Entah dari mana Kakek Arnold tahu tentang drama yang terjadi beberapa hari yang lalu di perusahaan Sun Group. Apakah Eric yang bergosip? Hmm, Marissa rasa tidak. Menurut Marissa, Eric bukan termasuk laki-laki yang peduli dengan sesuatu yang tak penting.
Lalu apa?
Marissa bermaksud ingin segera pulang. Namun kedatangan Kakek Arnold mengurungkan niatnya. Marissa meneguk air putih di depan hingga tandas.
“Aku baru tahu ternyata pacarmu bekerja di perusahaanku.”
Marissa tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Kakek Arnold. Apa katanya? Perusahaan Sun Group itu miliknya? Pantas saja, pakaian hingga kendaraan Kakek Arnold mewah begini.
Marissa menegakkan punggungnya, sejenak melirik John yang berdiri di samping Kakek lalu menyahut, “P-perusahaan itu milik Kakek?”
Kakek Arnold mengangguk, “Dan saat ini Eric yang bertanggungjawab atas perusahaan itu.”
Pantas saja David sangat menghormati Eric. Sekarang Marissa mengerti mengapa berita tentang David dan Mariss bisa sampai ke telinga Kakek Arnold.
“Kakek, aku benar-benar minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Aku salah karena membuat kehebohan di sana.”
“Tidak. Itu bukan salahmu. Aku tahu pacarmu selingkuh.”
Alis Marissa terangkat tinggi, “Bagaimana Kakek tahu?”
Kakek Arnold menoleh ke arah John. Pria itu segera meletakkan sebuah amplop besar di meja.
“Semua data tentang David ada di sini. Termasuk perempuan yang sekarang tengah menjalin hubungan dengannya,” jawab Kakek Arnold santai.
Semuanya? Marissa menatap amplop tersebut dan Kakek Arnold bergantian. Detik berikutnya, Marissa tersadar. Bagi orang bergelimang harta seperti Kakek Arnold, sangat mudah bagi mereka melakukan hal semacam ini. Benar, kan?
“Tapi, aku senang Marissa. Artinya kau tidak punya lagi alasan untuk menolak berkenalan dengan cucuku,” kata Kakek Arnold tersenyum cerah.
Ternyata ini maksud kedatangannya. Tetapi, kenapa harus Marissa? Kekayaan cucu tertuanya mungkin bisa dibilang setara dengan Kakek Arnold. Dan pastinya, banyak perempuan di luar sana yang mengantre agar bisa berkenalan dengan Edrick.
Marissa melirik Anna yang berdiri dibalik kasir, takut temannya itu mendengar pembicaraannya dengan Kakek Arnold. Anna bisa girang setengah mati jika tahu Kakek Arnold adalah pemilik salah satu perusahaan terbesar di Inggris.
“Kakek, sebelumnya aku minta maaf. Tapi, kenapa harus aku?” tanya Marissa hati-hati.
Kakek Arnold mengangguk pelan tanpa menghilangkan senyum di wajahnya, “Mendengar jawabanmu, aku semakin yakin untuk menjadikanmu cucuku Marissa.”
Marissa mengernyit, “Maksud Kakek?”
“Kebanyakan perempuan yang mendekati cucu-cucuku hanya tertarik akan harta. Mereka tidak benar-benar tulus mencintai.”
“Kakek, aku juga orang asing. Kakek tidak seharusnya percaya padaku.”
“Aku percaya.”
“Aku baru saja patah hati, Kek. Belum saatnya aku mencari pengganti David.”
Kakek Arnold menghela napas panjang, “Edrick juga pernah patah hati karena perempuan yang dicintainya selingkuh. Bertahun-tahun Edrick tidak lagi percaya cinta, bahkan bertekad tidak akan menikah hingga tua.”
Kakek Arnold memandang Marissa dengan mata sendu, “Aku kasihan pada cucuku. Tidak ada yang menemaninya selama sisa hidupnya nanti.”
Kalau Kakek Arnold berniat menarik simpati Marissa. Oh, astaga! Kakek ini berhasil! Marissa tidak tega melihat tatapan meminta dan kasihan dari Kakek Arnold.
“Dibandingkan Eric. Edrick sangat sulit mencintai seseorang. Itu kenapa aku ingin mengenalkanmu pada Edrick, Marissa. Aku tidak bisa membayangkan Edrick yang masih sendiri dan aku harus pergi untuk selama-lamanya.”
“Astaga, Kakek. Jangan bicara seperti itu.”
“Kedua orang tua Edrick dan Eric sudah lama tiada, aku akan sangat sedih jika tak bisa menyaksikan pernikahan salah satu cucuku.”
“Baiklah. Aku mau.”
Air muka sedih yang tadinya menghiasi wajah Kakek Arnold mendadak lenyap. Berganti menjadi senyum semringah.
“Aku senang sekali mendengarnya, Marissa!” Kakek Arnold bangkit dari duduknya, “Besok siang datanglah ke perusahaan. Akan kukenalkan pada Edrick, sekaligus membuat mantan pacarmu menyesal.”
Secepat itu?
“Besok siang? Aku harus bekerja, Kek.”
“Tidak perlu khawatir. Aku akan bicara langsung pada bosmu. Ah, satu lagi. John yang akan menjemputmu.”
Marissa ikut berdiri, “Aku bisa sendiri, Kek.”
Kakek Arnold menyerahkan tongkatnya pada John lalu memegang kedua pundak Marissa, “Sekarang kau cucuku. Jadi, jangan pernah sungkan menerima fasilitas dari keluarga Smith.”
Tunggu! Cucu katanya? Marissa bahkan belum bertemu Edrick!
***
Sesuai janjinya kemarin, John benar-benar datang menjemput Marissa siang ini. Dan satu lagi yang tak kalah mengejutkan. Pemilik kafe tempat Marissa yang terkenal galak, bersikap baik padanya. Bahkan mengizinkan Marissa tidak masuk kerja satu hari.
Entah apa yang dilakukan Kakek Arnold.
“Sudah sampai.”
Marissa tersadar dari lamunannya. Baru saja ia ingin membuka pintu, John lebih dulu membukakan pintu untuknya.
“Kau tidak perlu melakukan hal-hal seperti ini untukku, John.”
“Ini perintah Mr. Smith.”
Oh, baiklah. Kalau ini perintah Kakek Arnold. Marissa tidak bisa berbuat apa-apa. John pasti lebih mendengar orang yang menggajinya.
Marissa melangkah lebih dulu dan John mengekor di belakang. Dari balik pintu kaca yang besar, Marissa bisa melihat lobi perusahaan yang dipenuhi pegawai yang berdiri rapi. Marissa berbalik, “John, terlalu banyak orang di dalam sana. Mungkin mereka sedang menunggu tamu penting.”
“Anda tamunya, Mrs. Quill.”
“Aku?” Marissa menunjuk dirinya sendiri.
Selang beberapa detik yang hening, John merogoh saku bagian dalam jasnya dan menempelkan ponsel di telinga.
“Di pintu depan Mr. Smith. Kami akan segera masuk.”
John menyimpan ponselnya kembali. “Kakek Arnold menunggu Anda. Silakan masuk.”
Bagaimana bisa Marissa ke sana? Terlalu banyak orang. Marissa bisa pastikan semua mata hanya akan tertuju padanya jika Marissa benar-benar masuk.
Masih bergelut dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba pintu kaca di depannya bergeser secara otomatis. Di sana Kakek Arnold berdiri dengan senyum lebarnya.
“Aku tahu kau pasti ragu untuk masuk. Jadi, aku menjemputmu,” kata Kakek Arnold lalu merangkul bahu Marissa.
Pasrah. Satu kata itu menggambarkan segalanya. Sekarang, Marissa tidak bisa menghindar ataupun lari dari sini. Mereka berdua melangkah bersisian dengan John yang tetap berada di belakang.
Marissa memberanikan diri mengedarkan pandangan. Kebanyakan dari mereka menatap Marissa ingin tahu, sebagian lainnya saling berbisik. Marissa yakin, akan ada gosip murahan dan tidak benar yang akan menyebar di perusahaan ini tentang dirinya.
Kakek Arnold menghentikan langkahnya ketika berada diujung barisan panjang. Marissa menunduk saat Kakek Arnold memintanya berbalik.
“Angkat kepalamu, Marissa. Dan tunjukan pada mantanmu bahwa kau baik-baik saja,” kata Kakek Arnold setengah berbisik.
Marissa menoleh. Kenapa ia bisa lupa bahwa David bekerja di sini? Akhirnya Marissa mengangkat kepalanya percaya diri. Marissa mengedarkan pandangan mencari sosok David.
Dan.. ketemu! Laki-laki itu bahkan berdiri di samping selingkuhannya. Double kill!
“Sebelumnya, aku meminta maaf karena menyita waktu kalian,” ujar Kakek Arnold lantang.
Kakek Arnold menoleh sekilas, “Akhir-akhir ini, aku merasa sangat bahagia. Dan, aku rasa ini hari yang tepat untuk membagikan kabar bahagiaku pada kalian.”
Tiba-tiba saja, Marissa teringat Eric. Laki-laki itu kan CEO perusahaan ini. Di mana dia?
“Perkenalkan, namanya Marissa Quill,” Kakek Arnold merangkul bahu Marissa lagi, “Perempuan cantik ini sudah kuanggap seperti cucuku sendiri.”
Marissa balas tersenyum meski agak sulit.
“Untuk ke depannya, kuharap kalian bisa menjaga sikap jika bertemu Marissa. Perlakukan Marissa seperti kalian memperlakukan Eric maupun Edrick.”
“Siapa pun yang berani mengganggu Marissa, akan berurusan denganku,” jelas Kakek Arnold diakhiri tawa menggelegar.
