Menyelamatkan seorang Kakek dari tangan penjahat membawa Marissa dalam pilihan sulit. Kakek Arnold ingin menjadikan Marissa bagian dari keluarganya. Calon istri bagi cucu tertuanya, Edrick. Apalagi saat Kakek Arnold tahu Marissa dikhianati oleh pacarnya. Disisi lain, ada Eric. Cucu kedua Kakek Arnold. Yang awalnya tak menyukai Marissa. Namun lambat laun, pertemuan demi pertemuan yang terjadi mengubah perasaan Eric. Eric bersedia bersaing dengan kakaknya demi mendapatkan Marissa. Lalu, siapa yang akan Marissa pilih?
Lihat lebih banyak“Setelah bertamu, apa saja yang kakekku ceritakan padamu,” jelas Eric.Marissa menghela lega. Hampir saja ia salah sangka, untung Eric cepat-cepat menjelaskan maksud pertanyaannya. “Kenapa tidak bertanya pada kakekmu?”Eric mendengkus. “Kau pikir bagaimana jawaban kakekku?”Mengelak, tentu saja. Kakek Arnold tidak akan semudah itu menjawab pertanyaan Eric. Setelah itu, Marissa bisa membayangkan mereka berdua berdebat seperti biasa. Lalu, Eric menyerah dan Kakek Arnold tersenyum menang.Marissa mengendikan bahu. “Tidak banyak. Kakek Arnold hanya menceritakan sedikit kisah percintaanmu.”“Kisah percintaan?” Eric menatap curiga.Marissa mengangguk. “Dibanding Edrick, kau lebih mudah menjalin hubungan dengan seseorang.”Eric berdeham. “Selain itu?”Jadi benar! Laki-laki ini bahkan tidak repot-repot mengelak. Tetapi, karena itu bukan urusan Marissa.
Tempat sepi katanya? Marissa memicing ke arah Eric. Padahal Marissa sudah percaya untuk ikut, laki-laki ini malah ingin macam-macam padanya.“Kau.. jangan macam-macam.” Marissa memperingatkan.Eric mendengkus lalu menoleh sekilas. “Asal kau tahu. Kau bukan tipeku.”Marissa menghela napas lega. Iya, Marissa tidak marah. Akan lebih baik jika Eric maupun Edrick tidak tertarik padanya. Marissa tidak ingin terlibat perasaan dengan laki-laki yang punya dunia berbeda darinya. “Syukurlah.”“Kau tidak marah?” tanya Eric heran.Marissa menoleh dengan kening mengernyit. “Kenapa aku harus marah? Bukankah wajar perempuan sepertiku bukan tipe idealmu?”Perempuan yang cocok disandingkan dengan cucu-cucu Kakek Arnold adalah perempuan berkelas. Bukan seperti Marissa, yang tidak punya apa pun atau siapa pun.Eric mengangguk samar. “Kau benar. Untuk saat ini.”Marissa tidak b
“Kau tidak bermaksud berangkat ke kafe, kan?”Pertanyaan Anna menghentikan gerakan tangan Marissa yang ingin menarik gagang pintu. Marissa berbalik perlahan dengan alis terangkat. Bukankah jawaban sudah jelas? Tentu saja, Marissa akan berangkat kerja. Kalau hari ini dia bolos lagi, bosnya bisa-bisa memecatnya detik ini juga.“Kenapa? Kau ingin bertukar shift?” Sepertinya, pertanyaan Marissa salah. Karena yang dilihatnya adalah Anna yang baru saja bangun. Belum siap sama sekali jika ingin berangkat bekerja.Anna menguap lebar lalu menggaruk kepalanya. “Kau lupa atau bagaimana? Paparazzi yang mencarimu belum menyerah. Hari ini mereka pasti masih berkerumun di kafe dan apartemen kita yang lama.”“Kau yakin? Kurasa aku tidak sepenting itu,” kata Marissa sembari mengedikkan bahu.Anna menghampiri Marissa, meraih tangannya dan menariknya menuju ke dapur. “Semua yang berhubungan dengan keluarga Smith p
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”
Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena
Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh. “Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini. Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.” “Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya. “Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John. “Eric? Kau kenapa?” Marissa berbalik mendengar suara
Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”Anna be
Meski bukan salahnya. Marissa tetap takut menunggu sepatah dua kata keluar dari mulut Eric. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya dan Edrick berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan keriuhan Kota di bawah sana.Sementara Marissa dan Kakek Arnold duduk bersebelahan seakan menunggu untuk disidang.“Jujur, aku tidak mengerti jalan pikiran Kakek,” ujar Eric pada akhirnya.“Jalan pikiran bagaimana maksudmu?” tanya Kakek Arnold tenang.Eric menghela napas berat, “Kakek, dia itu orang asing,” Eric melirik Marissa sekilas.Tahu dilirik, Marissa menundukkan kepala. Sekarang ia merasa bersalah.“Lalu?”“Bagaimana bisa Kakek memperkenalkannya sebagai seorang cucu di depan para karyawan? Kakek, sebentar lagi berita ini akan muncul di mana-mana,” keluh Eric diakhiri remasan dibatang hidungnya.Marissa ingin keluar dari ruangan ini. Segera. Meski ruangan ini lebih luas d
Entah dari mana Kakek Arnold tahu tentang drama yang terjadi beberapa hari yang lalu di perusahaan Sun Group. Apakah Eric yang bergosip? Hmm, Marissa rasa tidak. Menurut Marissa, Eric bukan termasuk laki-laki yang peduli dengan sesuatu yang tak penting.Lalu apa?Marissa bermaksud ingin segera pulang. Namun kedatangan Kakek Arnold mengurungkan niatnya. Marissa meneguk air putih di depan hingga tandas.“Aku baru tahu ternyata pacarmu bekerja di perusahaanku.”Marissa tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Kakek Arnold. Apa katanya? Perusahaan Sun Group itu miliknya? Pantas saja, pakaian hingga kendaraan Kakek Arnold mewah begini.Marissa menegakkan punggungnya, sejenak melirik John yang berdiri di samping Kakek lalu menyahut, “P-perusahaan itu milik Kakek?”Kakek Arnold mengangguk, “Dan saat ini Eric yang bertanggungjawab atas perusahaan itu.”Pantas saja David sangat menghormati Eric. Sekaran
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen