Marissa berdiri di balik kasir, mengamati gerak-gerik seorang pria yang menutup sebagian wajahnya dengan topi. Sementara di seberang mejanya ada seorang Kakek. Memegang tongkat berlapis emas, jas dan celana berwarna senada yang rapi bersih seakan menyampaikan pada semua orang bahwa ia bukan orang biasa. Oh, jangan lupa topi fedora putih dengan garis hitam di sekelilingnya. Marissa menghela pendek. Sesekali pria bertopi itu melirik si Kakek.
Gawat jika pria itu berniat merampok atau mencelakai si Kakek. Keadaan kafe sepi, hanya ada mereka berdua di dalam sini. Oh, salah. Bertiga dengan Marissa.
Marissa bukannya takut. Ia tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Marissa ingin hidup tenang tanpa musuh. Bisa saja, kan, jika Marissa ikut campur dan menggagalkan niat jahatnya. Pria itu dendam pada Marissa dan menjadikannya target selanjutnya. Itu pun kalau pria itu tak mendekam dibalik jeruji besi.
“Halo? Kenapa meneleponku?” Si Kakek berbicara dengan seseorang, melalui ponselnya.
Pria itu menoleh, menelan salivanya laku kembali menunduk.
“Anak kecil? Kau menyebut Kakekmu anak kecil? Dasar cucu kurang ajar! Berhenti menghubungiku!” teriak Si Kakek.
Kenapa Kakek itu harus berkeliaran seorang diri? Lihat, kan sekarang. Dia jadi sasaran empuk korban kejahatan. Marissa mengembuskan napas pasrah ketika pria itu perlahan berdiri dari duduknya. Pria itu melirik Marissa sekilas. Hati nuraninya tergerak, kaki Marissa melangkah keluar dari balik kasir, menghampiri pria itu.
Marissa tidak mau menjadi saksi pembantaian seorang kakek-kakek.
Pria itu mengeluarkan pisau lipat dari balik jaketnya. Marissa hampir berlari, menarik tangan pria itu menjauh, memelintirnya dan pisaunya jatuh. Oh? Mudah sekali. Marissa pikir pria ini lumayan kuat. Ternyata tidak sama sekali.
Pria itu merintih kesakitan, mengundang tanya si Kakek. Marissa melempar senyum tipis pada si Kakek kemudian melanjutkan aksinya. Marissa menendang belakang lutut si pria hingga jatuh bersimpuh dilantai.
“Argh!! Sakit!”
Marissa melirik si Kakek lagi, “Kakek, bisa tolong hubungi polisi?”
Kakek itu mengangguk kaku, memandang Marissa dan si pria bergantian. Marissa masih setia memegang kedua tangan pria itu sementara si Kakek sibuk menjelaskan kronologi singkat dengan polisi.
Tidak lama, si Kakek menghubungi seseorang. Bukan polisi, Marissa juga tidak tahu.
“Terima kasih, aku berutang padamu,” ucap si Kakek melangkah bersama suara ketukan tongkatnya ke arah Marissa. Walau air mukanya menunjukkan tanda waspada.
Marissa tersenyum simpul. Kakek itu ikut tersenyum sambil sesekali menunduk, menatap si pria. Dan, oh tunggu! Sampai kapan Marissa diam dalam posisi ini?
***
Pria itu masuk ke dalam mobil bersama seorang polisi. Marissa tersenyum puas. Hari ini ia melakukan sesuatu yang baik. Pandangan kemudian beralih pada lima pria berpakaian serba hitam. Jas, celana, sepatu bahkan kacamatanya juga hitam. Mereka berlima berdiri tak jauh dari si Kakek.
Oh, iya. Para bodyguard ini datang lebih dulu daripada polisi. Sehingga si Kakek memerintah salah satu dari mereka menggantikan Marissa memegang si penjahat. Marissa semakin yakin Kakek ini bukan rakyat biasa. Tiba-tiba si Kakek menatap Marissa.
“Sekali lagi terima kasih,” katanya tulus. “Aku tidak menyangka kau hebat melawan pria dengan tubuh kecilmu.”
Kakek itu tertawa lepas. Berbeda dengan Marissa yang tersenyum terpaksa. Perkataan si Kakek barusan memang fakta. Tapi, tidak harus diperjelas juga, kan?
“Sudah seharusnya aku menolong Kakek.”
“Kau anak yang baik. Dulu, aku sangat menginginkan anak bahkan sampai cucu perempuan. Tapi, tak pernah terwujud. Aku pasti sangat beruntung jika memiliki cucu sepertimu.”
“Kakek, cucu laki-laki juga bagus. Mereka bisa menjagamu. Iya, kan?”
Si Kakek menggeleng pelan, “Kau salah besar. Mereka sama sekali tidak peduli.”
Sebuah mobil mendadak berhenti tepat di depan Marissa dan si Kakek.
“Contohnya, cucuku yang ini,” lanjut si Kakek ketika seorang pria keluar dari mobil.
“Kakek!” panggil pria itu, “Lihat, kan? Ini yang terjadi karena Kakek tidak mendengarku.”
Kakek itu mendengus, “Apa katamu? Perkataanmu yang mana yang harus aku dengarkan?”
“Kakek, berhenti bersikap keras kepala. Ayo pulang sekarang,” perintah pria itu sambil berkacak pinggang.
Kakek itu mengayunkan tongkatnya dan mendarat di kepala si pria. “Jaga bicaramu.”
Marissa sempat menatap pria itu. Tingginya menjulang dengan bahu lebar. Satu hal yang sempat membuat Marissa terhipnotis adalah mata pria itu berwarna biru. Selebihnya tidak Marissa perhatikan, takut pria itu memergokinya.
“Aku akan pulang. Jadi, tidak usah banyak bicara,” lanjut si Kakek, memperingati cucunya.
“Tunggu,” Kakek itu menoleh ke arah Marissa, “Aku belum tahu namamu.”
“Marissa,” sahut Marissa singkat.
Kakek itu mengangguk pelan lalu menatap cucunya, “Marissa yang menyelamatkanku dari penjahat tadi.”
“Terima kasih,” ucap pria itu tanpa menatap Marissa.
“Lihat, lah. Bagaimana caramu berterima kasih. Sangat tidak tulus,” tegur si Kakek.
Sebenarnya Marissa sama sekali tidak masalah. Namun pria itu menatap Marissa, sesuai perintah kakeknya. “Terima kasih banyak,” ulangnya.
Tanpa berlama-lama, pria itu melengos masuk ke dalam mobilnya. Lalu menurunkan kaca jendela dan meminta kakeknya segera naik.
Si Kakek mendengus, melirik Marissa, “Sudah kubilang, cucu laki-laki itu tidak berguna.”
Marissa hanya bisa tersenyum simpul menanggapi si Kakek.
***
“Kau menunggu siapa? David?”
Marissa mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Menatap Anna lalu mengangguk.
Perempuan berambut pirang itu mendengus sebal dari balik meja kasir, “Marissa, aku sudah bilang David itu bukan laki-laki baik. Lebih baik kau putus dengannya.”
Marissa bisa maklum mengapa temannya ini terus menyarankan agar ia putus dari David. Tetapi, Marissa tidak bisa. Marissa tidak rela jika lima tahunnya bersama David harus kandas hanya karena pria itu berlagak tak lagi mencintainya.
Ya! Marissa akui itu. Beberapa bulan ini, David seakan menjauh. Tak ada lagi David yang romantis, tak ada lagi David yang selalu mencarinya dan tak ada David yang dulu.
“Bisa-bisanya dia membiarkanmu menunggu dua jam!” Anna berkacak pinggang.
Marissa menoleh hati-hati. Takut pelanggan yang duduk santai malam ini terkejut dengan suara Anna yang cukup keras. Beberapa di antara menoleh sekilas, namun lebih banyak yang tidak terlalu peduli.
“Anna, tenang.”
“Aku tidak bisa tenang sebelum kalian putus. Aku yakin seratus persen laki-laki itu selingkuh.”
Marissa pernah punya prasangka semacam itu. Tapi, sekali lagi. Marissa berusaha mengenyahkan pikiran itu. Ini semua demi hubungannya bersama David.
“David bukan laki-laki seperti itu.”
Anna memutar bola matanya jengah, “Marissa, berhenti membela laki-laki itu.”
Baru saja Marissa ingin membalas, getar ponsel yang tergeletak di atas meja mengurungkan niatnya. Cepat-cepat Marissa mengangkat ponselnya. Pesan dari David! Ujung bibir Marissa terangkat tinggi.
“Cih! Pasti dari David,” sahut Anna.
Marissa, aku minta maaf. Rencana kita malam ini batal, aku harus lembur.
Senyum Marissa lenyap tak bersisa. David-nya membatalkan janji makan malam. Meski mencoba mengerti karena ini masalah pekerjaan. Tetap saja, ada sudut hatinya yang begitu sakit.
“Kenapa? Dia tidak bisa, kan?”
Marissa mengangguk lemah. Lagi-lagi ia tidak bisa bertemu kekasihnya.
Dibandingkan shift malam, Marissa memang lebih suka mengambil shift pagi hingga sore hari. Satu-satunya alasan adalah David. Marissa ingin menyisihkan waktu di malam hari untuknya dan David. Mereka akan bertemu sepulang kerja. Namun dua bulan terakhir, Marissa tidak pernah bertemu David. Kekasihnya itu selalu sibuk dan terus lembur jika mereka bermaksud bertemu. Bahkan semalam, David tidak membalas pesannya. Hingga siang ini. Di tengah penantiannya, Marissa terkejut melihat kedatangan Kakek yang kemarin ia tolong. Masih setia dengan jas, tongkat emas, dan topi fedoranya, si Kakek berjalan dengan pasti menghampiri Marissa. Kali ini si Kakek tidak sendiri. Ada seorang pria berbadan kekar yang mengikutinya di belakang. Tampilannya begitu mencolok dengan jas, celana, kacamata dan pentofel hitam. Mirip bodyguard di film yang biasa Marissa tonton. Tunggu! Atau pria itu memang bodyguard si Kakek? “Marissa, senang melihatmu lagi.” Marissa tersenyum ti
Seminggu telah berlalu sejak Kakek Arnold mengajaknya makan malam itu. Dan, dalam kurung waktu seminggu ini. Kakek Arnold masih sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Entah itu hanya memesan dan duduk. Atau mengajaknya bercerita ketika kafe dalam keadaan sepi.Marissa tidak masalah. Marissa tahu, Kakek kesepian. Ia hanya butuh teman dan kesibukan untuk melewati harinya.Tetapi, siang ini. Marissa tidak berada di kafe. Ia sengaja mengambil shift malam agar bisa bertemu David. Marissa ingin memberi kejutan pada David dengan datang ke kantornya, membawa makan siang.Marissa mendongak, menyipit menatap gedung pencakar langit di depannya. Sun Group. Salah satu perusahaan pembangunan rumah terbesar di Inggris. Tempat David bekerja. Marissa melangkah ringan melewati lobi dan berhenti di depan sebuah lift. Karena lumayan sering mengunjungi David, Marissa sudah lumayan hafal seluk beluk perusahaan ini.Contohnya lift ini. Yang ada di hadapan Marissa adalah l
Entah dari mana Kakek Arnold tahu tentang drama yang terjadi beberapa hari yang lalu di perusahaan Sun Group. Apakah Eric yang bergosip? Hmm, Marissa rasa tidak. Menurut Marissa, Eric bukan termasuk laki-laki yang peduli dengan sesuatu yang tak penting.Lalu apa?Marissa bermaksud ingin segera pulang. Namun kedatangan Kakek Arnold mengurungkan niatnya. Marissa meneguk air putih di depan hingga tandas.“Aku baru tahu ternyata pacarmu bekerja di perusahaanku.”Marissa tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Kakek Arnold. Apa katanya? Perusahaan Sun Group itu miliknya? Pantas saja, pakaian hingga kendaraan Kakek Arnold mewah begini.Marissa menegakkan punggungnya, sejenak melirik John yang berdiri di samping Kakek lalu menyahut, “P-perusahaan itu milik Kakek?”Kakek Arnold mengangguk, “Dan saat ini Eric yang bertanggungjawab atas perusahaan itu.”Pantas saja David sangat menghormati Eric. Sekaran
Meski bukan salahnya. Marissa tetap takut menunggu sepatah dua kata keluar dari mulut Eric. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya dan Edrick berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan keriuhan Kota di bawah sana.Sementara Marissa dan Kakek Arnold duduk bersebelahan seakan menunggu untuk disidang.“Jujur, aku tidak mengerti jalan pikiran Kakek,” ujar Eric pada akhirnya.“Jalan pikiran bagaimana maksudmu?” tanya Kakek Arnold tenang.Eric menghela napas berat, “Kakek, dia itu orang asing,” Eric melirik Marissa sekilas.Tahu dilirik, Marissa menundukkan kepala. Sekarang ia merasa bersalah.“Lalu?”“Bagaimana bisa Kakek memperkenalkannya sebagai seorang cucu di depan para karyawan? Kakek, sebentar lagi berita ini akan muncul di mana-mana,” keluh Eric diakhiri remasan dibatang hidungnya.Marissa ingin keluar dari ruangan ini. Segera. Meski ruangan ini lebih luas d
Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”Anna be
Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh. “Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini. Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.” “Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya. “Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John. “Eric? Kau kenapa?” Marissa berbalik mendengar suara
Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”