“Dari mana kamu, Galuh? Kenapa wajahmu habis di make up?”
Terlihat Galuh berusaha menutupi mukanya. Namun Gayatri masih berusaha melihat dengan menarik tangan Galuh dan memegang dagunya. “Ini apa, Galuh? Apa yang telah kamu lakukan di luar sana?”
“Dibilangi bukan apa-apa juga,” kata Galuh dengan melototkan matanya.
"Kalau orangtua ngomong itu yang sopan jawabnya. Kamu ghak tau betapa khawatirnya kami dengan mencarimu kemana-mana tadi," sahut Prayogi yang juga merasa curiga dengan kelakuan anaknya.
“Apa yang kau lakukan dengan anak berandal itu?”
“Maksud Bunda apa?” tanya Galuh yang sudah nglonyor ke kamarnya tanpa memperdulikan ayahnya yang baru datang setelah berminggu-minggu tak pulang. Dia bahkan memandang Prayogi dengan tatapan yang menghujat.
Gayatri yang sudah panas hatinya dengan kelakuan suaminya, membuat makin panas dengan yang dilakukan putrinya.
“Bukankah kamu keluar sama Raksa, anak band itu?"
Galuh terdiam sejenak. Dari duluh bundanya mengatakan tidak suka dia dekat dengan Raksa yang dinilai agak nyleneh dengan telinganya yang ditindik. Namun Galuh teramat mencintai pemuda itu.
“Yang jelas aku ghak berbuat yang ghak bener sama Raksa, Bund,” kata Galuh dengan meletakkan barang-barangnya. “Kalau Bunda ghak percaya, terserah Bunda. Aku ngantuk, mau tidur,” katanya dengan membaringkan tubuhnya.
“Kalau mau tidur, sholat duluh, Galuh.”
“Habis ini, Bund. Bunda tinggalin Galuh sendiri.”
“Kamu kenapa tidak menyapa ayahmu?” tanya Gayatri setelah hampir meninggalkan ruangan putrinya.
Galuh hanya melengos dengan menampakkan wajah tidak sukanya. Dia menganggap ayahnyalah yang menyebabkan dia harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhannya yang beberapa minggu terakhir ini menjadi makin terjepit dengan uang saku yang makin minim dia terima.
Gayatri, bagaimanapun masalah yang kini sedang dia hadapi dengan suaminya, dia ingin anak-anaknya tidak mengetahuinya dan tetap menghormati Prayogi sebagai ayahnya yang selalu mereka sayangi selama ini, terlebih Galuh yang lebih dekat dengan ayahnya.
Galing sudah terlihat tidur dengan menggelar kasurnya di ruang keluarga. Kamar mereka memang cuma dua sehinggah Galing kamarnya ya, di ruang keluarga itu. Mulai dengan kasurnya, buku pelajaran, sampai almari pakaiannya yang di dekat televisi.
Gayatri yang juga sudah mengantuk, masuk kamar. Prayogi yang dari tadi di depan televisi, mengikuti Gayatri yang masuk dengan perasaan canggung. Dari tadi tatapan Gayatri tak pernah baik kepadanya. Sakit hatinya bertumpuk dengan menyaksikan ulah putrinya yang baru pulang dengan keadaan yang membuatnya berfikir, ada apa dengan Galuh?
Seperti biasa, Gayatri selalu mematikan lampu kamarnya jika tidur, katanya itu tuntunan dari Rosulullah. Namun cahaya remang masih menyinari kamar mereka dari lampu ruang keluarga. Prayogi merebahkan punggungnya bersisian dengan Gayatri di kasur yang telah lama menjadi saksi bisu kebersamaan mereka sejak mereka bisa membeli rumah ini sepuluh tahun yang lalu, saat Galuh berusia 4 tahun dan belum berani tidur sendiri. Saat itu ada keluarga yang dalam kesulitan menjual rumahnya dengan harga murah, kebetulan rizki keluarga mereka lancar. Saat libur, Prayogi selalu dapat carteran. Tak seperti akhir-akhir ini. Tabungan yang ada memang belum cukup hinggah mereka meminjam dari kakaknya Prayogi dan alhamdulillah juga tak lama sudah lunas.
“Kamu sudah tidur?” tanya Prayogi ke Gayatri yang memunggunginya.
Sepi, tak ada jawaban, apalagi kehangatan seperti yang duluh dia rasakan. Jangankan memunggunginya seperti sekarang. Dengan rambut masih basah, Gayatri akan terus menatapnya, dan memamerkan senyumnya yang menggoda, dan Prayogi akan menyambutnya dengan ciuman sampai menuntaskan hasrat mereka kembali.
