04
Kakiku melangkah sambil menyeret koper, mengikuti jejak langkah Raisa, memasuki kamarnya yang terletak di bagian tengah rumah Om Deni. Tepatnya di sebelah kanan ruang tengah. Sudah sering aku main ke sini, tetapi, memang baru kali ini bisa masuk ke ruang pribadinya. Wallpaper bernuansa biru muda dan putih menyambut kedatangan kami. Tempat tidur luas di dekat jendela. Di seberangnya berderet meja rias dan bufet unik, serta lemari besar empat pintu. Di pojok kanan ada pintu yang kata Raisa, merupakan kamar mandi. Kamar ini cukup mewah. Berbeda sekali dengan kamar kecilku yang sederhana. "Abang, bajunya dimasukkan ke lemari. Di sini, pintu paling ujung. Sudah disiapkan tempatnya," tutur Raisa sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Aku bergegas membuka koper dan mengeluarkan setumpuk pakaian, lalu memasukkannya ke lemari. Bagian bawah lemari penuh dengan tas. Rupanya Raisa ini fans berat tas. Selesai berbenah, aku meletakkan koper di atas lemari. Kemudian berbalik ke arahnya. Bingung harus berbuat apa. Hingga akhirnya aku hanya menatapnya lekat-lekat. Raisa sedang berdiri memandang keluar jendela. Raut wajahnya terlihat muram dan membuatku penasaran. Aku ingin sekali bertanya, tetapi tidak berani.. Akhirnya aku memutuskan merebahkan diri di tempat tidur yang ternyata sangat empuk dan wangi. Tanganku sibuk memainkan ponsel, padahal mata mencuri-curi pandang ke arahnya. Raisa pindah dari posisi semula ke depan meja rias. Dia menyisir rambut, kemudian berbalik dan menyambangiku. Raisa berhenti di sisi kiri, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Abang." "Ehm." "Ngomong apa tadi pagi ke Papi?" "Enggak ngomong apa-apa." "Bohong!" "Beneran!" "Itu tadi Mami ngomelin aku!" Aku hendak membantah, tetapi diurungkan kala kami bertatapan. Hatiku mencelos menyaksikan matanya yang terlihat berkaca-kaca. Aku memutuskan untuk beringsut mendekatinya. Aku menyentuh pundak Raisa yang tetap diam. Sebelum akhirnya dia terisak-isak. Aku bingung harus berbuat apa. Akhirnya cuma bisa ikutan diam dan menunggu dia selesai menangis. "Dasar cowok nggak peka. Cewek lagi nangis itu dipeluk. Bukan diam begitu," omelnya sambil menyeka air mata dengan ujung jemari. "Entar kamu marah kalau dipeluk, serba salah, deh." "Ya, udah, sekarang peluk!" titahnya Aku beringsut makin dekat dan merengkuh tubuhnya perlahan. Raisa melingkarkan tangan di pinggangku, sambil menyurukkan kepalanya ke dekat leherku. Perlahan muncul desiran aneh dalam dada. Debar dan gelenyar yang makin meluas ke seluruh tubuh. "Maafin aku, ya, Bang," bisik Raisa. "Sama-sama, Abang juga minta maaf lahir batin." "Dikata lebaran." Perlahan dia melepaskan pelukan dan menatapku dengan malu-malu. Aku membalas tatapannya seraya menyunggingkan seulas senyuman yang kuharap cukup memikat. "Bang, bisa nggak, ngasih aku waktu sampai benar-benar siap? Walaupun kita udah kenal dari kecil, tapi udah lama juga, kan, kita nggak ngobrol bareng. Abang terasa jadi orang asing bagiku," pintanya dengan suara lembut. Aku tertegun. Sejenak terdiam sambil berpikir. Kali ini Raisa benar. Kami memang jarang sekali bertemu atau mengobrol sejak aku lulus kuliah dan kembali ke Bandung. Hanya sekali-sekali bertemu karena aku sibuk bekerja, sekaligus sibuk mempermak diri hingga lebih tampan dan gagah. Saat itu, mamaku dan maminya memang terlihat sedikit putus asa untuk menjodohkan kami, karena aku beberapa kali bergonta ganti pacar. Demikian juga Raisa. Aku kembali menatap wajah perempuan muda yang membuat hatiku berdesir. "Iya, Abang paham, Sa. Memang nggak adil juga kalau Abang memaksa meminta hak sebagai suami, tanpa berpikir kamu ikhlas atau nggak. Tenang saja, Abang bukan cowok egois," terangku. "Ehm, tapi, jangan lama-lama, ya. Entar Abang keburu tua nungguin kamu," sambungku yang dibalasnya dengan anggukan dan senyuman manis. Kemudian Raisa memelukku lagi. Kali ini benar-benar dipeluk, dan rasanya, entahlah. Sulit untuk menjabarkannya. Perlahan kubelai rambut panjangnya. Dari jarak sedekat ini terlihat jelas warna rambutnya yang cokelat kemerahan. Hasil perawatan dari salon mahal, pastinya. "Ehm, Sa. Bisa lepasin nggak? Sebelum ada yang keburu bangun di bawah sana," pintaku. Sontak dia menjauh, lalu mencubit lenganku sambil membeliakkan mata. Namun, bibirnya menyunggingkan senyuman. Aduh, Raisa, kamu benar-benar ngegemesin! *** Sore harinya, kami berjalan kaki memutari komplek perumahan sambil mengobrol ringan. Saat kaki mulai letih, aku mengajaknya beristirahat di taman. Duduk selonjoran menyandar ke batang pohon yang rindang, sambil mengunyah cilok yang kami beli di dekat taman. "Abang nggak punya pacar?" tanya Raisa tiba-tiba. "Enggak ada." "Kok, bisa? Kan Abang dulunya banyak yang naksir. Termasuk Anita dan Pingkan." "Lagi males pacaran. Pengen langsung nikah, tapi ternyata balik lagi ke kamu jodohnya." Raisa manggut-manggut. Kemudian dia kembali menikmati jajanan murah meriah. Nafkah pertama yang kuberikan padanya sebagai suami. "Pacar kamu, namanya siapa?" tanyaku sambil memandanginya saksama. "Andra." "And the back bone?" Raisa tersenyum simpul sambil menggeleng. "Bukan. Nama lengkapnya, Andra Sentanu." "Boleh lihat fotonya?" "Entar ngambek." "Ngapain harus ngambek?" "Karena dia lebih cakep dari Abang." "Enggak ada yang mengalahkan ketampananku." "Over pede." "Dah, mana fotonya?" Raisa mengutak-atik ponselnya. Kemudian menunjukkan foto seorang pria berkulit putih yang harus kuakui, tampan. Mirip cowok-cowok Korea. "Ganteng, kan?" tanyanya. "Tetap aku yang lebih handsome." Raisa menyipitkan mata hingga tersisa segaris. "Masih gantengan dialah. Lebih putih dan lebih tinggi pula," jelasnya dengan suara yang terdengar bangga. "Tapi aku ini suamimu. Jelas menang satu point dibanding dia yang cuma mantan pacar!" desisku tidak mau kalah. Raisa tertegun, menunduk, lalu dia memandangku lagi, menunduk lagi, gitu saja terus sampai Upin dan Ipin jadi sarjana. Menjelang magrib, kami pulang dengan menumpang pada ojek, karena Raisa mengeluh kakinya sakit. Setibanya di rumah, dia bergegas memasuki kamar mandi. Lembayung senja kian menggelap. Kumandang azan memanggil setiap insan untuk menunaikan ibadah. Aku dan Raisa menunaikan salat berjamaah di kamar. Setelahnya, kami keluar untuk bergabung dengan kedua orang tuanya di ruang makan. Acara makan malam perdana sebagai bagian keluarga besar Deni Heriawan berlangsung dalam diam. Itu aturan tidak tertulis di keluarga ini. Makan tidak boleh sambil berbincang. Berbeda sekali dengan keluargaku. Acara makan menjadi ajang investigasi Mama, dan adu ledek dengan Papa. Sekaligus tempatku bercanda dengan Neyla. "Rumah buat kalian belum selesai direnovasi. Jadi untuk sementara, kalian tinggal di sini dulu bersama kami. Urusan furniture, kalian boleh pilih sendiri di toko. Terserah mau model kayak gimana," tutur Om Deni seraya menatap kami berdua. "Iya, Pi. Besok aku mau ngajak Abang ke toko buat pilih-pilih," jawab Raisa. Papi mertuaku ini punya beberapa toko furniture yang tersebar di seputar Jawa Barat. Sedangkan Mami mertua memiliki butik khusus pakaian big size. Pelanggannya banyak. Salah satunya adalah Tante Irma. Adik bungsu mamaku yang bertubuh tinggi besar. Beliau adalah ibunya Ella. Beda dengan Mama yang enggak tinggi dan juga enggak besar. Mungil, imut-imut dan menggemaskan. Sering disangka kakakku kalau kami jalan bareng. Setelah selesai makan, Om Deni beranjak bangun dari kursi. Beliau menepuk punggungku, lalu berbisik, "Semangat, Bang!" Aku tersedak. Air mana air!05Selesai salat Isya berjamaah di kamar, Raisa mengurung diri lama di toilet. Aku menunggu sampai 30 menit, tetapi dia enggak keluar juga. Akhirnya kupaksakan untuk mengetuk pintu. "Raisa?" panggilku. "Ya?" "Kamu lagi sakit perut?""Enggak." "Udah bisa keluar? Gantian, dong. Aku juga mau nyetor."Tak lama kemudian kunci pintu dibuka. Raisa keluar sambil menunduk dan jalan cepat hingga tiba di dekat meja rias. Aku segera masuk ke kamar mandi sambil membawa ponsel. Bersemedi sembari cekikikan membaca novel milik Emak OY yang berjudul My Lovely Bodyguard, yang juga tayang di Goodnovel.Saat aku keluar,, ternyata lampu utama sudah dipadamkan. Tinggal lampu di atas meja rias yang masih menyala. Raisa tengah berbaring menyamping ke kiri dan menghadap jendela. Sinar dari layar ponselnya yang masih menyala, menandakan bahwa dia belum tidur.Aku duduk di pinggir kanan kasur. Merebahkan diri dengan hati-hati agar tidak menyenggol tubuhnya. Aku berusaha menenangkan detak jantung yang menda
"Abang." "Ehm." "Kok, diam aja dari tadi?" "Males ngomong." "Kenapa?" "Sakit gigi." Raisa cekikikan. Aku bersedekap tangan di dada sambil mesem-mesem. "Fokus dong nyetirnya. Entar celaka!" protesku."Ini juga udah fokus, Abang. Kalau nggak, Abang aja, deh, yang nyetir." "Aku nggak punya SIM. Entar ditilang." "Bikin atuh. Besok kuanterin, ya!" Aku mengangguk, kemudian melemparkan pandangan ke luar kaca. Dalam hati terus bertanya-tanya tentang pria tadi. Namun, aku malas untuk memulai pembicaraan mengenai dirinya. Setelah lama terdiam akhirnya aku memecah kecanggungan sekaligus interogasi. "Tadi, kenapa pake pelukan segala sama dia?""Kenapa? Cemburu?" Raisa balik bertanya. "Enggak. Cuma kesal!" Raisa tergelak. Bahunya berguncang menahan tawa. "Andra yang meluk aku, Bang. Kan aku nggak balas meluk," ujarnya di sela-sela tawa. "Tetap aja bikin kesel. Kamu, kan, istriku. Harusnya dia udah nggak boleh peluk-peluk!" "Iya, deh, iya. Nanti kubilangin ke dia. Enggak boleh peluk,
"Bang." Sayup-sayup terdengar suara Raisa memanggil. "Abang," suaranya mulai meninggi. Aku mencoba membuka kelopak mata yang tertutup rapat. Terasa ada yang mengguncangkan tubuh atletisku dengan kuat. "Abang!" hardiknya. "Apa?" "Bangun! Udah Subuh. Buruan salat!" "Hmm. Entar dulu, deh. Masih ngantuk." Aku berbalik ke kanan dan memeluk guling dengan erat. Segelas air yang diguyur ke wajah membuatku gelagapan. Tangan bergerak cepat mengusap wajahku dengan tangan."Apaan, sih? Kok, aku disiram?" protesku sambil beranjak duduk."Dibangunin salat susah, tapi pengen masuk surga. Aneh!" omelnya.."Iya, iya. Ini udah bangun! Cerewet!" "Abang itu emang kudu dicerewetin!" tukasnya tidak mau kalah. "Jangan galak-galak atuh ke suami, teh. Entar kabur." "Coba aja kalau berani kabur. Siap-siap di prekes-prekes," jawabnya sambil mengacungkan tinju ke arahku. Waduh! Bahaya! Segera aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Duduk di kloset dan bersemedi dengan dama
Masuk kerja di hari pertama setelah cuti, aku langsung disambut dengan rapat, rapat dan rapat. Bikin kepala bertambah nyut-nyut. Kaki melangkah gontai berjalan kembali ke meja kerja, lalu aku mengempaskan badan ke kursi. Aku menelungkupkan tangan d meja dan menenggelamkan kepala di dalamnya. "Deuh, pengantin baru, baru masuk kerja udah loyo aja," ledek Edwin dari meja sebelah. "Diam!" hardikku. "Pasti kangen istri, tuh!" imbuh Seno dari meja seberang. "Berisik!" bentakku. "Kapan mau indehoy, Ed? Entar gue videoin," sahut Farraz sambil tertawa. "Nu gelo'!" teriakku. "Udah. Jangan digodain terus. Mukanya udah merah, noh," tukas Mbak Sinta, sekretaris kantor yang kebetulan sedang melintas."Makasih, Mbak. Emang vangke mereka," sungutku seraya menatap tajam ke ketiga lelaki sok kece sambil mengacungkan tinju. Ketiga pria yang mengaku sahabat itu malah makin tergelak. Sepertinya mereka puas sudah mengerjaiku. Bikin kekesalanku kian meningkat. Dasar, Vangke!Dering ponsel membuatku
