Share

Bab 6 - Cemburu?

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2024-05-20 11:30:34

"Abang."

"Ehm."

"Kok, diam aja dari tadi?"

"Males ngomong."

"Kenapa?"

"Sakit gigi."

Raisa cekikikan. Aku bersedekap tangan di dada sambil mesem-mesem. "Fokus dong nyetirnya. Entar celaka!" protesku.

"Ini juga udah fokus, Abang. Kalau nggak, Abang aja, deh, yang nyetir."

"Aku nggak punya SIM. Entar ditilang."

"Bikin atuh. Besok kuanterin, ya!"

Aku mengangguk, kemudian melemparkan pandangan ke luar kaca. Dalam hati terus bertanya-tanya tentang pria tadi. Namun, aku malas untuk memulai pembicaraan mengenai dirinya.

Setelah lama terdiam akhirnya aku memecah kecanggungan sekaligus interogasi. "Tadi, kenapa pake pelukan segala sama dia?"

"Kenapa? Cemburu?" Raisa balik bertanya.

"Enggak. Cuma kesal!"

Raisa tergelak. Bahunya berguncang menahan tawa. "Andra yang meluk aku, Bang. Kan aku nggak balas meluk," ujarnya di sela-sela tawa.

"Tetap aja bikin kesel. Kamu, kan, istriku. Harusnya dia udah nggak boleh peluk-peluk!"

"Iya, deh, iya. Nanti kubilangin ke dia. Enggak boleh peluk, tapi cium pipi kanan kiri aja, ya?"

Aku memelototi Raisa yang kian mengencangkan tawa. Sepertinya dia senang membuatku tambah kesal.

Sesampainya di mal, Raisa sibuk berkeliling dari satu toko ke toko lainnya. Beberapa paper bag telah digenggamnya. Namun, sepertinya dia belum puas berbelanja.

Dia menyeretku ke toko tas ber-merk mahal. Matanya berbinar melihat berbagai model tas di etalase. Sedangkan mataku langsung kuyu melihat harga benda-benda yang dipajang.

"Tas-mu kan udah banyak, Sa," tukasku.

"Model ini belum punya, Bang," kilahnya sambil memasuki toko.

Aku menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Benar-benar harus bersabar menghadapi hobi mahal istriku.

"Empred!"

Teriakan itu!

Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku begitu.

Aku cepat berbalik. Sesosok perempuan berlari dan menghambur memelukku. Wangi parfum khas-nya sangat dikenal dan pernah kucintai, dulu.

Ghea melepaskan pelukan, lalu merangkum wajahku dengan kedua tangan. Dia menyentuh hidungku dengan ujung jemarinya. Hal yang selalu kami lakukan dulu, saat masih bersama hampir 2 tahun silam.

Wajah Ghea masih cantik. Rambut panjangnya dibentuk sanggul kecil ciri khas pramugari. Mata besarnya mengerjap. Mata yang pernah membuatku tenggelam di dalamnya.

"Apa kabar, Kasep?" sapanya lembut.

"Baik. Kamu?"

"Seperti biasa."

"Ke sini ngapain?"

"Lagi mau makan bareng sama teman-teman. Ikut, yuk!"

"Ehm, nggak deh."

"Kenapa? Biasanya kamu nggak pernah nolak diajak makan," tanyanya keheranan.

"Abang lagi sakit gigi!"

Ucapan seseorang dari belakang membuat kami serentak menoleh. Ghea memandangi Raisa yang justru tengah mendelikku tajam. Sedangkan aku sibuk mengamati lantai. Sangat berharap lantai tiba-tiba merekah dan menyedotku ke dalam.

***

"Cantik ya, Bang."

"Siapa?"

"Cewek tadi."

"Ooo, Ghea. Iya, dia cantik."

"Seksi pula."

"He em."

"Kok, tahu body dia seksi?"

"Ehh ...."

Aku mulai salah tingkah. Ditambah lagi Raisa tiba-tiba meminggirkan mobil di bahu jalan dan menatapku dengan tajam. Sekilas aku seperti melihat ada tanduk kecil muncul di atas kepalanya.

"Bang, jujur, deh. Apa Abang pernah lihat dia tanpa busana?" tanyanya.

"Enggak pernah," jawabku.

"Pernah tidur sama dia?"

"Enggak. Kamu ngapain nanya detail begitu?"

"Lah, itu tau bodynya seksi," cakapnya sambil merengut.

"Dia, kan, bajunya ketat terus. Kelihatanlah lekuk tubuhnya, Sa."

Selama beberapa saat suasana hening. Raisa masih merengut sambil terus mendelik dengan tatapan tajam ala Medusa. "Seksi mana, aku atau dia?"

Aku termangu. Lalu memaksa otakku berpikir cepat untuk mencari jawaban atas pertanyaannya. Saat ini aku bagaikan berhadapan dengan situasi yang sangat tidak enak. Maju berhadapan dengan singa atau mundur ke sungai yang penuh buaya.

"Sa, Abang nggak mau menjawab pertanyaanmu. Karena akhirnya semua jawaban Abang pasti akan salah," terangku sambil berusaha bersikap tenang. Padahal sebetulnya jantungku jumpalitan.

Raisa masih diam sambil mengetuk-ngetukkan jari ke setir mobil. Aku mengamatinya sembari berdoa dalam hati, agar kemarahannya bisa cepat reda.

"Sekarang kita lanjut jalan lagi, yuk! Nih, Mama udah nanyain," ajakku seraya memperlihatkan chat di ponselku.

Raisa menghela napas dan mengembuskan dengan cepat. Dia mulai menyetir lagi, tetapi dengan wajah yang tetap ditekuk. Perjalanan ke rumah orang tuaku terasa sangat panjang dan melelahkan. Terutama karena sopirnya tengah merajuk.

***

Sampai malam pun Raisa masih merajuk. Dia hanya menegur saat di rumah orang tuaku saja. Selebihnya dia akan diam dan membisu. Ditanya pun dia cuma mendelik. Atau membalas dengan satu kalimat pendek. Yakni, ehm.

Aku berpura-pura sibuk dengan ponsel di tangan, padahal mataku curi-curi pandang melihatnya yang sedang duduk di kursi dekat jendela sambil bertopang dagu.

"Sa," panggilku.

"Ehm."

"Ke luar, yuk?"

"Ehm."

"Beli martabak mau?"

"Nggak."

"Gorengan?"

"Nggak sehat!"

"Kebab?"

"Jauh."

"Hmm ... buryam?"

Raisa menoleh. "Oke."

Syukurlah, di detik-detik terakhir aku ingat makanan favoritnya. Tempat Mamang buryamnya juga masih sangat hapal. Dulu, kami sering disuruh Mami beli itu kalau aku dipaksa ngapel sama Mama. Anak SMU ngapel anak SMP. Jiahhhhh!

"Abang yang nyetir. Aku capek dari pagi jadi sopir," tuturnya, masih mempertahanksn wajah cemberut yang terlihat kecut.

Tanpa penolakan aku mengambil kunci mobil dari tangannya. Kulit kami yang sedikit bersentuhan membuat dadaku berdesir.

Tenang ganteng, habis makan buryam entar makan Raisa! (Upps)

Puluhan menit berikutnya, kami sudah berdempetan di meja sempit Mamang buryam. Kami menikmati hidangan masing-masing nyaris tanpa berbicara sedikit pun.

Raisa dengan semangat mengaduk buryamnya hingga tak berbentuk. Menyuap sesendok dan memejamkan mata sambil mengecap. No table manner!

Aku akhirnya mengajak Raisa berlomba makan sate usus dan ati ampela ayam. Aku menambah satu porsi bubur lagi untuk dibagi dua.

Ralat. Dibagi seperempat buatku. Selebihnya buat dia. Aku mengalah dengan hati yang gondok. Ditambah lagi, Raisa menyabet semua sate usus tanpa menyisakan satu pun buatku.

Seusai bersantap, kami berpamitan pada Mamang pedagang yang telah memberikan bonus banyak kerupuk. Dalam perjalanan pulang ke rumah, kami tetap tidak mengobrol apa pun. Aku fokus menyetir sedangkan Raisa serius tidur.

Iya, dia tidur. Sambil mangap pula.

Sampai di rumah, aku merasa tidak tega untuk membangunnya yang tertidur pulas. Akhirnya aku berinisiatif untuk menggendongnya.

"Lho, Raisa kenapa? Pingsan?" tanya Mami mertua yang keheranan.

"Tidur, Mi. Mau dibangunin kasihan. Pulas banget," jelasku.

Aku bergegas jalan menuju kamar kami yang terletak di sebelah ruang keluarga. Mami membantu membukakan pintu kamar.

"Kebiasaan, deh. Suka ketiduran di jalan kalau kekenyangan," tutur Mami, sambil mengelus rambut Raisa dengan penuh rasa sayang.

Mami menutupi tubuh Raisa dengan selimut, lalu mengecup pipinya dengan lembut. Mami menegakkan badan, lalu memandangiku. "Kamu udah mau tidur, Bang?" tanyanya.

"Belum, Mi."

"Ikut Mami, ya. Ada yang mau Mami omongin sama kamu."

Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mengikuti langkah beliau ke ruang tamu. Kemudian kami duduk berseberangan sambil saling menatap.

"Mami tahu kalian tidak saling mencintai, Bang. Namun, Mami sangat berharap kamu bisa menjaga Raisa dengan baik. Sayangi dia. Puji dia walaupun masakannya masih kacau rasanya. Sambil dikoreksi tentunya."

"Tegur dia bila salah, karena itu sudah menjadi tugasmu sekarang. Kami hanya memantau dari jauh," tambah Mami. Mata sipitnya tiba-tiba berembun.

Aku bergerak cepat mengulurkan tisu. Mami menyeka air matanya yang mulai menetes dan membasahi wajahnya yang nyaris serupa dengan sang putri tidur. Mungkin kalau beranjak tua nantinya wajah Raisa akan seperti Mami.

"Iya, Mi. InsyaAllah, Abang akan berusaha menjaga Raisa dengan baik. Mendidiknya agar lebih mandiri. Jangan sungkan untuk menegur kami, ya, Mi. Enggak apa-apa. Abang ikhlas," jawabku.

"Syukurlah, Mami doakan kalian selalu rukun dan bahagia."

"Aamin, hatur nuhun. Doa yang sama juga buat Mami dan Papi."

Mami tersenyum. Sorot matanya tiba-tiba berubah sedikit jahil. "Udah sukses belum buka segelnya?"

Aku tertunduk malu. Ingin tertawa, tetapi ditahan. Akhirnya, aku cuma mengangguk sambil cengengesan, lalu menggaruk-garuk belakang kepala.

"Asik! Semoga Raisa bisa segera hamil. Mami udah nggak sabar pengen nimang cucu." Mami mengikik pelan. Mengingatkanku dengan sifat putrinya yang periang, dan juga sama cerewetnya.

Related chapters

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 7 - Pinguin

    "Bang." Sayup-sayup terdengar suara Raisa memanggil. "Abang," suaranya mulai meninggi. Aku mencoba membuka kelopak mata yang tertutup rapat. Terasa ada yang mengguncangkan tubuh atletisku dengan kuat. "Abang!" hardiknya. "Apa?" "Bangun! Udah Subuh. Buruan salat!" "Hmm. Entar dulu, deh. Masih ngantuk." Aku berbalik ke kanan dan memeluk guling dengan erat. Segelas air yang diguyur ke wajah membuatku gelagapan. Tangan bergerak cepat mengusap wajahku dengan tangan."Apaan, sih? Kok, aku disiram?" protesku sambil beranjak duduk."Dibangunin salat susah, tapi pengen masuk surga. Aneh!" omelnya.."Iya, iya. Ini udah bangun! Cerewet!" "Abang itu emang kudu dicerewetin!" tukasnya tidak mau kalah. "Jangan galak-galak atuh ke suami, teh. Entar kabur." "Coba aja kalau berani kabur. Siap-siap di prekes-prekes," jawabnya sambil mengacungkan tinju ke arahku. Waduh! Bahaya! Segera aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Duduk di kloset dan bersemedi dengan dama

