Tempat sepi katanya? Marissa memicing ke arah Eric. Padahal Marissa sudah percaya untuk ikut, laki-laki ini malah ingin macam-macam padanya.
“Kau.. jangan macam-macam.” Marissa memperingatkan.
Eric mendengkus lalu menoleh sekilas. “Asal kau tahu. Kau bukan tipeku.”
Marissa menghela napas lega. Iya, Marissa tidak marah. Akan lebih baik jika Eric maupun Edrick tidak tertarik padanya. Marissa tidak ingin terlibat perasaan dengan laki-laki yang punya dunia berbeda darinya. “Syukurlah.”
“Kau tidak marah?” tanya Eric heran.
Marissa menoleh dengan kening mengernyit. “Kenapa aku harus marah? Bukankah wajar perempuan sepertiku bukan tipe idealmu?”
Perempuan yang cocok disandingkan dengan cucu-cucu Kakek Arnold adalah perempuan berkelas. Bukan seperti Marissa, yang tidak punya apa pun atau siapa pun.
Eric mengangguk samar. “Kau benar. Untuk saat ini.”
Marissa tidak b
“Setelah bertamu, apa saja yang kakekku ceritakan padamu,” jelas Eric.Marissa menghela lega. Hampir saja ia salah sangka, untung Eric cepat-cepat menjelaskan maksud pertanyaannya. “Kenapa tidak bertanya pada kakekmu?”Eric mendengkus. “Kau pikir bagaimana jawaban kakekku?”Mengelak, tentu saja. Kakek Arnold tidak akan semudah itu menjawab pertanyaan Eric. Setelah itu, Marissa bisa membayangkan mereka berdua berdebat seperti biasa. Lalu, Eric menyerah dan Kakek Arnold tersenyum menang.Marissa mengendikan bahu. “Tidak banyak. Kakek Arnold hanya menceritakan sedikit kisah percintaanmu.”“Kisah percintaan?” Eric menatap curiga.Marissa mengangguk. “Dibanding Edrick, kau lebih mudah menjalin hubungan dengan seseorang.”Eric berdeham. “Selain itu?”Jadi benar! Laki-laki ini bahkan tidak repot-repot mengelak. Tetapi, karena itu bukan urusan Marissa.
Marissa berdiri di balik kasir, mengamati gerak-gerik seorang pria yang menutup sebagian wajahnya dengan topi. Sementara di seberang mejanya ada seorang Kakek. Memegang tongkat berlapis emas, jas dan celana berwarna senada yang rapi bersih seakan menyampaikan pada semua orang bahwa ia bukan orang biasa. Oh, jangan lupa topi fedora putih dengan garis hitam di sekelilingnya. Marissa menghela pendek. Sesekali pria bertopi itu melirik si Kakek.Gawat jika pria itu berniat merampok atau mencelakai si Kakek. Keadaan kafe sepi, hanya ada mereka berdua di dalam sini. Oh, salah. Bertiga dengan Marissa.Marissa bukannya takut. Ia tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Marissa ingin hidup tenang tanpa musuh. Bisa saja, kan, jika Marissa ikut campur dan menggagalkan niat jahatnya. Pria itu dendam pada Marissa dan menjadikannya target selanjutnya. Itu pun kalau pria itu tak mendekam dibalik jeruji besi.“Halo? Kenapa meneleponku?” Si Kakek berbicara dengan s
Dibandingkan shift malam, Marissa memang lebih suka mengambil shift pagi hingga sore hari. Satu-satunya alasan adalah David. Marissa ingin menyisihkan waktu di malam hari untuknya dan David. Mereka akan bertemu sepulang kerja. Namun dua bulan terakhir, Marissa tidak pernah bertemu David. Kekasihnya itu selalu sibuk dan terus lembur jika mereka bermaksud bertemu. Bahkan semalam, David tidak membalas pesannya. Hingga siang ini. Di tengah penantiannya, Marissa terkejut melihat kedatangan Kakek yang kemarin ia tolong. Masih setia dengan jas, tongkat emas, dan topi fedoranya, si Kakek berjalan dengan pasti menghampiri Marissa. Kali ini si Kakek tidak sendiri. Ada seorang pria berbadan kekar yang mengikutinya di belakang. Tampilannya begitu mencolok dengan jas, celana, kacamata dan pentofel hitam. Mirip bodyguard di film yang biasa Marissa tonton. Tunggu! Atau pria itu memang bodyguard si Kakek? “Marissa, senang melihatmu lagi.” Marissa tersenyum ti
Seminggu telah berlalu sejak Kakek Arnold mengajaknya makan malam itu. Dan, dalam kurung waktu seminggu ini. Kakek Arnold masih sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Entah itu hanya memesan dan duduk. Atau mengajaknya bercerita ketika kafe dalam keadaan sepi.Marissa tidak masalah. Marissa tahu, Kakek kesepian. Ia hanya butuh teman dan kesibukan untuk melewati harinya.Tetapi, siang ini. Marissa tidak berada di kafe. Ia sengaja mengambil shift malam agar bisa bertemu David. Marissa ingin memberi kejutan pada David dengan datang ke kantornya, membawa makan siang.Marissa mendongak, menyipit menatap gedung pencakar langit di depannya. Sun Group. Salah satu perusahaan pembangunan rumah terbesar di Inggris. Tempat David bekerja. Marissa melangkah ringan melewati lobi dan berhenti di depan sebuah lift. Karena lumayan sering mengunjungi David, Marissa sudah lumayan hafal seluk beluk perusahaan ini.Contohnya lift ini. Yang ada di hadapan Marissa adalah l
Entah dari mana Kakek Arnold tahu tentang drama yang terjadi beberapa hari yang lalu di perusahaan Sun Group. Apakah Eric yang bergosip? Hmm, Marissa rasa tidak. Menurut Marissa, Eric bukan termasuk laki-laki yang peduli dengan sesuatu yang tak penting.Lalu apa?Marissa bermaksud ingin segera pulang. Namun kedatangan Kakek Arnold mengurungkan niatnya. Marissa meneguk air putih di depan hingga tandas.“Aku baru tahu ternyata pacarmu bekerja di perusahaanku.”Marissa tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Kakek Arnold. Apa katanya? Perusahaan Sun Group itu miliknya? Pantas saja, pakaian hingga kendaraan Kakek Arnold mewah begini.Marissa menegakkan punggungnya, sejenak melirik John yang berdiri di samping Kakek lalu menyahut, “P-perusahaan itu milik Kakek?”Kakek Arnold mengangguk, “Dan saat ini Eric yang bertanggungjawab atas perusahaan itu.”Pantas saja David sangat menghormati Eric. Sekaran
Meski bukan salahnya. Marissa tetap takut menunggu sepatah dua kata keluar dari mulut Eric. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya dan Edrick berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan keriuhan Kota di bawah sana.Sementara Marissa dan Kakek Arnold duduk bersebelahan seakan menunggu untuk disidang.“Jujur, aku tidak mengerti jalan pikiran Kakek,” ujar Eric pada akhirnya.“Jalan pikiran bagaimana maksudmu?” tanya Kakek Arnold tenang.Eric menghela napas berat, “Kakek, dia itu orang asing,” Eric melirik Marissa sekilas.Tahu dilirik, Marissa menundukkan kepala. Sekarang ia merasa bersalah.“Lalu?”“Bagaimana bisa Kakek memperkenalkannya sebagai seorang cucu di depan para karyawan? Kakek, sebentar lagi berita ini akan muncul di mana-mana,” keluh Eric diakhiri remasan dibatang hidungnya.Marissa ingin keluar dari ruangan ini. Segera. Meski ruangan ini lebih luas d
Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”Anna be
Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh. “Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini. Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.” “Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya. “Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John. “Eric? Kau kenapa?” Marissa berbalik mendengar suara