Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.
“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.
Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.
Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”
Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.
“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.
“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”
Anna berpikir sebentar sebelum mengangguk.
“Jadi, aku pernah menyelamatkan Kakek Arnold. Se—”
“Kakek Arnold?”
Marissa memejamkan mata menahan diri agar tidak marah, “Arnold Smith, kakek-kakek yang kau lihat waktu itu. Setahuku dia pendiri Sun Group.”
“Oh, shit!” teriak Anna lalu menutup mulutnya. “Marissa, ini benar-benar gi—”
“Anna!” tegur Marissa.
“Oh, maaf. Aku lupa janjiku,” kata Anna kemudian mengulum bibirnya.
“Sejak saat itu Kakek Arnold sering berkunjung ke kafe dan memintaku berkenalan dengan cucunya.”
Mulut Anna terbuka semakin lebar. Namun, sebelum Anna berhasil menyela. Marissa segera menempelkan jarinya ke bibir agar Anna tetap diam.
“Awalnya aku menolak. Karena David. Tapi, saat tahu aku dan David berpisah, Kakek Arnold kembali membujukku,” Marissa menghela napas, “Aku menyanggupi bujukan Kakek hanya untuk membuat David menyesal. Aku sama sekali tidak menyangka Kakek akan memperkenalkanku sebagai cucunya sekaligus mengenalkanku pada Edrick dengan cara seperti ini.”
“Sudah selesai?” tanya Anna.
Marissa mengangguk lemah.
“Oh my God! Marissa ini benar-benar gila. Kita berdua tentu tahu bagaimana besar dan berpengaruhnya Sun Group di Inggris. Dan sekarang, kau diangkat sebagai cucu dan sebentar lagi menjadi istri seorang konglomerat.”
“Istri?”
Anna mengangguk semangat, “Ya! Kau dan Edrick. Siapa lagi? Atau kau lebih suka Eric? Sebenarnya terserah kau pilih siapa, mereka berdua sama saja. Tampan dan kaya.”
“Anna, sepertinya khayalanmu terlalu jauh.”
“Kenapa? Jangan bilang kau tidak mau.” Anna menyipitkan mata curiga.
“Aku memang tidak mau.”
“Kenapa?!”
“Anna, aku baru saja putus dari David. Aku belum bisa membuka hati untuk orang lain. Selain itu..” Marissa menggantung kalimatnya.
“Selain itu?”
“Sepertinya Edrick tidak tertarik padaku.”
“Itu karena kalian belum saling mengenal. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, Marissa.”
Marissa mendengus mendengar Anna berbicara tentang cinta. Cinta yang Marissa pupuk selama setahun sebelum resmi menyandang status sebagai kekasih David lalu lima tahun mempertahankan cinta, pada akhirnya berakhir tragis juga.
“Yang harus kau benci bukan cinta, Marissa. Tapi, David.”
***
Niatnya bekerja hari ini mendadak batal karena pintu depan kafe dipenuhi paparazzi. Untungnya John datang tepat waktu dan menyelamatkan Marissa. Ini pasti ada hubungannya dengan pengumuman Kakek Arnold kemarin.
Marissa menghela napas sembari menyandarkan punggungnya. “Terima kasih, John. Aku berutang padamu.”
“Tidak perlu. Kakek Arnold sudah menggaji saya lebih dari cukup.”
Marissa menegakkan punggungnya mendengar panggilan John yang dulunya Mr. Smith berubah menjadi Kakek Arnold. “Sepertinya kau semakin dekat dengan Kakek Arnold.”
John melirik Marissa dari spion, “Berkat Anda.”
“Aku?” Marissa mengernyit.
“Beliau semakin percaya dengan saya karena Anda juga mempercayai dan cepat akrab dengan saya.”
Hanya karena itu? Marissa mengernyit, ternyata Kakek Arnold orang yang cukup rumit juga. “Ngomong-ngomong kau akan membawaku ke mana?”
“Ke tempat yang aman.”
“Aman? Apa rumahku tidak lagi aman?” kata Marissa lemah. Seharusnya Marissa tidak menerima bujukan Kakek Arnold untuk mengenalkannya dengan Edrick. Mana ia tahu kalau yang terjadi bukan hanya perkenalan, tetapi juga pengakuan Kakek Arnold bahwa Marissa sudah seperti keluarganya.
Untuk orang kalangan atas, berita semacam ini akan sangat menggiurkan bagi pemburu berita. Atau bahkan musuh-musuh yang ingin menjatuhkan perusahaan Kakek Arnold. Marissa mendesah berlebihan, tamat sudah riwayatnya.
“Keselamatan Anda sudah Kakek Arnold jamin. Hanya saja, untuk hari ini Kakek Arnold takut Anda diserang paparazzi.”
Marissa mengangguk pelan. Meski tak sepenuhnya percaya pada ucapan John, untuk kali ini Marissa akan berpura-pura percaya. Sisa perjalanan menuju tempat yang tidak Marissa ketahui, ia habiskan dengan melamun. Memikirkan hari esok dan bagaimana ia harus bekerja. Belum lagi bos yang sangat senang menceramahinya. Tidak bisa Marissa bayangkan bagaimana mata tajamnya menusuk ketika ia marah karena paparazzi yang memenuhi kafenya. Marissa bergidik ngeri. Mulai detik ini, ia harus memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan jika bosnya benar-benar marah.
Lamunan Marissa mendadak buyar ketika mobil berhenti namun mesinnya masih menyala. Marissa mencoba mengintip apa yang di depannya.
“Wow!” ujar Marissa tanpa sadar ketika matanya menangkap pemandangan menakjubkan. Sebuah pagar tinggi menjulang dengan ukiran rumit terbuka secara otomatis. Mobil kembali melaju, melewati jalan memutar yang di sekelilingnya ditanami berbagai macam tumbuhan rindang. Belum lagi kolam dengan air mancur yang berada di tengah-tengah menambah kesan mewah. Marissa tak henti-hentinya berdecak kagum.
Setelah melewati jalan yang cukup panjang, mobil berhenti. Marissa keluar saat John membukakan pintu untuknya. Marissa tidak tahu lagi kata-kata apa yang bisa ia ucapkan untuk mengungkapkan kekagumannya. Bangunan di depan sana bukan lagi rumah, bukan mansion. Tapi istana!
Bangunan ini bertingkat dua yang memanjang ke sisi kiri dan kanan. Didominasi warna putih gading dan sedikit aksen berwarna emas menambah kesan megahnya. Pilar-pilar yang menopang kokoh di teras dan jendelanya yang entah ada berapa banyak. Marissa cukup handal dalam pelajaran matematika tetapi entah kenapa menghitung banyaknya jendela di rumah ini saja tidak bisa.
“John,” panggil Marissa namun matanya tetap fokus menatap ke depan.
“Iya?”
“Apa kau tahu berapa yang Kakek Arnold bayar untuk menghidupkan semua lampu yang ada di rumahnya?”
John berdehem, “Tidak. Bagaimana kalau Anda tanyakan langsung pada Kakek Arnold?”
Marissa mengangguk tanpa kata. Di luarnya saja mampu membuat Marissa tak sanggup berkat-kata. Bagaimana jika ia masuk? Mungkin ia bisa mendadak bisu.
“Silakan.” John mempersilakan Marissa berjalan lebih dulu. Dengan langkah ragu dan amat pelan, Marissa menaiki beberapa anak tangga hingga sampai di teras. Dua orang bodyguard sigap membuka pintu untuknya. Marissa berterima kasih sebelum melangkahkan kakinya ke dalam.
“Ini benar-benar gila,” gumam Marissa saat matanya menyisir seisi ruang tamu. Ruangan ini bahkan lebih luas dari lobi perusahaan Sun Group. Marissa semakin dibuat takjub ketika ia mendongak dan menemukan lampu kristal yang menjuntai dari langit-langit.
“Silakan duduk. Saya akan memberitahu Kakek Arnold bahwa Anda sudah sampai.”
Marissa mengangguk dengan tampang polosnya kemudian duduk di salah satu kursi. Tidak lama, tiga orang pelayan datang membawa minuman, berbagai macam buah yang telah dipotong-potong kecil, dan makanan manis.
“Terima kasih.”
Mereka menunduk dan berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun. Marissa meraih gelas di meja, memejamkan mata sambil mengendus baunya. Ini teh. Tetapi, ada aroma lain yang tidak pernah Marissa cium selama hidupnya.
Gerakan Marissa yang ingin menyesap tehnya terhenti ketika suara pintu terbuka terdengar. Ia menengok dilandasi rasa penasaran. Pandangan Marissa dan Eric berserobok seketika itu juga. Sekali lagi, mereka bertemu.
Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh. “Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini. Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.” “Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya. “Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John. “Eric? Kau kenapa?” Marissa berbalik mendengar suara
Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”
“Kau tidak bermaksud berangkat ke kafe, kan?”Pertanyaan Anna menghentikan gerakan tangan Marissa yang ingin menarik gagang pintu. Marissa berbalik perlahan dengan alis terangkat. Bukankah jawaban sudah jelas? Tentu saja, Marissa akan berangkat kerja. Kalau hari ini dia bolos lagi, bosnya bisa-bisa memecatnya detik ini juga.“Kenapa? Kau ingin bertukar shift?” Sepertinya, pertanyaan Marissa salah. Karena yang dilihatnya adalah Anna yang baru saja bangun. Belum siap sama sekali jika ingin berangkat bekerja.Anna menguap lebar lalu menggaruk kepalanya. “Kau lupa atau bagaimana? Paparazzi yang mencarimu belum menyerah. Hari ini mereka pasti masih berkerumun di kafe dan apartemen kita yang lama.”“Kau yakin? Kurasa aku tidak sepenting itu,” kata Marissa sembari mengedikkan bahu.Anna menghampiri Marissa, meraih tangannya dan menariknya menuju ke dapur. “Semua yang berhubungan dengan keluarga Smith p
Tempat sepi katanya? Marissa memicing ke arah Eric. Padahal Marissa sudah percaya untuk ikut, laki-laki ini malah ingin macam-macam padanya.“Kau.. jangan macam-macam.” Marissa memperingatkan.Eric mendengkus lalu menoleh sekilas. “Asal kau tahu. Kau bukan tipeku.”Marissa menghela napas lega. Iya, Marissa tidak marah. Akan lebih baik jika Eric maupun Edrick tidak tertarik padanya. Marissa tidak ingin terlibat perasaan dengan laki-laki yang punya dunia berbeda darinya. “Syukurlah.”“Kau tidak marah?” tanya Eric heran.Marissa menoleh dengan kening mengernyit. “Kenapa aku harus marah? Bukankah wajar perempuan sepertiku bukan tipe idealmu?”Perempuan yang cocok disandingkan dengan cucu-cucu Kakek Arnold adalah perempuan berkelas. Bukan seperti Marissa, yang tidak punya apa pun atau siapa pun.Eric mengangguk samar. “Kau benar. Untuk saat ini.”Marissa tidak b
“Setelah bertamu, apa saja yang kakekku ceritakan padamu,” jelas Eric.Marissa menghela lega. Hampir saja ia salah sangka, untung Eric cepat-cepat menjelaskan maksud pertanyaannya. “Kenapa tidak bertanya pada kakekmu?”Eric mendengkus. “Kau pikir bagaimana jawaban kakekku?”Mengelak, tentu saja. Kakek Arnold tidak akan semudah itu menjawab pertanyaan Eric. Setelah itu, Marissa bisa membayangkan mereka berdua berdebat seperti biasa. Lalu, Eric menyerah dan Kakek Arnold tersenyum menang.Marissa mengendikan bahu. “Tidak banyak. Kakek Arnold hanya menceritakan sedikit kisah percintaanmu.”“Kisah percintaan?” Eric menatap curiga.Marissa mengangguk. “Dibanding Edrick, kau lebih mudah menjalin hubungan dengan seseorang.”Eric berdeham. “Selain itu?”Jadi benar! Laki-laki ini bahkan tidak repot-repot mengelak. Tetapi, karena itu bukan urusan Marissa.
Marissa berdiri di balik kasir, mengamati gerak-gerik seorang pria yang menutup sebagian wajahnya dengan topi. Sementara di seberang mejanya ada seorang Kakek. Memegang tongkat berlapis emas, jas dan celana berwarna senada yang rapi bersih seakan menyampaikan pada semua orang bahwa ia bukan orang biasa. Oh, jangan lupa topi fedora putih dengan garis hitam di sekelilingnya. Marissa menghela pendek. Sesekali pria bertopi itu melirik si Kakek.Gawat jika pria itu berniat merampok atau mencelakai si Kakek. Keadaan kafe sepi, hanya ada mereka berdua di dalam sini. Oh, salah. Bertiga dengan Marissa.Marissa bukannya takut. Ia tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Marissa ingin hidup tenang tanpa musuh. Bisa saja, kan, jika Marissa ikut campur dan menggagalkan niat jahatnya. Pria itu dendam pada Marissa dan menjadikannya target selanjutnya. Itu pun kalau pria itu tak mendekam dibalik jeruji besi.“Halo? Kenapa meneleponku?” Si Kakek berbicara dengan s
Dibandingkan shift malam, Marissa memang lebih suka mengambil shift pagi hingga sore hari. Satu-satunya alasan adalah David. Marissa ingin menyisihkan waktu di malam hari untuknya dan David. Mereka akan bertemu sepulang kerja. Namun dua bulan terakhir, Marissa tidak pernah bertemu David. Kekasihnya itu selalu sibuk dan terus lembur jika mereka bermaksud bertemu. Bahkan semalam, David tidak membalas pesannya. Hingga siang ini. Di tengah penantiannya, Marissa terkejut melihat kedatangan Kakek yang kemarin ia tolong. Masih setia dengan jas, tongkat emas, dan topi fedoranya, si Kakek berjalan dengan pasti menghampiri Marissa. Kali ini si Kakek tidak sendiri. Ada seorang pria berbadan kekar yang mengikutinya di belakang. Tampilannya begitu mencolok dengan jas, celana, kacamata dan pentofel hitam. Mirip bodyguard di film yang biasa Marissa tonton. Tunggu! Atau pria itu memang bodyguard si Kakek? “Marissa, senang melihatmu lagi.” Marissa tersenyum ti