Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh.
“Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini.
Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.”
“Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya.
“Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John.
“Eric? Kau kenapa?”
Marissa berbalik mendengar suara Kakek Arnold. Di sana, dari arah tangga, Kakek Arnold mempercepat langkahnya menghampiri cucunya. Meski kadang bertengkar, Marissa bisa lihat betapa Kakek Arnold khawatir. Beliau sama sekali tidak menyembunyikannya.
“Kenapa tidak ke rumah sakit? Untuk apa repot-repot membangun rumah sakit, kalau kau tidak menggunakannya di saat-saat seperti ini!” Kakek Arnold murka.
Marissa menelan salivanya susah payah, selain memiliki perusahaan besar. Keluarganya ini juga membangun rumah sakit? Oh astaga, apa lagi yang mereka tidak miliki?
Dari belakang, Marissa bisa melihat dengan jelas pundak Eric yang semakin merosot. Mungkin ia sudah tidak kuat berdiri dan butuh tempat untuk merebahkan tubuhnya.
“Kakek, jangan berlebihan,” ucap Eric lemah.
Kakek Arnold melotot, hampir mengayunkan tongkatnya seandainya John tidak cepat menahan. “Kau! Dari dulu tak pernah bisa mendengar kakekmu ini!”
“Kakek, aku hanya butuh istirahat.”
Kakek Arnold mendesah berat lalu membiarkan Eric menaiki anak tangga yang entah jumlahnya ada berapa. “Anak itu benar-benar!”
Kali ini Kakek Arnold melarikan pandangannya ke arah John, “Hubungi Dokter Bella. Anak itu harus diperiksa. Minta Dokter Bella agar secepatnya datang. Kalau perlu jemput dia.”
“Baik.”
Pandangan matanya yang mengikuti langkah John akhirnya berhenti ketika melihat Marissa. Kakek Arnold tersenyum. Marissa balas tersenyum meski agak dipaksakan. Marissa merasa pemilihan waktunya datang ke sini salah.
“Marissa,” Kakek Arnold menghampiri Marissa kemudian merangkul bahunya, “Maaf karena aku lupa kalau kau ada di sini.”
“Apa aku sebaiknya pulang, Kek?”
Kakek Arnold menggeleng tak setuju, “Tidak, tidak. Aku senang kau ada di sini. Tidak perlu khawatir.”
“Tapi, sepertinya Eric merasa tidak nyaman karena keberadaanku.”
“Bagaimana kau tahu?” Alis Kakek Arnold terangkat tinggi.
Marissa melongo tak percaya. Kalimat barusan hanya basa-basi karena dibanding Eric, Marissa lah yang justru merasa tak nyaman. Kakek Arnold menghela napas panjang, “Sejak kedua orang tuanya meninggal, sejujurnya Eric tidak bisa menerima orang asing masuk ke dalam rumah ini. Ini wilayah privasi bagi Eric.”
Kakek Arnold melepas rangkulannya sambil mengembuskan napas lagi. Seakan beban di pundaknya terlalu berat. “Aku sengaja mengundangmu agar Eric belajar menerima orang baru di rumah ini. Karena bagaimana pun, suatu hari ia atau Edrick akan menikah dan membawa pasangan mereka ke sini.”
Marissa mengikuti langkah Kakek Arnold lalu duduk saling berhadapan, “Bagaimana dengan bodyguard dan pelayan yang bekerja di sini?”
“Mereka punya bangunan sendiri, ada di belakang. Mereka yang tidak Eric kenal hanya aku perbolehkan bekerja ketika Eric tidak berada di rumah.”
Marissa terdiam. Baru kali ini ia mendengar ada orang sejenis Eric. Marissa penasaran sebabnya namun itu terlalu lancang untuk menanyakannya pada Kakek Arnold.
“Kau lihat bodyguard botak yang tadi memapahnya?” Marissa mengangguk. “Itu orang yang paling Eric percaya. Hanya dia dan kepala pelayan yang boleh masuk ke kamarnya selain aku dan Edrick.”
“Kakek, bukannya aku sok tahu. Tapi, dibandingkan mengundangku bukankah lebih baik Eric dibawa ke seseorang yang memang ahli?” kata Marissa ragu.
Kakek Arnold melempar senyum tipis, menunduk sebentar dan kembali menatap Marissa, “Mereka menyerah. Mereka bilang, pengobatan apa pun akan sia-sia jika Eric yang sendirilah yang tidak menginginkan dirinya sembuh.”
“Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya. Eric 15 tahun, tiba-tiba melempar semua barang yang di hadapannya ketika aku membawa kepala pelayan baru karena kepala pelayan yang merawatnya sejak kecil memilih berhenti.”
Kakek Arnold berhenti sejenak sambil menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan, “Mungkin karena kasihan, kepala pelayan yang lama kembali bekerja. Sampai hari ini.”
Semakin Kakek Arnold mengungkap diri Eric yang sebenarnya, semakin Marissa penasaran. “Kakek, bukannya waktu itu kau pernah bilang, Edrick lebih sulit menerima seseorang dibanding Eric?”
