Johan menantu yang selalu diremehkan dan dianggap tidak berguna oleh keluarga istrinya, Keluarga Hartono. Namun, siapa sangkat bahwa sebenarnya Johan adalah seorang Jenderal Perang yang dipaksa menghilang dari dunia militer karena sebuah fitnah dan pengkhianatan. Dengan tekad besar, Johan akan membongkar pengkhianatan itu dan mengembalikan martabatnya di hadapan keluarga istrinya.
View MoreMereka terus berlari melewati lorong-lorong sempit, menghindari patroli pasukan Ludger yang mulai menyebar di seluruh kota. Angin laut semakin terasa, pertanda bahwa pantai sudah dekat. Gregoire terengah-engah. “Berapa jauh lagi?” Darius melirik ke arah ujung gang. “Kurang dari seratus meter. Kita hampir sampai.” Tiba-tiba, suara peluit nyaring terdengar di belakang mereka, diikuti suara teriakan. “Mereka di sana! Tangkap mereka!” Sebuah anak panah melesat dari kejauhan, nyaris mengenai kepala Evelyn. Ia dengan sigap menunduk, lalu segera berlindung di balik peti kayu. Johan menghela napas. “Sepertinya mereka tidak akan membiarkan kita pergi dengan mudah.” Dari kegelapan, enam penjaga bersenjata lengkap muncul, menghalangi jalan keluar mereka menuju pantai. Salah satu dari mereka melangkah maju—tubuhnya besar, mengenakan armor hitam dengan emblem khas pasukan elit Ludger.
Hector Wolfe melesat dengan kecepatan mengejutkan untuk tubuh sebesar itu. Tinju raksasanya melayang ke arah Johan dengan kekuatan menghancurkan. Johan menghindar ke samping tepat waktu, merasakan hembusan angin dari pukulan itu yang hampir mengenainya. BRAK! Dinding di belakang Johan retak akibat pukulan Hector. Lelaki itu menyeringai. “Kau cepat, tapi aku lebih kuat.” Johan tidak menjawab. Ia tetap tenang, matanya tajam menganalisis setiap gerakan lawannya. Hector menyerang lagi, kali ini dengan kombinasi pukulan cepat. Johan menangkis satu, menghindari dua, lalu membalas dengan tendangan lurus ke perut Hector. Namun, tubuh besar itu hanya bergeming, seolah tak merasakan dampaknya. Sebagai balasan, Hector mengayunkan sikunya ke arah kepala Johan. Johan menunduk, tetapi Hector sudah mengantisipasi dan mengayunkan lututnya ke arah dada Johan. DUG! Johan terdorong ke belaka
Johan dan timnya menyelinap melewati lorong-lorong sempit fasilitas. Setiap langkah mereka terukur, setiap napas mereka dijaga agar tidak menimbulkan suara. Mereka tahu bahwa di balik dinding-dinding ini, Ludger dan anak buahnya sedang menunggu tanpa menyadari bahaya yang mengintai. Gregoire, yang paling mengenal tata letak fasilitas ini, memberi isyarat untuk berhenti di sebuah persimpangan. “Di depan ada ruang pusat kendali. Jika kita bisa menguasainya, kita bisa memutus komunikasi mereka dan mengendalikan sistem keamanan.” Johan menatap Evelyn. “Kita serang cepat dan efisien. Tidak boleh ada yang lolos.” Evelyn mengangguk, begitu pula anggota tim lainnya. Dengan gerakan serempak, mereka bergerak maju. Saat mereka hampir mencapai pintu pusat kendali, seorang penjaga keluar dari ruangan dengan secangkir kopi di tangan. Matanya membelalak melihat Johan dan yang lainnya. Sebelum sempat bersuara, Johan bergerak lebih cepat. Ia menebas
Di dalam persembunyian sementara, Johan, Evelyn, Darius, dan Gregoire duduk mengelilingi meja yang penuh dengan peta dan dokumen. Cahaya lampu redup menerangi wajah mereka yang serius. Gregoire menunjuk sebuah titik di peta. “Inilah fasilitas Ludger di perbatasan Varestia. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat komando, tapi juga gudang penyimpanan senjata dan dokumen penting.” Evelyn menyilangkan tangan. “Berapa banyak penjaga?” Gregoire berpikir sejenak. “Minimal dua lusin, mungkin lebih. Mereka bukan sekadar prajurit bayaran biasa. Sebagian dari mereka adalah mantan tentara dan agen bayangan yang bekerja di bawah Ludger selama bertahun-tahun.” Darius menghela napas. “Jadi kita berhadapan dengan pasukan elit.” Sebelum Johan sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka, dan seorang pria dengan postur tegap memasuki ruangan bersama beberapa anak buahnya. “Maaf terla
Asap masih mengepul dari reruntuhan, sementara suara tembakan mulai mereda. Evelyn, Darius, dan Johan berdiri di antara mayat para Hounds yang tergeletak di tanah, memastikan tidak ada yang tersisa. Gregoire, masih dalam keadaan terikat, menyaksikan semuanya dengan tatapan penuh ketakutan dan kekaguman. “Aku harus mengakui… kalian lebih tangguh dari yang kuduga.” Evelyn tidak menanggapi. Matanya masih mengawasi sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya lain. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Jika Hounds sudah menemukan tempat ini, maka Ludger pasti tahu.” Darius mengangguk, memasukkan peluru baru ke dalam senjatanya. “Kemana kita pergi sekarang?” Johan memandangi tubuh-tubuh yang tergeletak di tanah sebelum menjawab, suaranya dingin dan penuh kepastian. “Kita tidak lari. Kita serang balik.” Gregoire terkekeh. “Itu terdengar seperti bunuh diri.” Johan berbalik menatapnya, matanya tajam. “Ludg