    Last Updated : 2024-05-21
  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 8 - Bertemu Mantan

    Masuk kerja di hari pertama setelah cuti, aku langsung disambut dengan rapat, rapat dan rapat. Bikin kepala bertambah nyut-nyut. Kaki melangkah gontai berjalan kembali ke meja kerja, lalu aku mengempaskan badan ke kursi. Aku menelungkupkan tangan d meja dan menenggelamkan kepala di dalamnya. "Deuh, pengantin baru, baru masuk kerja udah loyo aja," ledek Edwin dari meja sebelah. "Diam!" hardikku. "Pasti kangen istri, tuh!" imbuh Seno dari meja seberang. "Berisik!" bentakku. "Kapan mau indehoy, Ed? Entar gue videoin," sahut Farraz sambil tertawa. "Nu gelo'!" teriakku. "Udah. Jangan digodain terus. Mukanya udah merah, noh," tukas Mbak Sinta, sekretaris kantor yang kebetulan sedang melintas."Makasih, Mbak. Emang vangke mereka," sungutku seraya menatap tajam ke ketiga lelaki sok kece sambil mengacungkan tinju. Ketiga pria yang mengaku sahabat itu malah makin tergelak. Sepertinya mereka puas sudah mengerjaiku. Bikin kekesalanku kian meningkat. Dasar, Vangke!Dering ponsel membuatku

    Last Updated : 2024-05-22
  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 9 - Ketahuan

    Aku mengangguk dan balas menatapnya saksama. Dipandangi seperti itu membuatku deg-degan. Seolah-olah tengah kembali ke masa-masa saat kami masih bersama. "Kenapa kamu menikah dengan Raisa?" desak Ghea Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. "Dijodohin alias dipaksa Mama dan Papa," sahutku. Sudut bibir Ghea terlihat melebar. Kemudian dia terbahak hingga bahunya berguncang. Tawa hangat yang pernah sangat kusuka dan tak ayal membuatku ikut tersenyum."Bukannya dulu kamu nolak buat dijodohin?" tanyanya setelah berhenti tergelak. "Iya, tapi kemarin udah nggak bisa nolak lagi. Mana lagi jomlo. Ya, udah, deh, bablas nikah." "Jomlo?" Matanya dipicingkan menatapku seakan-akan tidak percaya. "Ho oh." "Kok, bisa? Bukannya kamu banyak yang naksir?" "Sejak kita putus, aku udah males buat nyari pacar lagi." "Kenapa?" "Ngarep kamu balik lagi," selorohku seraya tersenyum. Raut wajah Ghea mendadak berubah seiring dengan tatapannya yang melembut. Tangannya terulur menyentuh le

    Last Updated : 2024-05-23
  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 10 - Perang Mahabrata

    Malam ini aku dan Raisa bersantap dalam diam. Dia sibuk dengan ponselnya. Sedangkan aku mengarahkan tatapan pada televisi yang tengah menayangkan drama ikan terbang.Entah kenapa ada rasa tidak nyaman diam-diaman begini. Aku seakan-akan hanya makan sendirian dan Raisa hanya jadi patung. Kami juga tidak saling menatap. Bahkan, saat tanpa sengaja tangan kami bersentuhan ketika hendak menambah lauk, Raisa cepat-cepat memindahkan tangannya untuk mengambil nasi terakhir tanpa menyisakannya buatku. Raisa bangkit berdiri dan membawa piring bekas makannya ke dapur dan mencucinya. Kemudian, dia langsung masuk ke kamar. Tak lama berselang dia keluar dengan membawa koper dan berpindah ke kamar depan. Dia menutup pintu sambil menatapku sinis. Bunyi kunci pintu yang diputar menandakan bahwa genderang perang memang sudah ditabuh.Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Aku meminum air di gelas dalam beberapa tegukan singkat. Lalu meletakkan gelas ke meja. Aku bangkit berd

    Last Updated : 2024-05-24
  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 11 - Sayang, Sini!

    Aku bersiul sambil mengetik di laptop di meja kerja. Aku membalas tatapan penuh tanya dari teman-teman di sekitar, dengan tersenyum tipis agar terkesan misterius."Fred, kamu kesambet?" tanya Seno sambil memandangiku saksama. "Enggak. Aku lagi happy," terangku. "Happy kunaon?" desak Farraz sembari memajukan kursinya ke dekat mejaku. "Ada, deh!" sahutku. "Happy-nya Freddy, mah, nggak jauh dari urusan cewek!" celetuk Erwin dari kursinya.Aku melemparkan spidol ke arahnya yang bergerak cepat berkelit sambil tertawa. Aku mengambil spidol lain dan bersiap-siap melemparkannya pada siapa pun yang mengejekku. "Gaya-gayanya, Freddy lagi falling in love, nih!" sela Seno sembari menatapku lekat-lekat. Dia memang lebih dekat denganku dibanding yang lainnya. Aku tertawa mendengar ucapannya. Dalam hati mengakui, bahwa aku mulai jatuh cinta pada Raisa. Namun, aku akan merahasiakan hal ini dari mereka. Ketiga bujangan sok kece.Waktu berjalan dengan sangat lambat. Sekali-sekali aku melirik arlo

    Last Updated : 2024-05-25
  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 12 - Eikeh Nyambi Jadi Bences, Cint!

    Untuk urusan memasak aku lebih jago dari Raisa. Ini juga pernah dipuji Mami mertua yang pernah datang berkunjung, dan mencoba sambal goreng kentang pete buatanku. Mantap, katanya.Di lantai dapur Raisa sedang duduk sambil menyiangi sayur kangkung dan mengobrol dengan Mbok Sum. Aku tidak memahami pokok bahasan mereka yang di luar jangkauan otakku. Tidak sampai 30 menit, ikan tuna balado ala koki Freddy Hanafi sudah siap di atas meja makan. Nasi juga sudah matang. Sambil menunggu Raisa selesai menumis kangkung, aku memutuskan untuk mencuci wajah dan berganti pakaian, agar aroma masakan tidak menempel ke badan. Selanjutnya, aku duduk di sofa sambil berselancar di aplikasi biru dan merah muda campur ungu sedikit membuatku relaks. Aku menyandarkan tubuh dengan santai. Perlahan aku mulai mengantuk. Maakin lama kelopak mataku makin terasa berat. Hingga akhirnya aku tidak kuat untuk memejam dan hilang kesadaran. Tepukan lembut di pipi membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata sebentar s

    Last Updated : 2024-05-26
  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 13 - Bos Baru

    13"Maaf, kamu siapa?" tanyaku, setelah menyerah karena tidak bisa mengingatnya. "Aku Marlina. Masa lupa? Kita, kan, teman sekelas waktu SMU dulu!" jawab perempuan tersebut seraya tersenyum lebar. "Ahh, iya. Marlina, sang juara kelas."Akhirnya aku bisa mengingatnya. Aku beranjak naik dan duduk di pinggir kolam sambil merapikan rambut. Sementara Marlina tetap berjongkok di tempat semula. "Apa kabar?" tanyaku basa basi. "Alhamdulillah. Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Marlina bertanya balik. "Seperti yang kamu lihat. Aku tetap keren dan ganteng." "Hmm, ternyata narsismu juga masih melekat.""Aku pangling lihat kamu sekarang berjilbab.""Iya. Baru dua tahun ini aku memutuskan berhijab.""Masih sering ketemu teman-teman SMU?" "Jarang banget. Paling kalau aku pulang ke sini baru bisa ketemuan. Kalau kamu gimana?" "Aku selalu ketemu sama Seno. Kami rekan sekantor." "Seno yang rambutnya berjambul itu?" Aku mengangguk. Obrolan kami pun berlanjut dengan santai hingga waktu meram

    Last Updated : 2024-05-27
  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 14 - Lupa Rumah

    14Kalian tahu enggak, rasanya pengen marah, tetapi enggak bisa? Nyesek banget! Sumpah!Andai tadi kami bertemu di tempat dan kesempatan yang lain, mungkin akan kuhajar wajah klimis Andra itu. Seenaknya saja dia bilang aku mencuri Raisanya. Damn!"Bentar, Dy, jadi maksudnya bos kecil itu adalah mantan pacarnya Raisa?"tanya Seno sambil membulatkan matanya. Aku mengangguk mengiakan. "Buset! Terus gimana, dong?" desaknya."Kagak gimana-gimana. Ya, aku tetap lanjut kerja aja. Walaupun ada rasa was-was dia bakal ngerjain," sahutku sembari bertopang dagu di meja. "Nyantai, Bro, jangan suuzon dulu. Kali aja dia baik sama kamu." "I hope so!" Sejenak kami terdiam sambil sama-sama memandangi kursi Farraz yang sedang ditinggalkan pemiliknya dinas ke luar kota. Seno menepuk bahuku, kemudian mendorong kursinya menjauh dan melanjutkan aktivitas. Aku berhenti melamun, lalu kembali memfokuskan pandangan pada laporan di layar laptop. Meskipun sulit berkonsentrasi, aku tetap berusaha menunta

    Last Updated : 2024-05-28

Latest chapter

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 50 - Until Jannah

    50Jalinan waktu terus bergulir. Tepat dua minggu setelah Byantara lahir, aku dan Raisa mengadakan acara akikahan di kediaman Papi. Pada awalnya, kupikir acaranya akan sederhana. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Papi mengadakan pesta mewah, yang pastinya sebagian besar dananya berasal dari dompet beliau.Aku bukan tidak sanggup mengadakan akikahan mewah seperti ini, tetapi aku harus menghemat biaya. Terutama karena sampai dua bulan ke depan akan ada dua dapur yang harus diisi. Yaitu, dapur Bandung dan Jakarta. Beberapa saat sebelum pengajian dimulai, aku dipanggil Amran yang berada di teras depan. Aku menyambanginya dan seketika terkejut melihat banyak teman-teman dari PC yang datang. Bahkan beberapa bos PG turut hadir bersama keluarga masing-masing. Aku bergegas jalan menuju depan rumah, kemudian menyalami semua tamu. Kemudian aku mempersilakan mereka memasuki ruang tamu dan ruang tengah. Para istri bos menghampiri Raisa dan memeluknya sembari beradu pipi. Mereka sempat ber

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 49 - Byantara Devananta

    49Seunit motor polisi dengan sirine khas, menjadi pembuka jalan konvoi beberapa kendaraan roda dua dan empat, yang keluar dari area bandara menuju jalan raya utama Kota Bandung.Bang Zein dan kedua staf HWZ memacu motor besar mereka di belakang motor polisi. Aku memandangi mereka dari kursi depan mobil pertama, sembari mengucap syukur dalam hati, karena memiliki para sahabat yang setia kawan.Aku benar-benar takjub dengan kesigapan mereka yang menyambutku dan teman-teman, dengan protokoler yang biasanya dilakukan pada pejabat. Kendatipun sedikit malu, karena aku jadi penyebab para pengguna jalan lainnya menggerutu, tetapi aku tetap bersyukur, sebab dengan terbukanya jalan ini, konvoi kami tidak terjebak kemacetan.Seno mengemudikan mobil operasional kantor dengan kecepatan tinggi. Di belakang, dua unit mobil operasional PBK menyusul dengan jarak dekat. Bang Zulfi yang berada di kursi tengah, sedang bercakap-cakap dengan Bang Wirya yang berada di Jakarta, melalui sambungan telepon.

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 48 - Kamu Akan Selalu Ditemani

