“Apa?” Prayogi tak percaya dengan permintaan Gayatri.
"Aku mencintaimu, aku takkan bisa hidup tanpa kamu," kata Prayogi menggenggam tangan Gayatri erat “Beri aku kesempatan, Tri. Maafkan aku!”
“Kamu sudah menghianati kepercayaannku, Yah. Bagaimana aku bisa menerimamu kembali?” kata Gayatri sambil melangkah ke dapur, hendak memasak. Matanya sudah dipenuhi genangan air yang terus mengalir di kedua pipi beninganya. Seandainya saja dia tidak mengingat kedua buah hatinya yang akan pulang dan mencari makanan, dia akan mengurung dirinya di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya teramat sakit dan terluka. Orang yang selama ini dia abdikan hidupnya dengan meninggalkan segalanya kini telah menghianatinya.
Prayogi masih mengekornya. Memeluknya dari belakang. “Bund, maafkan aku! Ini uangmu selama aku tidak pulang,” katanya kembali sambil memberikan uang untuk digenggam Gayatri.
Gayatri mengibaskan tangan suaminya. Uang yang dinantinya selama empat minggu berhamburan memenuhi ruangan dapur sempitnya. Mulutnya tertutup rapat dengan menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang tak bisa dibendungnya lagi.
Setelah dia menyalakan magic com untuk ditekan tombol memasak, Gayatri luntruh. Terduduk lemas dengan tangan memegang kedua lututnya.
Prayogi yang telah mengumpulkan uangnya yang tercecer, merangkul tubuh Gayatri yang terguncang oleh tangis dan memeluknya erat. Airmatanya pun ikut luruh bersama pecahnya tangisan Gayatri. Berkali kali dia mengucap maaf. Hal seperti inilah yang membuatnya tak berani pulang selama tiga minggu. Dia takut menghadapi Gayatri yang pasti akan tersakiti.
Gayatri bangkit dengan mengibaskan pelukan Prayogi. Dia melanjutkan memasaknya, tahu telor yang dibelinya dari warung tadi.
“Jangan hukum aku seperti ini, Tri, maafkan aku.” Lagi-lagi Prayogi berusaha meminta maaf dengan memeluk Gayatri dan mengarahkan bibirnya di leher jenjang Gayatri, sama seperti yang selalu dia lakukan tiap dia pulang. Jika selama ini Gayatri menikmati kecupan di lehernya dengan berbalik mencium suaminya itu, lalu mengajaknya pergi ke kamar sebelum anak-anaknya pulang, untuk menuntaskan kerinduan mereka yang hampir seminggu tak bertemu, kali ini dia teramat marah. Sekali lagi di kibaskannya tangan Prayogi lalu menghadapnya dan mendorong tubuh kekar itu kuat-kuat.
“Apa kamu tidak kangen aku, Tri?”
“Lucu sekali kamu menyatakan itu setelah apa yang kamu lakukan terhadapku?”
Prayogi menunduk, namun hasrat untuk Gayatri yang selama berminggu minggu lamanya dia pendam membuatnya tak menyerah dengan terus mendekati Gayatri.
“Apa istri mudamu itu masih kurang memberikan servis untukmu?”
“Aku kangen kamu, Tri,” ucap Prayogi memelas dengan masih berusaha merengkuh tubuh mungil Gayatri yang makin membuatnya gila dengan mencium harum tubuhnya.
“Assalamualaikum, Bund.”
Gayatri melepaskan diri dari suaminya dan tersenyum melihat putranya datang. Dia berusaha setenang mungkin untuk tak menampakkan kesedihannya.
“Alhamdulillah, Ayah pulang,” kata Galing senang, lalu mencium punggung tangan ayahnya sebagaimana biasanya.
“Bagaimana sekolahmu Ling?”
“Baik, Yah,” kata Galing lalu mengambil air minum dari kulkas. Keningnya mengucurkan keringat.
“Lalu di mana kakakmu, Ling?” tanya Gayatri.
“Seluruh teman akrabnya yang saya datangi tak mengatahuinya, Bund.”
“Memang Galuh belum pulang, Bund?” tanya Prayogi. Dia baru teringat soal anak gadisnya itu. Dia pikir dia pulang seperti biasanya yang masih siang sehinggah belum menemukan anak gadisnya yang masih sekolah. Dia memang tadi telat pulang karena ketakutannya kepada hati Gayatri.
Gayatri hanya melengos.
Azhan maghrib berbunyi. Gayatri selalu was was tiap Galuh belum pulang juga, walau sekarang dia sering melakukan itu. Bagaimanapun dia adalah anak gadis, yang selalu menjadi kekhawatiran dirinya.
“Galing ke masjid duluh, Yah,” kata Galing pamit pada ayahnya.
Gayatri membuka puasanya dengan seteguk air hangat, lalu mengambil sedikit nasi untuk mengganjal perutnya yang lapar.
Prayogi memperhatikan semua yang dikerjakan istrinya dengan terheran.
“Kamu puasa hari jum'at?” Prayogi berusaha menebaknya, dia paham betul dengan kelakuan istrinya tiap menjalankan puasa. Hanya saja biasanya dia menyediakan buah pisang atau camilan ringan untuk pembukaannya, tapi kali ini dia mengambil nasi.
“Iya, biar mengurangi jatah maka,” ucap Gayatri sengol.
“Aku tadi bawa roti kesukaanmu.”
“Aku tidak memerlukan rotimu untuk membuka puasak,” kata Gayatri lalu beranjak meninggalkan Prayogi yang terbengong. Sebegitu tak sudikah Gayatri dengannya sampai memakan rotinya saat lapar dia tak mau?
Gayatri ke belakang, mengambil air wudhu di pancuran. Airmatanya mengalir kembali dengan berbaur dengan air wudhu. Prayogi yang mengekornya dari belakang, menatap Gayatri dengan putus asa. Prayogi kemudian mengambil air wudhu setelah Gayatri pergi. Lalu dia melangkah ke ruang keluarga yang biasa mereka pakai jamaah maghrib dengan Gayatri dan Galuh jika dia pulang. Namun dia tak menemukan Gayatri di sana. Sajadah yang biasanya Gayatri simpan, di dekat rak sana juga telah diambil satu, itu tandanya Gayatri pergi sholat ke tempat lain.
Setelah menyelesaikan salam, Prayogi mencari Gayatri di kamar. Gayatri yang tergugu dengan meringkuk di kamar masih mengenakan mukenanya diraihnya dan dipeluknya erat. Kata maaf kembali terlontar di bibir Prayogi.
“Kamu tega sekali, Yah,” ucap Gayatri masih dengan menangis, yang ditanggapi Prayogi dengan turut meneteskan airmata penyesalan.
“Ayo makan, kamu pasti lapar setelah puas," kata Prayogi sambil mencium kening istrinya. “Aku juga membeliikan bebek kesukaanmu.” Prayogi membuka mukena Gayatri yang masih terdiam. Rambut panjang Gayatri yang ditali menampakkan lehernya yang putih. Berkali Prayogi menelan salivanya dengan kerinduan yang teramat sangat akan kehangatan Gayatri yang seharusnya sudah siang tadi dia dapatkan. Dia lalu mengangkat pundak Gayatri dan menggandengnya keluar. Didudukkannya Gayatri yang hanya terdiam di ruang keluarga. Lalu Prayogi mengambil nasi dan bebek goreng yang dia bawa dari Surabaya tadi untuk dia suapkan ke Gayatri.
Gayatri membuka mulutnya setelah tangan Prayogi mendekat. Matanya yang berkaca menatap lekad Prayogi. Rasa tak percaya jika orang di depannya yang dengan lembut menyuapi dia itu kini menghianatinya. Sesak teramat terasa di dadanya.
