Meski bukan salahnya. Marissa tetap takut menunggu sepatah dua kata keluar dari mulut Eric. Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya dan Edrick berdiri menghadap jendela besar yang menampilkan keriuhan Kota di bawah sana.
Sementara Marissa dan Kakek Arnold duduk bersebelahan seakan menunggu untuk disidang.
“Jujur, aku tidak mengerti jalan pikiran Kakek,” ujar Eric pada akhirnya.
“Jalan pikiran bagaimana maksudmu?” tanya Kakek Arnold tenang.
Eric menghela napas berat, “Kakek, dia itu orang asing,” Eric melirik Marissa sekilas.
Tahu dilirik, Marissa menundukkan kepala. Sekarang ia merasa bersalah.
“Lalu?”
“Bagaimana bisa Kakek memperkenalkannya sebagai seorang cucu di depan para karyawan? Kakek, sebentar lagi berita ini akan muncul di mana-mana,” keluh Eric diakhiri remasan dibatang hidungnya.
Marissa ingin keluar dari ruangan ini. Segera. Meski ruangan ini lebih luas dari apartemennya, Marissa tetap merasa pengap.
“Aku memang sudah menganggap Marissa seperti cucuku sendiri. Apa yang salah dengan itu?” jawab Kakek Arnold acuh tak acuh.
Bagaimana Eric tidak semakin marah jika jawaban Kakek Arnold semenyebalkan itu. Kalau begini, Eric bisa saja menyalahkan Marissa sepenuhnya.
Ngomong-ngomong, satu lagi orang di ruangan ini tidak berbaur sama sekali. Edrick tampak tenang dan tidak terusik dengan pertengkaran Kakek dan adiknya.
“Aku tidak masalah kalau memang Kakek menganggapnya cucu tapi tidak usah dipublikasikan. Cukup aku dan Edrick yang tahu,” suara Eric naik satu oktaf.
Marissa menelan ludahnya takut. Tubuhnya serasa semakin menyusut mendengar ucapan Eric.
“Harus. Itu cara untuk melindungi Marissa.”
Eric menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, “Edrick, aku mohon katakan sesuatu.”
Laki-laki itu akhirnya berbalik. Ia terdiam lama dan Marissa tanpa sadar terus menatapnya. Sebelumnya, Marissa tidak berani menatap Edrick saat berada di lobi bersama karyawan lain.
Rambutnya dibiarkan jatuh menutupi keningnya, tak seperti Eric yang ditata ke atas agar kening mengkilapnya terlihat. Wajahnya juga tampak teduh, berbanding terbalik dengan adiknya yang tegas. Satu lagi, pakaiannya. Eric dengan jas licinnya, Edrick dengan jeans dipadu kaus dan mantel panjang.
Edrick mengedikkan bahu, “Kalau Kakek bisa mengatasinya sendiri, aku tidak masalah.”
Selain luarnya berbeda. Ternyata dua bersaudara ini punya sifat yang juga berbanding terbalik.
Kakek Arnold tertawa penuh kemenangan, “Lihat, kan? Kakakmu saja tidak masalah.”
Eric menggeram tertahan di kursinya, “Kakek, dia itu hanya orang asing yang kebetulan menyelamatkan Kakek waktu itu. Bukan berarti Kakek bisa mempercayainya!”
“Hei, anak muda. Jangan mulutmu.” Kakek Arnold memperingatkan lalu menoleh ke arah Marissa.
“Kakek, sebaiknya aku pulang saja,” bisik Marissa.
“Jangan! Kau harus berkenalan dengan Edrick terlebih dahulu,” ucap Kakek Arnold lantang. Marissa sampai tersentak di tempat duduknya.
“Bukankah itu tujuan kita datang ke sini?” tanya Kakek Arnold.
Bukan tujuan kita, tapi tujuan Kakek seorang diri, batin Marissa. Dengan hati-hati, Marissa melirik Edrick. Laki-laki itu juga tengah menatapnya dengan kening berkerut.