Ah, ternyata semua itu hanya kenangan sekarang, keluh Prayogi. Dipandanginya lekad Gayatri dengan lekuk tubuhnya dari samping yang makin menggoda. Ciuman pun didaratkan ke leher Gayatri dengan mengambil bantal guling yang sepertinya sengaja di taruh Gayatri di tengah.
Gayatri menggeliakkan tubuhnya. Bagaimanapun juga dia teramat merindukan belai kasih dari suaminya itu setelah sekian lama tak merasakannya. Keinginan untuk menyambut kehangatan yang diberikan Prayogi yang selalu bisa membuatnya merasakan kepuasan setiap bersamanya, membuat dia menikmati setiap sentuhan suaminya itu. Hinggah sebuah kesadaran kemudian muncul. Bayang-bayang seorang wanita tengah bersama menikmati surga dunia bersama suaminya tiba-tiba hadir di pikirannya. Dengan segera Gayatri menutup kembali tubuhnya yang tanpa busana dengan selimut yang tadi dipakainya. Lalu menjauh ke tepi ranjang. Prayogi yang sudah kelimpungan merutuk. Dia telah berminggu menahan diri. Tanpa berfikir lagi dia menarik paksa Gayatri dan menuntaskan hasratnya.
Gayatri yang tak lagi merasakan apapun selain kesakitan, mengalirkan airmatanya. Prayogi yang merasa bersalah melihat Gayatri menangis, memeluknya erat, walau berkali kali Gayatri mengibaskan tangannya dan mendorong tubuhnya. Namun tenaganya yang kalah kuat, membuatnya hanya menangis.
“Maaf aku telah menyakitimu.”
Malam-malam Gayatri yang kesulitan tidur, mengguyur tubuhnya dengan mandi air hangat. Dia kemudian bersujud dengan mengadukan nasibnya ke Tuhannya. Rasa lelah yang sangat membuatnya hinggah tertidur di lantai di kamarnya, di atas sajadahnya.
Prayogi yang terbangun saat azhan subuh dan mendapati Gayatri tak lagi di pelukannya, segera bangun. Namun saat dia turun dari ranjang, telah mendapati Gayatri tertidur di lantai. Wajahnya yang lelah membuat Prayogi merasa bersalah kembali atas apa yang telah diperbuatnya. Diangkatnya Gayatri untuk ditidurkan di peraduan, lalu diciumnya keningnya sebelum dia beranjak ke kamar mandi dan membangunkan kedua anaknya.
“Bund, bangun. Sepertinya Bunda belum sholat subuh,” kata Prayogi setelah menyelesaikan salam, dengan mencium kembali pipi wanita di depan hidungnya yang tengah tidur miring di depannya.
Di luar kesadarannya, tangan yang biasanya lembut itu kini mengibaskan wajahnya dengan keras. Rasa pengar menghantam hidung Prayogi. Bahkan dalam tidur pun, Gayatri begitu membencinya, bathinnya ngilu.
Gayatri terbangun hampir kehilangan waktu subuhnya. Syukurlah dia hanya perlu membuat ikan. Dan yang ada cuma telor yang tentunya hanya bisa dibuat untuk telur dadar.
Dilihatnya uang yang sengaja diletakkan Prayogi di meja riasnya. Berkali-kali Gayatri ragu untuk mengambil uang itu. Namun jika tidak diambil, bagaimana dia akan melewati toko Bu Ratih saat dia ke Bu Ratna nanti? Dalam jengkel dia kemudian mengambil uang merah lima lembar untuk melunasi hutangnya. Selebihnya dia diamkan saja, tanpa mengurusnya seperti biasanya.
“Ini untuk sehari-hari, yang ini untuk sekolah anak-anak, yang ini untuk tabungan kita.” Begitu yang sering Prayogi dengar jika dia memberi uang dan Gayatri selalu mengucap terimakasih dan memilah-milah uangnya untuk ditempatkan di keperluan rumah mereka.
Prayogi kini memperhatikan uang yang tadi malam ditaruhnya, memandangnya dengan tatapan penuh luka. Luka yang telah dibuatnya sendiri.
Baru saja Gayatri bermaksud mengeluarkan sepedanya, seorang wanita dengan penampilan sexi berdiri di depannya. Tubuhnya yang ideal dengan dada menantang. Dia memakai celana jeans ketat dengan kaos yang pres body. Rambutnya yang disemir kekuningan tergerai indah sepunggung.
“Aku mencari mas Prayogi, tolong panggilkan.”
“Kamu siapa?”