Oh, jadi ini maksud dari membuat David menyesal? Boleh juga. David pasti kelimpungan setelah mengetahui perempuan yang ia khianati adalah perempuan yang dianggap cucu oleh pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
“Kakek!”
Mata Marissa langsung mencari sumber teriakan barusan. Di sana! Pintu masuk. Ada Eric dan.. seorang laki-laki yang tak kalah tampan dari Eric. Wajah mereka tampak mirip.
Apa laki-laki itu yang namanya Edrick?
Meski bukan salahnya. Marissa tetap takut menunggu sepatah dua kata keluar dari mulut Eric. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya dan Edrick berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan keriuhan Kota di bawah sana.Sementara Marissa dan Kakek Arnold duduk bersebelahan seakan menunggu untuk disidang.“Jujur, aku tidak mengerti jalan pikiran Kakek,” ujar Eric pada akhirnya.“Jalan pikiran bagaimana maksudmu?” tanya Kakek Arnold tenang.Eric menghela napas berat, “Kakek, dia itu orang asing,” Eric melirik Marissa sekilas.Tahu dilirik, Marissa menundukkan kepala. Sekarang ia merasa bersalah.“Lalu?”“Bagaimana bisa Kakek memperkenalkannya sebagai seorang cucu di depan para karyawan? Kakek, sebentar lagi berita ini akan muncul di mana-mana,” keluh Eric diakhiri remasan dibatang hidungnya.Marissa ingin keluar dari ruangan ini. Segera. Meski ruangan ini lebih luas d
Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”Anna be
Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh. “Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini. Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.” “Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya. “Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John. “Eric? Kau kenapa?” Marissa berbalik mendengar suara
Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”
“Kau tidak bermaksud berangkat ke kafe, kan?”Pertanyaan Anna menghentikan gerakan tangan Marissa yang ingin menarik gagang pintu. Marissa berbalik perlahan dengan alis terangkat. Bukankah jawaban sudah jelas? Tentu saja, Marissa akan berangkat kerja. Kalau hari ini dia bolos lagi, bosnya bisa-bisa memecatnya detik ini juga.“Kenapa? Kau ingin bertukar shift?” Sepertinya, pertanyaan Marissa salah. Karena yang dilihatnya adalah Anna yang baru saja bangun. Belum siap sama sekali jika ingin berangkat bekerja.Anna menguap lebar lalu menggaruk kepalanya. “Kau lupa atau bagaimana? Paparazzi yang mencarimu belum menyerah. Hari ini mereka pasti masih berkerumun di kafe dan apartemen kita yang lama.”“Kau yakin? Kurasa aku tidak sepenting itu,” kata Marissa sembari mengedikkan bahu.Anna menghampiri Marissa, meraih tangannya dan menariknya menuju ke dapur. “Semua yang berhubungan dengan keluarga Smith p
Tempat sepi katanya? Marissa memicing ke arah Eric. Padahal Marissa sudah percaya untuk ikut, laki-laki ini malah ingin macam-macam padanya.“Kau.. jangan macam-macam.” Marissa memperingatkan.Eric mendengkus lalu menoleh sekilas. “Asal kau tahu. Kau bukan tipeku.”Marissa menghela napas lega. Iya, Marissa tidak marah. Akan lebih baik jika Eric maupun Edrick tidak tertarik padanya. Marissa tidak ingin terlibat perasaan dengan laki-laki yang punya dunia berbeda darinya. “Syukurlah.”“Kau tidak marah?” tanya Eric heran.Marissa menoleh dengan kening mengernyit. “Kenapa aku harus marah? Bukankah wajar perempuan sepertiku bukan tipe idealmu?”Perempuan yang cocok disandingkan dengan cucu-cucu Kakek Arnold adalah perempuan berkelas. Bukan seperti Marissa, yang tidak punya apa pun atau siapa pun.Eric mengangguk samar. “Kau benar. Untuk saat ini.”Marissa tidak b
“Setelah bertamu, apa saja yang kakekku ceritakan padamu,” jelas Eric.Marissa menghela lega. Hampir saja ia salah sangka, untung Eric cepat-cepat menjelaskan maksud pertanyaannya. “Kenapa tidak bertanya pada kakekmu?”Eric mendengkus. “Kau pikir bagaimana jawaban kakekku?”Mengelak, tentu saja. Kakek Arnold tidak akan semudah itu menjawab pertanyaan Eric. Setelah itu, Marissa bisa membayangkan mereka berdua berdebat seperti biasa. Lalu, Eric menyerah dan Kakek Arnold tersenyum menang.Marissa mengendikan bahu. “Tidak banyak. Kakek Arnold hanya menceritakan sedikit kisah percintaanmu.”“Kisah percintaan?” Eric menatap curiga.Marissa mengangguk. “Dibanding Edrick, kau lebih mudah menjalin hubungan dengan seseorang.”Eric berdeham. “Selain itu?”Jadi benar! Laki-laki ini bahkan tidak repot-repot mengelak. Tetapi, karena itu bukan urusan Marissa.