Share

Bab 10. Pekerjaan mempertemukan kita,

"Ceraikan aku!"

"Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?"

"Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?"

"Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu."

"Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.

Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya.

"Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu."

"Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka.

"Kamu mencari kambing hitam untuk menutupi kelakuanmu sendiri."

"Jangan kau anggap aku buta. Aku bisa melihat lelaki itu yang menatapmu mesra. Aku bukan lelaki yang bisa kaukelabu. Suatu saat nanti aku pasti akan mengetahuinya. Aku takkan memberimu ruang dengan menceraikanmu dan kamu bisa bersamanya,"kata Prayogi lalu membalikkan badan dengan melakukan yang sama dengan yang dilakukan Gayatri, memunggunginya.

Dalam diam Gayatri mencerna kata-kata Prayogi yang mengaitkan Rendra dalam hubungan mereka. Ih, dia malah mengaitkan orang lain untuk menutupi aibnya. Siapa juga Rendra? Sejenak Gayatri teringat saat pemuda itu memamerkan senyumnya di balkom. Senyum menawannya,...Cepat-cepat Gayatri mengusir bayang-bayang itu.

*****

Jam 3 pagi seperti biasa Gayatri sudah bangun. Bedanya kali ini dia cepat-cepat memasak dengan meletakkan nasi di magic com. Lalu tanpa jeda, ke kamar mandi untuk mandi. Setelah sholat tahajut, segera bersiap-siap dengan memakai gamis terbaiknya untuk pergi kerja setelah sholat subuh nanti. Begitu arahan yang diberikan Bu Ratna. Habis subuh krunya sudah berkumpul di rumahnya untuk pergi ke kediaman pengantin putri.

Sebentar lagi azhan, Gayatri sudah membangunkan Galuh.

"Galuh, bangun duluh, Nak."

Gadis untuk menggeliak. Matanya mengerjap menatap bundanya.

"Bunda jam segini kok sudah rapi, mau ke mana?"

"Maaf, Bunda belum memberitahumu. Bunda dapat kerjaan diajak Bu Ratna kerja di WO-nya. Hari ini ada job ngrias. Bisa Bunda minta tolong?"

Galuh bangun lalu menegakkan punggungnya, bersandar ke tembok. "Tolong apa, Bund?"

"Bisa nanti kamu bikin mi atau telor dadar untuk Galing juga ayahmu? Kalau Bunda bikin sekarang takutnya nanti sudah ghak enak."

"Oh, kalau itu beres, Bund. Galing sih ghak macam-maca. Kalau Ayah,... " Galuh mengangkat bahunya.

"Kamu ghak boleh gitu sama Ayah, Luh."

"Jangan paksa Galuh hormat sama dia. Dia tak pantas setelah apa yang dia lakukan ke kita."

"Galuh,..." ucap Gayatri sambil mengelus rambut panjang anaknya. Di hatinya teramat miris dengan kebencian anak-anaknya.

"Sukurlah, Bund, kalau sekarang Bunda kerja. Setidaknya Bunda merasa lebih terhibur berkumpul dengan banyak orang. Keuangan kita juga lebih baik," kata Galuh lalu beranjak ke almari plastiknya. "Lihat nih, Bund,.. ini yang kudapat dari nyanyi di cafe, lumayan banyak untuk sekedar uang jajan," katanya sambil menunjukkan beberapa lembar uang merah.

Gayatri yang terharu, merangkul anaknya. "Kamu masih pakai jilbab kan kalau kamu nyanyi?" tanyanya dengan hati-hati.

"Pakai dong, Bund. Kapan duluh sih pernah yang punya cafe keberatan dengan penyanyi yang berjilbab, lalu Raksa dengan marah malah memarahi orang itu. Lalu kita cari cafe yang bisa nerima jilbab aku."

Gayatri terlenguh mendengar nama Raksa disebut. "Kamu sepertinya mencintai dia dengan sangat."

"Galuh harap Bunda tak keberatan."

"Asal kamu bisa menjaga diri, Luh. Walau Bunda berharap nanti kamu bisa sekolah sampai tinggi, dan tak mengalami kebodohan seperti yang Bunda alami."

"Raksa juga ingin sekolah sampai sarjana, Bund. Rencananya setelah ini dia nyoba ke SMAN I yang isinya orang pintar semua. Kalau aku, nilaiku pas-pasan, ghak berani ke sana, yang di sini saja asal biayanya ghak banyak."

"Ternyata kalian telah merencanakan masa depan. Bunda harap kalian bisa salin menjaga."

Terdengar azhan subuh. "Jamaah sama Bunda yuk, sekalian ajak Galing."

Galuh mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi.

"Ling bangun, ayo jamaah subuh sama Bunda," kata Gayatri, namun Galing masih terlelap.

"Biar nanti dibangunin Galuh, Bund. Bunda nanti telat," kata Galuh.

Gayatri kemudian mengangguk. Jarak rumah Bu Ratna lumayan jauh, dia memang takut telat. Mereka kemudian sholat berjamah.

Gayatri sudah mengeluarkan sepedanya ketika dia dikejutkan dengan Prayogi di belakangnya.

"Kok kerjanya sekarang pergi pagi sekali, Tri?"

Gayatri hanya diam, meletakkan tas kecilnya di ranjang depan.

"Tri, masih malam, aku antar," kata Prayogi sambil memegang tangan Gayatri.

"Ghak usah, Aku bisa sendiri."

Prayogi hanya bisa menatap punggung Gayatri yang mengayuh sepedanya. Rasa penyesalan melihat orang yang dikasihi itu teramat membencinya. Sampai dia tak mau menerima bantuannya dengan tetap mengayuh sepedanya sejauh itu. Diam-diam Prayogi yang khawatir terjadi sesuatu dengan Gayatri mengikutinya dari belakang dengan memelankan sepedanya. sampai akhirnya dia melihat Gayatri telah sampai di rumah yang dia tuju. Dilihatya sebuah mobil mngangkut beberapa orang perempuan berseragam, dan Gayatri ikut masuk di mobil itu tanpa seragam sendiri.

Prayogi masih menyaksikan semuanya sampai mobil itu pergi lalu gerbang ditutup. Namun yang menyisakan pandangannya, seseorang dengan kaos oblong dan celana pendek, telah memperhatikan dari balkom sebelah rumah itu, sejak Gayatri datang hinggah pergi dengan mobil. Walau dari kejauhan, Prayogi bisa melihat, dialah pria yang mengantar Galuh tadi malam. Gemertak gigi prayogi menyaksikan itu. Tangannya mengepal keras.

"Ini yang akan bekerja di rumah Ibu, ngurus WO ibu. Tolong diterima ya! Dia Gayatri," kata Bu Ratna mengenalkan Gayatri setelah mobil melaju. Gayatri menjabat tangan teman-teman barunya dengan takjub dengan dandanan mereka saat pergi merias. Empat orang kru Bu Ratna kemudian tersenyum sambil mengajak Gayatri ngobrol.

"Maaf saya belum bisa apa-apa," kata Gayatri di sela-sela ngobrolnya.

"Ghak apa, Mbak, asal ada kemauan nanti mbak bisa," kata Jani.

"Asal kita juga kerja dari hati, Mbak. Karena pekerjaan ngrias itu seni," kata Sisi.

"Juga kita harus mengerti orang dengan sabar, karena ghak sedikit orang yang kita rias akan melayangkan protes dengan pekerjaan kita." ucap Rani pula.

Hanya Sisil, yang terlihat tak begitu bersahabat entah kenapa. Terlebih jika dia melihat keakraban Gayatri dengan Bu Ratna.

Mereka sudah tiba di kediaman pengantin putri. Rumah gedung yang lamat membuat Gayatri sedikit mengingat. Ayunan di depan rumah, di dekat pohon mangga, sepertinya itu tak asing bagi Gayatri. Namun saat mereka memasuki ruangan, sepertinya memang ada yang sedikit berubah walau setelah dia ke dalam dan memasuki sebuah kamar, dia masih ingat, bahwa dia pernah main di kamar yang catnya tak pernah berganti dengan warna salem itu. Bahkan dia tiduran di sana. Meski saat ini kamar itu telah disulap dengan hiasan bunga beraneka warni beserta dekorasi lain yang mengagungkan sebuah kamar pengantin.

"Apa betul ini kamar Nastiti?" bathin Gayatri. Lalu sebentar dia mengingat pakaian pengantin yang dia siapkan untuk pakaian pengantin gedung yang semuanya bernuansa salem. "Pengantinnya menyukai warna salem," demikian kata bu Ratna.

"Kamu dekat saya saja, Tri, bantuin saya di kamar pengantin. Yang lainnya biar di kamar sebelah," kata Bu Ratna dengan memakai maskernya yang kemudian diikuti oleh Gayatri.

Calon pengantin datang. Berdebar hati Gayatri setelah tebakannya benar, dia adalah Nastiti, Nastiti Hariwijaya, sepupunya, teman bermainnya sejak kecil. Namun hinggah selesai merias, Gayatri tak ingin mengungkap siapa dirinya.

Tepat jam delapan, penghulu sudah datang, demikian juga dengan rombongan pengantin pria yang datang terlebih dahulu.

Gayatri yang kebingungan disuruh dengan tiba tiba oleh Bu Ratna untuk membawa pengantin putri ke depan, makin bingung setelah melihat siapa penghulu yang akan menikahkan sepupunya. Ucapan Prayogi tiba-tiba saja membuat dia memandang lelaki yang tak jauh duduk di dekatnya.

"Sudah ghak asing sama saya kan?" bisik Rendra halus di dekat Gayatri yang membawa pengantin putri, sambil melempar senyum artinya.

Gayatri tersenyum kaku menatapnya sekilas.

"Sudah bisa dimulai acaranya, Pak?" tanya Rendra ke lelaki yang kini memperhatikan Gayatri. Lelaki yang sebenarnya sudah berusia namun masih terlihat bugar itu kemudian mengangguk.

Rendra mendekati Gayatri yang terlihat tegang. Lalu tersenyum, "Kamu mau menikah dengan saya?"

"Apa?" Mata gayatri terbelalak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status