Keesokan harinya, Johan merasa seperti ada beban baru yang mengganjal di dadanya. Setelah berbicara dengan Nadya dan mendapat dukungan penuh darinya, dia merasa sedikit lebih ringan, namun pekerjaan dan tantangan yang menanti di luar sana tetap tidak bisa diabaikan. Kontrak besar yang sedang diperebutkan masih berada di ujung mata, dan setiap keputusan yang dia buat akan mempengaruhi nasib karier dan masa depan perusahaan tempat dia bekerja.
Hari itu, Johan memutuskan untuk menemui Butra Wijaya lagi. Meskipun dia telah mendapatkan beberapa petunjuk tentang dunia politik perusahaan dari pertemuan mereka sebelumnya, dia merasa masih banyak yang perlu dia pelajari. Butra, sebagai mentor yang sudah berpengalaman, adalah orang yang tepat untuk memberinya wawasan lebih dalam. Di ruang kerja Butra, suasana terasa lebih serius daripada biasanya. Butra duduk di mejanya dengan wajah serius, sementara Johan duduk di hadapannya, menunggu untuk diberikan arahan lebih lanjut. “Johan, aku ingin kamu memahami satu hal,” kata Butra, memulai percakapan. “Persaingan di dunia ini tidak hanya ditentukan oleh kemampuan dan kerja keras. Banyak faktor lain yang bisa memengaruhi hasil akhirnya. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan, baik itu kemenangan maupun kegagalan. Yang terpenting adalah bagaimana kamu menangani kedua hal tersebut.” Johan mendengarkan dengan seksama. “Saya mengerti, Pak. Tapi bagaimana cara mempersiapkan diri untuk menghadapi semuanya itu?” Butra tersenyum tipis. “Satu hal yang perlu kamu pahami adalah bahwa orang-orang yang paling sukses adalah mereka yang tahu kapan harus berkompromi dan kapan harus bertahan dengan prinsip mereka. Dalam dunia bisnis, hubungan adalah segalanya. Jika kamu memiliki jaringan yang kuat dan bisa memanfaatkan kekuatan hubungan itu, kamu akan selalu berada di posisi yang menguntungkan.” Johan merenung sejenak. “Tapi saya bukan tipe orang yang bisa memainkan politik seperti itu, Pak. Saya lebih nyaman bekerja dengan kemampuan saya sendiri.” Butra mengangguk. “Itu bagus, tapi dunia ini lebih dari sekadar kemampuan teknis. Terkadang, apa yang kita tahu bisa jadi bukan hal yang paling penting, tetapi siapa yang kita kenal dan bagaimana kita memanfaatkan hubungan itu. Aku tahu kamu bisa melakukannya, Johan. Aku ingin kamu menjadi lebih dari sekadar pekerja keras. Kamu harus belajar bagaimana memainkan permainan ini dengan bijaksana.” Setelah percakapan itu, Johan merasa semakin terbeban. Dia tahu bahwa Butra memberikan nasihat berharga, tetapi kadang-kadang, dia merasa terjebak di antara keinginannya untuk tetap setia pada prinsip dan tuntutan dunia yang penuh dengan intrik ini. Namun, satu hal yang pasti, dia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan ini. Jika ingin bertahan, dia harus belajar untuk menavigasi dunia ini dengan cara yang lebih cerdas. Setelah keluar dari kantor Butra, Johan merasa perlu untuk berjalan-jalan sebentar dan menyegarkan pikiran. Di jalanan yang ramai, dia melangkah dengan kepala penuh pertanyaan. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia mengikuti nasihat Butra dan mulai bermain lebih keras dalam politik perusahaan, atau tetap bertahan dengan cara yang dia anggap benar? Saat berjalan di sepanjang trotoar, Johan tidak sengaja bertemu dengan seseorang yang dia kenal. Clara, salah satu keponakannya yang selalu terlihat sinis dan merendahkan dia di setiap kesempatan, sedang berjalan dengan teman-temannya. Melihat Johan, Clara mendekat dengan senyum mengejek. “Johan, sepertinya kamu semakin sibuk sekarang ya. Mungkin pekerjaan itu lebih penting daripada keluarga kita?” Clara berkata dengan nada sarkastik. Johan