Mobil melaju dalam keheningan, hanya suara mesin yang terdengar di antara mereka. Sisa pertempuran barusan masih terasa di udara, dan meskipun mereka berhasil lolos, semua orang di dalam mobil tahu bahwa ancaman belum berakhir. Johan duduk diam di kursinya, matanya fokus ke jalanan yang gelap. Gregoire, yang masih terikat di kursi belakang, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Ludger tidak akan berhenti hanya karena kalian mengalahkan beberapa anak buahnya.” Evelyn meliriknya. “Kami tahu itu.” Gregoire menyeringai kecil. “Tapi kalian belum tahu seberapa jauh dia bisa pergi.” Darius yang masih berkonsentrasi mengemudi menoleh sekilas ke kaca spion. “Kalau kau punya sesuatu yang lebih dari sekadar peringatan samar, sebaiknya kau katakan sekarang.” Gregoire mencondongkan tubuhnya ke depan sedikit, meskipun tali di pergelangannya masih mengikat erat. “Kalian pikir Ludger hanya
Mobil hitam itu melaju tanpa henti menuju persembunyian sementara yang telah dipersiapkan oleh Darius. Di dalam kabin yang sunyi, hanya suara mesin dan hembusan napas berat yang terdengar. Johan bersandar di kursinya, matanya menatap lurus ke depan, pikirannya berputar mencari celah untuk mengatasi ancaman baru yang baru saja mereka ketahui—Ludger Falkenhayn. Evelyn menatap Gregoire yang masih terikat di kursi belakang. “Katakan padaku satu hal, Gregoire. Kenapa Ludger tertarik dengan perusahaan kami? Apa yang sebenarnya dia inginkan?” Gregoire menyeringai kecil. “Kalian tidak menyadarinya? Perusahaan ini lebih dari sekadar bisnis dagang biasa. Kalian memiliki aset, koneksi, dan informasi yang sangat berharga. Dan Ludger tidak menginginkan itu untuk dirinya sendiri—dia ingin memastikan tidak ada yang bisa menyainginya.” Darius mendengus. “Jadi, jika dia tidak bisa memilikinya, dia akan menghancurkannya?” Gregoire mengan
Johan berdiri di atas dek kapal yang kini penuh dengan tubuh tak bernyawa dan serpihan sisa pertempuran. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, tetapi pikirannya tetap tajam. Ia baru saja menghabisi musuh terakhirnya, dan kini hanya ada satu hal yang harus dilakukan—keluar dari tempat ini sebelum bala bantuan Moreau datang. Suara alat komunikasinya kembali berbunyi. "Johan, kau masih di sana? Kami hampir sampai di titik pertemuan." Suara Evelyn terdengar tegas namun sedikit khawatir. Johan menekan tombol di alat komunikasi. "Aku masih di kapal. Tidak ada ancaman lagi di sini. Kalian di mana?" "Kami sudah mendekati pantai. Ada dermaga tua sekitar 500 meter dari posisimu. Bisa kau sampai ke sana?" Johan menatap ke arah laut, melihat ombak yang berkilauan di bawah sinar bulan. Kapal ini sudah tidak bisa digunakan lagi. Mesin utama hancur akibat ledakan sebelumnya, dan dari kejauhan, ia bisa melihat b
Johan bergerak cepat menuju ruang kapten, tubuhnya tetap waspada. Di kejauhan, suara baling-baling helikopter mulai berputar, menandakan Moreau sudah bersiap untuk kabur. Saat ia sampai di tangga menuju dek atas, dua penjaga muncul, masing-masing membawa senapan serbu. DOR! DOR! Johan berguling ke samping, berlindung di balik peti kayu besar sebelum membalas tembakan dengan akurat. DOR! DOR! Salah satu pria langsung terjatuh, peluru Johan menembus dadanya. Pria kedua mencoba berlindung, tetapi Johan sudah lebih cepat. Ia melompat keluar dari perlindungan dan menembakkan peluru tepat ke lutut lawannya. Pria itu menjerit, jatuh berlutut, tetapi Johan tidak memberinya kesempatan. Dengan langkah tenang, ia mendekat dan melepaskan satu tembakan ke kepala. Selesai. Tanpa membuang waktu, Johan melangkah ke dek atas. Helikopter kini sudah menyala penuh, baling-bali
Di kota Ardell, di sebuah rumah besar milik keluarga Hartono, pesta ulang tahun ke-70 Pak Surya Hartono sedang berlangsung meriah. Seluruh anggota keluarga berkumpul, mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa hadiah mahal sebagai tanda bakti. “Semoga Pak Surya panjang umur dan selalu diberkati!” Semua anggota keluarga bersorak sambil menyerahkan hadiah mereka. Pak Surya tersenyum puas. “Hari ini aku bahagia. Aku akan mengabulkan satu permintaan dari kalian. Katakan, apa yang kalian inginkan?” “Pak, saya ingin mobil sport terbaru,” kata Rico, cucu kesayangannya. “Saya ingin jam tangan emas merek Swiss!” tambah Clara, salah satu keponakannya. Pak Surya tertawa dan mengangguk. “Baik, semua akan aku kabulkan!” Namun, suasana berubah ketika Johan, menantu dari anak sulungnya, maju perlahan dan berkata, “Pak, bisakah saya mendapatkan motor untuk pergi bekerja?” Tiba-tiba ruangan itu menjadi sunyi. Semua mata tertuju padanya. Beberapa orang mulai tertawa kecil. “Kau serius, Johan?” e...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments