Menikahi Gadis Pilihan Mama, merupakan hal yang harus dilakukan Freddy Hanafi, seorang karyawan perusahaan swasta. Meskipun tahu dirinya dijodohkan dengan Raisa sejak mereka masih kecil, tetapi Freddy tidak menduga akan benar-benar menikahi anak gadis sahabat mamanya. Perbedaan usia, wawasan dan gaya hidup, menimbulkan riak-riak kecil dalam kehidupan rumah tangga Freddy dan Raisa. Masalah mulai muncul ketika mantan pacar keduanya kembali hadir dan tidak ragu-ragu untuk mendekat. Mampukah Freddy dan Raisa mempertahankan rumah tangga mereka? Akankah cinta akan menyatukan keduanya?
View More01
"Pokoknya Mama nggak mau tau. Minggu depan kamu harus menikah dengan Raisa. Titik! Nggak pakai koma!" tegas Mama sambil memelototiku. Tangannya ditumpangkan di pinggang. Persis gaya orang mau memulai pemanasan senam. "Tapi Abang belum mau menikah, Ma. Masih muda. Masih pengen bebas," jawabku sedikit ngotot. "Umur Abang sudah 27 tahun. Muda dari Hong Kong? Umur segitu dulu, Papa sudah punya anak dua!" sergah Mama tak mau kalah. "Itu, kan, zaman dulu,Ma. Sekarang umur segini masih pengen eksis. Kongkow, entar umur 30 baru nikah," balasku, sama keras kepalanya. "Jangan membantah lagi, Bang!" Mama mengancam dengan mengacungkan kepalan tinjunya ke wajahku. Aku yang masih sayang dengan wajah ganteng, akhirnya memilih untuk diam. Mirip tikus yang sudah masuk perangkap dan tidak bisa keluar. Papa dan adikku, Neyla.malah menertawakanku dengan semangat. Sepertinya mereka puas melihatku kalah adu argumen melawan Mama. Tidak peduli aku yang mesem-mesem di sofa paling ujung sembari menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar, yang mungkin akan menyebabkan Mama tersinggung. Merasa frustrasi karena tidak bisa melawan, aku akhirnya menenggelamkan wajah ke bantal sofa. Aku, Freddy tanpa Mercurie, akhirnya harus menerima nasib. Mesti mengalah pada Mama Astri, Queen of the Papa land. *** Hari yang tidak ditunggu pun tiba. Di sinilah aku, duduk di pelaminan dengan seorang perempuan muda, berumur 22 tahun bernama Raisa Natarina. Anak sahabat karib Mama sejak masih di bangku SMU, yaitu Tante Tina. Sebetulnya aku dan Raisa sudah dijodohkan sejak dia baru lahir. Jodoh asal-asalan dan sangat dipaksakan. Entah perjanjian apa yang dilakukan mamaku dan Tante Tina, hingga mereka sangat antusias menjodohkan kami. Waktu aku masih SMA, Mama pernah menyuruhku untuk mengantar dan menjemput Raisa pergi dan pulang sekolah. Bahkan aku sampai dibelikan sebuah motor second. Yoih, motor bekas. Hal itu dilakukan Mama supaya aku enggak manja dengan barang- barang mewah. Padahal aku tahu, Mama sampai menjual perhiasannys demi membeli motor itu, dengan maksud agar aku lebih akrab dengan Raisa. Teman-teman sekolah selalu meledekku. Bila mereka membonceng pacar masing-masing yang menggunakan seragam putih abu. Sedangkan aku membonceng perempuan berseragam SD. Beda usia kami yang mencapai lima tahun memang terlihat enggak seimbang. Terlalu dipaksakan dan membustku sempat malu. Terutama karena aku hanya menganggap Raisa sebagai Adik, sama seperti Neyla. Acara antar jemput itu berlanjut hingga aku kelas tiga SMU dan Raisa kelas satu SMP. Setelah tamat, aku memilih kuliah keluar dari Kota Bandung. Memang sengaja mencari yang jauh. Biar tidak disuruh jadi ojek antar jemput anak culun. Ya, dulu Raisa culun banget. Wajah tanpa bedak sama sekali. Rambut diikat ekor kuda terus. Ke mana-mana selalu minta dibeliin es krim. Makannya pun belepotan. Benar-benar jauh dari pacar impianku. Akan tetapi, sekarang sangat berbeda. Sosoknya yang mungil dengan raut wajah semi oriental karena sang mami keturunan Tionghoa, membuatnya terlihat cantik dan tampak dewasa. Senyuman menawan dengan lesung pipi di sebelah kiri. Alis tebal melengkung alami. Iris mata cokelat. Bibir tipis melebar yang dipoles lipstik merah muda. Kulitnya putih bersih khas perempuan keturunan Tionghoa. Aku tidak bisa menebak warna dan panjang rambutnya karena tertutup sanggul dan hiasan pengantin khas Sunda, sesuai dengan asal usul papinya, Om Deni yang asli dari tanah Pasundan. Acara foto bersama keluarga telah selesai. Dilanjutkan dengan berfoto bersama tetua kedua keluarga, yang hadir jauh-jauh dari kampung. Kemudian aku dan Raisa diminta sang fotografer untuk melakukan pemotretan di beberapa booth foto yang disediakan pihak wedding organizer. Ya, Tuhan. Bisa enggak sekarang langsung ke acara inti saja? Aku sudah capai senyum-senyum dari pagi. Sangat ingin melepaskan jas pengantin dan berbaring dengan nyaman. Akan tetapi, lagi-lagi aku harus mengalah demi kelancaran semua proses pernikahan. Aku juga tidak bisa bersikap semena-mena, demi menjaga perasaan keluargaku dan keluarga Raisa. Tepat pukul 12 siang acara resepsi pernikahan selesai digelar. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Bebas dari berbagai rangkaian acara adat yang rumit dan melelahkan. Saat hendak melangkah menuju kamar pengantin, tiba-tiba lenganku ditarik oleh ketiga pria bersetelan jas abu-abu. Aku hanya bisa pasrah saat tubuhku diangkat dan diceburkan ke kolam renang hotel ini. Aku berenang ke tepi kolam dan berusaha keluar dengan badan yang basah kuyup. Gelak tawa bahagia para penjahat tukang makan gratisan benar-benar membuatku kesal. Mereka tertawa senang telah berhasil menjalankan misi mengerjaiku, karena sudah menghilangkan status jomlo akut, yang sudah setahun terakhir kusandang. "Benar-benar nggak nyangka, pura-pura jomlo, ehh, tau-tau nikah," ujar Erwin seraya menarik tanganku dan berusaha membantuku keluar dari kolam. "Dendam kesumat tampaknya kalian ini!" sungutku sembari berdiri di tepi kolam, sambil membuka pakaian pengantin yang telah basah. "Woiii. Jangan porno di sini, atuh!" seru Seno. "Enggak mungkin aku jalan ke kamar dengan baju basah. Harus dibuka," balasku. "Tunggu di sini. Kuambilkan pakaian ganti buatmu," ujar Farraz sambil berlari menjauh. Sambil menunggu Farraz datang, aku sengaja menyipratkan air ke Seno dan Erwin. Aku puas melihat mereka menjerit-jerit dan berlarian menghindar. Farraz kembali datang bersama Neyla, yang membawa tas plastik bening yang berisi pakaian ganti dan sandal. Neyla memberikan tas yang segera kuambil. Lalu aku berjalan cepat menuju ruang ganti. Setelah keluar, aku merangkul Neyla dan mengajaknya menjauh dari mata ketiga pria playboy, yang kompak berteriak meminta kami tetap di sana. "Abang, kata Mama, ke kamar Mama dulu," tukas Neyla. "Ngapain?" tanyaku. "Nggak tau. Nurut aja, deh!" Aku mengangguk. Enggan berdebat karena pasti tetap kalah. Kami memasuki lift yang segera bergerak menuju lantai tiga hotel. Di mana keluarga besarku menginap sejak kemarin sore. Setibanya di kamar yang ditempati orang tuaku, ternyata mereka sudah menunggu. Tanpa membuang waktu, keduanya mengajakku bicara serius tentang petatah-petitih untuk malam pertama. Yaelah, dikata zaman dulu kali, ya. Enggak usah dikasih tahu aku juga sudah paham tentang aktivitas yang lazimnya dilakukan pasangan yang baru menikah. Setelah diceramahi, aku bergegas keluar kamar sambil membawa tas travel merah. Menyusuri lorong panjang yang lengang, mungkin karena semua orang tengah beristirahat. Langkahku terhenti di depan pintu kamar ujung kanan. Aku mengatur napas sembari menahan degup jantung yang mendadak menggila. Setelah lebih tenang, aku mengetuk pintu. Tidak berselang lama pintu pun terbuka. Anita, sepupu Raisa yang membukakan pintu, berbalik dan menjauh. Aku melangkah masuk sembari mengamati sekeliling dengan seksama. Raisa, istri yang baru kunikahi selang beberapa jam yang lalu, terlihat sedang duduk di depan meja rias. Di sebelah kanan dan kiri ada Anita dan Pingkan bukan es mambo, yang juga merupakan sepupu Raisa. "Ehem ... ehem. Suami sudah datang, tuh, Sa," goda Anita. Tangannya menyolek bahu Raisa yang terlihat gugup. "Cieeee ... pengantin wanitanya tersipu-sipu melihat pangerannya datang," canda Pingkan yang dibalas cubitan di lengannya oleh Raisa. Wajah istriku berubah-ubah. Dari merona merah jambu, menjadi merah cabai, dan terakhir menjadi ungu. Mungkin dia sangat terpesona oleh ketampananku. Sejenak tatapan kami bertemu, sebelum akhirnya Raisa berpaling ke cermin, dan pura-pura sibuk melanjutkan pembersihan wajahnya dari riasan tebal. Seulas senyuman tersungging di wajahku saat Pingkan melangkah mendekat sambil mengulurkan tangan. Dia menyentuh lenganku lembut sembari mengusapnya beberapa kali. Lalu dia menatapku dengan sorot mata berkilat jahil. "Bang," ucap Pingkan. "Ya?" tanyaku. "Kalau Raisa menolak, kamarku nomor tiga di sebelah kiri, ya," terangnya sembari mengedip-ngedipkan mata kirinya. "Pingkan!" hardik Raisa sambil mendelik tajam. Anita dan Pingkan beranjak keluar kamar sambil tersenyum jahil. Keduanya melambaikan tangan dengan gaya centil untuk menggodaku. Saat menutup pintu pun mereka masih cekikikan. Sekarang, di dalam kamar hanya tinggal kami berdua. Sepasang pengantin baru yang mendadak menikah demi kebahagiaan orang tua kami. Aku melangkah pelan dan duduk di ujung tempat tidur. Curi-curi pandang ke Raisa yang masih sibuk membersihkan riasannya. Tiba-tiba aku merasa gugup, padahal awalnya aku sangat percaya diri. Aku kaget kala Raisa bangkit berdiri jalan menuju kamar mandi. Aku menarik napas lega saat dia menghilang di balik pintu yang ditutup cukup keras. Aku membuka sandal, lalu meletakkan tas travel ke lantai. Baru saja aku hendak berbaring, panggilan Raisa membuatku harus membatalkan niat buat merebahkan diri. "Abang!" "Ya." "Bisa tolong aku nggak?" "Apaan?" "Tolong bukain risleting gaunku. Macet, nih!" Aku mengenakan sandal kembali, lalu berdiri. Dengan langkah ragu aku mendekati perempuan muda yang tengah menungguku di depan pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Raisa terlihat malu saat berbalik dan menunjukkan belakang tubuhnya yang sedikit terbuka. Punggungnya mulus banget. Tanganku gemetar saat menyentuh kulitnya secara tidak sengaja. Ritsleting gaun ini ternyata memang sulit dibuka. Hingga aku terpaksa mengeluarkan seluruh tenaga dalam. Akibatnya, gaun pengantin putih tulang itu robek. Raisa menjerit. Sementara aku hanya bisa melongo, sambil terus memandangi kulit mulusnya yang kian terekspos hingga ke dekat pinggangnya.50Jalinan waktu terus bergulir. Tepat dua minggu setelah Byantara lahir, aku dan Raisa mengadakan acara akikahan di kediaman Papi. Pada awalnya, kupikir acaranya akan sederhana. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Papi mengadakan pesta mewah, yang pastinya sebagian besar dananya berasal dari dompet beliau.Aku bukan tidak sanggup mengadakan akikahan mewah seperti ini, tetapi aku harus menghemat biaya. Terutama karena sampai dua bulan ke depan akan ada dua dapur yang harus diisi. Yaitu, dapur Bandung dan Jakarta. Beberapa saat sebelum pengajian dimulai, aku dipanggil Amran yang berada di teras depan. Aku menyambanginya dan seketika terkejut melihat banyak teman-teman dari PC yang datang. Bahkan beberapa bos PG turut hadir bersama keluarga masing-masing. Aku bergegas jalan menuju depan rumah, kemudian menyalami semua tamu. Kemudian aku mempersilakan mereka memasuki ruang tamu dan ruang tengah. Para istri bos menghampiri Raisa dan memeluknya sembari beradu pipi. Mereka sempat ber
49Seunit motor polisi dengan sirine khas, menjadi pembuka jalan konvoi beberapa kendaraan roda dua dan empat, yang keluar dari area bandara menuju jalan raya utama Kota Bandung.Bang Zein dan kedua staf HWZ memacu motor besar mereka di belakang motor polisi. Aku memandangi mereka dari kursi depan mobil pertama, sembari mengucap syukur dalam hati, karena memiliki para sahabat yang setia kawan.Aku benar-benar takjub dengan kesigapan mereka yang menyambutku dan teman-teman, dengan protokoler yang biasanya dilakukan pada pejabat. Kendatipun sedikit malu, karena aku jadi penyebab para pengguna jalan lainnya menggerutu, tetapi aku tetap bersyukur, sebab dengan terbukanya jalan ini, konvoi kami tidak terjebak kemacetan.Seno mengemudikan mobil operasional kantor dengan kecepatan tinggi. Di belakang, dua unit mobil operasional PBK menyusul dengan jarak dekat. Bang Zulfi yang berada di kursi tengah, sedang bercakap-cakap dengan Bang Wirya yang berada di Jakarta, melalui sambungan telepon.