“Carilah Galuh, biar aku makan sendiri,” kata Gayatri mengambil piring yang dibawa suaminya.
“Aku harus mencari di mana?” tanya Prayogi lemah. “Aku bahkan tak mengenal temannya sama sekali.”
“Masih ada satu teman Kakak yang belum aku datangi, Bund.” Tiba-tiba saja Galing datang dengan mengatakan satu nama. “Sita. Cuma rumahnya agak jauh dari sini, makanya Galing ghak kuat bersepeda ke sana.”
“Antar Ayah ke sana, Ling,” kata Prayogi sambil berdiri.
“Tadi pergi sama Raksa, Om,” kata Sita setelah mereka sampai di rumah teman karibnya Galuh.
Prayogi meminta alamat anak yang dimaksud sambil menanyakan siapa Raksa ke Galing. Mereka memang satu sekolah, Galing masih kelas VII sedangkan Raksa sama dengan Galuh, kelas IX.
“Dia ketua band sekolah, Yah,” kata Galing. “Setahu Galing, kakak menaruh hati padanya.” Kata-kata terakhir Galing membuat Prayogi menghawatirkan anak gadisnya.
Segera dia menamcap gas, melajukan motornya ke perumahan yang agak jauh dari tinggalnya. Namun penjelasan orangtua Raksa tentang Raksa yang juga pergi sejak dari sekolah, membuatnya tak tenang. Ke mana lagi harus mencari? Sepertinya jalan sudah buntu, Prayogi mengajak putranya pulang.
“Tidak ada yang tau ke mana Galuh pergi,” kata Prayogi lemas dengan mengatakan itu pada Gayatri.
Waktu berjalan menuju malam, hinggah jam 9 malam, Galuh baru pulang, dengan sepeda mininya.
Wajah yang biasanya polos itu kini terlihat habis disapu make up. Gayatri menatapnya penuh selidik.
“Dari mana kamu, Galuh? Kenapa wajahmu habis di make up?”
“Dari mana kamu, Galuh? Kenapa wajahmu habis di make up?”Terlihat Galuh berusaha menutupi mukanya. Namun Gayatri masih berusaha melihat dengan menarik tangan Galuh dan memegang dagunya. “Ini apa, Galuh? Apa yang telah kamu lakukan di luar sana?”“Dibilangi bukan apa-apa juga,” kata Galuh dengan melototkan matanya."Kalau orangtua ngomong itu yang sopan jawabnya. Kamu ghak tau betapa khawatirnya kami dengan mencarimu kemana-mana tadi," sahut Prayogi yang juga merasa curiga dengan kelakuan anaknya.“Apa yang kau lakukan dengan anak berandal itu?”“Maksud Bunda apa?” tanya Galuh yang sudah nglonyor ke kamarnya tanpa memperdulikan ayahnya yang baru datang setelah berminggu-minggu tak pulang. Dia bahkan memandang Prayogi dengan tatapan yang menghujat.Gayatri yang sudah panas hatinya dengan kelakuan suaminya, membuat makin panas dengan yang dilakukan putrinya.“Bukankah kamu keluar sama Raksa, anak band itu?"Galuh terdiam sejenak. Dari duluh bundanya mengatakan tidak suka dia dekat deng
“Aku mencari mas Prayogi, tolong panggilkan.”“Kamu siapa?” tanya Gayatri masih memandangi wanita di depannya. Wanita yang sepertinya lebih muda darinya yang sudah 33 tahun.“Sama seperti mbak Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya, saya juga istrinya. Saya Sasmita.”Gayatri terkejut. wanita itu bahkan kini telah datang ke rumahnya, sebelum dia mau mengutarakan kepada suaminya agar anak-anak tidak tau persoalan mereka. Dyah Ayu Gayatri Hadiwijaya? Gayatri mengeja sendiri namanya setelah teringat wanita itu menyebutnya. Bagaimana wanita itu tau nama lengkapnya? Siapakah dia? Atau karena begitu dekatnya dia dengan suaminya sampai dia telah mengetahui namanya dengan baik? Hadiwijaya,.. begitu lama nama pengusaha terkenal itu tak pernah disebut siapapun dalam keluarganya setelah apa yang Gayatri lakukan dengan menikahi Prayogi, lelaki kalangan biasa teman SMA-nya yang bisa masuk di sekolah elit karena beasiswa.“Tolong duduk di depan sebentar, saya akan memanggilnya,” kata Gayatri berusaha menahan
"Apa? Kenapa kamu menjebakku?" tanya Prayogi dengan segera bangkit dari duduknya. Namun tangan Sasmita kembali meraihnya dan mendudukkannya di dekatnya."Kalau aku tidak mengatakan hamil, mungkinkah kamu akan menikahiku?" "Brengset kamu, Mita." maki Prayogi geram.Namun perempuan itu malah memamerkan senyumnya. "Kamu kan ghak mungkin berhubungan dengan wanita yang tidak sah denganmu. Makanya aku membuatmu sah denganku agar kamu tak segan lagi bermesraan denganku." "Kamu telah enjebakku untuk kedua kalinya.""Yang menikmati saat itu juga siapa? Kamu kan?""Itu karena obat yang kamu campur di minumanku."Prayogi yang langganan warung di sebelah salon Sasmita setiap mengirim barang ke Mojokerto, tiba-tiba saja pusing. Lalu Sasmita menawari untuk tidur sebentar di salonnya yang telah tutup. Dia sudah lama megenal Sasmita yang sering membelikan pegawainya jajan atau sekedar minuman di waung sebelahnya. Hanya sekedar bercanda dan ngobrol biasa. Gayanya yang sopan tak terbersit ada niat ya
Masih dengan tanda tanya di kepalanya, Gayatri kemudian pulang dengan membawa makanan dari bu Ratna, katanya dia masak sengaja banyak untuk dibawa pulang Gayatri. Saat di depan rumah megah itu, tak sengaja dia menoleh ke rumah samping. Di sebuah balkom rumah itu, tampak Rendra menyunggingkan senyumnya ke Gayatri. Dengan menuntun sepedanya Gayatri mengangguk tersenyum membalasnya.Setelah mengayuh sepedanya yang lumayan jauh, sampai juga Gayatri di toko bu Ratih."Bu, tolong hutang saya di total." kata Gayatri setelah menunggu sepinya pembeli."Suaminya sudah pulang, Mbak?" tanya bu Ratih dengan senyumnya menyambut Gayatri.Gayatri mengangguk."Kalau sudah pulang, kenapa mbak e wajahnya malah kusut begitu? Ghak seceria seperti biasanya kalau suami pulang."Gayatri hanya tersenyum masam. "Lelah saja, Bu. Ini tadi habis kerja dari bu Ratna.""Alhamdulillah sudah kerja di sana. Memang kerjanya berat?""Bukan kerjanya, Bu, tapi mengayuh sepedanya yang jauh.""Iya, apalagi semalaman kangen-
"Kegiatan apa yang dilakukan dengan Raksa malam minggu begini?" tanya Gayatri tak tenang. Dia tak ingin kebodohan yang pernah dia lakukan dengan menikah muda tanpa restu, tanpa pikir panjang, kini dilakukan putrinya. Apalagi dengan pemuda yang sepertinya aneh dengan anting tindiknya seperti Raksa. Sedangkan Prayogi, pemuda yang dulunya pintar sampai mendapat beasiswa di SMA sekarang juga tak lebih dari sampah yang harus dibuang, jengkel Gayatri. Mending sampah an organik yang bisa didaur ulang. Dia seperti sampah organik yang pantasnya hanya dilumat karena membusuk."Bund." Galing memegang tangan Bundanya.Gayatri menoleh, memandang lurus putranya."Raksa anaknya baik Bund walau dia suka nyentrik dengan anting tindik dan gaya berpakaiannya. Dia penabuh drum yang handal, Galing suka belajar nabuh drum dari dia. Suaranya juga bagus kalau dia nyanyi.""Bunda hanya khawatir Kak Galuh terjerumus dengan pergaulan yang bebas. Dia masih kecil, SMA saja belum.""Sepertinya kepergian mereka ada
