02
Raisa melangkah keluar dari kamar mandi. Pakaiannya sudah berganti dengan celana jin biru dan kaus lengan panjang hijau ulat daun. Di kepalanya ada lilitan handuk ala orang Afrika, meliuk tinggi bak menara Pisa.
Pandangan kami sejenak bertemu. Tiga detik yang canggung akhirnya selesai saat dia mengulurkan gaun yang robek tadi ke arahku.
"Cariin tukang jahit. Permak!" perintahnya.
"Sekarang?" tanyaku pura-pura lugu.
"Nggak. Entar habis lebaran Haji! Iyalah, sekarang atuh, Abang!" Suaranya mulai meninggi. Aku sedikit khawatir dia akan berteriak lagi kayak tadi.
"Bisa entar aja nggak? Atau aku minta tolong temanku buat nganterin ini ke tukang jahit, gimana?" balasku dengan bertanya balik.
Dia memicingkan mata dan menatapku dengan sorot tajam. Matanya yang sipit tampak makin segaris saat dipicingkan seperti itu. Sekilas ada aura membunuh yang terpancar dan membuatku bergidik.
"Aku juga mau mandi. Gerah dan Keringatan. Terus mau istirahat," kilahku.
Raisa menghela napas dan mengembuskan dengan cepat. Mungkin dia kesal dengan situasi ini. Entah kesal karena gaunnya robek atau kesal karena aku tidak mengikuti perintahnya.
Raisa menjauh dan duduk di sofa depan televisi. Dia memandang ke jendela. Mungkin berharap tiba-tiba ada tukang bakso lewat.
Aku meletakkan gaun di tempat tidur, kemudian bangkit berdiri. Aku memutar pinggang ke kanan dan kiri. Meliuk-liuk bak angin tornado. Lqlu aku membuka baju kaus dan melemparkannya ke sembarang arah.
Bug!
Tiba-tiba sebuah kotak tisu melayang ke arahku.
"Jangan buka di sini, porno!" teriaknya.
Aku terkekeh. Berbalik dan menyeringai ke arahnya. Raisa menutupi wajahnya dengan telapak tangan yang sedikit terbuka. Kuduga dia tengah mengintip di sela-sela jari.
Sambil bersiul aku memutar tubuh, dan melangkah menuju kamar mandi. Aku berhenti di bawah shower, lalu membuka kerannya dengan kekuatan penuh. Aku berdiam diri di bawah guyuyan air, sangat
berharap dinginnya air bisa menetralisir debaran dalam hati.Saat keluar dari kamar mandi, Raisa sudah tidak berada di tempatnya. Aku melongok ke luar jendela, mencoba mencarinya di luar sana. Namun, sosoknya tetap tidak terlihat. Seolah-olah hilang tanpa jejak.
Sambil menunggu dia kembali, aku merebahkan diri ke kasur. Berbaring ke kanan. Lalu aku memejamkan mata sambil mengatur napas.
Entah berapa lama aku tertidur, tetapi yang pasti saat bangun itu Raisa hanya berjarak sekitar 50 sentimeter dariku. Di tangannya ada ponsel yang diarahkan ke wajahku.
"Yahhh, kok, bangun? Bobok lagi, Bang. Udah bagus tadi posenya. Ilernya juga sudah sempurna bentuknya," ujarnya seraya tersenyum lebar.
Tanganku bergerak cepat merebut ponsel dari tangannya yang berusaha melawan. Alhasil terjadi adegan tarik-menarik ponsel. Hingga akhirnya dia menjerit saat aku memonyongkan bibir untuk menciumnya.
"Abang, ihh! Apa-apaan, sih!" sungutnya sambil mendorong tubuhku sekuat tenaga.
"Ke siniin!"
"Enggak mau!"
"Raisa!"
"Abang!"
"Beneran dicium, nih!"
Dia bangun dari tempat tidur dan beringsut menjauh. Namun, aku lebih sigap bergerak dan menarik tangan kirinya. Raisa yang belum sepenuhnya tegak berdiri, akhirnya jatuh ke kasur.