“Aku mencari mas Prayogi, tolong panggilkan.”“Kamu siapa?” tanya Gayatri masih memandangi wanita di depannya. Wanita yang sepertinya lebih muda darinya yang sudah 33 tahun.“Sama seperti mbak Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya, saya juga istrinya. Saya Sasmita.”Gayatri terkejut. wanita itu bahkan kini telah datang ke rumahnya, sebelum dia mau mengutarakan kepada suaminya agar anak-anak tidak tau persoalan mereka. Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya? Gayatri mengeja sendiri namanya setelah teringat wanita itu menyebutnya. Bagaimana wanita itu tau nama lengkapnya? Siapakah dia? Atau karena begitu dekatnya dia dengan suaminya sampai dia telah mengetahui namanya dengan baik? Hadiwijaya,.. begitu lama nama pengusaha terkenal itu tak pernah disebut siapapun dalam keluarganya setelah apa yang Gayatri lakukan dengan menikahi Prayogi, lelaki kalangan biasa teman SMA-nya yang bisa masuk di sekolah elit karena beasiswa.“Tolong duduk di depan sebentar, saya akan memanggilnya,” kata Gayatri berusaha menahan
"Apa? Kenapa kamu menjebakku?" tanya Prayogi dengan segera bangkit dari duduknya. Namun tangan Sasmita kembali meraihnya dan mendudukkannya di dekatnya."Kalau aku tidak mengatakan hamil, mungkinkah kamu akan menikahiku?" "Brengset kamu, Mita." maki Prayogi geram.Namun perempuan itu malah memamerkan senyumnya. "Kamu kan ghak mungkin berhubungan dengan wanita yang tidak sah denganmu. Makanya aku membuatmu sah denganku agar kamu tak segan lagi bermesraan denganku." "Kamu telah enjebakku untuk kedua kalinya.""Yang menikmati saat itu juga siapa? Kamu kan?""Itu karena obat yang kamu campur di minumanku."Prayogi yang langganan warung di sebelah salon Sasmita setiap mengirim barang ke Mojokerto, tiba-tiba saja pusing. Lalu Sasmita menawari untuk tidur sebentar di salonnya yang telah tutup. Dia sudah lama megenal Sasmita yang sering membelikan pegawainya jajan atau sekedar minuman di waung sebelahnya. Hanya sekedar bercanda dan ngobrol biasa. Gayanya yang sopan tak terbersit ada niat ya
Masih dengan tanda tanya di kepalanya, Gayatri kemudian pulang dengan membawa makanan dari bu Ratna, katanya dia masak sengaja banyak untuk dibawa pulang Gayatri. Saat di depan rumah megah itu, tak sengaja dia menoleh ke rumah samping. Di sebuah balkom rumah itu, tampak Rendra menyunggingkan senyumnya ke Gayatri. Dengan menuntun sepedanya Gayatri mengangguk tersenyum membalasnya.Setelah mengayuh sepedanya yang lumayan jauh, sampai juga Gayatri di toko bu Ratih."Bu, tolong hutang saya di total." kata Gayatri setelah menunggu sepinya pembeli."Suaminya sudah pulang, Mbak?" tanya bu Ratih dengan senyumnya menyambut Gayatri.Gayatri mengangguk."Kalau sudah pulang, kenapa mbak e wajahnya malah kusut begitu? Ghak seceria seperti biasanya kalau suami pulang."Gayatri hanya tersenyum masam. "Lelah saja, Bu. Ini tadi habis kerja dari bu Ratna.""Alhamdulillah sudah kerja di sana. Memang kerjanya berat?""Bukan kerjanya, Bu, tapi mengayuh sepedanya yang jauh.""Iya, apalagi semalaman kangen-
"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk."Bund." Galing memegang tangan Bundanya.Gayatri menoleh, memandang lurus putranya."Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi.""Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum.""Sepertinya kepergian mereka ada
"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman."Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya."Kak,...""Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman.""Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu."Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing
“Apa?” Mata Gayatri terbelalak.“Mau kamu menikah dengan saya, biar kamu tau kalau belum menikah itu pengantin ghak boleh berdekatan, harus di tengahnya ada wali.”“Maaf."“Jangan-jangan kamu punya anak tanpa menikah. Masak sudah menikah ghak ngerti. Aku aja yang belum menikah ngerti itu.”“Emang kamu kerjaannya jadi penghulu, menikahkan orang terus.”Rendra terkekeh.“Aku memang ghak pakai wali. Cuma wali hakim, jadi ghak paham. Itu pun sudah lama sekali,” kata Gayatri sambil mengingat betapa airmatanya terkuras kala menikah tanpa restu orantua yang sampai kini dia tak tau kabarnya. Ternyata pengorbanan sebesar itu untuk cinta kini tak ada harganya, bathin Gayatri.“Maaf, Pak,” kata Gayatri dengan berdebar. “Anda di tengah, diantara pengantin, Pak,” kata Gaytari tak enak dengan memanggil omnya dengan Pak. Orang itu, yang tak lain adalah Hariwijaya, adik ayah Gayatri. Hariwijaya menggeser tempat duduknya, yang tadi di sisi pengantin pria, kini berada diantara keduanya.“Kita mulai