Share

Chapter 2 - Bukan Orang Sembarangan

Dibandingkan shift malam, Marissa memang lebih suka mengambil shift pagi hingga sore hari. Satu-satunya alasan adalah David. Marissa ingin menyisihkan waktu di malam hari untuknya dan David. Mereka akan bertemu sepulang kerja.

Namun dua bulan terakhir, Marissa tidak pernah bertemu David. Kekasihnya itu selalu sibuk dan terus lembur jika mereka bermaksud bertemu. Bahkan semalam, David tidak membalas pesannya. Hingga siang ini.

Di tengah penantiannya, Marissa terkejut melihat kedatangan Kakek yang kemarin ia tolong. Masih setia dengan jas, tongkat emas, dan topi fedoranya, si Kakek berjalan dengan pasti menghampiri Marissa. Kali ini si Kakek tidak sendiri. Ada seorang pria berbadan kekar yang mengikutinya di belakang. Tampilannya begitu mencolok dengan jas, celana, kacamata dan pentofel hitam. Mirip bodyguard di film yang biasa Marissa tonton.

Tunggu! Atau pria itu memang bodyguard si Kakek?

“Marissa, senang melihatmu lagi.”

Marissa tersenyum tipis menyambut si Kakek. “Kakek kelihatan bahagia hari ini.”

Si Kakek terbahak, “Jadi, kemarin aku terlihat murung?”

Marissa mengendikan bahu, “Bisa dibilang begitu. Kakek terlihat kesepian duduk seorang diri di sana.” Marissa menunjuk meja kosong yang kemarin si Kakek duduki.

Lagi-lagi si Kakek tertawa. Berbeda dengan tawa yang biasa Marissa dengar, tawa si Kakek terdengar berwibawa dan.. berkelas.

“Aku tidak bisa membantah. Kau memang benar,” si Kakek menghela napas, “Kakek tua ini begitu kesepian. Kedua cucuku sibuk dengan dunianya sendiri.”

Sebenarnya Marissa hampir menanyakan di mana keberadaan anak-anaknya. Untungnya, otaknya cepat berpikir. Mungkin saja, anak-anaknya sama sibuknya. Atau, kemungkinan lain mereka telah tiada.

“Hari ini Kakek tidak akan kesepian,” kata Marissa melirik pria yang sejak tadi tak bergerak sedikit pun di belakang si Kakek.

Si Kakek ikut berbalik, “John? Dia bukan teman yang asyik diajak bercerita, Marissa.”

Marissa mengangguk pelan. Ia bisa mengerti. Dilihat sekali saja, Marissa bisa tahu pria itu irit bicara.

“Kalau begitu, aku pesan affogato. Maaf karena mengajakmu berbicara panjang lebar,” kata si Kakek.

“Tidak masalah. Aku senang punya teman ngobrol, Kek.”

Si Kakek tersenyum senang lalu berbalik, “John, kau ingin pesan apa?”

“Tidak perlu.”

“Kau yakin?”

Pria itu mengangguk kaku.

“Kakek,” si Kakek kembali ke posisinya. “Aku akan pesankan espresso untuk John. Kakek bisa duduk sekarang.”

Si Kakek tersenyum puas sambil mengangguk, “Terima kasih, Marissa.”

Tidak disangka, ketika si Kakek meninggalkan tempatnya. Pria itu malah mendekat ke meja kasir. “Maaf, aku tidak suka espresso. Tolong buatkan latte untukku.”

***

Mungkin ini yang disebut kampungan. Mata Marissa tidak henti-hentinya menyisir seisi mobil Kakek Arnold. Iya, Marissa sedang duduk di belakang kemudi bersama Kakek. Sementara John duduk sendiri di balik kemudi.

Bagaimana tidak. Ini pertama kalinya Marissa menduduki mobil semewah ini. Marissa tidak tahu banyak tentang mobil. Apalagi melihat tampilan luar mobil yang agak jadul, Marissa tidak menyangka bagian dalamnya membuat Marissa berdecak kagum. Perpaduan warna putih dan ungu menambah kesan mewah mobil ini.

Detik ini juga, Marissa tahu. Kakek Arnold bukan orang sembarangan.

“Kakek, apa aku tidak bisa pulang dulu ke rumah? Aku ingin mengganti pakaianku, agar terlihat lebih pantas. Kakek tidak perlu mengantarku, aku bisa pulang dan ke restoran sendiri.”

Kakek Arnold diam sejenak lalu menggeleng. “Tidak perlu, Marissa. Ini hanya makan malam.”

Iya, makan malam. Tapi siapa yang tahu kalau Kakek membawanya ke restoran mahal. Pakaian John bahkan kelihatan lebih berkelas dibandingkan kaus putih lusuh dan jeans belel miliknya.

Seharusnya sejak awal, Marissa menolak ajakan makan malam sebagai ucapan terima kasih dari Kakek Arnold. Ditambah ia harus bertemu cucu Kakek yang waktu itu.

“Terima kasih, John,” ucap Marissa ketika John membukakan pintu untuknya.

Marissa mengekor di belakang Kakek Arnold dalam diam. Jantungnya berdegup cepat entah karena apa. Sesampainya di dalam, Marissa sekali lagi dibuat takjub. Ukiran dan segala furnitur di dalam restoran bergaya Eropa, Marissa merasa menjadi seorang bangsawan.

Ya, bangsawan berpakaian lusuh.

Marissa menghela napas dan memilih berhenti mengamati setiap detail restoran. Matanya ia fokuskan ke depan. Dan saat itulah, Marissa melihat cucu Kakek duduk seorang diri. Laki-laki itu belum menyadari kedatangan kakeknya. Kedua matanya terpaku pada jendela besar yang menyajikan pemandangan malam Kota London.

“Eric.”

Oh, namanya Eric.

“Cepatlah, Kek. Aku lapar,” keluh Eric.

Tongkat Kakek Arnold mengayun. Eric yang tidak sempat menghindar, mengadu kesakitan menerima pukulan di pundaknya.

“Semakin hari, kau semakin kurang ajar pada kakekmu sendiri.” Kakek Arnold duduk setelah seorang pelayan menarik kursinya.

Marissa juga sama. Padahal tanpa dibantu menarik kursi, Marissa juga bisa.

“Oh, iya. Kau masih ingat Marissa, kan?”

Eric mengernyit. Sementara Marissa hanya bisa melempar senyum tipis pada laki-laki yang duduk di hadapannya ini.

“Yang kemarin menyelamatkanku dari pencopet amatiran itu,” lanjut Kakek Arnold karena Eric tak kunjung memberi respons.

Akhirnya Eric mengangguk, “Oh, sekali lagi terima kasih.”

“Kakek sengaja mengajaknya makan malam sebagai ucapan terima kasih,” sela Kakek Arnold.

“Lalu kenapa Kakek harus mengajakku?”

Kakek Arnold melotot ke arah Eric, “Kau tidak senang bertemu kakekmu?”

“Bukan begitu, Kek. Aku tidak suka membuang-buang waktu sementara pekerjaanku masih banyak.”

Oke. Sepertinya pilihan Marissa untuk ikut memang salah. Ia malah harus terjebak di antara berdebat Kakek dan cucunya. Marissa menoleh, mencari tamu lain. Namun nihil. Tidak ada orang lain di dalam sini kecuali tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari mejanya.

“Membuang waktu katamu?” Suara Kakek meninggi. “Bertemu denganku kau anggap membuang waktu?”

Marissa melirik Eric yang tampak lelah. Pria itu mendesah berlebihan namun tak ada kata yang terucap dari mulutnya. Menyatukan dua laki-laki beda generasi di meja yang sama ini memang salah.

Satunya lelah setelah seharian bekerja. Sementara satunya berada dalam usia sensitif yang menginginkan perhatian lebih dari anak atau cucunya.

“Hmm, Kakek,” panggil Marissa lembut.

Kakek Arnold menoleh, “Oh, astaga. Maaf Marissa. Aku sampai tidak sadar kau ada bersama kami.”

Marissa meringis.

“Ada apa?”

“Kenapa hanya ada kita bertiga di restoran ini?” tanya Marissa setengah berbisik sekaligus membiarkan Eric bernapas. Marissa tidak suka suasana tegang yang keluarga ini ciptakan.

“Aku sengaja meminta Eric mem-booking restorannya malam ini.”

Alis Marissa terangkat tinggi lalu melirik tak enak hati pada Eric, “Kakek tidak perlu melakukan ini hanya untuk berterima kasih padaku. Ucapan terima kasih dari Kakek kemarin sudah lebih dari cukup.”

Kakek Arnold tertawa keras. Marissa melarikan tatapannya ke Eric. Dan laki-laki terlihat terkejut mendengar tawa menggelegar kakeknya.

“Kau tidak perlu khawatir, Marissa. Restoran ini miliknya,” jawab Kakek Arnold sembari menunjuk Eric menggunakan dagunya.

Boom! Marissa tidak bisa membayangkan seberapa kaya keluarga ini. Restoran ini milik Eric? Astaga! Kira-kira seperti apa kediaman Kakek Arnold atau Eric?

“Marissa, kau punya pacar?”

Pertanyaan Kakek Arnold berhasil mengagetkan tenggorokan Marissa. Tangannya melepas garpu dan pisau lalu meneguk segelas air dengan rakus.

“Kakek!” seru Eric, “Kita pernah membahas ini. Dan aku tidak akan setuju Kakek menikah lagi!”

Air yang belum tertelan sepenuhnya menyembur keluar. Setidaknya Marissa bersyukur karena air dari dalam mulutnya tidak mengenai Eric. Seorang pelayan berlari ke arah Marissa, menyerahkan selembar kain.

“Terima kasih,” cicit Marissa. Ia belum berani bersitatap dengan Kakek Arnold maupun Eric.

“Jaga bicaramu! Siapa bilang aku ingin menikah lagi?” sembur Kakek Arnold tak terima.

“Lalu?”

“Lebih baik kau diam. Ini urusanku dan Marissa.”

Marissa menelan salivanya susah payah. Kalau benar Kakek Arnold bermaksud menikahinya, Marissa akan lari saat ini juga.

“Marissa.”

Bulu kuduk Marissa meremang mendengar Kakek Arnold memanggil namanya.

“Aku sudah menganggapmu seperti cucuku sendiri. Jangan dengarkan Eric.”

Oh, ia salah. Marissa menoleh perlahan dengan perasaan lega.

“Sebenarnya aku punya satu lagi cucu laki-laki. Kakak Eric, namanya Edrick,” Kakek Arnold menghela napas panjang, “Umurnya sudah lebih 30 tahun, tapi belum juga menikah. Aku sangat ingin mengenalkan kalian. Kurasa kalian akan cocok satu sama lain.”

Wajah David langsung terbayang di kepalanya Marissa. Sekaya apa pun keluarga ini, Marissa tidak akan goyah. Karena Marissa menjunjung tinggi sebuah kesetiaan. “Aku.. sudah punya kekasih, Kek.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status