05
Selesai salat Isya berjamaah di kamar, Raisa mengurung diri lama di toilet. Aku menunggu sampai 30 menit, tetapi dia enggak keluar juga. Akhirnya kupaksakan untuk mengetuk pintu. "Raisa?" panggilku. "Ya?" "Kamu lagi sakit perut?" "Enggak." "Udah bisa keluar? Gantian, dong. Aku juga mau nyetor." Tak lama kemudian kunci pintu dibuka. Raisa keluar sambil menunduk dan jalan cepat hingga tiba di dekat meja rias. Aku segera masuk ke kamar mandi sambil membawa ponsel. Bersemedi sembari cekikikan membaca novel milik Emak OY yang berjudul My Lovely Bodyguard, yang juga tayang di Goodnovel. Saat aku keluar,, ternyata lampu utama sudah dipadamkan. Tinggal lampu di atas meja rias yang masih menyala. Raisa tengah berbaring menyamping ke kiri dan menghadap jendela. Sinar dari layar ponselnya yang masih menyala, menandakan bahwa dia belum tidur. Aku duduk di pinggir kanan kasur. Merebahkan diri dengan hati-hati agar tidak menyenggol tubuhnya. Aku berusaha menenangkan detak jantung yang mendadak jumpalitan. "Bang," panggil Raisa. "Ehm." "Sudah tidur?" "He em." "Kok, masih jawab?" Dia terkekeh. "Kan, ditanya. Kudu jawablah." Sesaat suasana hening. Raisa berbalik dan memandangiku dengan intens. "Bang." "Hmm." "Ajarin doa yang itu, dong." "Doa yang mana?" tanyaku sambil berusaha memastikan pendengaran. "Doa buat ... anu," jawabnya pelan. Aku memiringkan tubuh ke kiri untuk mengamatinya yang tengah menunduk. Aku beringsut mendekat, lalu memegangi jemari Raisa. "Kamu sudah siap?" tanyaku. Raisa mengangguk malu-malu. "Aku nggak mau tambah berdosa karena tidak memberikan hak suami," balasnya.. "Kalau masih belum ikhlas, nggak apa-apa, kok. Abang akan menunggu." Raisa menengadah. Menatapku dengan sorot mata yang teduh. "InsyaAllah, aku ikhlas, Bang." Sejenak kami terdiam dan hanya saling memandang. Aku melepaskan genggaman, lalu menyentuh rambutnya. Aku membelai perempuan halal dari rambut hingga pipinya, sembari menahan diri untuk tidak terburu-buru. Raisa tersenyum sembari ikut menyentuh rambutku pelan. Gerakan tangannya terlihat masih kaku hingga membuatku tersenyum kecil. Perlahan aku meraih tubuhnya masuk ke dalam pelukan, lalu menempelkan diri dengan erat seraya membisikkan doa khusus. Raisa mengikuti dengan suara pelan. Aku memajukan wajah dan mendaratkan bibir di dahinya. Bergeser sedikit demi sedikit hingga menyentuh semua bagian wajahnya yang cantik. Raisa tampak pasrah saat bibirku mendarat dengan mulus di bibirnya. Aku mengisap madunya dengan pelan dan sangat menikmati pertukaran saliva. Suara lembut yang menggetarkan hati membuat hasratku makin meningkat. Aku memutus keintiman dan menjauhkan diri. Kemudian aku berkutat untuk melepaskan semua yang menutupi diriku dan dirinya. Eits! Jangan ngintip, ya, readers. Malam ini aku mau meeting sama Raisa. Mijit yang penting-penting. Eeeeeaaaaa! *** Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui jendela yang sudah terbuka lebar. Angin sejuk berembus menyapu wajah dan membuatku terjaga dengan cepat. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menahan sinar yang mengarah langsung, dengan menempelkan telapak tangan di depan mata. Aku berguling ke kiri. Bagian yang ditiduri Raisa ternyata sudah kosong. Meraba perlahan, senyumanku langsung mengembang, mengingat meeting kami semalam. Aku dan Raisa, istriku yang seksi. Akhirnya! Setelah setahun jomlo. Tebar pesona tanpa hasil. Tidak menyangka akhirnya bisa menikah dengan Raisa, gadis culun fans berat es krim. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Tak lama kemudian Raisa muncul dengan mengenakan jubah mandi bermotif hello kitty merah muda. Dia tersenyum malu-malu saat pandangan kami bertemu. Raisa melangkah menuju lemari besar, lalu membuka pintu dan menarik baju dari dalam lemari dengan tergesa. Kemudian dia menoleh ke arahku. "Abang, mandi, gih!" "Iya. Bentar lagi," jawabku seraya terus memerhatikannya yang mulai salah tingkah. "Buruan! Aku mau ganti baju, nih." "Pakai aja di sini, atuh." Aku tengkurap dan menopangkan dagu di kedua tangan yang terlipat. Alisku bergerak naik turun menggodanya. Raisa cemberut. Beberapa detik dia terdiam. Kemudian berbalik dan mulai mengenakan celana panjangnya. Sekarang aku yang terperangah. Tidak menyangka dia bisa bersikap cuek begitu. Aku hanya bisa menelan saliva melihat bagian belakang tubuhnya yang padat dan berbentuk bagus. Tidak kuat! Aku menyerah dan berbalik. Beranjak bangun untuk duduk sambil menutup mata. Sibuk meredakan hasrat yang tiba-tiba bangkit dalam dada. Kenapa justru aku yang jadi tergoda, ya? Padahal tadi niatnya aku yang menggoda dia. Hadeuh! Perlahan aku beringsut ke pinggir tempat tidur dan bangkit berdiri. Aku melangkah pelan sambil menunduk saat melewatinya, terus masuk ke kamar mandi. Sengaja aku berdiri lama di bawah shower, menikmati guyuran air sambil merutuki diri sendiri. Sok-sokan mau menggoda, tahunya aku sendiri yang tidak kuat mental. Ditambah lagi meriamku sekonyong-konyong tegak. Benar-benar tidak sopan! Saat aku keluar, Raisa sudah tidak ada. Seprai kotor pun telah berganti. Padahal aku ingin memotretnya dan menjadikan noda itu sebagai kenang-kenangan. Bukti kerja kerasku membobol gawang bersegel. Seusai berpakaian, aku keluar dari kamar. Ternyata Raisa sudah menungguku di ruang makan Dia mendorong cangkir berisi kopi susu ke dekatku. Kemudian dia memberikan sepiring makanan beraroma harum. Hari ini kami sarapan pagi hanya berdua. Papi dan maminya sudah berangkat menuju toko masing-masing. Sekali-sekali terdengar senandung lagu dangdut dari Mbok Darmi, perempuan setengah baya yang sudah lama bekerja di sini sebagai asisten rumah tangga. "Bang, nanti kita ke toko dulu, habis itu anterin aku ke mall, ya? Ada yang mau dibeli," tutur Raisa. Tangannya sibuk mengoleskan selai srikaya ke roti. "Iya. Habis itu kita ke rumah Papa." "Ngapain?" "Ngambil baju bersih. Tinggal satu setel di lemari. Kemarin, Abang cuma bawa pakaian dikit." Raisa mengangguk. Dia terlonjak kaget saat tanganku terulur mengusap ujung bibirnya. "Belepotan," ujarku pelan. Ada desiran halus dalam dada saat menyentuhnya barusan. Teringat dengan kemesraan kami semalam. Terasa sangat manis dan membuatku ketagihan. "Ehm, Bang. Ini tangannya boleh aku makan?" Aku tersenyum sambil menarik tangan turun ke meja. Raisa membalasnya dengan senyuman yang sangat menggoda iman. Ayo, kita balik lagi ke kamar, Sayang! *** Aku pusing melihat Raisa mondar- mandir sekeliling toko. Sibuk tunjuk sana sini, sambil melirik notes kecil yang dipegangnya. Mungkin memastikan apa yang belum dan yang sudah dipesan. Gaya Raisa terlihat santai. Sepertinya dia sudah sangat paham dengan berbagai perabotan rumah dan printilan lainnya. Kadang, dia bertanya pendapatku, tetapi lebih banyak menentukan sendiri. Kubiarkan saja. Toh, itu juga untuk rumahnya. Kutinggalkan dia sejenak untuk menyusuri toko. Sampai di depan toko kuputuskan untuk berdiri sambil menyandar ke tembok. Menikmati lalu lalang kendaraan yang cukup padat di jalan raya. Matahari yang bersinar terik ternyata tidak menyurutkan aktivitas orang-orang. Begitu pula dengan deretan toko lainnya di sisi kanan. Banyak orang hilir mudik dengan berbagai keperluan. Seuniy mobil SUV biru tua masuk ke parkiran. Setelah mematikan mesin, pengemudinya turun. Sesosok pria tampan yang mengenakan kemeja lengan panjang biru tua, celana berwarna senada dan sepatu hitam mengkilat. Tubuhnya terlihat gagah. Alis tebal. Mata sipit. Hidung mancung. Bibir tipis melebar. Rahang yang kokoh. Pantas jadi model kayaknya. Dia berjalan dengan tergesa masuk ke toko. Tatapan kami bertemu sejenak. Dia mengangguk sambil terus berjalan. Kubalas tersenyum juga sembari mencoba mengingat di mana pernah melihatnya.. Ahh, itu kan ....! Aku berjalan cepat masuk ke toko. Sampai di bagian tengah, aku tertegun melihat pemandangan di depan mata. Pria itu sedang memeluk Raisa. Istriku."Abang." "Ehm." "Kok, diam aja dari tadi?" "Males ngomong." "Kenapa?" "Sakit gigi." Raisa cekikikan. Aku bersedekap tangan di dada sambil mesem-mesem. "Fokus dong nyetirnya. Entar celaka!" protesku."Ini juga udah fokus, Abang. Kalau nggak, Abang aja, deh, yang nyetir." "Aku nggak punya SIM. Entar ditilang." "Bikin atuh. Besok kuanterin, ya!" Aku mengangguk, kemudian melemparkan pandangan ke luar kaca. Dalam hati terus bertanya-tanya tentang pria tadi. Namun, aku malas untuk memulai pembicaraan mengenai dirinya. Setelah lama terdiam akhirnya aku memecah kecanggungan sekaligus interogasi. "Tadi, kenapa pake pelukan segala sama dia?""Kenapa? Cemburu?" Raisa balik bertanya. "Enggak. Cuma kesal!" Raisa tergelak. Bahunya berguncang menahan tawa. "Andra yang meluk aku, Bang. Kan aku nggak balas meluk," ujarnya di sela-sela tawa. "Tetap aja bikin kesel. Kamu, kan, istriku. Harusnya dia udah nggak boleh peluk-peluk!" "Iya, deh, iya. Nanti kubilangin ke dia. Enggak boleh peluk,
"Bang." Sayup-sayup terdengar suara Raisa memanggil. "Abang," suaranya mulai meninggi. Aku mencoba membuka kelopak mata yang tertutup rapat. Terasa ada yang mengguncangkan tubuh atletisku dengan kuat. "Abang!" hardiknya. "Apa?" "Bangun! Udah Subuh. Buruan salat!" "Hmm. Entar dulu, deh. Masih ngantuk." Aku berbalik ke kanan dan memeluk guling dengan erat. Segelas air yang diguyur ke wajah membuatku gelagapan. Tangan bergerak cepat mengusap wajahku dengan tangan."Apaan, sih? Kok, aku disiram?" protesku sambil beranjak duduk."Dibangunin salat susah, tapi pengen masuk surga. Aneh!" omelnya.."Iya, iya. Ini udah bangun! Cerewet!" "Abang itu emang kudu dicerewetin!" tukasnya tidak mau kalah. "Jangan galak-galak atuh ke suami, teh. Entar kabur." "Coba aja kalau berani kabur. Siap-siap di prekes-prekes," jawabnya sambil mengacungkan tinju ke arahku. Waduh! Bahaya! Segera aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Duduk di kloset dan bersemedi dengan dama
Masuk kerja di hari pertama setelah cuti, aku langsung disambut dengan rapat, rapat dan rapat. Bikin kepala bertambah nyut-nyut. Kaki melangkah gontai berjalan kembali ke meja kerja, lalu aku mengempaskan badan ke kursi. Aku menelungkupkan tangan d meja dan menenggelamkan kepala di dalamnya. "Deuh, pengantin baru, baru masuk kerja udah loyo aja," ledek Edwin dari meja sebelah. "Diam!" hardikku. "Pasti kangen istri, tuh!" imbuh Seno dari meja seberang. "Berisik!" bentakku. "Kapan mau indehoy, Ed? Entar gue videoin," sahut Farraz sambil tertawa. "Nu gelo'!" teriakku. "Udah. Jangan digodain terus. Mukanya udah merah, noh," tukas Mbak Sinta, sekretaris kantor yang kebetulan sedang melintas."Makasih, Mbak. Emang vangke mereka," sungutku seraya menatap tajam ke ketiga lelaki sok kece sambil mengacungkan tinju. Ketiga pria yang mengaku sahabat itu malah makin tergelak. Sepertinya mereka puas sudah mengerjaiku. Bikin kekesalanku kian meningkat. Dasar, Vangke!Dering ponsel membuatku
Aku mengangguk dan balas menatapnya saksama. Dipandangi seperti itu membuatku deg-degan. Seolah-olah tengah kembali ke masa-masa saat kami masih bersama. "Kenapa kamu menikah dengan Raisa?" desak Ghea Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. "Dijodohin alias dipaksa Mama dan Papa," sahutku. Sudut bibir Ghea terlihat melebar. Kemudian dia terbahak hingga bahunya berguncang. Tawa hangat yang pernah sangat kusuka dan tak ayal membuatku ikut tersenyum."Bukannya dulu kamu nolak buat dijodohin?" tanyanya setelah berhenti tergelak. "Iya, tapi kemarin udah nggak bisa nolak lagi. Mana lagi jomlo. Ya, udah, deh, bablas nikah." "Jomlo?" Matanya dipicingkan menatapku seakan-akan tidak percaya. "Ho oh." "Kok, bisa? Bukannya kamu banyak yang naksir?" "Sejak kita putus, aku udah males buat nyari pacar lagi." "Kenapa?" "Ngarep kamu balik lagi," selorohku seraya tersenyum. Raut wajah Ghea mendadak berubah seiring dengan tatapannya yang melembut. Tangannya terulur menyentuh le
Malam ini aku dan Raisa bersantap dalam diam. Dia sibuk dengan ponselnya. Sedangkan aku mengarahkan tatapan pada televisi yang tengah menayangkan drama ikan terbang.Entah kenapa ada rasa tidak nyaman diam-diaman begini. Aku seakan-akan hanya makan sendirian dan Raisa hanya jadi patung. Kami juga tidak saling menatap. Bahkan, saat tanpa sengaja tangan kami bersentuhan ketika hendak menambah lauk, Raisa cepat-cepat memindahkan tangannya untuk mengambil nasi terakhir tanpa menyisakannya buatku. Raisa bangkit berdiri dan membawa piring bekas makannya ke dapur dan mencucinya. Kemudian, dia langsung masuk ke kamar. Tak lama berselang dia keluar dengan membawa koper dan berpindah ke kamar depan. Dia menutup pintu sambil menatapku sinis. Bunyi kunci pintu yang diputar menandakan bahwa genderang perang memang sudah ditabuh.Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Aku meminum air di gelas dalam beberapa tegukan singkat. Lalu meletakkan gelas ke meja. Aku bangkit berd
Aku bersiul sambil mengetik di laptop di meja kerja. Aku membalas tatapan penuh tanya dari teman-teman di sekitar, dengan tersenyum tipis agar terkesan misterius."Fred, kamu kesambet?" tanya Seno sambil memandangiku saksama. "Enggak. Aku lagi happy," terangku. "Happy kunaon?" desak Farraz sembari memajukan kursinya ke dekat mejaku. "Ada, deh!" sahutku. "Happy-nya Freddy, mah, nggak jauh dari urusan cewek!" celetuk Erwin dari kursinya.Aku melemparkan spidol ke arahnya yang bergerak cepat berkelit sambil tertawa. Aku mengambil spidol lain dan bersiap-siap melemparkannya pada siapa pun yang mengejekku. "Gaya-gayanya, Freddy lagi falling in love, nih!" sela Seno sembari menatapku lekat-lekat. Dia memang lebih dekat denganku dibanding yang lainnya. Aku tertawa mendengar ucapannya. Dalam hati mengakui, bahwa aku mulai jatuh cinta pada Raisa. Namun, aku akan merahasiakan hal ini dari mereka. Ketiga bujangan sok kece.Waktu berjalan dengan sangat lambat. Sekali-sekali aku melirik arlo
Untuk urusan memasak aku lebih jago dari Raisa. Ini juga pernah dipuji Mami mertua yang pernah datang berkunjung, dan mencoba sambal goreng kentang pete buatanku. Mantap, katanya.Di lantai dapur Raisa sedang duduk sambil menyiangi sayur kangkung dan mengobrol dengan Mbok Sum. Aku tidak memahami pokok bahasan mereka yang di luar jangkauan otakku. Tidak sampai 30 menit, ikan tuna balado ala koki Freddy Hanafi sudah siap di atas meja makan. Nasi juga sudah matang. Sambil menunggu Raisa selesai menumis kangkung, aku memutuskan untuk mencuci wajah dan berganti pakaian, agar aroma masakan tidak menempel ke badan. Selanjutnya, aku duduk di sofa sambil berselancar di aplikasi biru dan merah muda campur ungu sedikit membuatku relaks. Aku menyandarkan tubuh dengan santai. Perlahan aku mulai mengantuk. Maakin lama kelopak mataku makin terasa berat. Hingga akhirnya aku tidak kuat untuk memejam dan hilang kesadaran. Tepukan lembut di pipi membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata sebentar s
13"Maaf, kamu siapa?" tanyaku, setelah menyerah karena tidak bisa mengingatnya. "Aku Marlina. Masa lupa? Kita, kan, teman sekelas waktu SMU dulu!" jawab perempuan tersebut seraya tersenyum lebar. "Ahh, iya. Marlina, sang juara kelas."Akhirnya aku bisa mengingatnya. Aku beranjak naik dan duduk di pinggir kolam sambil merapikan rambut. Sementara Marlina tetap berjongkok di tempat semula. "Apa kabar?" tanyaku basa basi. "Alhamdulillah. Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Marlina bertanya balik. "Seperti yang kamu lihat. Aku tetap keren dan ganteng." "Hmm, ternyata narsismu juga masih melekat.""Aku pangling lihat kamu sekarang berjilbab.""Iya. Baru dua tahun ini aku memutuskan berhijab.""Masih sering ketemu teman-teman SMU?" "Jarang banget. Paling kalau aku pulang ke sini baru bisa ketemuan. Kalau kamu gimana?" "Aku selalu ketemu sama Seno. Kami rekan sekantor." "Seno yang rambutnya berjambul itu?" Aku mengangguk. Obrolan kami pun berlanjut dengan santai hingga waktu meram