    48Beberapa hari menjelajahi Malang, ternyata aku sangat menyukai kota ini. Udaranya yang cukup sejuk, menjadikanku teringat akan Bandung di masa lampau. Saat aku kecil, Bandung masih dingin. Keluar untuk berangkat ke sekolah masih banyak embun menggantung di pepohonan. Sekarang, kota kelahiranku sudah panas. Sebab telah banyak pohon dan hutan yang dibabat buat dijadikan tempat bisnis. Jangankan Bandung, Lembang yang dulu dinginnya bikin beku, sekarang biasa-biasa saja. Hanya beberapa daerah di sekitar Jawa Barat yang udaranya masih dingin. Contohnya, Pangalengan, Ciwidey, Cijeruk di Bogor, dan tempat-tempat yang posisi tanahnya tinggi di perbukitan. Lainnya, sih, sama saja dengan Bandung, hareudang, dang, dang, dang, dut. Setelah 3 hari berjibaku di tempat proyek, pagi ini aku dan tim berwisata keliling kota. Tadinya, Bang Yoga mengusulkan ke Bromo, tetapi ditolak yang lainnya dengan alasan capai. Aku pun sama. Di tempat proyek yang jalanannya belum rata, ditambah lokasinya di p

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 47 - Double and Triple

    47Hari yang dinantikan Bayu dan Esti, akhirnya tiba. Pagi ini, aku dan keluarga serta kerabat Bayu, mengantarkan papanya Evan ke kediaman orang tua Esti.Suasana akad nikah yang semula tegang, seketika berubah tenang seusai kalimat kabul diucapkan Bayu dalam satu tarikan napas. Aku yang turut tegang sejak tadi, akhirnya bisa menghela napas lega. Aku melirik Raisa yang terlihat serius mengamati pasangan pengantin yang tengah berbincang dengan penghulu. Aku mengulurkan tangan kanan untuk menggenggam jemari Raisa yang seketika menoleh. Aku mengukir senyuman yang dibalasnya dengan hal serupa. Semua runutan acara adat Sunda digelar dengan khidmat. Aku terharu ketika Evan memeluk dan menciumi Esti yang sudah sah menjadi Ibu sambungnya. Isakan lirih terdengar dari semua sudut tempat perhelatan digelar. Begitu pula dengan Raisa. Dia berulang kali mengusap matanya yang basah dengan tisu. Demikian juga dengan Mama, Mami dan Neyla. Geng cengeng. Acara saweran menjadi hal yang paling ditung

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 46 - Perisai Keluarga

    46Perjalanan menjelajahi 2 provinsi dalam waktu 5 hari, ternyata sangat melelahkan. Terutama karena tempat yang didatangi merupakan area proyek, bukan tempat wisata ataupun pusat perbelanjaan. Hari terakhir berada di Jambi, pagi-pagi sekali aku dan teman-teman telah jalan memutari area sekitar hotel. Rencana awal, sih, cuma joging Namun, akhirnya kami berhenti untuk menikmati hidangan sarapan khas daerah, di rumah makan yang disarankan pemandu wisata.Dua staf proyek yang merupakan warga lokal, tampak antusias memperkenalkan berbagai panganan khas. Aku menyicipi nasi gemuk dan mi celor. Kemudian aku mencoba menyuap tempoyak yang disarankan Bang Zein untuk dicicipi. "Rasanya unik," tuturku. "Bau durian lumayan kuat," tambahku. "Ya, tempoyak memang dari fermentasi durian," terang Bang Zein. "Ini makanan khas Melayu. Semua daerah yang banyak suku Melayu-nya, pasti punya olahan serupa ini," jelasnya. "Abang orang Melayu juga, kan?" "Hu um. Aku lahir di Pontianak. SMP di Sambas. SMA

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 45 - 5 Bahasa

    45Matahari pagi baru muncul ketika dua unit mobil melaju dari kediaman orang tuaku. Papa yang memaksa untuk menyetir, berulang kali bersenandung mengikuti irama lagu dari alat pemutar musik.Mama menimpali bernyanyi dengan suara yang cukup merdu. Aku, Raisa, Amran dan Neyla saking melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Kendatipun lagu yang diputar adalah lagu-lagu zaman baheula, kami tidak berani memprotes dan membiarkan kedua orang tua bernostalgia dengan musik saat-saat mereka tengah pacaran, dulu. Di belakang, mobil yang dikemudikan Seno,, mengekor dengan jarak dekat. Mungkin dia takut ketinggalan, karena sopir mobilku adalah mantan pembalap bom-bom car. Tiba di perempatan jalan, seunit mobil MPV hitam bergabung. Aku memicingkan mata saat seseorang melambai dari pintu pengemudi, karena tidak mungkin tangan Papi seputih itu. "Yang jadi sopir, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk mobil terdepan. "Kayaknya itu Pingkan," sahut Raisa. "Gelangnya aku ingat banget, karena beli

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 44 - Ponselnya Ganti Model Jadul

    44Hari berganti dengan kecepatan maksimal..Pagi ini, aku baru tiba di kantor ketika banyak notifikasi masuk dari grup kantor. Aku duduk di kursi kebangsaan sambil menggulirkan jemari, untuk membaca pesan-pesan itu. Mataku membulat sempurna, usai membaca informasi terbaru tentang Erwin. Aku hendak menelepon Seno, tetapi dia telah lebih dulu menghubungiku. Aku menekan tanda hijau pada layar ponsel, lalu menempelkan telepon genggam ke telinga kanan. "Ya, Sen?" sapaku. "Erwin sudah menyerahkan diri, Dy," jawab Seno."Ya, aku sudah lihat infonya di grup." "Kamu diminta ke sini sama Pak Agung dan Pak Giandra." "Kapan?" "Hari ini." "Oke, habis zuhur aku berangkat. Ada meeting penting bentar lagi." "Nanti langsung ke kantor. Kami tunggu." "Sip." "Jangan ngebut. Hati-hati bawa iparku." "Aku mau naik kereta cepat." "Nanti kujemput di stasiun." "Yups."Seno mengucapkan salam yang kubalas dengan perkataan yang sama. Setelah sambungan telepon terputus, aku beralih menelepon Amran dan

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 43 - Menyediakan Bahu

    43Acara pelantikan pagi menjelang siang ini berlangsung khidmat. Aku begitu bahagia hingga nyaris tidak berhenti tersenyum. Raisa yang berada di kursi belakang Pak Agung, berulang kali melambaikan tangannya. Aku dan kedua direktur dari cabang Surabaya serta Semarang yang juga baru dilantik, merapatkan barisan. Pak Giandra, Pak Agung, Pak Harmoko dan Andra berdiri di sisi kanan. Sementara sisi kiri ditempati Pak Linggha, Pak Leandru, Pak Tanvir dan Pak Davindra. Mereka adalah para komisaris dari Pangestu Grup dan Mahendra Grup, yang juga turut menanamkan saham besar di GWA. Sesi pertama pemotretan berlangsung damai. Namun, ketika beberapa bos dari HWZ, LCGL dan GANK turut bergabung sambil berjongkok di bawah, suasana berubah ricuh. Ketiga perusahaan tersebut merupakan cabang dari Pangestu Grup, karena Pak Linggha menjadi penyumbang saham terbesarnya. Belasan menit berlalu, aku bergabung di meja yang ditempati para bos HWZ, LCGL dan GANK. Aku celingukan mencari Raisa, yang ternyat

  • Menikahi Gadis Pilihan Mama    Bab 42 - Penantian Telah Usai

    42Erwin menghilang!Kekhawatiranku terbukti dan membuatku serta Farraz dan Seno makin cemas. Keduanya telah berupaya mencari Erwin ke berbagai tempat yang biasa didatangi. Sedangkan aku menghubungi semua teman-teman kuliah, mungkin saja mereka memiliki informasi tentang Erwin. Namun, hasilnya nihil. Pagi ini, aku melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan menuju kota kembang. Amran yang berada di sebelah kiri, terlihat tegang. Raisa dan Silvi yang menempati kursi tengah, terlibat perbincangan tentang berbagai komentar di grup para istri karyawan GWA Grup yang semuanya membahas kasus ini. Aku berusaha fokus mengemudi, meskipun sebenarnya pikiran bercabang-cabang. Aku kesal pada Erwin..Harusnya dia jangan kabur dan berani mempertanggungkan perbuatannya. Jika sudah begini, pihak perusahaan mungkin akan melaporkannya ke kantor polisi. Aku juga mencemaskan Vita. Dia pasti syok karena suaminya kabur. Belum lagi bakal dicemooh orang lain. Aku khawatir jika menta

DMCA.com Protection Status