Dengan cepat tangan kiriku merebut ponselnya. Sedangkan tangan kanan menahan tubuhnya di kasur. Aku mengecek ponsel, ternyata sudah banyak fotoku dengan berbagai pose dan mulut yang menganga. Pokoknya jelek habis.
Jariku bergerak cepat menekan tombol untuk menghapus foto. Done! Semua fotoku sukses terhapus. Raisa merebut kembali ponselnya dengan bersungut-sungut. Dia menggerutu tidak jelas dalam bahasa Sunda kasar.
"Jangan memaki, pamali!"
"Budu!"
Raisa bangun dan duduk menyandar ke bantal yang ditumpuk. Masih bersungut-sungut dengan bibir yang mengerucut.
Aku memerhatikannya dengan saksama. Dengan jarak yang sangat dekat begini, dia betul-betul terlihat cantik dan seksi. Dengan cepat aku mengalihkan pandangan menatap seprai khas hotel. Pura-pura membersihkan debu tak kasatmata di seprai. Sebisa mungkin tidak menatapnya langsung. Takut khilaf!
"Bang."
"Ehm?"
"Kenapa mau nikah sama aku?" tanyanya tiba-tiba.
"Karena dijodohin."
"Kan, bisa nolak kalo emang nggak mau!"
"Mana, bisa menang berdebat lawan Mama. Kamu tahu sendiri mamaku gimana."
Raisa mengangguk seraya tersenyum. Sesaat kami saling beradu pandang, kemudian dia menunduk sambil merapikan rambut dengan jemari.
"Kamu juga, kenapa mau nikah sama Abang?" tanyaku dengan tingkat penasaran yang cukup tinggi.
"Habisnya kasihan ama Abang. Jomlo akut!" Raisa tertawa meledek. Makin lama tawanya makin kencang. Tak peduli aku mencibir.
"Emang kamu nggak punya pacar?" desakku.
"Punya."
"Lalu, kenapa ditinggal nikah?"
"Alasanku sama dengan Abang-lah. Mana bisa menolak kehendak sang dewi berbentuk Mami. Kan, sebelas dua belas dengan mamanya Abang."
"Nggak sedih ninggalin pacar?"
"Sedihlah, tapi mau gimana lagi. Maksa lanjut dengan dia juga belum tentu nikah juga, kan."
Aku mengangguk mengiakan, walaupun ada rasa gelenyar dan panas di hati mendengar ucapannya. Cemburu?
Dih. Enggak mungkin!Selama sekian menit berikutnya suasana hening. Aku menghabiskan waktu dengan memandangi langit-langit kamar yang bersih. Sementara Raisa masih bertahan di tempatnya.
"Bang, udah azan Asar. Salat bareng, yuk?" ajaknya.
"Sajadahnya ada?" tanyaku.
"Ada," sahutnya sambil berdiri.
Raisa berjalan ke lemari dan membuka pintunya. Dia meraih kotak hantaran pernikahan. Merobek plastiknya dan mengacungkan sajadah baru ke arahku.
Belasan menit terlewati, kami telah selesai salat Asar berjamaah perdana sebagai suami istri. Raisa membereskan peralatan salat. Kemudian, duduk kembali di tempat tidur. Mulutnya menguap beberapa kali.
"Kalau ngantuk tidur aja," ujarku sambil rebahan di sofa.
"Enggak, ahh. Entar Abang ngerjain aku."
"Ge-er, udah tidur sana. Entar malam masih ada acara makan-makan keluarga!"
"Janji nggak gangguin aku?"
"Iya." Aku mengacungkan dua jari sebagai tanda berjanji.
"Oke."
Tak berapa lama dia sudah tertidur. Terdengar dengkur halus dan napas yang teratur. Aku mengambil ponsel dari meja dan mulai memvideokannya. Balas dendam. (Tertawa jahat)
***Malam ini Raisa mengenakan gaun panjang biru muda, rambut diikat tengah, wajah dirias sederhana, dilengkapi dengan tas kecil dan sepatu biru tua. Menjadikan penampilannya kian memesona.
