinas ke luar, nikahin orang lagi?"“Tidak, hanya ngantor ke KUA.” katanya lalu beranjak pergi. Sekilas dilihatnya sepeda pancal Gayatri yang terparkir di depan garasi bu Ratna. Tak sadar dia menghampiri sepeda itu dan memegangnya, seolah kini dia telah memegang tangan Gayatri yang memegangi stir sepeda.“Ehe
“Kenapa berkata seperti itu, Bu? Apakah karena saya memang tak bisa apa-apa?”“Bukan, bukan karena itu. Aku kan sudah tau kamu, Tri sebelum terima kamu sebagai pegawaiku. Tapi ini karena yang menikah nanti adalah adik dari pengantin yang kemarin. Kamu ingat kan dia punya adik laki-laki?” Gayatri mengangguk. Bagaimana mungkin dia melupakan sepupunya, Raditya?“Ceritanya kan adiknya ini berhubungan sudah lama dengan seorang cewek dari Mojokerto, karna kakaknya belum menikah, keluarga besarnya tak memperbolehkan Raditya ini menikah. Makanya setelah Nastiti menikah, dia juga langsung dinikahkan, lawong umurnya juga sudah 30 tahun. Cuma karna jarak yang dekat dengan pernikahan kemarin, acaranya ditaruh di Mojokerto, di gedung Serba Guna, bagaimanapun mereka kan juga keluarga pengusaha, sama dengan pak Hariwijaya. Namun karena nanti akan mnempati rumah di mempelai putra, jadinya nikahnya di rumah mempelai pria, di rumah kemarin itu.” panjang lebar bu Ratna mengatakan itu.“Lalu kenapa Ibu