Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.
“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.
“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”
Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”
Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”
“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”
Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena masakan Marissa.
“Martha,” Kakek Arnold meraih ponselnya, “Terima kasih atas bantuanmu.”
“Itu sudah tugas saya. Jangan berterima kasih. Justru aku senang karena ada perkembangan pada Eric.”
Tidak. Belum ada perkembangan sama sekali. Hasilnya baru bisa dilihat setelah Eric mencicipi sup ini. Tadi saja saat pertama kali datang, Marissa tahu Eric mungkin ingin marah dan segera mengusir Marissa. Tetapi, rasa sakitnya mengurungkan niatnya.
“Baiklah, sekali lagi terima kasih. Maaf mengganggu liburanmu.” Kakek Arnold memutus sambungan telepon bersamaan dengan sup yang telah matang sempurna.
Marissa mundur beberapa langkah, membiarkan pelayan menyajikan masakannya. Marissa tak henti-hentinya berdoa di dalam hati, semoga Eric suka.
“Serahkan makanannya pada Alex. Dia pasti menunggu di depan kamar Eric.”
Salah satu pelayan yang bertugas membawa makanan untuk Eric mengiyakan lalu beranjak meninggalkan dapur. Sedangkan dua lainnya sibuk membereskan peralatan yang sebelumnya Marissa gunakan.
“Kakek, sepertinya aku harus pergi sekarang,” kata Marissa tanpa b**a-basi. Ia tidak mau tinggal lebih lama di sini.
“Kenapa?”
“Temanku pasti khawatir karena aku tiba-tiba menghilang, Kek.”
Kakek Arnold menggeleng, “Tenang, aku sudah meminta bosmu untuk menyampaikan keadaanmu pada Anna.”
Marissa terdiam. Seberapa jauh Kakek Arnold mencari tahu tentang dirinya? Bahkan nama sahabatnya sudah Kakek Arnold ketahui.
“T-tapi, aku masih harus pergi, Kek.”
“Beri tahu aku alasanmu.” Kakek Arnold bersedekap.
Marissa mengacungkan jari telunjuk ke udara, “Pertama, aku tidak nyaman, Kek,” lalu jari tengahnya, “Kedua, Eric tidak akan senang jika aku masih di sini.”
Baru saja Kakek Arnold ingin menyela, Marissa cepat-cepat melanjutkan, “Kakek, aku tahu maksud Kakek baik. Kakek ingin Eric sembuh. Tapi, aku rasa bukan aku orangnya. Eric harus menemukan orang yang dia cintai terlebih dahulu baru setelah itu membiarkan pasangannya melewati batas privasinya.”
Jeda sejenak sebelum Marissa melanjutkan, “Kalau mendadak seperti ini, aku takut Eric malah membenciku atau bahkan pada Kakek.”
Marissa pikir, Kakek Arnold akan menentang pendapatnya. Seperti biasanya. Kali ini, berbeda. Kakek Arnold terdiam beberapa saat lalu senyum tipis terbentuk di wajahnya. “Kau tahu, Marissa?”
Alis Marissa terangkat tinggi, menunggu Kakek Arnold melanjutkan.
“Aku semakin yakin menyerahkan Edrick padamu.”
Ow, tunggu! Kata-kata Kakek Arnold barusan seperti menyerahkan anak perempuannya pada laki-laki kaya yang menjanjikan hidup sejahtera dan bahagia. Padahal Marissa hanya perempuan biasa yang saking biasanya sampai dikhianati oleh laki-laki seperti David.
Oh, astaga. Lagi-lagi Marissa mengingat David.
“Kakek, aku minta maaf karena harus mengatakan ini,” kata Marissa hati-hati. Kakek Arnold mengangguk.
“Aku dan Edrick belum tentu saling menyukai. Aku baru saja dicampakkan, sementara Edrick masih terus mengingat masa lalunya. Kita berdua hanya seperti pasien yang kebetulan dirawat di ruang inap yang sama.”
Kakek Arnold menepuk pundakku lembut, “Aku tahu. Aku melakukan ini bukan berarti tidak memikirkan kemungkinan lain yang bisa terjadi. Tapi, jujur aku memang sangat berharap, Marissa.”
Kakek Arnold kembali menjadi Kakek yang keras kepala.
“Tidak ada yang tidak mungkin. Bisa saja hari ini kau bilang tidak suka, tetapi besok, Minggu depan, bulan depan atau tahun depan, jawabanmu akan berubah. Perasaan manusia mudah berubah, Marissa.”
Iya, Marissa tahu akan itu. Semudah membalikkan telapak tangan, kan? Begitulah David meninggalkannya. Oh, tidak! Lagi-lagi David. Marissa merutuki dirinya sendiri. Ini pasti efek dari David yang tidak henti-henti menghubunginya tanpa kenal waktu.
“Kenapa Kakek begitu yakin padaku?”
Kakek Arnold tersenyum cerah, “Karena kau sederhana, mandiri, dan yang paling penting kau setia. Kau bahkan tidak goyah dan tetap setia pada kekasihmu yang tidak seberapa itu meski disodorkan cucu dari seorang Kakek kaya raya.” Penjelasannya diakhiri gelak tawa.
“Semua yang ada pada dirimu tidak aku temukan pada mantan-mantan cucuku.”
Marissa menunduk, menyembunyikan senyumnya karena Kakek Arnold terus memujinya. “Bukannya lebih baik menikahkan cucu Kakek dengan yang setara dengan kalian? Seperti novel-novel yang aku baca, demi memperkuat bisnis.”
Kakek Arnold menggeleng, “Tidak, tidak. Aku tidak perlu menantu kaya. Perusahaanku sudah lebih dari cukup dan kuat.”
Sebenarnya, perkataan Kakek Arnold barusan termasuk sombong. Tetapi, anehnya Marissa malah tersenyum. Keduanya lalu menoleh bersamaan ketika sadar akan kehadiran seseorang di tengah-tengah mereka.
“Oh! John, mana dokter Bella?” Kakek Arnold menghampiri John.
“Dokter Bella ada di ruang tamu.”
Kakek Arnold mengangguk-angguk kemudian menoleh ke arah Marissa. “Kau ingin pulang, kan? Kali ini aku tidak akan menahanmu karena alasanmu sangat masuk akal. Biar John yang mengantarmu.”
Syukurlah. Marissa tak harus terjebak dalam istana ini.
***
Marissa dan Anna kompak menjatuhkan tas yang sejak tadi mereka tenteng begitu masuk ke dalam penthouse. Mulut Marissa bahkan terbuka lebar dengan mata yang sama lebarnya. Bagaimana tidak? Pemandangan di depannya ini seperti mimpi.
“Marissa, kau tahu? Ini benar-benar gila.” Anna sampai geleng-geleng kepala.
Marissa mengerjap beberapa kali agar segera sadar, “Kau benar. Kali ini aku setuju denganmu.”
Marissa pikir, pulang yang dimaksudnya sama dengan apa yang dipikir Kakek Arnold. Nyatanya tidak. John memang mengantarnya ke apartemen hanya untuk mengambil barang-barang yang diperlukan. Saat itu, Marissa jelas menolak ketika John bilang Kakek Arnold telah menyediakan tempat yang aman dan sangat privasi agar paparazzi tidak menemukan Marissa. Kakek Arnold sudah sangat baik padanya dan ia tidak ingin menambah beban karena Kakek Arnold lagi-lagi memberinya sesuatu. Sialnya, Anna justru lebih bersemangat dari Marissa dan segera mengemas barangnya sesuai perintah John.
Akhirnya Marissa mengalah dan memutuskan tinggal di sana selama beberapa hari saja. Hanya sampai keadaan kembali normal. Tetapi, Marissa tidak tahu bahwa ia dan Anna akan di tinggal di sebuah penthouse super mewah.
“Sisa barang Anda akan sampai esok hari,” ucap John tiba-tiba.
Marissa berbalik cepat dengan kening mengernyit, sementara Anna entah pergi ke mana. “Barangku? Kau yang bawa?”
John mengalihkan pandangannya sambil berdehem dan kembali menatap Marissa, “Jangan salah paham. Bukan saya yang mengemas barang Anda, tapi para pelayan dari rumah Kakek Arnold.”
Marissa menghela napas lega, tetapi sedetik kemudian ia sadar akan sesuatu, “Eh! Tunggu. Kau tidak usah mengemas semua barangku.”
“Tapi saya menjalankan perintah Kakek Arnold.”
Marissa menggeleng tidak setuju. Biarpun itu perintah Kakek Arnold, Marissa masih punya hak untuk menerima atau menolak. “Jangan. Aku hanya tinggal beberapa hari di sini.”
Masih dengan air muka kakunya, John menjawab, “Kakek Arnold bilang Anda akan seterusnya tinggal di sini.”
“Oh, astaga!” Marissa memijit pelipisnya yang mendadak pening. Lagi-lagi Kakek Arnold bertingkah semaunya. “John, seharusnya kau juga mendengarkanku. Aku bilang jangan pindahkan semua barangku.”
“Saya tidak ingin dipecat.”
Marissa memejamkan kedua matanya. “Bisa hubungi Kakek Arnold? Aku ingin bicara dengannya.”
Tanpa kata, John merogoh saku dibalik jasnya. Menggulir layarnya sebentar lalu menyerahkannya pada Marissa.
Sembari menunggu orang di seberang sana mengangkatnya, Marissa melangkah agak menjauh dari John. Sekarang, pandangannya mengarah pada dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota lampu. Dua puluh enam tahun hidup di dunia, ini pertama kalinya Marissa menyaksikan pemandangan seindah ini.
[John, ada apa?”]
Marissa sedikit tersentak ketika ponsel yang sejak tadi ia tempelkan di telinga akhirnya mengeluarkan suara. “Oh, Kakek. Ini aku, Marissa.”
[Oh! Marissa. Bagaimana? Kau suka, kan?”]
Marissa menjalankan jari-jarinya di dinding kaca, “Aku suka, Kek. Tapi, bukankah ini sedikit berlebihan?”
[Berlebihan apanya?]
“Kakek, aku tidak bisa seterusnya tinggal di sini. Aku punya apartemen sendiri.”
[Kau tidak aman di sana, Marissa. Keamanannya sangat buruk.]
“Aku tinggal bersama Anna, Kek. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Apa Kakek lupa, aku bahkan melumpuhkan pencuri yang ingin mencelakai Kakek?”
Kakek Arnold terdengar mendengus di seberang sana, [Dia memang lemah, Marissa.]
Marissa tersenyum, “Jadi?”
Jeda beberapa saat sebelum akhirnya Kakek Arnold menjawab, [Astaga, baiklah. Kali ini kau menang lagi.]
“Terima kasih, Kakek.”
[Tunggu, aku hampir lupa memberi tahumu. Aku menyuruh Edrick menemuimu karena hotelnya tidak jauh dari tempatmu. Dia belum sampai?]
“A-apa? Edrick?”
“Marissa?”
Itu suara Edrick!
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”
“Kau tidak bermaksud berangkat ke kafe, kan?”Pertanyaan Anna menghentikan gerakan tangan Marissa yang ingin menarik gagang pintu. Marissa berbalik perlahan dengan alis terangkat. Bukankah jawaban sudah jelas? Tentu saja, Marissa akan berangkat kerja. Kalau hari ini dia bolos lagi, bosnya bisa-bisa memecatnya detik ini juga.“Kenapa? Kau ingin bertukar shift?” Sepertinya, pertanyaan Marissa salah. Karena yang dilihatnya adalah Anna yang baru saja bangun. Belum siap sama sekali jika ingin berangkat bekerja.Anna menguap lebar lalu menggaruk kepalanya. “Kau lupa atau bagaimana? Paparazzi yang mencarimu belum menyerah. Hari ini mereka pasti masih berkerumun di kafe dan apartemen kita yang lama.”“Kau yakin? Kurasa aku tidak sepenting itu,” kata Marissa sembari mengedikkan bahu.Anna menghampiri Marissa, meraih tangannya dan menariknya menuju ke dapur. “Semua yang berhubungan dengan keluarga Smith p
Tempat sepi katanya? Marissa memicing ke arah Eric. Padahal Marissa sudah percaya untuk ikut, laki-laki ini malah ingin macam-macam padanya.“Kau.. jangan macam-macam.” Marissa memperingatkan.Eric mendengkus lalu menoleh sekilas. “Asal kau tahu. Kau bukan tipeku.”Marissa menghela napas lega. Iya, Marissa tidak marah. Akan lebih baik jika Eric maupun Edrick tidak tertarik padanya. Marissa tidak ingin terlibat perasaan dengan laki-laki yang punya dunia berbeda darinya. “Syukurlah.”“Kau tidak marah?” tanya Eric heran.Marissa menoleh dengan kening mengernyit. “Kenapa aku harus marah? Bukankah wajar perempuan sepertiku bukan tipe idealmu?”Perempuan yang cocok disandingkan dengan cucu-cucu Kakek Arnold adalah perempuan berkelas. Bukan seperti Marissa, yang tidak punya apa pun atau siapa pun.Eric mengangguk samar. “Kau benar. Untuk saat ini.”Marissa tidak b
“Setelah bertamu, apa saja yang kakekku ceritakan padamu,” jelas Eric.Marissa menghela lega. Hampir saja ia salah sangka, untung Eric cepat-cepat menjelaskan maksud pertanyaannya. “Kenapa tidak bertanya pada kakekmu?”Eric mendengkus. “Kau pikir bagaimana jawaban kakekku?”Mengelak, tentu saja. Kakek Arnold tidak akan semudah itu menjawab pertanyaan Eric. Setelah itu, Marissa bisa membayangkan mereka berdua berdebat seperti biasa. Lalu, Eric menyerah dan Kakek Arnold tersenyum menang.Marissa mengendikan bahu. “Tidak banyak. Kakek Arnold hanya menceritakan sedikit kisah percintaanmu.”“Kisah percintaan?” Eric menatap curiga.Marissa mengangguk. “Dibanding Edrick, kau lebih mudah menjalin hubungan dengan seseorang.”Eric berdeham. “Selain itu?”Jadi benar! Laki-laki ini bahkan tidak repot-repot mengelak. Tetapi, karena itu bukan urusan Marissa.
Marissa berdiri di balik kasir, mengamati gerak-gerik seorang pria yang menutup sebagian wajahnya dengan topi. Sementara di seberang mejanya ada seorang Kakek. Memegang tongkat berlapis emas, jas dan celana berwarna senada yang rapi bersih seakan menyampaikan pada semua orang bahwa ia bukan orang biasa. Oh, jangan lupa topi fedora putih dengan garis hitam di sekelilingnya. Marissa menghela pendek. Sesekali pria bertopi itu melirik si Kakek.Gawat jika pria itu berniat merampok atau mencelakai si Kakek. Keadaan kafe sepi, hanya ada mereka berdua di dalam sini. Oh, salah. Bertiga dengan Marissa.Marissa bukannya takut. Ia tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Marissa ingin hidup tenang tanpa musuh. Bisa saja, kan, jika Marissa ikut campur dan menggagalkan niat jahatnya. Pria itu dendam pada Marissa dan menjadikannya target selanjutnya. Itu pun kalau pria itu tak mendekam dibalik jeruji besi.“Halo? Kenapa meneleponku?” Si Kakek berbicara dengan s
Dibandingkan shift malam, Marissa memang lebih suka mengambil shift pagi hingga sore hari. Satu-satunya alasan adalah David. Marissa ingin menyisihkan waktu di malam hari untuknya dan David. Mereka akan bertemu sepulang kerja. Namun dua bulan terakhir, Marissa tidak pernah bertemu David. Kekasihnya itu selalu sibuk dan terus lembur jika mereka bermaksud bertemu. Bahkan semalam, David tidak membalas pesannya. Hingga siang ini. Di tengah penantiannya, Marissa terkejut melihat kedatangan Kakek yang kemarin ia tolong. Masih setia dengan jas, tongkat emas, dan topi fedoranya, si Kakek berjalan dengan pasti menghampiri Marissa. Kali ini si Kakek tidak sendiri. Ada seorang pria berbadan kekar yang mengikutinya di belakang. Tampilannya begitu mencolok dengan jas, celana, kacamata dan pentofel hitam. Mirip bodyguard di film yang biasa Marissa tonton. Tunggu! Atau pria itu memang bodyguard si Kakek? “Marissa, senang melihatmu lagi.” Marissa tersenyum ti
Seminggu telah berlalu sejak Kakek Arnold mengajaknya makan malam itu. Dan, dalam kurung waktu seminggu ini. Kakek Arnold masih sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Entah itu hanya memesan dan duduk. Atau mengajaknya bercerita ketika kafe dalam keadaan sepi.Marissa tidak masalah. Marissa tahu, Kakek kesepian. Ia hanya butuh teman dan kesibukan untuk melewati harinya.Tetapi, siang ini. Marissa tidak berada di kafe. Ia sengaja mengambil shift malam agar bisa bertemu David. Marissa ingin memberi kejutan pada David dengan datang ke kantornya, membawa makan siang.Marissa mendongak, menyipit menatap gedung pencakar langit di depannya. Sun Group. Salah satu perusahaan pembangunan rumah terbesar di Inggris. Tempat David bekerja. Marissa melangkah ringan melewati lobi dan berhenti di depan sebuah lift. Karena lumayan sering mengunjungi David, Marissa sudah lumayan hafal seluk beluk perusahaan ini.Contohnya lift ini. Yang ada di hadapan Marissa adalah l
Entah dari mana Kakek Arnold tahu tentang drama yang terjadi beberapa hari yang lalu di perusahaan Sun Group. Apakah Eric yang bergosip? Hmm, Marissa rasa tidak. Menurut Marissa, Eric bukan termasuk laki-laki yang peduli dengan sesuatu yang tak penting.Lalu apa?Marissa bermaksud ingin segera pulang. Namun kedatangan Kakek Arnold mengurungkan niatnya. Marissa meneguk air putih di depan hingga tandas.“Aku baru tahu ternyata pacarmu bekerja di perusahaanku.”Marissa tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Kakek Arnold. Apa katanya? Perusahaan Sun Group itu miliknya? Pantas saja, pakaian hingga kendaraan Kakek Arnold mewah begini.Marissa menegakkan punggungnya, sejenak melirik John yang berdiri di samping Kakek lalu menyahut, “P-perusahaan itu milik Kakek?”Kakek Arnold mengangguk, “Dan saat ini Eric yang bertanggungjawab atas perusahaan itu.”Pantas saja David sangat menghormati Eric. Sekaran