Dibandingkan shift malam, Marissa memang lebih suka mengambil shift pagi hingga sore hari. Satu-satunya alasan adalah David. Marissa ingin menyisihkan waktu di malam hari untuknya dan David. Mereka akan bertemu sepulang kerja.
Namun dua bulan terakhir, Marissa tidak pernah bertemu David. Kekasihnya itu selalu sibuk dan terus lembur jika mereka bermaksud bertemu. Bahkan semalam, David tidak membalas pesannya. Hingga siang ini.
Di tengah penantiannya, Marissa terkejut melihat kedatangan Kakek yang kemarin ia tolong. Masih setia dengan jas, tongkat emas, dan topi fedoranya, si Kakek berjalan dengan pasti menghampiri Marissa. Kali ini si Kakek tidak sendiri. Ada seorang pria berbadan kekar yang mengikutinya di belakang. Tampilannya begitu mencolok dengan jas, celana, kacamata dan pentofel hitam. Mirip bodyguard di film yang biasa Marissa tonton.
Tunggu! Atau pria itu memang bodyguard si Kakek?
“Marissa, senang melihatmu lagi.”
Marissa tersenyum tipis menyambut si Kakek. “Kakek kelihatan bahagia hari ini.”
Si Kakek terbahak, “Jadi, kemarin aku terlihat murung?”
Marissa mengendikan bahu, “Bisa dibilang begitu. Kakek terlihat kesepian duduk seorang diri di sana.” Marissa menunjuk meja kosong yang kemarin si Kakek duduki.
Lagi-lagi si Kakek tertawa. Berbeda dengan tawa yang biasa Marissa dengar, tawa si Kakek terdengar berwibawa dan.. berkelas.
“Aku tidak bisa membantah. Kau memang benar,” si Kakek menghela napas, “Kakek tua ini begitu kesepian. Kedua cucuku sibuk dengan dunianya sendiri.”
Sebenarnya Marissa hampir menanyakan di mana keberadaan anak-anaknya. Untungnya, otaknya cepat berpikir. Mungkin saja, anak-anaknya sama sibuknya. Atau, kemungkinan lain mereka telah tiada.
“Hari ini Kakek tidak akan kesepian,” kata Marissa melirik pria yang sejak tadi tak bergerak sedikit pun di belakang si Kakek.
Si Kakek ikut berbalik, “John? Dia bukan teman yang asyik diajak bercerita, Marissa.”
Marissa mengangguk pelan. Ia bisa mengerti. Dilihat sekali saja, Marissa bisa tahu pria itu irit bicara.
“Kalau begitu, aku pesan affogato. Maaf karena mengajakmu berbicara panjang lebar,” kata si Kakek.
“Tidak masalah. Aku senang punya teman ngobrol, Kek.”
Si Kakek tersenyum senang lalu berbalik, “John, kau ingin pesan apa?”
“Tidak perlu.”
“Kau yakin?”
Pria itu mengangguk kaku.
“Kakek,” si Kakek kembali ke posisinya. “Aku akan pesankan espresso untuk John. Kakek bisa duduk sekarang.”
Si Kakek tersenyum puas sambil mengangguk, “Terima kasih, Marissa.”
Tidak disangka, ketika si Kakek meninggalkan tempatnya. Pria itu malah mendekat ke meja kasir. “Maaf, aku tidak suka espresso. Tolong buatkan latte untukku.”
***
Mungkin ini yang disebut kampungan. Mata Marissa tidak henti-hentinya menyisir seisi mobil Kakek Arnold. Iya, Marissa sedang duduk di belakang kemudi bersama Kakek. Sementara John duduk sendiri di balik kemudi.
Bagaimana tidak. Ini pertama kalinya Marissa menduduki mobil semewah ini. Marissa tidak tahu banyak tentang mobil. Apalagi melihat tampilan luar mobil yang agak jadul, Marissa tidak menyangka bagian dalamnya membuat Marissa berdecak kagum. Perpaduan warna putih dan ungu menambah kesan mewah mobil ini.