"Ada apa?" tanya Rendra yang kemudian tak ragu setelah pemuda itu memberinya senyuman."Maaf, Kak,..mengganggu. Kakk orang sini, bukan?" tanyanya dengan sopan.Rendra berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya tak asing. Terlebih saat cewek yang bersamanya berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Walau kini tanpa make up, Rendra dapat melihat, dialah penyanyi di cafenya Alan. Dan pemuda itu? Rendra menelisik antik tindiknya. Dialah penabuh drum yang juga penyanyi itu. Rendra masih mengamati mereka. Hmm, benar-benar bocil. Badannya aja yang tinggi, bathinnya."Kak,...""Hm, ya,... memangnya kenapa? Iya, saya orang sini," ucap Rendra gelagapan.Bolehkah minta tolong untuk mengantarkan teman saya ke rumahnya? Ban saya bocor. Yang nambal di ujung sana. Saya takut dia kemalaman.""Iya, saya antar. Memangnya kamu ghak khawatir saya orang jahat, kok disuruh ngantar gadis?" gurau Rendra menggoda anak-anak itu."Kakak kan temannya Kak Alan. Kalau saya ghak ngenali mobil Kakak, ya, ghak mungkinlah
Gayatri membelalakkan matanya melihat penampakan tubuh Prayogi. "Ck,ck,ck,...seganas itukah istri mudamu, Yah,.. sampai sekujur badanmu dipenuhi hasil karya mulutnya?" sindir Gayatri walau hatinya teramat sakit dengan membayangkan betapa liarnya sentuhan yang dilakukan Prayogi dengan Sasmita.Prayogi yang kepalang basah ketauan Gayatri, padahal dari tadi dia berusaha menutupinya, malah mendekati Gayatri. Terlebih saat dia melihat kedatangan Galuh tadi yang diantar seorang pria yang sikapnya menurut Prayogi berlebihan ke Gayatri.:"Aku juga bisa membuatmu merasakan liarnya yang aku alami," katanya dengan mengunci Gayatri di tembok dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan ciumannya ke bibir dan leher Gayatri. Dia memang baru merasakan sensasi panas seperti yang ditunjukkan Sasmita kepadanya. Beda sekali dengan yang dia lakukan dengan Gayatri yang penuh dengan kelembutan."Lepasin aku, Yah. Kamu sudah gila!"Namun Prayogi malah memperdalam ciumannya, membuat Gayatri sampai sesak bernafas
"Ceraikan aku!""Apa? Kamu sudah gila dengan mengatakan itu kembali?,Apa kamu anggap apa yang telah kita lewati hanya sebuah gurauan? Kita telah melewati masa-masa sulit bersama, bagaimana mudah kamu mengatakan kata cerai?""Masa sulitku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku saat ini. Selama ini aku bertahan karena kamu mendukungku dengan cintamu. Setelah kini kamu berubah, apa lagi yang bisa membuatku bertahan?""Aku masih mencintaimu, Tri. Aku amat mencintaimu.""Kata-kata saja tak cukup kuat dengan apa yang telah kaubuktikan sekarang," kata Gayatri kini kembali memunggungi suaminya dengan meletakkan bantal di sebelahnya.Rasa marah membuat Prayogi reflek menarik tangannya. Lalu kembali menghujani Gayatri dengan ciumannya."Hentikan atau aku akan pindah kamar. Dan itu akan membuatmu makin dibenci oleh anakmu.""Apakah semua ini karena lelaki itu?" Prayogi menekankan suaranya keras di telinga Gayatri walau suaranya berbisik agar tak terdengar oleh anak meraka."Kamu mencari kambing