“Memang benar. Eric cukup sering menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Tapi, tak ada yang dia ajak ke rumah ini. Mereka semua hanya berakhir di apartemen dan tidak ada yang benar-benar diajaknya serius.”
Marissa mengerjap beberapa kali, ternyata Eric laki-laki semacam itu? Tetapi, bukankah itu wajar? Marissa akui, Eric tampan dan berkarisma. Belum lagi kekayaannya yang tidak akan habis beberapa turunan. Mendapatkan perempuan yang dia inginkan bukan hal yang sulit. Segampang membalikkan telapak tangan mungkin?
“Walaupun begitu, aku tetap berharap dia menemukan perempuan yang benar-benar ia cintai,” ungkap Kakek Arnold pelan sambil menerawang jauh ke depan.
Marissa tidak bisa merasakan apa yang Kakek Arnold rasakan. Tetapi, dari tatapan sendunya. Marissa bisa tahu betapa Kakek Arnold berharap selama ini. Ia ingin kedua cucunya bisa hidup selayaknya orang-orang di luar sana. “Pasti. Eric pasti bisa, Kek,” kata Marissa menenangkan.
“Terima kasih, Marissa. Sejak awal, aku tidak salah memilihmu.” Kakek Arnold tertawa menggelegar. Padahal baru saja tatapan dan nada suara tampak sedih. Perubahan emosinya bisa secepat itu?
“Oh, sebentar.” Tiba-tiba Kakek Arnold bangkit dari duduknya, “Aku harus menghubungi kepala pelayan.” Kakek Arnold menghela napas sambil mengutak-atik ponselnya, “Padahal ia sengaja mengambil libur hari ini.”
Marissa mengernyit, “Untuk apa? Bukankah ada pelayan lain”
Selain tiga pelayan yang tadi Marissa lihat. Kakek Arnold sendiri yang bilang masih ada yang tinggal di bangunan lain. Marissa yakin ada puluhan pelayan yang bekerja di istana seluas ini.
“Kalau kondisinya sedang sakit, Eric hanya mau makan masakannya.”
Kalau Marissa yang menjadi orang tua atau Nenek Eric. Sudah bisa dipastikan Marissa akan menikahkan Eric dan sang kepala pelayan. Hanya dia yang boleh masuk ke kamarnya dan memasak untuknya ketika sakit, mereka akan hidup bahagia selamanya.
“Oh! Marissa,” seru Kakek Arnold.
Marissa mendongak, “Ada apa, Kek?”
“Bagaimana jika kau yang masak?”
Alis Marisa terangkat tinggi, “Aku?” tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Kakek Arnold mengangguk semangat, “Kita tanyakan resepnya pada kepala pelayan lalu kau yang masak.”
Marissa meringis. Mau ditolak, tetapi Marissa tidak enak hati. Kalau diterima, Marissa takut kemarahan Eric akan berimbas padanya. “Kakek, meskipun aku bisa masak. Aku tidak tahu bagaimana selera Eric.”
“Kau pasti bisa, Marissa. Bagaimana?” desak Kakek Arnold.
Jika Marissa menolak, ia tahu Kakek Arnold akan tetap membujuknya hingga jawabannya berubah. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Marissa mengangguk.
Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”
“Kau tidak bermaksud berangkat ke kafe, kan?”Pertanyaan Anna menghentikan gerakan tangan Marissa yang ingin menarik gagang pintu. Marissa berbalik perlahan dengan alis terangkat. Bukankah jawaban sudah jelas? Tentu saja, Marissa akan berangkat kerja. Kalau hari ini dia bolos lagi, bosnya bisa-bisa memecatnya detik ini juga.“Kenapa? Kau ingin bertukar shift?” Sepertinya, pertanyaan Marissa salah. Karena yang dilihatnya adalah Anna yang baru saja bangun. Belum siap sama sekali jika ingin berangkat bekerja.Anna menguap lebar lalu menggaruk kepalanya. “Kau lupa atau bagaimana? Paparazzi yang mencarimu belum menyerah. Hari ini mereka pasti masih berkerumun di kafe dan apartemen kita yang lama.”“Kau yakin? Kurasa aku tidak sepenting itu,” kata Marissa sembari mengedikkan bahu.Anna menghampiri Marissa, meraih tangannya dan menariknya menuju ke dapur. “Semua yang berhubungan dengan keluarga Smith p
Tempat sepi katanya? Marissa memicing ke arah Eric. Padahal Marissa sudah percaya untuk ikut, laki-laki ini malah ingin macam-macam padanya.“Kau.. jangan macam-macam.” Marissa memperingatkan.Eric mendengkus lalu menoleh sekilas. “Asal kau tahu. Kau bukan tipeku.”Marissa menghela napas lega. Iya, Marissa tidak marah. Akan lebih baik jika Eric maupun Edrick tidak tertarik padanya. Marissa tidak ingin terlibat perasaan dengan laki-laki yang punya dunia berbeda darinya. “Syukurlah.”“Kau tidak marah?” tanya Eric heran.Marissa menoleh dengan kening mengernyit. “Kenapa aku harus marah? Bukankah wajar perempuan sepertiku bukan tipe idealmu?”Perempuan yang cocok disandingkan dengan cucu-cucu Kakek Arnold adalah perempuan berkelas. Bukan seperti Marissa, yang tidak punya apa pun atau siapa pun.Eric mengangguk samar. “Kau benar. Untuk saat ini.”Marissa tidak b