“Aku?” Edrick menunjuk dirinya sendiri.
"Tidak!" seru Marissa tiba-tiba. kata-kata Kakek barusan seakan Marissa yang sangat ingin berkenalan. Padahal, kan tidak. “Bukan beg—”
“Ya! Kakek ingin kalian berdua berkenalan. Kakek rasa kalian akan cocok satu sama lain,” potong Kakek Arnold.
Marissa meringis. Ia pikir Edrick sudah tahu rencana Kakeknya dan mengiakan, makanya Edrick ada di sini sekarang. Nyatanya, tidak.
“Bagaimana Marissa?” tanya Kakek Arnold tiba-tiba.
“Bagaimana apanya?”
“Bagaimana Edrick? Dia jauh di atas mantan brengsekmu itu, kan?”
Mata Marissa melotot kaget mendengar umpatan yang keluar dari mulut Kakek Arnold. Ternyata orang kaya dan berkelas semacam Kakek Arnold bisa mengumpat juga.
“I-iya,” balas Marissa melirik Edrick sekilas.
“Kakek, Edrick tidak akan mau,” sela Eric.
“Ini bukan urusanmu, anak muda,” sergah Kakek Arnold.
Eric memutar bola mata malas kemudian memutar kursinya menghadap jendela. Sementara Edrick memilih duduk di kursi di depan meja Eric.
“Jadi, ini alasan Kakek menyuruhku pulang?” Edrick tersenyum tipis.
Kakek Arnold mengangguk semangat, “Sudah saatnya kau mencari pasangan. Apa kalian berdua tidak kasihan padaku? Aku sudah bau tanah dan belum ada tanda-tanda kalian serius menjalani hubungan.”
Kakek Arnold mulai lagi. Bawa-bawa umur agar dikasihani.
Edrick mengubah posisi duduknya, menyerong ke arah Marissa, “Apa kakekku memaksamu datang kemari?”
Marissa menoleh ke arah Kakek Arnold yang hampir menyemburkan amarahnya, “Tidak!”
Edrick mengangguk pelan, “Tapi, kakekku meminta dengan wajah memelas, kan?”
Marissa diam. Takjub karena Edrick bisa tahu. Oh, tunggu! Itu wajar. Edrick cucu Kakek Arnold. Justru laki-laki ini lebih mengenal kakeknya sendiri.
Edrick menahan senyumnya, “Diammu berarti iya.”
“Hei! Tidak seperti itu,” bantah Kakek Arnold. “Sudah kubilang kalian itu tampak serasi. Selain itu, Marissa tidak akan mengkhianatimu.”
Senyum yang sebelumnya menghiasi wajah Edrick, menguap tak bersisa. Kursi Eric juga dengan cepat berbalik.
“Kakek!” Eric menatap punggung Edrick khawatir.
Kakek Arnold menghela napas panjang, “Bukankah sudah saatnya melupakan perempuan itu, Edrick? Kakek hanya ingin kau melupakan masa lalumu dan mulai menata hidup baru.” Suara Kakek Arnold tenang dan lemah. Seakan lelah akan sesuatu yang berhubungan dengan Edrick.
Butuh beberapa saat sampai akhirnya Edrick mengangkat kepala dan mengangguk pada kakeknya. Meski dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Benar. Tapi, aku tidak bisa menjamin perkenalanku dengan Marissa berhasil. Bisa saja kami tidak cocok,” Edrick melirik Marissa meminta bantuan.
“Ya! Bisa saja kami tidak cocok tapi untuk sekarang akan kami coba,” kata Marissa.
Kakek Arnold tersenyum cerah sembari menepuk-nepuk punggung Marissa. “Aku senang sekali mendengarnya.”
Marissa balas tersenyum. Membiarkan Kakek Arnold merasakan kebahagiaan. Karena dari jawaban Edrick, Marissa bisa tahu jika laki-laki itu enggan mengenal dirinya lebih jauh. Edrick memilih terjebak dimasa lalu, seperti yang Kakek Arnold katakan.
“Oh, tadi kau ingin pulang, kan?” tanya Kakek Arnold.
“Iya, aku akan pamit sekarang.”
“Edrick, tolong antar Marissa pulang,” perintah Kakek Arnold.
“Tidak usah! Aku bi—”
“Tidak apa-apa, Marissa. Biar aku yang mengantarmu pulang,” sela Edrick.
Baiklah! Cukup bertemu hari ini dan selesai!
“Oke.”
***
Hampir dua puluh menit berada di dalam mobil. Yang ada hanya sunyi. Marissa memilih diam, begitu pun Edrick yang sepertinya tidak ada niat memulai percakapan. Hanya ketukan jari Edrick ke setir mobil yang terkadang memecah keheningan.
Tanpa sadar Marissa menghela napas. Walaupun pelan, nyatanya suara kecil itu memancing Edrick menoleh ke arah Marissa.
“Pasti kau bosan.” Edrick terkekeh ringan. “Maaf, aku bukan orang yang pandai basa-basi. Kau tahu maksudku, kan?”
Marissa meringis, tak berani bahkan untuk sekadar melirik, “Ya! Lagi pula kita baru bertemu. Jadi, suasana seperti ini wajar.”
Edrick mengangguk samar, “Aku senang kau mengerti.”
Tak ada balasan yang keluar dari mulut Marissa. Cukup sampai di situ percakapan mereka, tidak usah dilanjutkan.
“Ngomong-ngomong, aku ingin meminta maaf atas nama kakekku,” ujar Edrick.
Marissa mengernyit lalu menoleh cepat, “Minta maaf?”
“Iya. Aku tahu, Kakek pasti banyak merepotkanmu.”
Kepalanya kembali ia arahkan ke depan. “Tidak juga. Aku tidak tahu seberapa merepotkannya Kakek Arnold karena baru mengenalnya.”
Edrick tertawa keras. Marissa sampai melongo menatap laki-laki yang duduk di sampingnya. Selucu itu?
“Kau ada benarnya,” kata Edrick setelah berhasil mereda tawanya. “Tapi, jujur. Begitu kakekku suka dengan seseorang, dia akan terus merepotkannya.”
“Suka?”
“Oh! Jangan salah paham. Maksudku, selama ini kakekku sangat jarang tertarik dengan orang luar. Bodyguard yang menjaganya saat ini pun butuh waktu berbulan-bulan agar menjadi orang kepercayaan kakekku.”
Marissa mengangguk paham membayangkan wajah kaku John.
“Kakek Arnold sulit mempercayai seseorang tapi juga kesepian,” gumam Marissa.
“Kesepian?”
Marissa menoleh cepat, tak menyangka Edrick mendengar suaranya. “Kau dengar?”
Edrick mengangguk lalu menepikan mobilnya di depan gedung apartemen Marissa. “Kenapa kau menganggap kakekku kesepian? Dia punya banyak teman dan orang-orang di sekitarnya.”
Marissa terdiam sejenak sebelum menjawab, “Keluarga. Kakek Arnold yang sulit percaya butuh seseorang yang ia anggap keluarga untuk menemaninya. Bukan teman atau rekan bisnis yang mengelilingi tiap hari. Kau tahu? Terkadang berada di tengah-tengah keramaian pun, seseorang bisa merasa kesepian.”
Marissa tersenyum bangga mengetahui kalimat bijak dan panjang itu bisa keluar dari mulutnya. Penasaran dengan respons Edrick, Marissa menoleh sebelum pamit turun dari mobil.
Tidak disangka, Edrick memandangnya. Marissa tidak tahu maksud tatapan itu. Bahkan setelah ketahuan pun, Edrick tidak berniat mengalihkan pandangannya.
Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”Anna be
Eric berdiri diambang pintu sambil menekan pelipisnya. Lalu detik berikutnya, laki-laki itu hampir terhuyung ke depan. Untungnya, seseorang yang berdiri di belakang Eric segera menahannya. Marissa beranjak dari duduknya dan menghampiri Eric. Alisnya bertaut ketika melihat bibir Eric pucat dan wajahnya dipenuhi peluh. “Kau sakit?” Sebagai sesama manusia, wajar kan Marissa khawatir akan keadaan cucu Kakek yang telah berbaik hati padanya beberapa hari terakhir ini. Eric mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar Marissa tak lagi berbicara. Marissa otomatis mundur, “Oh, maaf.” “Bantu aku ke kamar,” titah Eric pada laki-laki plontos yang sedari tadi memegangnya. “Baik,” balasnya dengan ekspresi amat datar. Marissa pikir John adalah orang nomor satu dengan predikat tidak bisa mengekspresikan perasaannya —yang sejauh ini ia kenal. Ternyata masih ada orang yang lebih buruk dari John. “Eric? Kau kenapa?” Marissa berbalik mendengar suara
Di sini lah Marissa sekarang. Di dapur, ditemani tiga pelayan yang siap sedia menerima perintah dari Marissa. Oh, masih ada satu orang, Kakek Arnold. Ia berdiri di samping Marissa, ikut mendengar instruksi dari Bibi Martha. Kepala pelayan yang sebelumnya Kakek Arnold ceritakan.“Setelah ini apa?” tanya Marissa sambil mengaduk sup.“Masukkan cooking cream, jagung, dan suwiran ayamnya.”Marissa mengangguk-angguk. Baru saja tangannya ingin menggapai wadah berisi jagung, pelayan yang berdiri di belakangnya lebih dulu menyodorkannya pada Marissa. “Terima kasih.”Sisa bahan Marissa masukkan sesuai interuksi Bibi Martha. “Apa lagi, Bi?”“Sudah selesai. Tinggal menunggu kuahnya sedikit mengental.”Marissa menghela napas lega. Saat mulai memasak hingga akhirnya selesai, Marissa benar-benar takut rasanya tidak sesuai dengan selera Eric. Bukannya sembuh, laki-laki itu bisa saja pingsan karena
Sekarang apa? Anna yang Marissa harapkan bisa mencairkan suasana canggung justru sengaja menghilang setelah tahu laki-laki yang berkunjung bernama Edrick. John juga pergi entah ke mana. Oh, tidak. Biarpun ada John di tengah-tengahnya dan Edrick, laki-laki itu hanya bisa mematung tanpa kata sama sekali.“Sepertinya kakekku benar-benar menyukaimu.”Marissa menoleh. Ia masih dalam posisi sebelumnya, berdiri di depan dinding kaca. Menikmati pemandangan Kota di malam hari. Bedanya, kali ini ia ditemani Edrick. “Kuharap ini yang terakhir.”Edrick hampir tertawa, tetapi segera ia tahan, “Kau tidak suka?”Dari sudut matanya, Marissa bisa melihat Edrick menoleh ke arahnya. Jadi, Marissa menggeleng. “Aku bukan siapa-siapa. Tidak seharusnya Kakek Arnold bersikap sebaik ini padaku.”Edrick menyerong posisinya agar sepenuhnya melihat Marissa. “Aku tidak tahu apa kakekku pernah memberitahumu hal ini.”
“Kau tidak bermaksud berangkat ke kafe, kan?”Pertanyaan Anna menghentikan gerakan tangan Marissa yang ingin menarik gagang pintu. Marissa berbalik perlahan dengan alis terangkat. Bukankah jawaban sudah jelas? Tentu saja, Marissa akan berangkat kerja. Kalau hari ini dia bolos lagi, bosnya bisa-bisa memecatnya detik ini juga.“Kenapa? Kau ingin bertukar shift?” Sepertinya, pertanyaan Marissa salah. Karena yang dilihatnya adalah Anna yang baru saja bangun. Belum siap sama sekali jika ingin berangkat bekerja.Anna menguap lebar lalu menggaruk kepalanya. “Kau lupa atau bagaimana? Paparazzi yang mencarimu belum menyerah. Hari ini mereka pasti masih berkerumun di kafe dan apartemen kita yang lama.”“Kau yakin? Kurasa aku tidak sepenting itu,” kata Marissa sembari mengedikkan bahu.Anna menghampiri Marissa, meraih tangannya dan menariknya menuju ke dapur. “Semua yang berhubungan dengan keluarga Smith p
Tempat sepi katanya? Marissa memicing ke arah Eric. Padahal Marissa sudah percaya untuk ikut, laki-laki ini malah ingin macam-macam padanya.“Kau.. jangan macam-macam.” Marissa memperingatkan.Eric mendengkus lalu menoleh sekilas. “Asal kau tahu. Kau bukan tipeku.”Marissa menghela napas lega. Iya, Marissa tidak marah. Akan lebih baik jika Eric maupun Edrick tidak tertarik padanya. Marissa tidak ingin terlibat perasaan dengan laki-laki yang punya dunia berbeda darinya. “Syukurlah.”“Kau tidak marah?” tanya Eric heran.Marissa menoleh dengan kening mengernyit. “Kenapa aku harus marah? Bukankah wajar perempuan sepertiku bukan tipe idealmu?”Perempuan yang cocok disandingkan dengan cucu-cucu Kakek Arnold adalah perempuan berkelas. Bukan seperti Marissa, yang tidak punya apa pun atau siapa pun.Eric mengangguk samar. “Kau benar. Untuk saat ini.”Marissa tidak b
“Setelah bertamu, apa saja yang kakekku ceritakan padamu,” jelas Eric.Marissa menghela lega. Hampir saja ia salah sangka, untung Eric cepat-cepat menjelaskan maksud pertanyaannya. “Kenapa tidak bertanya pada kakekmu?”Eric mendengkus. “Kau pikir bagaimana jawaban kakekku?”Mengelak, tentu saja. Kakek Arnold tidak akan semudah itu menjawab pertanyaan Eric. Setelah itu, Marissa bisa membayangkan mereka berdua berdebat seperti biasa. Lalu, Eric menyerah dan Kakek Arnold tersenyum menang.Marissa mengendikan bahu. “Tidak banyak. Kakek Arnold hanya menceritakan sedikit kisah percintaanmu.”“Kisah percintaan?” Eric menatap curiga.Marissa mengangguk. “Dibanding Edrick, kau lebih mudah menjalin hubungan dengan seseorang.”Eric berdeham. “Selain itu?”Jadi benar! Laki-laki ini bahkan tidak repot-repot mengelak. Tetapi, karena itu bukan urusan Marissa.
Marissa berdiri di balik kasir, mengamati gerak-gerik seorang pria yang menutup sebagian wajahnya dengan topi. Sementara di seberang mejanya ada seorang Kakek. Memegang tongkat berlapis emas, jas dan celana berwarna senada yang rapi bersih seakan menyampaikan pada semua orang bahwa ia bukan orang biasa. Oh, jangan lupa topi fedora putih dengan garis hitam di sekelilingnya. Marissa menghela pendek. Sesekali pria bertopi itu melirik si Kakek.Gawat jika pria itu berniat merampok atau mencelakai si Kakek. Keadaan kafe sepi, hanya ada mereka berdua di dalam sini. Oh, salah. Bertiga dengan Marissa.Marissa bukannya takut. Ia tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Marissa ingin hidup tenang tanpa musuh. Bisa saja, kan, jika Marissa ikut campur dan menggagalkan niat jahatnya. Pria itu dendam pada Marissa dan menjadikannya target selanjutnya. Itu pun kalau pria itu tak mendekam dibalik jeruji besi.“Halo? Kenapa meneleponku?” Si Kakek berbicara dengan s