Detik ini juga, Marissa tahu. Kakek Arnold bukan orang sembarangan.
“Kakek, apa aku tidak bisa pulang dulu ke rumah? Aku ingin mengganti pakaianku, agar terlihat lebih pantas. Kakek tidak perlu mengantarku, aku bisa pulang dan ke restoran sendiri.”
Kakek Arnold diam sejenak lalu menggeleng. “Tidak perlu, Marissa. Ini hanya makan malam.”
Iya, makan malam. Tapi siapa yang tahu kalau Kakek membawanya ke restoran mahal. Pakaian John bahkan kelihatan lebih berkelas dibandingkan kaus putih lusuh dan jeans belel miliknya.
Seharusnya sejak awal, Marissa menolak ajakan makan malam sebagai ucapan terima kasih dari Kakek Arnold. Ditambah ia harus bertemu cucu Kakek yang waktu itu.
“Terima kasih, John,” ucap Marissa ketika John membukakan pintu untuknya.
Marissa mengekor di belakang Kakek Arnold dalam diam. Jantungnya berdegup cepat entah karena apa. Sesampainya di dalam, Marissa sekali lagi dibuat takjub. Ukiran dan segala furnitur di dalam restoran bergaya Eropa, Marissa merasa menjadi seorang bangsawan.
Ya, bangsawan berpakaian lusuh.
Marissa menghela napas dan memilih berhenti mengamati setiap detail restoran. Matanya ia fokuskan ke depan. Dan saat itulah, Marissa melihat cucu Kakek duduk seorang diri. Laki-laki itu belum menyadari kedatangan kakeknya. Kedua matanya terpaku pada jendela besar yang menyajikan pemandangan malam Kota London.
“Eric.”
Oh, namanya Eric.
“Cepatlah, Kek. Aku lapar,” keluh Eric.
Tongkat Kakek Arnold mengayun. Eric yang tidak sempat menghindar, mengadu kesakitan menerima pukulan di pundaknya.
“Semakin hari, kau semakin kurang ajar pada kakekmu sendiri.” Kakek Arnold duduk setelah seorang pelayan menarik kursinya.
Marissa juga sama. Padahal tanpa dibantu menarik kursi, Marissa juga bisa.
“Oh, iya. Kau masih ingat Marissa, kan?”
Eric mengernyit. Sementara Marissa hanya bisa melempar senyum tipis pada laki-laki yang duduk di hadapannya ini.
“Yang kemarin menyelamatkanku dari pencopet amatiran itu,” lanjut Kakek Arnold karena Eric tak kunjung memberi respons.
Akhirnya Eric mengangguk, “Oh, sekali lagi terima kasih.”
“Kakek sengaja mengajaknya makan malam sebagai ucapan terima kasih,” sela Kakek Arnold.
“Lalu kenapa Kakek harus mengajakku?”
Kakek Arnold melotot ke arah Eric, “Kau tidak senang bertemu kakekmu?”
“Bukan begitu, Kek. Aku tidak suka membuang-buang waktu sementara pekerjaanku masih banyak.”
Oke. Sepertinya pilihan Marissa untuk ikut memang salah. Ia malah harus terjebak di antara berdebat Kakek dan cucunya. Marissa menoleh, mencari tamu lain. Namun nihil. Tidak ada orang lain di dalam sini kecuali tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari mejanya.
“Membuang waktu katamu?” Suara Kakek meninggi. “Bertemu denganku kau anggap membuang waktu?”
Marissa melirik Eric yang tampak lelah. Pria itu mendesah berlebihan namun tak ada kata yang terucap dari mulutnya. Menyatukan dua laki-laki beda generasi di meja yang sama ini memang salah.
Satunya lelah setelah seharian bekerja. Sementara satunya berada dalam usia sensitif yang menginginkan perhatian lebih dari anak atau cucunya.
