"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman.
"Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.
Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya.
"Kak,..."
"Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.
Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman."
"Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu.
"Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah saya hadang Kakak, apalagi mau nitipkan gadis saya. Bisa-bisa saya ghak ketemu dia lagi," ucap Raksa terkekeh.
"Kalau kemudian dia jatuh cinta sama saya, gimana?" Lagi-lagi Rendra menggoda.
Gadis itu tersenyum. "Kayaknya ghak mungkin, deh!" ujarnya mantap dengan mengerlingkan matanya ke pemuda di sebelahnya.
Sialan! Rutuk Rendra dalam hati. Bocil saja juga ghak tertarik sama aku. Bener-bener deh aku bujang lapuk yang ghak laku.
Mereka tertawa bersama.
"Yakin betul ghak tertarik? Emang aku kurang ganteng?"
"Ganteng sih ganteng, Kak. Apalagi body Kakak! Ghak tipeku aja," katanya lalu menggerai tawa kecil. Sialan, tuh bocil!
"Udah. Ayo kalau gitu," ucap Rendra lalu membukakan pintu belakang mobilnya untuk gadis itu.
"Raksa, aku duluan. Hati-hati, ya!" pamit gadis itu sebelum pergi, membuat Rendra ngiri. "Nanti kalau ada apa-apa, telpon ya."
"Iya, kamu juga hati-hati. Kalau dia macam-macam, tendang aja."
"Apa?" Rendra melototkan matanya.
"Bercanda, Kak,..maaf!" kata Raksa dengan mengatukkan kedua tangannya.
Rendra mendengus kesal sambil melajukan mobinya. "Sepertinya cinta banget kamu sama dia" cibir Rendra.
Gadis itu tersenyum, senyum yang sama persis dengan emak-emak itu, bathin Rendra. Ih, siapa juga nama si emak itu, kenapa lupa ghak tanya Bude?
"Kamu kelas berapa?"
"Sembilan, Om."
"Om?" ulang Rendra ngakak. "Emang aku kelihatan tua banget? Temanmu aja panggil aku,...Kak."
""E,..maaf, Kak," ralat gadis itu.
"Umurmu?" tanya Rendra lagi mulai curiga mengingat kelasnya.
"Empat belas tahun, Kak," jawabnya. "Emang kenapa? Sensus penduduk?" tanyanya ngakak.
Rendra mendelik. Melihat gadis itu tertawa, dia gemes banget. Dasar bocil!
"Rumahmu sebelah mana? Sudah masuk perumahan ini."
"Perumahan yang tipe kecil sendiri, Kak. Jalan Gading II. Apa Kakak tau?"
"Emang kenapa ghak tau?" Rendra mengamati gadis itu dari kaca mobilnya. Benar-benar mirip. Usianya juga sama dengan usia anak emak itu. Ah, otakku makin ghak waras!
"Kakak orang kaya, barangkali gak tau."
Rendra terkekeh. "Kamu bocil, bisa aja ngomongnya."
"Tuh, Kak,.. yang di ujung sendiri." Gadis itu mengarahkan telunjuknya.
Hinggah sampai juga di depan rumah yang ditunjukkan gadis itu. Sebuah rumah sederhana yang halaman depannya tertata rapi dengan berbagai bunga-bunga menghiasi. Semerbak melati menusuk indera penciuman Rendra. Yang yang aneh, tiba-tiba bersarang di hati Rendra. Entah apa karena bau melati itu yang membawa aroma mistik Nyi Loro Kidul, ataukah karena seseorang yang tengah berdiri di depan teras rumah.
"Lho, Mas,..kok sama Galuh."
Galuh yang sudah menjejeri bundanya, tersenyum. "Ban Raksa bocor di gang depan, Bund. Kebetulan, Kak,..."
"Aku Rendra," sela Rendra dengan masih tak berkedip menatap Gayatri. Oh, Tuhan,..kenapa jantungku tak beraturan begini?
"Kak Rendra lewat, dihadang Raksa biar aku dapt tumpangan." Galuh menjelaskan sambil menelisik Rendra yang tengah menatap bundanya.
"Kak Rendra, terimakasih!" Galuh mendekati Rendra, berusaha mengalihkan perhatian Rendra.
"Eh,...i,..iya," Rendra tergagap.
"Kak Rendra kenapa?" Galuh menjejeri Gayatri. "Kaget ya, lihat kami?"
"Iya, bagai pinang dibelah dua. Hanya satunya lebih tinggi," kata Rendra menutupi gugupnya. Terlebih melihat Gayatri hanya memamerkan senyumnya.
"Ok, aku pulang duluh, ya." Rendra masuk ke mobilnya. "O, ya,...suaramu bagus!" pujinya.
"Terimakasih," ucap Galuh masih pura-pura tak mengerti kalau Rendra sering mencuri pandang ke bundanya.
"Terimaksih, Mas," ucap Gayatri denga mengingat dua kata yang diucapkan Rendra,...suaramu bagus!
Rendra pun melajukan mobilnya dengan tersenyum sendiri. Sebuah kebetulan, lirihnya.
"Galuh!"panggil Gayatri setelah mengunci pintunya.
Galuh menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Boleh Bunda tau, kenapa Rendra mengatakan, suaramu bagus?" tanya Gayatri dengan menyiapkan diri jika Galuh akan marah-marah seperti biasa. Namun yang terjadi malah sebaliknya, dia berbalik dan memeluk bundanya.
"Maafkan Galuh, Bund. Selama ini Galuh bersikap tidak baik kepada Bunda."
Gayatri yang terhanyut dengan perubahan sikap Galuh, membalas memeluk dan mengelus punggungnya. "Binda hanya ingin kita bisa menjadi teman. Kamu bisa bercerita tentang papun ke Bunda."
"Selama ini Galuh hanya bisa menyalahkan Bunda karena uang saku Galuh yang berkurang. Galuh tidak pernah tau kalau Bunda justru lebih menderita dampai berpuasa agar pengelaran kita tak banyak."
"Bukan begitu, Galuh. Auyah hanya sedang ada masalah sampai tidak bisa pulang. Setelah ini kita akan baik-baik saja," kata Gayatri berusaha menenangkan putrinya.
"Tidak ada yang baik-baik saja, Bund. Bahkan perempuan itu telah berani ke rumah kita."
Hati Gayatri tersayat. Ternyata apa yang ingin dia tutupi kini telah diketahui Galuh. Apa karena itu hinggah kini dia baik padaku? Ternyata di balik setiap ujian ada hikmahnya. Hanya saja kenapa ujian ini terasa berat untukku? Keluh Gayatri. Dia yang selama hidupnya hanya mengabdikan diri untuk suaminya dengan mengurus keluarganya, mengurus suaminya, kini bisakah menyisakan ruang lain untuk ditinggali seseorang selain dirinya di hati suaminya?
"Kamu belum menjawab pertanyaan Bunda soal kata-kata Rendra." Gayatri berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin anaknya tau tentang kesedihannya.
"Kak Rendra tadi ada di cafenya kak Aan saat Galuh bernyanyi," ucap Galuh menunduk.
"Jadi benar kamu menjadi penyanyi?"
"Anak-anak yang gabung di band sekolah ingin mengasah kepandaian mereka dalam bermusik. Kalau aku sih, pingin punya uang. Makanya kami manggung di cafe-cafe." Masih menunduk, Galuh menjelaskan kepada Gayatri. Dia takut bundanya akan marah. Namun ternyata Gayatri malah memeluknya.
"Maafkan Bunda, Nak,... maafkan, Bunda. Di usiamu yang belia kamu harus berfikir untuk bekerja."
Galuh yang tadi menunduk, sesenggukan tak kuasa menahan tangis. "Kita akan lalui semua ini bersama, Bund. Ada aku dan Galing yang amat menyayangi Bunda."
Tak terasa airmata Gayatri pun ikut tumpah. "Kamu gantilah baju dan tidur. Jangan lupa sholat Isya'" ucap Gayatri kemudian.
Waktu telah menunjukkan angka sepuluh malam. Saat melewati ruang keluarga, Galing telah tertidur. Gayatri sendiri sampai belum sholat Isya' karena terlalu khawatir dengan Galuh yang tadi belum pulang.
Gayatri ke belakang mengambil air wudhu sambil membersihkan diri. Lalu masuk ke kamarnya hendak mengerjakan sholat. Mukena Gayatri sekarang memang di kamar. Dibukanya pelan pintu kamar. Saat itu Prayogi yang membuka kaosnya untuk mengganti kaos yang lebih dingin, kaget melihat Gayatri yang tiba-tiba saja masuk. Namun keterkejutan Gayatri lebih besar sampai membelalakkan matanya,melihat penampilan tubuh Prayogi.
