15Sayup-sayup terdengar suara azan Subuh telah berkumandang. Perlahan aku membuka mata yang terasa sangat berat. Kamar masih gelap, bias sinar lampu di ujung ruangan menjadi satu-satunya cahaya. Aku mengulurkan tangan untuk menyalakan lampu di meja samping tempat tidur. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan dengan sinar yang cukup terang. Setelah benar-benar sadar, aku menggeser tangan Raisa yang melingkari perut. Mengusap lengannya sambil berbisik, "Sayang, bangun, sudah pagi."Raisa menggeliat pelan sambil memicingkan mata, sebelum memejam kembali, lalu mengangkat selimut hingga menutupi kepalanya. Aku beringsut ke pinggir tempat tidur, duduk sejenak mengumpulkan nyawa yang masih terbang di awang-awang. Kemudian aku bangkit dan berdiri, lalu melangkah pelan menuju kamar mandi. 15 menit kemudian aku sudah siap untuk menunaikan salat Subuh. Raisa bangkit perlahan dan memandangiku sebentar, kemudian dia bergerak menuju toilet. Selanjutnya, kami menunaikan salat
16Hari Minggu pagi, seperti biasa aku mengikuti saran Raisa untuk berjemur agar warna kulitku menjadi sedikit eksotis. Sekaligus menemaninya untuk berjalan-jalan dengan santai.Setelah joging beberapa putaran di lapangan kompleks, Raisa memintaku untuk berhenti di sebuah tenda milik tukang bubur ayam. "Bang, kata Mami, Abang kemarin sempat menghilang dari tempat resepsi. Ke mana?" tanya Raisa sambil bertopang dagu dengan satu tangan. "Oh itu, Abang ketemu sama teman. Terus kami ngobrol di bangku taman," jawabku pelan. Berusaha menampilkan wajah yang tenang, walaupun sebenarnya hatiku mulai deg-degan."Teman? Siapa?" "Ghea." "Hmm." "Apanya yang, hmm?" Raisa mengalihkan pandangannya ke arah lain, mungkin tengah melihat anak-anak kecil berlarian di seputar taman. Seakan-akan hal itu merupakan hal yang sangat menarik untuk ditonton.Raut wajahnya tetap tampak datar seperti halnya wajan teflon. Bahkan saat pesanan bubur ayam tiba, Raisa terlihat tidak semangat untuk menyantap hidan
17Sore harinya, kami sekeluarga menghabiskan waktu dengan berkeliling mal. Ketiga perempuan itu langsung menghilang, yang terlihat hanya kelebat bayangan mereka bergerak masuk dan ke luar dari beberapa toko. Aku dan Papa memilih untuk mengobrol di sebuah resto kecil. Tak lama kemudian, Amran datang. Pria bertubuh tinggi dan berkulit kuning langsat itu merupakan pacar Neyla sejak dua tahun terakhir. "Maaf, ya, Om. Tadi pagi nggak bisa datang," ujar Amran pada Papa yang sedang menyesap kopinya. "Nggak apa-apa, Ran. Namanya juga orang lagi kerja," sahut Papa sambil menatap lekat calon menantunya."Nggak pengen pindah kerja, Ran?" tanyaku. "Pengen, sih, Bang. Bosan juga kerja di pabrik terus. Pengen kerja kantoran kayak Abang gitu," jawabnya. "Coba aja masukin lamarannya. Ada rencana kami akan membuka divisi baru. Kali aja kamu bisa masuk." "Wah, iya, Bang. Aku mau. Besok aku langsung masukin lamarannya.""Iya, nanti kontak Abang biar dibantu follow up ke tim HRD.""Sip, Bang, mak
18Aku menempelkan bibir di dahi Raisa cukup lama, hingga dia protes karena geli terkena janggutku yang baru tumbuh. Aku menarik diri saat dia cekikikan. Suaranya jadi mirip perempuan berbaju putih yang suka nongkrong di pohon beringin depan kantor."Apaan, sih? Disayangi malah cekikikan!" sungutku. "Janggut Abang nusuk-nusuk ke hidung," jawab Raisa sambil mengusap hidungnya. Aku menggeser bibir ke pipi hingga telinganya. Sengaja menggosok-gosokkan kumis dan janggut hingga Raisa terkekeh. Aku membungkam bibirnya dengan isapan lembut dan tawanya seketika berhenti. Raisa mengulurkan tangan kanan untuk menarik kepalaku lebih dekat. Dia mengusap rambutku lalu mencengkeram pundak saat aku meningkatkan intensitas sentuhan di sekujur tubuhnya. Puluhan menit berlalu. Hasrat muda kami telah tersalurkan dengan baik. Aku mencium dahi Raisa dengan segenap cinta, lalu berguling ke kanan dan berbaring telentang untuk menenangkan napasku yang memburu. "Semoga yang ini jadi, ya, Bang," ucap Rai
19"Abang genit!" ledek Raisa, sesaat setelah percintaan kami usai. "Kamu juga sama!" balasku seraya tersenyum. "Jangan-jangan tadi ada yang nguping." "Biarin. Paling jadi panas dingin dia dengar orang sedang beradegan panas" "Iya, ya." Raisa terkekeh. Lalu dia membelai rambutku dengan pelan. Aku membalasnya dengan belaian yang sama dan menyibak sebagian rambutnya yang terurai acak-acakan."Bang, kalau aku hamil, jangan macem-macem di luar sana. Tak hajar!" desis Raisa sambil memandangiku dengan tajam. "Iya, Sayang. Mana mungkin Abang begitu. Cinta Abang sudah buat kamu semua." "Gombal!" "Serius!" "Nggak percaya!" "Hmm, mau dibuktiin dengan gimana lagi, sih?" "Gendong aku.""Nggak, ahh. Berat.""Tuh, kan! Katanya cinta. Masa gendong aja nggak mau!" sungutnya sembari menggeser badan menjauh. "Kamu tambah semok. Nggak kuat Abang, bisa-bisa encok entar," sahutku sambil meraih baju kaus dari lantai dan langsung memakainya. "Abang bersih-bersih di kamar mandi belakang. Aku mau
20Suara nyanyian Raisa bergema dari dalam kamar mandi. Artis dadakan itu sangat menghayati lagu yang dia nyanyikan, hingga lupa bahwa aku sedang menunggunya.Akhirnya karena sudah kebelet, aku berlari ke kamar mandi belakang. Selesai menuntaskan hajat aku bergegas ke kamar, dan langsung masuk ke toilet yang banyak busa sabun di mana-mana. "Abang, aku mau ke tempat tukang sayur!" teriak Raisa dari balik pintu kamar mandi. Dia tampak kaget saat aku membuka pintu secara tiba-tiba. Pandangannya terpusat ke bagian bawah tubuhku yang hanya tertutup celana boxer."Abang, ngapain?" tanyanya seraya tersenyum menggoda."Nyikat lantai. Kamu itu kalau mandi kayak numpahin sabun aja. Busa di mana-mana," omelku. Raisa tersenyum lebar. Kemudian, membalikkan tubuh dan beranjak menjauh. "Beliin lontong kari.. Lauknya abang pengen ayam kalasan," pintaku."Oke," sahutnya. Setelah dia pergi aku melanjutkan menyikat lantai dengan semangat. Kemudian, bergegas mandi sambil bernyanyi dengan nada yang m
21Sore ini, aku dan Raisa menghabiskan waktu bersama di pekarangan. Aku menyelesaikan menyabut rumput, sementara dia memangkas pohon-pohon yang berbentuk tidak karuan. Beberapa tetangga yang lewat menyapa basa basi. Kami menanggapinya dengan ramah. Ibu tetangga depan rumah tampak keluar dari kediamannya. Aku tertegun melihatnya menyambangi kami. "Neng, ini Ibu ada bikin kue. Dicobain ya," ujar Ibu tersebut sambil memberikan piring yang ditutupi tisu. "Hatur nuhun, Ibu," jawab Raisa seraya mengambil piring yang diulurkan Ibu tersebut. Kemudian obrolan nan heboh mulai terdengar dari mulut mereka. Aku memilih untuk duduk di teras sambil beristirahat untuk meluruskan pinggang.Angin sore yang berembus lumayan kencang membuat udara hangat tadi siang perlahan berubah menjadi sejuk. Setelah cukup beristirahat, aku beranjak ke dalam rumah. Masuk ke kamar, lalu menyambar handuk di gantungan dan bergegas untuk mandi. Selesai mandi dan berganti pakaian, aku merebahkan diri ke kasur yang di
22Hari yang dinantikan Raisa pun tiba. Sejak semalam dia sudah sibuk membereskan pakaian dan perlengkapan kami lainnya ke dalam koper. Setelah sarapan kami pun berpamitan pada Mbok Sum, dan segera berangkat menuju vila milik keluarga Andra tanpa tulang belakang di Lembang. Dalam perjalanan kami sempatkan membeli kue dan buah-buahan. Walaupun kami tahu di vila pasti banyak suguhan, tetapi datang dengan tangan hampa itu rasanya tidak enak. Jalanan yang ramai dan padat di penghujung minggu membuat perjalanan kami sedikit terhambat. Setelah hampir dua jam berkendara akhirnya kami sampai di tempat tujuan.Setibanya di sana sudah ada beberapa teman kuliah Raisa yang hadir. Setelah berbasa basi dengan mereka kami langsung masuk ke bagian dalam vila untuk mencari Andra. Pria jangkung itu tersenyum lebar menyambut kedatangan kami. Setelah bersalaman kami memulai obrolan santai bersama teman-teman lainnya. Satu per satu rekan kerjaku mulai datang. Aku dan Raisa memisahkan diri untuk meng