“Hmm, Kakek,” panggil Marissa lembut.
Kakek Arnold menoleh, “Oh, astaga. Maaf Marissa. Aku sampai tidak sadar kau ada bersama kami.”
Marissa meringis.
“Ada apa?”
“Kenapa hanya ada kita bertiga di restoran ini?” tanya Marissa setengah berbisik sekaligus membiarkan Eric bernapas. Marissa tidak suka suasana tegang yang keluarga ini ciptakan.
“Aku sengaja meminta Eric mem-booking restorannya malam ini.”
Alis Marissa terangkat tinggi lalu melirik tak enak hati pada Eric, “Kakek tidak perlu melakukan ini hanya untuk berterima kasih padaku. Ucapan terima kasih dari Kakek kemarin sudah lebih dari cukup.”
Kakek Arnold tertawa keras. Marissa melarikan tatapannya ke Eric. Dan laki-laki terlihat terkejut mendengar tawa menggelegar kakeknya.
“Kau tidak perlu khawatir, Marissa. Restoran ini miliknya,” jawab Kakek Arnold sembari menunjuk Eric menggunakan dagunya.
Boom! Marissa tidak bisa membayangkan seberapa kaya keluarga ini. Restoran ini milik Eric? Astaga! Kira-kira seperti apa kediaman Kakek Arnold atau Eric?
“Marissa, kau punya pacar?”
Pertanyaan Kakek Arnold berhasil mengagetkan tenggorokan Marissa. Tangannya melepas garpu dan pisau lalu meneguk segelas air dengan rakus.
“Kakek!” seru Eric, “Kita pernah membahas ini. Dan aku tidak akan setuju Kakek menikah lagi!”
Air yang belum tertelan sepenuhnya menyembur keluar. Setidaknya Marissa bersyukur karena air dari dalam mulutnya tidak mengenai Eric. Seorang pelayan berlari ke arah Marissa, menyerahkan selembar kain.
“Terima kasih,” cicit Marissa. Ia belum berani bersitatap dengan Kakek Arnold maupun Eric.
“Jaga bicaramu! Siapa bilang aku ingin menikah lagi?” sembur Kakek Arnold tak terima.
“Lalu?”
“Lebih baik kau diam. Ini urusanku dan Marissa.”
Marissa menelan salivanya susah payah. Kalau benar Kakek Arnold bermaksud menikahinya, Marissa akan lari saat ini juga.
“Marissa.”
Bulu kuduk Marissa meremang mendengar Kakek Arnold memanggil namanya.
“Aku sudah menganggapmu seperti cucuku sendiri. Jangan dengarkan Eric.”
Oh, ia salah. Marissa menoleh perlahan dengan perasaan lega.
“Sebenarnya aku punya satu lagi cucu laki-laki. Kakak Eric, namanya Edrick,” Kakek Arnold menghela napas panjang, “Umurnya sudah lebih 30 tahun, tapi belum juga menikah. Aku sangat ingin mengenalkan kalian. Kurasa kalian akan cocok satu sama lain.”
Wajah David langsung terbayang di kepalanya Marissa. Sekaya apa pun keluarga ini, Marissa tidak akan goyah. Karena Marissa menjunjung tinggi sebuah kesetiaan. “Aku.. sudah punya kekasih, Kek.”
Seminggu telah berlalu sejak Kakek Arnold mengajaknya makan malam itu. Dan, dalam kurung waktu seminggu ini. Kakek Arnold masih sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Entah itu hanya memesan dan duduk. Atau mengajaknya bercerita ketika kafe dalam keadaan sepi.Marissa tidak masalah. Marissa tahu, Kakek kesepian. Ia hanya butuh teman dan kesibukan untuk melewati harinya.Tetapi, siang ini. Marissa tidak berada di kafe. Ia sengaja mengambil shift malam agar bisa bertemu David. Marissa ingin memberi kejutan pada David dengan datang ke kantornya, membawa makan siang.Marissa mendongak, menyipit menatap gedung pencakar langit di depannya. Sun Group. Salah satu perusahaan pembangunan rumah terbesar di Inggris. Tempat David bekerja. Marissa melangkah ringan melewati lobi dan berhenti di depan sebuah lift. Karena lumayan sering mengunjungi David, Marissa sudah lumayan hafal seluk beluk perusahaan ini.Contohnya lift ini. Yang ada di hadapan Marissa adalah l
Entah dari mana Kakek Arnold tahu tentang drama yang terjadi beberapa hari yang lalu di perusahaan Sun Group. Apakah Eric yang bergosip? Hmm, Marissa rasa tidak. Menurut Marissa, Eric bukan termasuk laki-laki yang peduli dengan sesuatu yang tak penting.Lalu apa?Marissa bermaksud ingin segera pulang. Namun kedatangan Kakek Arnold mengurungkan niatnya. Marissa meneguk air putih di depan hingga tandas.“Aku baru tahu ternyata pacarmu bekerja di perusahaanku.”Marissa tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Kakek Arnold. Apa katanya? Perusahaan Sun Group itu miliknya? Pantas saja, pakaian hingga kendaraan Kakek Arnold mewah begini.Marissa menegakkan punggungnya, sejenak melirik John yang berdiri di samping Kakek lalu menyahut, “P-perusahaan itu milik Kakek?”Kakek Arnold mengangguk, “Dan saat ini Eric yang bertanggungjawab atas perusahaan itu.”Pantas saja David sangat menghormati Eric. Sekaran
Meski bukan salahnya. Marissa tetap takut menunggu sepatah dua kata keluar dari mulut Eric. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya dan Edrick berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan keriuhan Kota di bawah sana.Sementara Marissa dan Kakek Arnold duduk bersebelahan seakan menunggu untuk disidang.“Jujur, aku tidak mengerti jalan pikiran Kakek,” ujar Eric pada akhirnya.“Jalan pikiran bagaimana maksudmu?” tanya Kakek Arnold tenang.Eric menghela napas berat, “Kakek, dia itu orang asing,” Eric melirik Marissa sekilas.Tahu dilirik, Marissa menundukkan kepala. Sekarang ia merasa bersalah.“Lalu?”“Bagaimana bisa Kakek memperkenalkannya sebagai seorang cucu di depan para karyawan? Kakek, sebentar lagi berita ini akan muncul di mana-mana,” keluh Eric diakhiri remasan dibatang hidungnya.Marissa ingin keluar dari ruangan ini. Segera. Meski ruangan ini lebih luas d
Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”Anna be
Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh. “Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini. Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.” “Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya. “Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John. “Eric? Kau kenapa?” Marissa berbalik mendengar suara
Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”
“Kau tidak bermaksud berangkat ke kafe, kan?”Pertanyaan Anna menghentikan gerakan tangan Marissa yang ingin menarik gagang pintu. Marissa berbalik perlahan dengan alis terangkat. Bukankah jawaban sudah jelas? Tentu saja, Marissa akan berangkat kerja. Kalau hari ini dia bolos lagi, bosnya bisa-bisa memecatnya detik ini juga.“Kenapa? Kau ingin bertukar shift?” Sepertinya, pertanyaan Marissa salah. Karena yang dilihatnya adalah Anna yang baru saja bangun. Belum siap sama sekali jika ingin berangkat bekerja.Anna menguap lebar lalu menggaruk kepalanya. “Kau lupa atau bagaimana? Paparazzi yang mencarimu belum menyerah. Hari ini mereka pasti masih berkerumun di kafe dan apartemen kita yang lama.”“Kau yakin? Kurasa aku tidak sepenting itu,” kata Marissa sembari mengedikkan bahu.Anna menghampiri Marissa, meraih tangannya dan menariknya menuju ke dapur. “Semua yang berhubungan dengan keluarga Smith p