menahan diri untuk tidak meladeni, namun dia bisa merasakan tatapan meremehkan dari Clara. “Saya hanya berusaha untuk bekerja keras, Clara. Itu yang penting.” Clara tertawa pelan. “Kerja keras? Jangan-jangan kamu cuma ingin membuktikan sesuatu kepada keluarga ini. Tapi ingat, kamu hanya seorang menantu. Jangan berpikir kamu bisa lebih dari itu.” Johan menggertakkan giginya, namun dia tahu bahwa merespons Clara dengan marah hanya akan memperburuk keadaan. "Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik," jawabnya dengan tegas, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu reaksi Clara. Perasaan kesal dan marah membara di dalam dada Johan, namun dia tidak ingin terjerat dalam permainan intrik yang tidak ada habisnya. Hatinya berkata bahwa dia harus lebih kuat. Sebagai menantu yang selalu diremehkan, dia tahu bahwa dia harus bekerja lebih keras dan membuktikan bahwa dia bisa lebih dari apa yang orang lain lihat. Pada malam yang sama, setelah pulang ke rumah, Johan dan Nadya duduk bersama di ruang tamu. “Apa yang terjadi, Johan? Kamu terlihat tidak nyaman,” kata Nadya, melihat ekspresi suaminya yang tampak cemas. Johan menceritakan pertemuannya dengan Clara dan kata-kata pedas yang dia dengar. Nadya hanya bisa menghela napas, “Keluarga ini memang tidak mudah, Johan. Tapi kamu harus ingat, kamu tidak perlu membuktikan apapun kepada mereka. Yang terpenting adalah kita berdua.” Johan menatap wajah Nadya, yang terlihat begitu tulus dan penuh kasih. “Aku hanya ingin membuktikan pada mereka bahwa aku lebih dari sekadar menantu yang mereka pandang rendah.” Nadya tersenyum lembut. “Kamu sudah membuktikan itu setiap hari, Johan. Aku bangga padamu. Jangan biarkan mereka merusak kepercayaan dirimu.” Johan menggenggam tangan Nadya. “Terima kasih, Nadya. Aku akan terus berjuang, bukan untuk mereka, tetapi untuk kita. Untuk masa depan kita.” Dengan dukungan Nadya, Johan merasa lebih kuat. Malam itu, setelah berbicara panjang lebar dengan istrinya, Johan tahu bahwa dia harus melangkah lebih jauh, belajar lebih banyak, dan terus bekerja keras. Dunia ini tidak akan memberi jalan mudah padanya, tetapi dia bertekad untuk menunjukkan bahwa meskipun dia hanyalah seorang menantu yang diremehkan, dia bisa mengubah nasibnya.Setelah beberapa minggu berlalu, Johan semakin merasakan tekanan yang datang bersama dengan tanggung jawab yang semakin besar. Proyek besar yang sedang dia kerjakan bersama Butra Wijaya menjadi ujian terberat dalam kariernya. Tidak hanya masalah teknis yang harus diselesaikan, tetapi juga politik perusahaan dan hubungan antar rekan kerja yang semakin rumit. Johan menyadari bahwa untuk berhasil, dia harus bermain dengan hati-hati, tetapi juga tidak bisa terlalu mengorbankan prinsipnya.Hari itu, Butra mengundang Johan untuk berbicara di kantornya. “Johan, aku ingin berbicara denganmu tentang kontrak besar yang akan kita ambil. Kita perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin. Pesaing kita bukan sembarangan. Mereka memiliki jaringan yang kuat, dan mereka pasti akan menggunakan segala cara untuk memenangkan proyek ini.”Johan mendengarkan dengan seksama, menyadari bahwa ini adalah peluang terbesar yang pernah datang dalam hidupnya. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Johan, merasa cema
Keesokan harinya, Johan tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Udara pagi yang sejuk sedikit menenangkan pikirannya, tetapi tekanan besar masih membebani hatinya. Kontrak besar yang sedang ia perjuangkan bersama Butra Wijaya akan segera mencapai titik krusial. Semua mata tertuju padanya, baik dari pihak perusahaan maupun pesaing-pesaing yang ingin menjatuhkannya.Saat Johan masuk ke ruang rapat, dia melihat beberapa eksekutif senior sudah duduk dengan ekspresi serius. Butra Wijaya menatapnya sekilas sebelum memulai pertemuan. “Johan, hari ini kita akan menghadapi presentasi terakhir di depan pemegang keputusan utama. Ini momen penentu,” kata Butra dengan nada tegas.Johan mengangguk mantap. “Saya sudah menyiapkan semuanya, Pak.”Namun, sebelum presentasi dimulai, seorang pria dengan jas mahal memasuki ruangan. Itu adalah Adrian, seorang pengusaha licik yang dikenal memiliki cara-cara kotor dalam mendapatkan proyek. Dia tersenyum tipis ke arah Johan, lalu duduk dengan santai.“Butra,
Johan dan Nadya berjalan tanpa tujuan setelah meninggalkan rumah keluarga Hartono. Hawa malam terasa dingin, namun tidak lebih menusuk daripada tatapan penuh penghinaan yang mereka terima tadi. “Apa yang akan kita lakukan sekarang, Johan?” tanya Nadya dengan suara lirih. Johan menggenggam tangan istrinya erat. “Kita mulai dari awal. Aku akan membuktikan bahwa kita tidak butuh mereka untuk bertahan.” Mereka akhirnya menemukan sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Tempat itu jauh dari kemewahan rumah keluarga Hartono, tetapi setidaknya memberi mereka tempat untuk berlindung sementara. Kesempatan Baru Keesokan harinya, Johan kembali menemui Butra Wijaya. Setelah insiden dengan keluarga Hartono, dia sadar bahwa satu-satunya jalan untuk maju adalah dengan membangun kariernya sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Saat Johan tiba di kantor Butra, pria paruh baya itu sudah menunggunya dengan ekspresi serius. “Kudengar kau akhirnya meninggalkan rumah keluarga Hartono,” kata Butra
Johan bangun dengan tubuh yang masih terasa sakit akibat serangan semalam. Namun, dia tidak punya waktu untuk mengeluh. Ini bukan pertama kalinya dia diperlakukan seperti ini, dan dia yakin bukan yang terakhir. Nadya duduk di sampingnya, mengompres wajahnya yang bengkak dengan kain basah. “Johan, siapa yang melakukan ini padamu?” tanyanya khawatir. Johan menggenggam tangan istrinya. “Seseorang ingin memperingatkanku, tapi aku tidak akan mundur.” Kembali ke Kantor Meski tubuhnya masih terasa nyeri, Johan tetap datang ke kantor. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan orang-orang yang berharap dia gagal. Saat dia masuk, Dika menatapnya dengan senyum mengejek. “Kau terlihat berantakan, Johan. Jangan-jangan, ada yang tidak senang denganmu?” Johan tidak menggubrisnya. Dia langsung menuju ruangannya dan mulai bekerja. Tak lama kemudian, Butra Wijaya memanggilnya. “Johan, proyek ekspansi kita menghadapi masalah. Salah satu mitra utama tiba-tiba menarik diri.” Johan mengernyit. “Apaka
Setelah berhasil menyingkirkan Dika, Johan tahu bahwa pertempuran belum berakhir. Justru, ini baru permulaan. Ia sadar bahwa masih ada pihak-pihak yang ingin menjatuhkannya. Sebuah Undangan Misterius Pagi itu, Johan menerima sebuah undangan makan malam dari seseorang yang tak dikenal. Isinya singkat: "Datanglah ke Restoran Bintang Lima, pukul 20.00. Kita perlu berbicara." Johan memandangi undangan itu dengan curiga. Namun, nalurinya mengatakan bahwa ini bukan jebakan biasa. Saat malam tiba, ia tiba di restoran tersebut dengan hati-hati. Saat masuk, ia melihat seorang pria tua dengan pakaian elegan menunggunya di meja VIP. Johan mengenali pria itu. Dia adalah Tuan Arman, salah satu pengusaha berpengaruh di kota ini. “Silakan duduk, Johan,” kata Arman dengan senyum kecil. Johan tetap waspada. “Apa tujuan Anda mengundang saya?” Arman tertawa kecil. “Langsung ke inti, ya? Bagus. Aku mengundangmu karena aku melihat potensimu. Kau berhasil menyingkirkan Dika, dan itu mengesankan.”