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai
“Kalau boleh tau, siapa namamu? Kenapa mirip sekali dengan keponakanku?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah tantenya Gayatri, istri Hariwijaya.Gayatri gelagapan. Namun dia berusaha menguasai dirinya.“Saya pembantunya Bu Ratna, Bu,” katanya dengan menekan segala rasa untuk tantenya itu. Gayatri tidak ingin siapa dirinya diketahui oleh keluarganya. Dia sudah lama pergi, dan dia tak ingin setelah kehancuran rumah tangganya akan menjadi bahan tertawaan keluarganya yang dari duluh melarang seorang Prayogi untuk dekat dengannya.“O, saya kira kamu Dyah Ayu. Maaf!” Wanita itu kemudian pergi.Gayatri menghela nafas berat. Lalu kembali mneruskan langkahnya ke kamar pengantin, saat itu kebetulan Bu Ratna juga keluar.“Dibilangi langsung pulang, kok malah ke sini."“Maaf, Bu,.. takutnya masih ada kerjaan.”“Sudah, pulang duluh sana.”“Terimakasih, Bu.”Gayatri memakai maskernya kembali dengan melewati kerumunan orang yang masih lalu lalang. Mereka adalah kerabatnya.“Lama sekali. Aku sa
“Aku kembali ke mess. Kepergianku mungkin membuatmu akan merasa lebih baik. Kuharap setelah nanti aku kembali, kamu bisa menerimaku lagi seperti duluh. Akan kubuang wanita itu dari kehidupan kita. Aku selalu mencintaimu. Dan selamanya mencintaimu.” Suamimu yang penuh penyesalan.Gayatri tergugu dalam tangisnya. Maafkan aku, Yah! Aku juga mencintaimu! Aku tak ingin kita terus dalam situasi seperti ini. Biarkan aku mencerna semuanya. Aku berharap setelah kamu kembali nanti aku bisa menerimamu lagi. Terlebih kamu telah berjanji menjahuinya.Terdengar mobil berhenti di depan. Gayatri sudah bersiap hendak pergi. Kedua buah hatinya pun turut mengantarnya.“Mbak, disuruh pakai ini oleh bu Ratna.” Pak Supri, supir Bu Ratna mengangsurkan kresek hitam. Gayatri membukanya. Sepertinya seragam rias walau beda dengan yang tadi pagi.“Tunggu sebentar, Pak,” kata Gayatri untuk berganti pakaian ke dalam. Pak Supri menggangguk.Tidak lama Gayatri sudah keluar dengan
“Dyah Ayu Gayatri?” tanyanya. Namun Gayatri yang sudah membetulkan maskernya kembali itu menggeleng.“Maaf, Anda siapa?” bohongnya dengan hati yang terasa sesak berkata seperti itu kepada mamanya. “Jadi benar kamu bukan Dyah Ayu Gaytri?” “Maaf,..” kata Gayatri dengan mengatupkan kedua tangannya di dada. Maaf, Ma, Gayatri belum siap diketahui mama, tambah Gayatri dalam hatinya. Gayatri berjanji setelah hubungannya kembali baik dengan Prayogi, akan menemui orangtuanya dengan mengatakan untuk hati-hati dengan omnya.Perempuan itu kemudian melangkah ke ruangan tempatnya dirias dengan tatapan penuh kecewa. Dia begitu berharap akan bertemu dengan anaknya kembali walau suaminya sering mengatakan untuk melupakan semuanya. Dan mengubur nama Gayatri dalam-dalam dari kehidupan mereka.Gayatri yang segera berlari, menumpahkan tangisnya di kamar mandi. Dia tidak mengira sama sekali job pertama yang dia ikuti ternyata di rumah keluarganya. Dia memang tak pernah bertanya-tanya ke Bu Ratna mau mer
Gayatri tersekat.“Aku ibumu, Ayu. Kamu tak bisa membohongi Mama lagi.” katanya dengan langsung memeluk Gayatri.“Maafkah Ayu, Ma. Ayu yang duluh sudah tiada sejak Mama tak merestui kami.”Wanita yang lebih tinggi dari Gayatri itu melepaskan pelukannya.“Mama telah berusaha mencarimu. Keluarga suamimu tak pernah memberitahu mama akan kebaradaan kalian.”“Sudahlah, Ma, Ayu mohon, tolong rahasiakan pertemuan ini dari siapapun, termasuk papa. Jika Prayogi tau, hubungan kami takkan baik-baik saja.” Wanita yang masih kelihatan muda di usianya yang sudah 57 tahun itu menggelengkan kepalanya, seolah tak terima dengan apa yang diinginkan Gayatri.“Ma, aku mohon. Ada sesuatu yang mama tidak tau, diketahui Gayatri. Jika ketahuan Gayatri kembali ke Mama, Gayatri tidak bisa menjamin keluarga Gayatri dalam keadaan baik-baik saja. Kami selama ini sudah bahagia dengan kesederhanaan, Ayu tak ingin masuk kembali ke keluarga kita dan menjadi tumbal dari ambisi seseorang.”Garnis menatap tajam Gayat
“Kamu memang beda sekali. Terimakasih." katanya lalu tergelepar di sisi tubuh perempuan itu.Itu adalah adegan mereka untuk kesekian kalinya setelah kedatangan Prayogi siang tadi yang membuat Sasmita menyuruh pegawainya menutup salon dan meliburkan salon sementara. Dia amat senang dengan hadirnya Prayogi yang tiba-tiba. Sementara Prayogi yang berpamitan dengan meninggalkan kertas di meja Gayatri memang bermaksud untuk kembali ke mesnya di pabrik. Namun bayang-bayang Gayatri yang tadi dilihatnya sedang telanjang, membuat dia tak bisa mengerem hasratnya. Untuk kembai ke Gayatri tak mungkin mengangat bagaimana sikap wanita itu kepadanya. Maka di meneruskan perjalanannya melewati pabriknya dan singgah di rumah Sasmita.“Kamu tak mungkin tak kembali kepadaku.” kata Sasmita kemudian. “Aku bisa memberimu kepuasan lebih dari yang diberikan Ayu.” kata Sasmita yang memanggil Gayatri dengan nama panggilan yang diberikan keluarganya.“Benar, Sayang.” kata Prayogi dengan masih memeluk dan meraba