Aku mengangguk dan balas menatapnya saksama. Dipandangi seperti itu membuatku deg-degan. Seolah-olah tengah kembali ke masa-masa saat kami masih bersama. "Kenapa kamu menikah dengan Raisa?" desak Ghea Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. "Dijodohin alias dipaksa Mama dan Papa," sahutku. Sudut bibir Ghea terlihat melebar. Kemudian dia terbahak hingga bahunya berguncang. Tawa hangat yang pernah sangat kusuka dan tak ayal membuatku ikut tersenyum."Bukannya dulu kamu nolak buat dijodohin?" tanyanya setelah berhenti tergelak. "Iya, tapi kemarin udah nggak bisa nolak lagi. Mana lagi jomlo. Ya, udah, deh, bablas nikah." "Jomlo?" Matanya dipicingkan menatapku seakan-akan tidak percaya. "Ho oh." "Kok, bisa? Bukannya kamu banyak yang naksir?" "Sejak kita putus, aku udah males buat nyari pacar lagi." "Kenapa?" "Ngarep kamu balik lagi," selorohku seraya tersenyum. Raut wajah Ghea mendadak berubah seiring dengan tatapannya yang melembut. Tangannya terulur menyentuh le
Malam ini aku dan Raisa bersantap dalam diam. Dia sibuk dengan ponselnya. Sedangkan aku mengarahkan tatapan pada televisi yang tengah menayangkan drama ikan terbang.Entah kenapa ada rasa tidak nyaman diam-diaman begini. Aku seakan-akan hanya makan sendirian dan Raisa hanya jadi patung. Kami juga tidak saling menatap. Bahkan, saat tanpa sengaja tangan kami bersentuhan ketika hendak menambah lauk, Raisa cepat-cepat memindahkan tangannya untuk mengambil nasi terakhir tanpa menyisakannya buatku. Raisa bangkit berdiri dan membawa piring bekas makannya ke dapur dan mencucinya. Kemudian, dia langsung masuk ke kamar. Tak lama berselang dia keluar dengan membawa koper dan berpindah ke kamar depan. Dia menutup pintu sambil menatapku sinis. Bunyi kunci pintu yang diputar menandakan bahwa genderang perang memang sudah ditabuh.Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Aku meminum air di gelas dalam beberapa tegukan singkat. Lalu meletakkan gelas ke meja. Aku bangkit berd
Aku bersiul sambil mengetik di laptop di meja kerja. Aku membalas tatapan penuh tanya dari teman-teman di sekitar, dengan tersenyum tipis agar terkesan misterius."Fred, kamu kesambet?" tanya Seno sambil memandangiku saksama. "Enggak. Aku lagi happy," terangku. "Happy kunaon?" desak Farraz sembari memajukan kursinya ke dekat mejaku. "Ada, deh!" sahutku. "Happy-nya Freddy, mah, nggak jauh dari urusan cewek!" celetuk Erwin dari kursinya.Aku melemparkan spidol ke arahnya yang bergerak cepat berkelit sambil tertawa. Aku mengambil spidol lain dan bersiap-siap melemparkannya pada siapa pun yang mengejekku. "Gaya-gayanya, Freddy lagi falling in love, nih!" sela Seno sembari menatapku lekat-lekat. Dia memang lebih dekat denganku dibanding yang lainnya. Aku tertawa mendengar ucapannya. Dalam hati mengakui, bahwa aku mulai jatuh cinta pada Raisa. Namun, aku akan merahasiakan hal ini dari mereka. Ketiga bujangan sok kece.Waktu berjalan dengan sangat lambat. Sekali-sekali aku melirik arlo
Untuk urusan memasak aku lebih jago dari Raisa. Ini juga pernah dipuji Mami mertua yang pernah datang berkunjung, dan mencoba sambal goreng kentang pete buatanku. Mantap, katanya.Di lantai dapur Raisa sedang duduk sambil menyiangi sayur kangkung dan mengobrol dengan Mbok Sum. Aku tidak memahami pokok bahasan mereka yang di luar jangkauan otakku. Tidak sampai 30 menit, ikan tuna balado ala koki Freddy Hanafi sudah siap di atas meja makan. Nasi juga sudah matang. Sambil menunggu Raisa selesai menumis kangkung, aku memutuskan untuk mencuci wajah dan berganti pakaian, agar aroma masakan tidak menempel ke badan. Selanjutnya, aku duduk di sofa sambil berselancar di aplikasi biru dan merah muda campur ungu sedikit membuatku relaks. Aku menyandarkan tubuh dengan santai. Perlahan aku mulai mengantuk. Maakin lama kelopak mataku makin terasa berat. Hingga akhirnya aku tidak kuat untuk memejam dan hilang kesadaran. Tepukan lembut di pipi membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata sebentar s