Share

Bab 2. Kepulangan Galuh.

“Apa?” Prayogi tak percaya dengan permintaan Gayatri.

 "Aku mencintaimu, aku takkan bisa hidup tanpa kamu,"  kata Prayogi menggenggam tangan Gayatri erat “Beri aku kesempatan, Tri. Maafkan aku!”

“Kamu sudah menghianati kepercayaannku, Yah. Bagaimana aku bisa menerimamu kembali?” kata Gayatri sambil melangkah ke dapur, hendak memasak. Matanya sudah dipenuhi genangan air yang terus mengalir di kedua pipi beninganya. Seandainya saja dia tidak mengingat kedua buah hatinya yang akan pulang dan mencari makanan, dia akan mengurung dirinya di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya teramat sakit dan terluka. Orang yang selama ini dia abdikan hidupnya dengan meninggalkan segalanya kini telah menghianatinya.

Prayogi masih mengekornya. Memeluknya dari belakang. “Bund, maafkan aku! Ini uangmu selama aku tidak pulang,” katanya kembali sambil memberikan uang untuk digenggam Gayatri.

Gayatri mengibaskan tangan suaminya. Uang yang dinantinya selama empat minggu berhamburan memenuhi ruangan dapur sempitnya. Mulutnya tertutup rapat dengan menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang tak bisa dibendungnya lagi.

Setelah dia menyalakan magic com untuk ditekan tombol memasak, Gayatri luntruh. Terduduk lemas dengan tangan memegang kedua lututnya.

 Prayogi yang telah mengumpulkan uangnya yang tercecer, merangkul tubuh Gayatri yang terguncang oleh tangis dan memeluknya erat. Airmatanya pun ikut luruh bersama pecahnya tangisan Gayatri. Berkali kali dia mengucap maaf. Hal seperti inilah yang membuatnya tak berani pulang selama tiga minggu. Dia takut menghadapi Gayatri yang pasti akan tersakiti.

Gayatri bangkit dengan mengibaskan pelukan Prayogi. Dia melanjutkan memasaknya, tahu telor yang dibelinya dari warung tadi.

“Jangan hukum aku seperti ini, Tri, maafkan aku.” Lagi-lagi Prayogi berusaha meminta maaf dengan memeluk Gayatri dan mengarahkan bibirnya di leher jenjang Gayatri, sama seperti yang selalu dia lakukan tiap dia pulang. Jika selama ini Gayatri menikmati kecupan di lehernya dengan berbalik mencium suaminya itu, lalu mengajaknya pergi ke kamar sebelum anak-anaknya pulang, untuk menuntaskan kerinduan mereka yang hampir seminggu tak bertemu, kali ini dia teramat marah. Sekali lagi di kibaskannya tangan Prayogi lalu menghadapnya dan mendorong tubuh kekar itu kuat-kuat.

“Apa kamu tidak kangen aku, Tri?”

“Lucu sekali kamu menyatakan itu setelah apa yang kamu lakukan terhadapku?”

Prayogi menunduk, namun hasrat untuk Gayatri yang selama berminggu minggu lamanya dia pendam membuatnya tak menyerah dengan terus mendekati Gayatri.

“Apa istri mudamu itu masih kurang memberikan servis untukmu?”

“Aku kangen kamu, Tri,” ucap Prayogi memelas dengan masih berusaha merengkuh tubuh mungil Gayatri yang makin membuatnya gila dengan mencium harum tubuhnya.

“Assalamualaikum, Bund.”

Gayatri melepaskan diri dari suaminya dan tersenyum melihat putranya datang. Dia berusaha setenang mungkin untuk tak menampakkan kesedihannya.

“Alhamdulillah, Ayah pulang,” kata Galing senang, lalu mencium punggung tangan ayahnya sebagaimana biasanya.

“Bagaimana sekolahmu Ling?”

“Baik, Yah,” kata Galing lalu mengambil air minum dari kulkas. Keningnya mengucurkan keringat.

“Lalu di mana kakakmu, Ling?” tanya Gayatri.

“Seluruh teman akrabnya yang saya datangi tak mengatahuinya, Bund.”

“Memang Galuh belum pulang, Bund?” tanya Prayogi. Dia baru teringat soal anak gadisnya itu. Dia pikir dia pulang seperti biasanya yang masih siang sehinggah belum menemukan anak gadisnya yang masih sekolah. Dia memang  tadi telat pulang karena ketakutannya kepada hati Gayatri.

Gayatri hanya melengos. 

Azhan maghrib berbunyi. Gayatri selalu was was tiap Galuh belum pulang juga, walau sekarang dia sering melakukan itu. Bagaimanapun dia adalah anak gadis, yang selalu menjadi kekhawatiran dirinya. 

“Galing ke masjid duluh, Yah,” kata Galing pamit pada ayahnya.

Gayatri membuka puasanya dengan seteguk air hangat, lalu mengambil sedikit nasi untuk mengganjal perutnya yang lapar.

Prayogi memperhatikan semua yang dikerjakan istrinya dengan terheran.

“Kamu puasa hari jum'at?” Prayogi berusaha menebaknya, dia paham betul dengan kelakuan istrinya tiap menjalankan puasa. Hanya saja biasanya dia menyediakan buah pisang atau camilan ringan untuk pembukaannya, tapi kali ini dia mengambil nasi.

“Iya, biar mengurangi jatah maka,”  ucap Gayatri sengol.

“Aku tadi bawa roti kesukaanmu.”

“Aku tidak memerlukan rotimu untuk membuka puasak,” kata Gayatri lalu beranjak meninggalkan Prayogi yang terbengong. Sebegitu tak sudikah Gayatri dengannya sampai memakan rotinya saat lapar dia tak mau? 

Gayatri ke belakang, mengambil air wudhu di pancuran. Airmatanya mengalir kembali dengan berbaur dengan air wudhu. Prayogi yang mengekornya dari belakang, menatap Gayatri dengan putus asa. Prayogi kemudian mengambil air wudhu setelah Gayatri pergi. Lalu dia melangkah ke ruang keluarga yang biasa mereka pakai jamaah maghrib dengan Gayatri dan Galuh jika dia pulang. Namun dia tak menemukan Gayatri di sana. Sajadah yang biasanya Gayatri simpan, di dekat rak sana juga telah diambil satu, itu tandanya Gayatri pergi sholat ke tempat lain.

Setelah menyelesaikan salam, Prayogi mencari Gayatri  di kamar. Gayatri yang tergugu dengan meringkuk di kamar masih mengenakan mukenanya diraihnya dan dipeluknya erat. Kata maaf kembali terlontar di bibir Prayogi.

“Kamu tega sekali, Yah,” ucap Gayatri masih dengan menangis, yang ditanggapi Prayogi dengan turut meneteskan airmata penyesalan. 

“Ayo makan, kamu pasti lapar setelah puas,"  kata Prayogi sambil mencium kening istrinya. “Aku juga membeliikan bebek kesukaanmu.” Prayogi membuka mukena Gayatri yang masih terdiam. Rambut panjang Gayatri yang ditali menampakkan lehernya yang putih. Berkali Prayogi menelan salivanya dengan kerinduan yang teramat sangat akan kehangatan Gayatri yang seharusnya sudah siang tadi dia dapatkan. Dia lalu mengangkat pundak Gayatri dan menggandengnya keluar. Didudukkannya Gayatri yang hanya terdiam di ruang keluarga. Lalu Prayogi mengambil nasi dan bebek goreng yang dia bawa dari Surabaya tadi untuk dia suapkan ke Gayatri.

Gayatri membuka mulutnya setelah tangan Prayogi mendekat. Matanya yang berkaca menatap lekad Prayogi. Rasa tak percaya jika orang di depannya yang dengan lembut menyuapi dia itu  kini menghianatinya. Sesak teramat terasa di dadanya.

“Carilah Galuh, biar aku makan sendiri,” kata Gayatri mengambil piring yang dibawa suaminya.

“Aku harus mencari di mana?” tanya Prayogi lemah. “Aku bahkan tak mengenal temannya sama sekali.”

“Masih ada satu teman Kakak yang belum aku datangi, Bund.” Tiba-tiba saja Galing datang dengan mengatakan satu nama. “Sita. Cuma rumahnya agak jauh dari sini, makanya Galing ghak kuat bersepeda ke sana.”

“Antar Ayah ke sana, Ling,” kata Prayogi sambil berdiri.

“Tadi pergi sama Raksa, Om,” kata Sita setelah mereka sampai di rumah teman karibnya Galuh.

Prayogi meminta alamat anak yang dimaksud sambil menanyakan siapa Raksa ke Galing. Mereka memang satu sekolah, Galing masih kelas VII sedangkan Raksa sama dengan Galuh, kelas IX. 

“Dia ketua band sekolah, Yah,” kata Galing. “Setahu Galing, kakak menaruh hati padanya.” Kata-kata terakhir Galing membuat Prayogi menghawatirkan anak gadisnya.

Segera dia menamcap gas, melajukan motornya ke perumahan yang agak jauh dari tinggalnya. Namun penjelasan orangtua Raksa tentang Raksa yang juga pergi sejak dari sekolah, membuatnya tak tenang. Ke mana lagi harus mencari? Sepertinya jalan sudah buntu, Prayogi mengajak putranya pulang.

“Tidak ada yang tau ke mana Galuh pergi,” kata Prayogi lemas dengan mengatakan itu pada Gayatri.

Waktu berjalan menuju malam, hinggah jam 9 malam, Galuh baru pulang, dengan sepeda mininya.

Wajah yang biasanya polos itu kini terlihat habis disapu make up. Gayatri menatapnya penuh selidik.

“Dari mana kamu, Galuh? Kenapa wajahmu habis di make up?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Alwan Amir
sangat menginspirasi. hebat is ok
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status