48Beberapa hari menjelajahi Malang, ternyata aku sangat menyukai kota ini. Udaranya yang cukup sejuk, menjadikanku teringat akan Bandung di masa lampau. Saat aku kecil, Bandung masih dingin. Keluar untuk berangkat ke sekolah masih banyak embun menggantung di pepohonan. Sekarang, kota kelahiranku sudah panas. Sebab telah banyak pohon dan hutan yang dibabat buat dijadikan tempat bisnis. Jangankan Bandung, Lembang yang dulu dinginnya bikin beku, sekarang biasa-biasa saja. Hanya beberapa daerah di sekitar Jawa Barat yang udaranya masih dingin. Contohnya, Pangalengan, Ciwidey, Cijeruk di Bogor, dan tempat-tempat yang posisi tanahnya tinggi di perbukitan. Lainnya, sih, sama saja dengan Bandung, hareudang, dang, dang, dang, dut. Setelah 3 hari berjibaku di tempat proyek, pagi ini aku dan tim berwisata keliling kota. Tadinya, Bang Yoga mengusulkan ke Bromo, tetapi ditolak yang lainnya dengan alasan capai. Aku pun sama. Di tempat proyek yang jalanannya belum rata, ditambah lokasinya di p
47Hari yang dinantikan Bayu dan Esti, akhirnya tiba. Pagi ini, aku dan keluarga serta kerabat Bayu, mengantarkan papanya Evan ke kediaman orang tua Esti.Suasana akad nikah yang semula tegang, seketika berubah tenang seusai kalimat kabul diucapkan Bayu dalam satu tarikan napas. Aku yang turut tegang sejak tadi, akhirnya bisa menghela napas lega. Aku melirik Raisa yang terlihat serius mengamati pasangan pengantin yang tengah berbincang dengan penghulu. Aku mengulurkan tangan kanan untuk menggenggam jemari Raisa yang seketika menoleh. Aku mengukir senyuman yang dibalasnya dengan hal serupa. Semua runutan acara adat Sunda digelar dengan khidmat. Aku terharu ketika Evan memeluk dan menciumi Esti yang sudah sah menjadi Ibu sambungnya. Isakan lirih terdengar dari semua sudut tempat perhelatan digelar. Begitu pula dengan Raisa. Dia berulang kali mengusap matanya yang basah dengan tisu. Demikian juga dengan Mama, Mami dan Neyla. Geng cengeng. Acara saweran menjadi hal yang paling ditung
46Perjalanan menjelajahi 2 provinsi dalam waktu 5 hari, ternyata sangat melelahkan. Terutama karena tempat yang didatangi merupakan area proyek, bukan tempat wisata ataupun pusat perbelanjaan. Hari terakhir berada di Jambi, pagi-pagi sekali aku dan teman-teman telah jalan memutari area sekitar hotel. Rencana awal, sih, cuma joging Namun, akhirnya kami berhenti untuk menikmati hidangan sarapan khas daerah, di rumah makan yang disarankan pemandu wisata.Dua staf proyek yang merupakan warga lokal, tampak antusias memperkenalkan berbagai panganan khas. Aku menyicipi nasi gemuk dan mi celor. Kemudian aku mencoba menyuap tempoyak yang disarankan Bang Zein untuk dicicipi. "Rasanya unik," tuturku. "Bau durian lumayan kuat," tambahku. "Ya, tempoyak memang dari fermentasi durian," terang Bang Zein. "Ini makanan khas Melayu. Semua daerah yang banyak suku Melayu-nya, pasti punya olahan serupa ini," jelasnya. "Abang orang Melayu juga, kan?" "Hu um. Aku lahir di Pontianak. SMP di Sambas. SMA
45Matahari pagi baru muncul ketika dua unit mobil melaju dari kediaman orang tuaku. Papa yang memaksa untuk menyetir, berulang kali bersenandung mengikuti irama lagu dari alat pemutar musik.Mama menimpali bernyanyi dengan suara yang cukup merdu. Aku, Raisa, Amran dan Neyla saking melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Kendatipun lagu yang diputar adalah lagu-lagu zaman baheula, kami tidak berani memprotes dan membiarkan kedua orang tua bernostalgia dengan musik saat-saat mereka tengah pacaran, dulu. Di belakang, mobil yang dikemudikan Seno,, mengekor dengan jarak dekat. Mungkin dia takut ketinggalan, karena sopir mobilku adalah mantan pembalap bom-bom car. Tiba di perempatan jalan, seunit mobil MPV hitam bergabung. Aku memicingkan mata saat seseorang melambai dari pintu pengemudi, karena tidak mungkin tangan Papi seputih itu. "Yang jadi sopir, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk mobil terdepan. "Kayaknya itu Pingkan," sahut Raisa. "Gelangnya aku ingat banget, karena beli
44Hari berganti dengan kecepatan maksimal..Pagi ini, aku baru tiba di kantor ketika banyak notifikasi masuk dari grup kantor. Aku duduk di kursi kebangsaan sambil menggulirkan jemari, untuk membaca pesan-pesan itu. Mataku membulat sempurna, usai membaca informasi terbaru tentang Erwin. Aku hendak menelepon Seno, tetapi dia telah lebih dulu menghubungiku. Aku menekan tanda hijau pada layar ponsel, lalu menempelkan telepon genggam ke telinga kanan. "Ya, Sen?" sapaku. "Erwin sudah menyerahkan diri, Dy," jawab Seno."Ya, aku sudah lihat infonya di grup." "Kamu diminta ke sini sama Pak Agung dan Pak Giandra." "Kapan?" "Hari ini." "Oke, habis zuhur aku berangkat. Ada meeting penting bentar lagi." "Nanti langsung ke kantor. Kami tunggu." "Sip." "Jangan ngebut. Hati-hati bawa iparku." "Aku mau naik kereta cepat." "Nanti kujemput di stasiun." "Yups."Seno mengucapkan salam yang kubalas dengan perkataan yang sama. Setelah sambungan telepon terputus, aku beralih menelepon Amran dan
43Acara pelantikan pagi menjelang siang ini berlangsung khidmat. Aku begitu bahagia hingga nyaris tidak berhenti tersenyum. Raisa yang berada di kursi belakang Pak Agung, berulang kali melambaikan tangannya. Aku dan kedua direktur dari cabang Surabaya serta Semarang yang juga baru dilantik, merapatkan barisan. Pak Giandra, Pak Agung, Pak Harmoko dan Andra berdiri di sisi kanan. Sementara sisi kiri ditempati Pak Linggha, Pak Leandru, Pak Tanvir dan Pak Davindra. Mereka adalah para komisaris dari Pangestu Grup dan Mahendra Grup, yang juga turut menanamkan saham besar di GWA. Sesi pertama pemotretan berlangsung damai. Namun, ketika beberapa bos dari HWZ, LCGL dan GANK turut bergabung sambil berjongkok di bawah, suasana berubah ricuh. Ketiga perusahaan tersebut merupakan cabang dari Pangestu Grup, karena Pak Linggha menjadi penyumbang saham terbesarnya. Belasan menit berlalu, aku bergabung di meja yang ditempati para bos HWZ, LCGL dan GANK. Aku celingukan mencari Raisa, yang ternyat
42Erwin menghilang!Kekhawatiranku terbukti dan membuatku serta Farraz dan Seno makin cemas. Keduanya telah berupaya mencari Erwin ke berbagai tempat yang biasa didatangi. Sedangkan aku menghubungi semua teman-teman kuliah, mungkin saja mereka memiliki informasi tentang Erwin. Namun, hasilnya nihil. Pagi ini, aku melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan menuju kota kembang. Amran yang berada di sebelah kiri, terlihat tegang. Raisa dan Silvi yang menempati kursi tengah, terlibat perbincangan tentang berbagai komentar di grup para istri karyawan GWA Grup yang semuanya membahas kasus ini. Aku berusaha fokus mengemudi, meskipun sebenarnya pikiran bercabang-cabang. Aku kesal pada Erwin..Harusnya dia jangan kabur dan berani mempertanggungkan perbuatannya. Jika sudah begini, pihak perusahaan mungkin akan melaporkannya ke kantor polisi. Aku juga mencemaskan Vita. Dia pasti syok karena suaminya kabur. Belum lagi bakal dicemooh orang lain. Aku khawatir jika menta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments