Untuk urusan memasak aku lebih jago dari Raisa. Ini juga pernah dipuji Mami mertua yang pernah datang berkunjung, dan mencoba sambal goreng kentang pete buatanku. Mantap, katanya.Di lantai dapur Raisa sedang duduk sambil menyiangi sayur kangkung dan mengobrol dengan Mbok Sum. Aku tidak memahami pokok bahasan mereka yang di luar jangkauan otakku. Tidak sampai 30 menit, ikan tuna balado ala koki Freddy Hanafi sudah siap di atas meja makan. Nasi juga sudah matang. Sambil menunggu Raisa selesai menumis kangkung, aku memutuskan untuk mencuci wajah dan berganti pakaian, agar aroma masakan tidak menempel ke badan. Selanjutnya, aku duduk di sofa sambil berselancar di aplikasi biru dan merah muda campur ungu sedikit membuatku relaks. Aku menyandarkan tubuh dengan santai. Perlahan aku mulai mengantuk. Maakin lama kelopak mataku makin terasa berat. Hingga akhirnya aku tidak kuat untuk memejam dan hilang kesadaran. Tepukan lembut di pipi membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata sebentar s
13"Maaf, kamu siapa?" tanyaku, setelah menyerah karena tidak bisa mengingatnya. "Aku Marlina. Masa lupa? Kita, kan, teman sekelas waktu SMU dulu!" jawab perempuan tersebut seraya tersenyum lebar. "Ahh, iya. Marlina, sang juara kelas."Akhirnya aku bisa mengingatnya. Aku beranjak naik dan duduk di pinggir kolam sambil merapikan rambut. Sementara Marlina tetap berjongkok di tempat semula. "Apa kabar?" tanyaku basa basi. "Alhamdulillah. Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Marlina bertanya balik. "Seperti yang kamu lihat. Aku tetap keren dan ganteng." "Hmm, ternyata narsismu juga masih melekat.""Aku pangling lihat kamu sekarang berjilbab.""Iya. Baru dua tahun ini aku memutuskan berhijab.""Masih sering ketemu teman-teman SMU?" "Jarang banget. Paling kalau aku pulang ke sini baru bisa ketemuan. Kalau kamu gimana?" "Aku selalu ketemu sama Seno. Kami rekan sekantor." "Seno yang rambutnya berjambul itu?" Aku mengangguk. Obrolan kami pun berlanjut dengan santai hingga waktu meram
14Kalian tahu enggak, rasanya pengen marah, tetapi enggak bisa? Nyesek banget! Sumpah!Andai tadi kami bertemu di tempat dan kesempatan yang lain, mungkin akan kuhajar wajah klimis Andra itu. Seenaknya saja dia bilang aku mencuri Raisanya. Damn!"Bentar, Dy, jadi maksudnya bos kecil itu adalah mantan pacarnya Raisa?"tanya Seno sambil membulatkan matanya. Aku mengangguk mengiakan. "Buset! Terus gimana, dong?" desaknya."Kagak gimana-gimana. Ya, aku tetap lanjut kerja aja. Walaupun ada rasa was-was dia bakal ngerjain," sahutku sembari bertopang dagu di meja. "Nyantai, Bro, jangan suuzon dulu. Kali aja dia baik sama kamu." "I hope so!" Sejenak kami terdiam sambil sama-sama memandangi kursi Farraz yang sedang ditinggalkan pemiliknya dinas ke luar kota. Seno menepuk bahuku, kemudian mendorong kursinya menjauh dan melanjutkan aktivitas. Aku berhenti melamun, lalu kembali memfokuskan pandangan pada laporan di layar laptop. Meskipun sulit berkonsentrasi, aku tetap berusaha menunta
15Sayup-sayup terdengar suara azan Subuh telah berkumandang. Perlahan aku membuka mata yang terasa sangat berat. Kamar masih gelap, bias sinar lampu di ujung ruangan menjadi satu-satunya cahaya. Aku mengulurkan tangan untuk menyalakan lampu di meja samping tempat tidur. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan dengan sinar yang cukup terang. Setelah benar-benar sadar, aku menggeser tangan Raisa yang melingkari perut. Mengusap lengannya sambil berbisik, "Sayang, bangun, sudah pagi."Raisa menggeliat pelan sambil memicingkan mata, sebelum memejam kembali, lalu mengangkat selimut hingga menutupi kepalanya. Aku beringsut ke pinggir tempat tidur, duduk sejenak mengumpulkan nyawa yang masih terbang di awang-awang. Kemudian aku bangkit dan berdiri, lalu melangkah pelan menuju kamar mandi. 15 menit kemudian aku sudah siap untuk menunaikan salat Subuh. Raisa bangkit perlahan dan memandangiku sebentar, kemudian dia bergerak menuju toilet. Selanjutnya, kami menunaikan salat
16Hari Minggu pagi, seperti biasa aku mengikuti saran Raisa untuk berjemur agar warna kulitku menjadi sedikit eksotis. Sekaligus menemaninya untuk berjalan-jalan dengan santai.Setelah joging beberapa putaran di lapangan kompleks, Raisa memintaku untuk berhenti di sebuah tenda milik tukang bubur ayam. "Bang, kata Mami, Abang kemarin sempat menghilang dari tempat resepsi. Ke mana?" tanya Raisa sambil bertopang dagu dengan satu tangan. "Oh itu, Abang ketemu sama teman. Terus kami ngobrol di bangku taman," jawabku pelan. Berusaha menampilkan wajah yang tenang, walaupun sebenarnya hatiku mulai deg-degan."Teman? Siapa?" "Ghea." "Hmm." "Apanya yang, hmm?" Raisa mengalihkan pandangannya ke arah lain, mungkin tengah melihat anak-anak kecil berlarian di seputar taman. Seakan-akan hal itu merupakan hal yang sangat menarik untuk ditonton.Raut wajahnya tetap tampak datar seperti halnya wajan teflon. Bahkan saat pesanan bubur ayam tiba, Raisa terlihat tidak semangat untuk menyantap hidan
17Sore harinya, kami sekeluarga menghabiskan waktu dengan berkeliling mal. Ketiga perempuan itu langsung menghilang, yang terlihat hanya kelebat bayangan mereka bergerak masuk dan ke luar dari beberapa toko. Aku dan Papa memilih untuk mengobrol di sebuah resto kecil. Tak lama kemudian, Amran datang. Pria bertubuh tinggi dan berkulit kuning langsat itu merupakan pacar Neyla sejak dua tahun terakhir. "Maaf, ya, Om. Tadi pagi nggak bisa datang," ujar Amran pada Papa yang sedang menyesap kopinya. "Nggak apa-apa, Ran. Namanya juga orang lagi kerja," sahut Papa sambil menatap lekat calon menantunya."Nggak pengen pindah kerja, Ran?" tanyaku. "Pengen, sih, Bang. Bosan juga kerja di pabrik terus. Pengen kerja kantoran kayak Abang gitu," jawabnya. "Coba aja masukin lamarannya. Ada rencana kami akan membuka divisi baru. Kali aja kamu bisa masuk." "Wah, iya, Bang. Aku mau. Besok aku langsung masukin lamarannya.""Iya, nanti kontak Abang biar dibantu follow up ke tim HRD.""Sip, Bang, mak
18Aku menempelkan bibir di dahi Raisa cukup lama, hingga dia protes karena geli terkena janggutku yang baru tumbuh. Aku menarik diri saat dia cekikikan. Suaranya jadi mirip perempuan berbaju putih yang suka nongkrong di pohon beringin depan kantor."Apaan, sih? Disayangi malah cekikikan!" sungutku. "Janggut Abang nusuk-nusuk ke hidung," jawab Raisa sambil mengusap hidungnya. Aku menggeser bibir ke pipi hingga telinganya. Sengaja menggosok-gosokkan kumis dan janggut hingga Raisa terkekeh. Aku membungkam bibirnya dengan isapan lembut dan tawanya seketika berhenti. Raisa mengulurkan tangan kanan untuk menarik kepalaku lebih dekat. Dia mengusap rambutku lalu mencengkeram pundak saat aku meningkatkan intensitas sentuhan di sekujur tubuhnya. Puluhan menit berlalu. Hasrat muda kami telah tersalurkan dengan baik. Aku mencium dahi Raisa dengan segenap cinta, lalu berguling ke kanan dan berbaring telentang untuk menenangkan napasku yang memburu. "Semoga yang ini jadi, ya, Bang," ucap Rai
19"Abang genit!" ledek Raisa, sesaat setelah percintaan kami usai. "Kamu juga sama!" balasku seraya tersenyum. "Jangan-jangan tadi ada yang nguping." "Biarin. Paling jadi panas dingin dia dengar orang sedang beradegan panas" "Iya, ya." Raisa terkekeh. Lalu dia membelai rambutku dengan pelan. Aku membalasnya dengan belaian yang sama dan menyibak sebagian rambutnya yang terurai acak-acakan."Bang, kalau aku hamil, jangan macem-macem di luar sana. Tak hajar!" desis Raisa sambil memandangiku dengan tajam. "Iya, Sayang. Mana mungkin Abang begitu. Cinta Abang sudah buat kamu semua." "Gombal!" "Serius!" "Nggak percaya!" "Hmm, mau dibuktiin dengan gimana lagi, sih?" "Gendong aku.""Nggak, ahh. Berat.""Tuh, kan! Katanya cinta. Masa gendong aja nggak mau!" sungutnya sembari menggeser badan menjauh. "Kamu tambah semok. Nggak kuat Abang, bisa-bisa encok entar," sahutku sambil meraih baju kaus dari lantai dan langsung memakainya. "Abang bersih-bersih di kamar mandi belakang. Aku mau
50Jalinan waktu terus bergulir. Tepat dua minggu setelah Byantara lahir, aku dan Raisa mengadakan acara akikahan di kediaman Papi. Pada awalnya, kupikir acaranya akan sederhana. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Papi mengadakan pesta mewah, yang pastinya sebagian besar dananya berasal dari dompet beliau.Aku bukan tidak sanggup mengadakan akikahan mewah seperti ini, tetapi aku harus menghemat biaya. Terutama karena sampai dua bulan ke depan akan ada dua dapur yang harus diisi. Yaitu, dapur Bandung dan Jakarta. Beberapa saat sebelum pengajian dimulai, aku dipanggil Amran yang berada di teras depan. Aku menyambanginya dan seketika terkejut melihat banyak teman-teman dari PC yang datang. Bahkan beberapa bos PG turut hadir bersama keluarga masing-masing. Aku bergegas jalan menuju depan rumah, kemudian menyalami semua tamu. Kemudian aku mempersilakan mereka memasuki ruang tamu dan ruang tengah. Para istri bos menghampiri Raisa dan memeluknya sembari beradu pipi. Mereka sempat ber
49Seunit motor polisi dengan sirine khas, menjadi pembuka jalan konvoi beberapa kendaraan roda dua dan empat, yang keluar dari area bandara menuju jalan raya utama Kota Bandung.Bang Zein dan kedua staf HWZ memacu motor besar mereka di belakang motor polisi. Aku memandangi mereka dari kursi depan mobil pertama, sembari mengucap syukur dalam hati, karena memiliki para sahabat yang setia kawan.Aku benar-benar takjub dengan kesigapan mereka yang menyambutku dan teman-teman, dengan protokoler yang biasanya dilakukan pada pejabat. Kendatipun sedikit malu, karena aku jadi penyebab para pengguna jalan lainnya menggerutu, tetapi aku tetap bersyukur, sebab dengan terbukanya jalan ini, konvoi kami tidak terjebak kemacetan.Seno mengemudikan mobil operasional kantor dengan kecepatan tinggi. Di belakang, dua unit mobil operasional PBK menyusul dengan jarak dekat. Bang Zulfi yang berada di kursi tengah, sedang bercakap-cakap dengan Bang Wirya yang berada di Jakarta, melalui sambungan telepon.
48Beberapa hari menjelajahi Malang, ternyata aku sangat menyukai kota ini. Udaranya yang cukup sejuk, menjadikanku teringat akan Bandung di masa lampau. Saat aku kecil, Bandung masih dingin. Keluar untuk berangkat ke sekolah masih banyak embun menggantung di pepohonan. Sekarang, kota kelahiranku sudah panas. Sebab telah banyak pohon dan hutan yang dibabat buat dijadikan tempat bisnis. Jangankan Bandung, Lembang yang dulu dinginnya bikin beku, sekarang biasa-biasa saja. Hanya beberapa daerah di sekitar Jawa Barat yang udaranya masih dingin. Contohnya, Pangalengan, Ciwidey, Cijeruk di Bogor, dan tempat-tempat yang posisi tanahnya tinggi di perbukitan. Lainnya, sih, sama saja dengan Bandung, hareudang, dang, dang, dang, dut. Setelah 3 hari berjibaku di tempat proyek, pagi ini aku dan tim berwisata keliling kota. Tadinya, Bang Yoga mengusulkan ke Bromo, tetapi ditolak yang lainnya dengan alasan capai. Aku pun sama. Di tempat proyek yang jalanannya belum rata, ditambah lokasinya di p
47Hari yang dinantikan Bayu dan Esti, akhirnya tiba. Pagi ini, aku dan keluarga serta kerabat Bayu, mengantarkan papanya Evan ke kediaman orang tua Esti.Suasana akad nikah yang semula tegang, seketika berubah tenang seusai kalimat kabul diucapkan Bayu dalam satu tarikan napas. Aku yang turut tegang sejak tadi, akhirnya bisa menghela napas lega. Aku melirik Raisa yang terlihat serius mengamati pasangan pengantin yang tengah berbincang dengan penghulu. Aku mengulurkan tangan kanan untuk menggenggam jemari Raisa yang seketika menoleh. Aku mengukir senyuman yang dibalasnya dengan hal serupa. Semua runutan acara adat Sunda digelar dengan khidmat. Aku terharu ketika Evan memeluk dan menciumi Esti yang sudah sah menjadi Ibu sambungnya. Isakan lirih terdengar dari semua sudut tempat perhelatan digelar. Begitu pula dengan Raisa. Dia berulang kali mengusap matanya yang basah dengan tisu. Demikian juga dengan Mama, Mami dan Neyla. Geng cengeng. Acara saweran menjadi hal yang paling ditung
46Perjalanan menjelajahi 2 provinsi dalam waktu 5 hari, ternyata sangat melelahkan. Terutama karena tempat yang didatangi merupakan area proyek, bukan tempat wisata ataupun pusat perbelanjaan. Hari terakhir berada di Jambi, pagi-pagi sekali aku dan teman-teman telah jalan memutari area sekitar hotel. Rencana awal, sih, cuma joging Namun, akhirnya kami berhenti untuk menikmati hidangan sarapan khas daerah, di rumah makan yang disarankan pemandu wisata.Dua staf proyek yang merupakan warga lokal, tampak antusias memperkenalkan berbagai panganan khas. Aku menyicipi nasi gemuk dan mi celor. Kemudian aku mencoba menyuap tempoyak yang disarankan Bang Zein untuk dicicipi. "Rasanya unik," tuturku. "Bau durian lumayan kuat," tambahku. "Ya, tempoyak memang dari fermentasi durian," terang Bang Zein. "Ini makanan khas Melayu. Semua daerah yang banyak suku Melayu-nya, pasti punya olahan serupa ini," jelasnya. "Abang orang Melayu juga, kan?" "Hu um. Aku lahir di Pontianak. SMP di Sambas. SMA
45Matahari pagi baru muncul ketika dua unit mobil melaju dari kediaman orang tuaku. Papa yang memaksa untuk menyetir, berulang kali bersenandung mengikuti irama lagu dari alat pemutar musik.Mama menimpali bernyanyi dengan suara yang cukup merdu. Aku, Raisa, Amran dan Neyla saking melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Kendatipun lagu yang diputar adalah lagu-lagu zaman baheula, kami tidak berani memprotes dan membiarkan kedua orang tua bernostalgia dengan musik saat-saat mereka tengah pacaran, dulu. Di belakang, mobil yang dikemudikan Seno,, mengekor dengan jarak dekat. Mungkin dia takut ketinggalan, karena sopir mobilku adalah mantan pembalap bom-bom car. Tiba di perempatan jalan, seunit mobil MPV hitam bergabung. Aku memicingkan mata saat seseorang melambai dari pintu pengemudi, karena tidak mungkin tangan Papi seputih itu. "Yang jadi sopir, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk mobil terdepan. "Kayaknya itu Pingkan," sahut Raisa. "Gelangnya aku ingat banget, karena beli
44Hari berganti dengan kecepatan maksimal..Pagi ini, aku baru tiba di kantor ketika banyak notifikasi masuk dari grup kantor. Aku duduk di kursi kebangsaan sambil menggulirkan jemari, untuk membaca pesan-pesan itu. Mataku membulat sempurna, usai membaca informasi terbaru tentang Erwin. Aku hendak menelepon Seno, tetapi dia telah lebih dulu menghubungiku. Aku menekan tanda hijau pada layar ponsel, lalu menempelkan telepon genggam ke telinga kanan. "Ya, Sen?" sapaku. "Erwin sudah menyerahkan diri, Dy," jawab Seno."Ya, aku sudah lihat infonya di grup." "Kamu diminta ke sini sama Pak Agung dan Pak Giandra." "Kapan?" "Hari ini." "Oke, habis zuhur aku berangkat. Ada meeting penting bentar lagi." "Nanti langsung ke kantor. Kami tunggu." "Sip." "Jangan ngebut. Hati-hati bawa iparku." "Aku mau naik kereta cepat." "Nanti kujemput di stasiun." "Yups."Seno mengucapkan salam yang kubalas dengan perkataan yang sama. Setelah sambungan telepon terputus, aku beralih menelepon Amran dan
43Acara pelantikan pagi menjelang siang ini berlangsung khidmat. Aku begitu bahagia hingga nyaris tidak berhenti tersenyum. Raisa yang berada di kursi belakang Pak Agung, berulang kali melambaikan tangannya. Aku dan kedua direktur dari cabang Surabaya serta Semarang yang juga baru dilantik, merapatkan barisan. Pak Giandra, Pak Agung, Pak Harmoko dan Andra berdiri di sisi kanan. Sementara sisi kiri ditempati Pak Linggha, Pak Leandru, Pak Tanvir dan Pak Davindra. Mereka adalah para komisaris dari Pangestu Grup dan Mahendra Grup, yang juga turut menanamkan saham besar di GWA. Sesi pertama pemotretan berlangsung damai. Namun, ketika beberapa bos dari HWZ, LCGL dan GANK turut bergabung sambil berjongkok di bawah, suasana berubah ricuh. Ketiga perusahaan tersebut merupakan cabang dari Pangestu Grup, karena Pak Linggha menjadi penyumbang saham terbesarnya. Belasan menit berlalu, aku bergabung di meja yang ditempati para bos HWZ, LCGL dan GANK. Aku celingukan mencari Raisa, yang ternyat
42Erwin menghilang!Kekhawatiranku terbukti dan membuatku serta Farraz dan Seno makin cemas. Keduanya telah berupaya mencari Erwin ke berbagai tempat yang biasa didatangi. Sedangkan aku menghubungi semua teman-teman kuliah, mungkin saja mereka memiliki informasi tentang Erwin. Namun, hasilnya nihil. Pagi ini, aku melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan menuju kota kembang. Amran yang berada di sebelah kiri, terlihat tegang. Raisa dan Silvi yang menempati kursi tengah, terlibat perbincangan tentang berbagai komentar di grup para istri karyawan GWA Grup yang semuanya membahas kasus ini. Aku berusaha fokus mengemudi, meskipun sebenarnya pikiran bercabang-cabang. Aku kesal pada Erwin..Harusnya dia jangan kabur dan berani mempertanggungkan perbuatannya. Jika sudah begini, pihak perusahaan mungkin akan melaporkannya ke kantor polisi. Aku juga mencemaskan Vita. Dia pasti syok karena suaminya kabur. Belum lagi bakal dicemooh orang lain. Aku khawatir jika menta