“Setelah bertamu, apa saja yang kakekku ceritakan padamu,” jelas Eric.Marissa menghela lega. Hampir saja ia salah sangka, untung Eric cepat-cepat menjelaskan maksud pertanyaannya. “Kenapa tidak bertanya pada kakekmu?”Eric mendengkus. “Kau pikir bagaimana jawaban kakekku?”Mengelak, tentu saja. Kakek Arnold tidak akan semudah itu menjawab pertanyaan Eric. Setelah itu, Marissa bisa membayangkan mereka berdua berdebat seperti biasa. Lalu, Eric menyerah dan Kakek Arnold tersenyum menang.Marissa mengendikan bahu. “Tidak banyak. Kakek Arnold hanya menceritakan sedikit kisah percintaanmu.”“Kisah percintaan?” Eric menatap curiga.Marissa mengangguk. “Dibanding Edrick, kau lebih mudah menjalin hubungan dengan seseorang.”Eric berdeham. “Selain itu?”Jadi benar! Laki-laki ini bahkan tidak repot-repot mengelak. Tetapi, karena itu bukan urusan Marissa.
Marissa berdiri di balik kasir, mengamati gerak-gerik seorang pria yang menutup sebagian wajahnya dengan topi. Sementara di seberang mejanya ada seorang Kakek. Memegang tongkat berlapis emas, jas dan celana berwarna senada yang rapi bersih seakan menyampaikan pada semua orang bahwa ia bukan orang biasa. Oh, jangan lupa topi fedora putih dengan garis hitam di sekelilingnya. Marissa menghela pendek. Sesekali pria bertopi itu melirik si Kakek.Gawat jika pria itu berniat merampok atau mencelakai si Kakek. Keadaan kafe sepi, hanya ada mereka berdua di dalam sini. Oh, salah. Bertiga dengan Marissa.Marissa bukannya takut. Ia tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Marissa ingin hidup tenang tanpa musuh. Bisa saja, kan, jika Marissa ikut campur dan menggagalkan niat jahatnya. Pria itu dendam pada Marissa dan menjadikannya target selanjutnya. Itu pun kalau pria itu tak mendekam dibalik jeruji besi.“Halo? Kenapa meneleponku?” Si Kakek berbicara dengan s
Dibandingkan shift malam, Marissa memang lebih suka mengambil shift pagi hingga sore hari. Satu-satunya alasan adalah David. Marissa ingin menyisihkan waktu di malam hari untuknya dan David. Mereka akan bertemu sepulang kerja. Namun dua bulan terakhir, Marissa tidak pernah bertemu David. Kekasihnya itu selalu sibuk dan terus lembur jika mereka bermaksud bertemu. Bahkan semalam, David tidak membalas pesannya. Hingga siang ini. Di tengah penantiannya, Marissa terkejut melihat kedatangan Kakek yang kemarin ia tolong. Masih setia dengan jas, tongkat emas, dan topi fedoranya, si Kakek berjalan dengan pasti menghampiri Marissa. Kali ini si Kakek tidak sendiri. Ada seorang pria berbadan kekar yang mengikutinya di belakang. Tampilannya begitu mencolok dengan jas, celana, kacamata dan pentofel hitam. Mirip bodyguard di film yang biasa Marissa tonton. Tunggu! Atau pria itu memang bodyguard si Kakek? “Marissa, senang melihatmu lagi.” Marissa tersenyum ti
Seminggu telah berlalu sejak Kakek Arnold mengajaknya makan malam itu. Dan, dalam kurung waktu seminggu ini. Kakek Arnold masih sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Entah itu hanya memesan dan duduk. Atau mengajaknya bercerita ketika kafe dalam keadaan sepi.Marissa tidak masalah. Marissa tahu, Kakek kesepian. Ia hanya butuh teman dan kesibukan untuk melewati harinya.Tetapi, siang ini. Marissa tidak berada di kafe. Ia sengaja mengambil shift malam agar bisa bertemu David. Marissa ingin memberi kejutan pada David dengan datang ke kantornya, membawa makan siang.Marissa mendongak, menyipit menatap gedung pencakar langit di depannya. Sun Group. Salah satu perusahaan pembangunan rumah terbesar di Inggris. Tempat David bekerja. Marissa melangkah ringan melewati lobi dan berhenti di depan sebuah lift. Karena lumayan sering mengunjungi David, Marissa sudah lumayan hafal seluk beluk perusahaan ini.Contohnya lift ini. Yang ada di hadapan Marissa adalah l