Debaran di dadaku mulai berlomba bak roller coaster. Nyaris melonjak kaget saat dia menggandeng lenganku dengan santai, dan berjalan dengan anggun ke restoran hotel tempat seluruh keluarga telah berkumpul.
Acara makan malam berlangsung dengan sukses. Sekali-sekali aku mencuri pandang ke Raisa yang tengah berbincang dengan mamaku. Penasaran dengan obrolan mereka, karena wajah Raisa terlihat merona kemerahan.
"Jangan melongo begitu. Mulutnya tutup!" titah Papa yang duduk di sebelah kananku.
Aku tersenyum lebar, merasa malu saat menyadari kalau tadi mulutku terbuka.
"Siang pertamanya, sudah?" Papa mulai menggodaku.
"Belumlah, Pa."
"Jadi ngapain aja tadi?"
"Ngobrol."
Papa tergelak. Tawanya yang membahana membuat semua mata menatapnya dengan keheranan.
"Sssttt!" Mama protes sambil mendelik.
Papa masih tertawa kecil. Om Deni yang baru kembali dari meja prasmanan untuk mengambil porsi tambahan, menoleh ke arah kami dengan alis bertaut.
"Ngomongin apaan?" tanyanya Om Deni.
"Dari siang sampai sore, mereka cuma ngobrol," jawab Papa sambil mencomot kentang dari piring Om Deni.
"Yahhh. Kirain sudah itu, payah, nih, Freddy," tukas Om Deni sambil menepuk pundakku pelan.
"Ssstttt!" Kali ini Tante Tina yang mendesis sambil memelototi suaminya. Sementara Mama kembali mendelik tajam pada Papa.
Kompak benar ini dua besan. Hobinya mendesis, melotot, dan memaksakan kehendak pada anak masing-masing.
03Selesai acara makan malam, Papa dan Om Deni melanjutkan memberikan trik khusus buat pemula. Aku jadi makin rikuh. Seperti pemuda tanggung yang terpaksa menikah. Mereka tidak menyadari bahwa aku sudah dewasa. Setelahnya, aku berpindah ke meja paling belakang, di mana semua sepupu dari pihak Papa dan Mama berkumpul. Bersama belasan orang tersebut, aku menghabiskan waktu hampir setengah jam. Acara kumpul keluarga ini tak kusia-siakan untuk melepas kangen. Duduk bersama mereka untuk mengobrol, saling meledek dan menghina, yang sudah menjadi kebiasaan kami setiap ada acara semacam ini. "Kamu kapan mau nikah, El?" tanyaku pada Ella, sepupu yang jaraknya hanya satu tahun lebih muda dariku. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan sedikit montok membuatnya tidak percaya diri. Padahal, menurutku wajahnya manis."Belum tahu, Bang. Calonnya juga masih belum ada," jawab Ella pelan. Tangannya mencuil sejumput kue di piring, lalu memasukkannya ke mulut. "Jangan sampai dilewatin sama Neyla. Se
04Kakiku melangkah sambil menyeret koper, mengikuti jejak langkah Raisa, memasuki kamarnya yang terletak di bagian tengah rumah Om Deni. Tepatnya di sebelah kanan ruang tengah. Sudah sering aku main ke sini, tetapi, memang baru kali ini bisa masuk ke ruang pribadinya. Wallpaper bernuansa biru muda dan putih menyambut kedatangan kami. Tempat tidur luas di dekat jendela. Di seberangnya berderet meja rias dan bufet unik, serta lemari besar empat pintu. Di pojok kanan ada pintu yang kata Raisa, merupakan kamar mandi. Kamar ini cukup mewah. Berbeda sekali dengan kamar kecilku yang sederhana. "Abang, bajunya dimasukkan ke lemari. Di sini, pintu paling ujung. Sudah disiapkan tempatnya," tutur Raisa sambil menunjuk tempat yang dimaksud.Aku bergegas membuka koper dan mengeluarkan setumpuk pakaian, lalu memasukkannya ke lemari. Bagian bawah lemari penuh dengan tas. Rupanya Raisa ini fans berat tas. Selesai berbenah, aku meletakkan koper di atas lemari. Kemudian berbalik ke arahnya. Bingu
05Selesai salat Isya berjamaah di kamar, Raisa mengurung diri lama di toilet. Aku menunggu sampai 30 menit, tetapi dia enggak keluar juga. Akhirnya kupaksakan untuk mengetuk pintu. "Raisa?" panggilku. "Ya?" "Kamu lagi sakit perut?""Enggak." "Udah bisa keluar? Gantian, dong. Aku juga mau nyetor."Tak lama kemudian kunci pintu dibuka. Raisa keluar sambil menunduk dan jalan cepat hingga tiba di dekat meja rias. Aku segera masuk ke kamar mandi sambil membawa ponsel. Bersemedi sembari cekikikan membaca novel milik Emak OY yang berjudul My Lovely Bodyguard, yang juga tayang di Goodnovel.Saat aku keluar,, ternyata lampu utama sudah dipadamkan. Tinggal lampu di atas meja rias yang masih menyala. Raisa tengah berbaring menyamping ke kiri dan menghadap jendela. Sinar dari layar ponselnya yang masih menyala, menandakan bahwa dia belum tidur.Aku duduk di pinggir kanan kasur. Merebahkan diri dengan hati-hati agar tidak menyenggol tubuhnya. Aku berusaha menenangkan detak jantung yang menda
"Abang." "Ehm." "Kok, diam aja dari tadi?" "Males ngomong." "Kenapa?" "Sakit gigi." Raisa cekikikan. Aku bersedekap tangan di dada sambil mesem-mesem. "Fokus dong nyetirnya. Entar celaka!" protesku."Ini juga udah fokus, Abang. Kalau nggak, Abang aja, deh, yang nyetir." "Aku nggak punya SIM. Entar ditilang." "Bikin atuh. Besok kuanterin, ya!" Aku mengangguk, kemudian melemparkan pandangan ke luar kaca. Dalam hati terus bertanya-tanya tentang pria tadi. Namun, aku malas untuk memulai pembicaraan mengenai dirinya. Setelah lama terdiam akhirnya aku memecah kecanggungan sekaligus interogasi. "Tadi, kenapa pake pelukan segala sama dia?""Kenapa? Cemburu?" Raisa balik bertanya. "Enggak. Cuma kesal!" Raisa tergelak. Bahunya berguncang menahan tawa. "Andra yang meluk aku, Bang. Kan aku nggak balas meluk," ujarnya di sela-sela tawa. "Tetap aja bikin kesel. Kamu, kan, istriku. Harusnya dia udah nggak boleh peluk-peluk!" "Iya, deh, iya. Nanti kubilangin ke dia. Enggak boleh peluk,
"Bang." Sayup-sayup terdengar suara Raisa memanggil. "Abang," suaranya mulai meninggi. Aku mencoba membuka kelopak mata yang tertutup rapat. Terasa ada yang mengguncangkan tubuh atletisku dengan kuat. "Abang!" hardiknya. "Apa?" "Bangun! Udah Subuh. Buruan salat!" "Hmm. Entar dulu, deh. Masih ngantuk." Aku berbalik ke kanan dan memeluk guling dengan erat. Segelas air yang diguyur ke wajah membuatku gelagapan. Tangan bergerak cepat mengusap wajahku dengan tangan."Apaan, sih? Kok, aku disiram?" protesku sambil beranjak duduk."Dibangunin salat susah, tapi pengen masuk surga. Aneh!" omelnya.."Iya, iya. Ini udah bangun! Cerewet!" "Abang itu emang kudu dicerewetin!" tukasnya tidak mau kalah. "Jangan galak-galak atuh ke suami, teh. Entar kabur." "Coba aja kalau berani kabur. Siap-siap di prekes-prekes," jawabnya sambil mengacungkan tinju ke arahku. Waduh! Bahaya! Segera aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Duduk di kloset dan bersemedi dengan dama
Masuk kerja di hari pertama setelah cuti, aku langsung disambut dengan rapat, rapat dan rapat. Bikin kepala bertambah nyut-nyut. Kaki melangkah gontai berjalan kembali ke meja kerja, lalu aku mengempaskan badan ke kursi. Aku menelungkupkan tangan d meja dan menenggelamkan kepala di dalamnya. "Deuh, pengantin baru, baru masuk kerja udah loyo aja," ledek Edwin dari meja sebelah. "Diam!" hardikku. "Pasti kangen istri, tuh!" imbuh Seno dari meja seberang. "Berisik!" bentakku. "Kapan mau indehoy, Ed? Entar gue videoin," sahut Farraz sambil tertawa. "Nu gelo'!" teriakku. "Udah. Jangan digodain terus. Mukanya udah merah, noh," tukas Mbak Sinta, sekretaris kantor yang kebetulan sedang melintas."Makasih, Mbak. Emang vangke mereka," sungutku seraya menatap tajam ke ketiga lelaki sok kece sambil mengacungkan tinju. Ketiga pria yang mengaku sahabat itu malah makin tergelak. Sepertinya mereka puas sudah mengerjaiku. Bikin kekesalanku kian meningkat. Dasar, Vangke!Dering ponsel membuatku
Aku mengangguk dan balas menatapnya saksama. Dipandangi seperti itu membuatku deg-degan. Seolah-olah tengah kembali ke masa-masa saat kami masih bersama. "Kenapa kamu menikah dengan Raisa?" desak Ghea Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. "Dijodohin alias dipaksa Mama dan Papa," sahutku. Sudut bibir Ghea terlihat melebar. Kemudian dia terbahak hingga bahunya berguncang. Tawa hangat yang pernah sangat kusuka dan tak ayal membuatku ikut tersenyum."Bukannya dulu kamu nolak buat dijodohin?" tanyanya setelah berhenti tergelak. "Iya, tapi kemarin udah nggak bisa nolak lagi. Mana lagi jomlo. Ya, udah, deh, bablas nikah." "Jomlo?" Matanya dipicingkan menatapku seakan-akan tidak percaya. "Ho oh." "Kok, bisa? Bukannya kamu banyak yang naksir?" "Sejak kita putus, aku udah males buat nyari pacar lagi." "Kenapa?" "Ngarep kamu balik lagi," selorohku seraya tersenyum. Raut wajah Ghea mendadak berubah seiring dengan tatapannya yang melembut. Tangannya terulur menyentuh le
Malam ini aku dan Raisa bersantap dalam diam. Dia sibuk dengan ponselnya. Sedangkan aku mengarahkan tatapan pada televisi yang tengah menayangkan drama ikan terbang.Entah kenapa ada rasa tidak nyaman diam-diaman begini. Aku seakan-akan hanya makan sendirian dan Raisa hanya jadi patung. Kami juga tidak saling menatap. Bahkan, saat tanpa sengaja tangan kami bersentuhan ketika hendak menambah lauk, Raisa cepat-cepat memindahkan tangannya untuk mengambil nasi terakhir tanpa menyisakannya buatku. Raisa bangkit berdiri dan membawa piring bekas makannya ke dapur dan mencucinya. Kemudian, dia langsung masuk ke kamar. Tak lama berselang dia keluar dengan membawa koper dan berpindah ke kamar depan. Dia menutup pintu sambil menatapku sinis. Bunyi kunci pintu yang diputar menandakan bahwa genderang perang memang sudah ditabuh.Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Aku meminum air di gelas dalam beberapa tegukan singkat. Lalu meletakkan gelas ke meja. Aku bangkit berd