Setelah menerima proyek besar dari Butra Wijaya, Johan menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar tugas biasa. Ini adalah kesempatan sekaligus ujian. Jika ia berhasil, maka tidak ada lagi yang bisa meremehkannya. Strategi Johan Johan menghabiskan malamnya membaca dokumen proyek dengan teliti. Ini adalah kerja sama dengan perusahaan asing yang memiliki standar tinggi. Ia tahu, jika ia melakukan satu kesalahan saja, semuanya bisa berantakan. Keesokan harinya, ia langsung membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa karyawan terbaik di perusahaan. Ia memilih orang-orang yang selama ini diremehkan, seperti dirinya. “Mulai hari ini, kita akan membuktikan bahwa kita lebih dari sekadar bayangan di perusahaan ini,” kata Johan dengan penuh semangat. Timnya mengangguk. Mereka tahu Johan bukan orang biasa, dan mereka bersedia bertaruh pada kepemimpinannya. Rintangan di Tengah Jalan Namun, tidak semua orang senang dengan kemajuan Johan. Satrio, adik Nadya, yang juga bekerja di perusahaan te
Keesokan harinya, Johan kembali ke pekerjaannya seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa insiden semalam bukanlah kebetulan. Saat ia berjalan masuk ke kantor, beberapa karyawan mulai berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahnya. Johan tidak terlalu memedulikannya, tetapi firasatnya mengatakan ada sesuatu yang sedang terjadi. Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian rapi dengan wajah penuh kesombongan berjalan ke arahnya. “Kau Johan, bukan?” tanya pria itu dengan nada merendahkan. Johan mengangguk santai. “Ya, ada yang bisa saya bantu?” Pria itu menyeringai. “Namaku Adrian. Aku ingin memberimu peringatan. Jangan berpikir bahwa hanya karena kau diterima bekerja di sini, kau bisa naik kelas. Aku tahu kau hanya menumpang hidup dari istrimu.” Beberapa orang di sekitar mulai tertawa kecil. Johan hanya tersenyum tipis. “Kalau sudah selesai bicara, aku harus kembali bekerja.” Ia melangkah pergi tanpa memperdulikan tatapan Adrian yang m
Suasana di ruang tamu keluarga Hartono terasa tegang. Mata semua orang tertuju pada pria asing yang baru saja masuk. Dia berjalan santai, mengenakan jas hitam rapi dengan tatapan penuh arti. Johan tetap tenang, meskipun matanya menyipit, mengenali sosok itu. Pria itu tersenyum tipis. “Sudah lama, Johan.” Pak Surya menatap Johan dengan curiga. “Siapa dia?” Johan tidak langsung menjawab. Dia tahu, jika berbicara terlalu banyak, keluarganya bisa terlibat dalam sesuatu yang lebih besar. “Orang yang salah alamat,” jawab Johan singkat. Namun, pria itu tertawa pelan. “Salah alamat? Kurasa tidak. Aku ke sini karena ada urusan denganmu.” Sebelum Johan bisa merespons, pria itu tiba-tiba melayangkan pukulan cepat ke arahnya. Serangan Mendadak Johan menghindar ke samping dengan refleks luar biasa, membuat pukulan itu hanya mengenai udara. Semua orang di ruangan terkejut. “Apa-apaan ini?!” seru Nadya panik. Rico dan beberapa anggota keluarga lainnya bangkit berdiri, tetapi mereka hanya
Kubah energi di tengah kota Granz terus berkedip, menciptakan riak gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah inti kota. Kilatan cahaya biru yang menguar dari struktur itu menunjukkan bahwa ini bukan sekadar penghalang biasa. Evelyn mengamati dari kejauhan dengan ekspresi tegang. "Kau mengenali ini, Darius?" Darius mengangguk, rahangnya mengeras. "Ini bukan sembarang teknologi pertahanan. Ini adalah Kubah Omega—sistem perlindungan tingkat tinggi yang dikembangkan Wilhelm. Biasanya hanya digunakan untuk melindungi fasilitas militer paling penting atau… sesuatu yang sangat berbahaya." Johan masih berdiri di dekat Frederick Wilhelm yang terbaring lemah di tanah. Matanya menatap lurus ke arah kota, menilai situasi dengan tenang. Frederick tertawa kecil meski kesakitan. "Apa kau tahu, Johan… dari semua keluarga yang ingin menyingkirkanmu, Wilhelm-lah yang membencimu sejak awal." Johan menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap dingin. "Dan kenapa begitu?" Frederick menyeringai, dar
BZZZT! Dengungan listrik memenuhi udara saat robot-robot tempur Wilhelm mulai bergerak. Mata merah mereka bersinar ganas, menargetkan Johan dan pasukannya dengan senjata otomatis yang terpasang di lengan mereka. Klik! Klik! Klik! Laras senjata mereka berputar cepat, mengeluarkan suara ancaman. Dor! Dor! Dor! Dalam sekejap, hujan peluru ditembakkan dari berbagai arah. Peluru-peluru itu meluncur dengan kecepatan tinggi, menerjang ke arah Johan dan pasukannya. Evelyn dan Darius langsung berlindung di balik reruntuhan dermaga. Anak buah Johan bergerak cepat mencari tempat berlindung, sementara beberapa orang yang kurang beruntung terkena tembakan dan tumbang di tempat. Namun, di tengah hujan peluru itu, Johan tidak bergerak sedikit pun. Ia berdiri tegap, matanya menatap lurus ke depan. Frederick Wilhelm menyeringai. "Kali ini, kau tidak bisa sekadar mengandalkan kecepatanmu, Johan." Tapi senyuman Frederick langsung pudar ketika melihat sesuatu yang aneh. Swish! Swish! Johan ha
Kapal patroli Wilhelm yang tersisa berusaha mundur dengan kecepatan penuh, tetapi Johan tidak memberi mereka kesempatan. Darius mengendalikan kapal dengan lincah, menyalip satu kapal musuh yang berusaha kabur. "Kalau mereka berhasil melapor ke Granz, kita akan berhadapan dengan lebih banyak pasukan!" Evelyn tidak membuang waktu. Dengan sniper di tangannya, ia mengamati kapal musuh dan memilih target dengan cepat. Dor! Peluru menembus kepala kapten kapal musuh, menyebabkan kapal itu kehilangan kendali dan meluncur ke arah bebatuan di tepi laut. Brak! Kapal itu hancur, sementara para kru berteriak panik sebelum terjun ke laut. Johan, yang masih berada di atas kapal patroli pertama yang telah ia kuasai, mengangkat pedangnya dan menunjuk ke kapal terakhir yang masih tersisa. "Habisi mereka," ujarnya dingin. Anak buahnya yang berada di kapal mereka sendiri segera mengangkat senjata dan menembak tanpa ampun. —BOOM! Ledakan terjadi di kapal terakhir Wilhelm, api membumbung tinggi. Da
Angin dingin menerpa wajah Johan saat ia berdiri di dek kapal, menatap cakrawala yang perlahan menampakkan kota Granz, tempat Keluarga Wilhelm berkuasa. Kota itu besar, dengan pelabuhan yang selalu sibuk, menandakan perannya sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar di Astvaria. Namun, di balik gemerlapnya, Johan tahu ada kegelapan yang bersembunyi. Darius mendekat dengan ekspresi serius. "Kita hampir sampai. Informasi dari tim bayangan mengatakan bahwa Wilhelm telah memperketat keamanan sejak kita mengambil alih Varestia. Mereka pasti tahu kita datang." Evelyn menyesap tehnya dengan tenang. "Mereka bisa memperketat keamanan sesuka mereka. Pada akhirnya, itu hanya akan menunda yang tak terhindarkan." Johan hanya tersenyum tipis. "Mereka boleh bersiap. Tapi mereka tidak akan bisa menghindari kehancuran jika mereka telah menyimpang terlalu jauh." Di sisi lain kota, di dalam sebuah vila mewah, Erich Wilhelm, kepala Keluarga Wilhelm, menatap laporan dari anak buahnya dengan ekspre
Langit malam di Varestia yang seharusnya tenang mendadak diwarnai letusan senjata dan suara bentrokan senjata tajam. Johan dan timnya baru saja bersiap meninggalkan kota ketika serangan mendadak terjadi. Dari atap-atap bangunan dan gang-gang sempit, sosok-sosok berpakaian hitam muncul, mengepung mereka dalam diam. Evelyn, yang berjalan di samping Johan, langsung merasakan keanehan. "Kita disergap," bisiknya tajam. Johan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pasukannya untuk tetap tenang. Matanya menyapu ke sekeliling, memperhatikan musuh yang muncul satu per satu dari kegelapan. Kemudian, langkah-langkah berat terdengar mendekat. Dari bayangan, seorang pria berambut panjang keperakan dengan jubah hitam mewah berjalan dengan angkuh. Di belakangnya, puluhan prajurit berpakaian serupa berbaris rapi. Pria itu menatap Johan dengan ekspresi mencemooh. "Johan… sudah lama sekali," katanya dengan nada rendah yang sarat kebencian. Johan mengenali suara itu seketika. Matanya menyipit
Malam telah larut ketika kapal Johan merapat di sebuah dermaga rahasia di luar kota Varestia. Sejumlah pria bersenjata sudah menunggu di sana—mereka adalah anak buah Johan yang telah lebih dulu menyusup ke dalam jaringan bisnis Keluarga Moreau. Seorang pria berpakaian gelap mendekat dan memberi hormat kepada Johan. “Tuan, kami sudah menyiapkan semuanya. Moreau tidak punya tempat untuk lari.” Johan mengangguk pelan. “Bagaimana dengan aset mereka?” Pria itu tersenyum tipis. “Sudah berada di bawah kendali kita. Senjata, jalur distribusi, dan sebagian besar pasukan bayaran mereka sekarang bekerja untuk kita atau telah dimusnahkan.” Darius bersiul kagum. “Kau benar-benar tidak memberi mereka kesempatan bernapas.” Johan menatap kota yang mulai sunyi dari atas bukit kecil dekat pelabuhan. “Moreau telah menghancurkan terlalu banyak orang. Mereka memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri. Kita bukan hanya mengambil alih aset mereka, kita membersihkan sampah yang men
Malam di pantai Varestia semakin kelam. Ombak menghantam batuan di sepanjang pesisir, seakan menggema ketegangan yang melingkupi medan pertempuran. Di kejauhan, Johan dan Lucien masih bertarung sengit, kilatan senjata mereka beradu di bawah cahaya bulan. Sementara itu, Evelyn dan Darius berdiri di dekat kapal kecil, napas mereka masih memburu setelah pertempuran sebelumnya. Tubuh Gregoire tergeletak tak bernyawa di pasir, darahnya terserap oleh tanah yang dingin. Peluru yang menembus dadanya telah mengakhiri permainan politiknya lebih cepat dari yang diharapkan. Evelyn menatap tubuh Gregoire dengan tatapan kosong, tetapi hanya sebentar. Kini, fokusnya tertuju pada Johan yang masih bertarung dengan Lucien, pemimpin pasukan elite musuh yang terkenal kejam dan tak kenal ampun. Lucien melompat mundur, mengangkat pedangnya dengan kedua tangan. “Johan, kau selalu jadi batu sandungan. Tapi malam ini, semuanya akan berakhir!” Johan hanya tersenyum kecil. “Kau sudah mengatakannya berkali-k
Gregoire menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. Matanya menatap laut yang bergelombang, seakan mencari ketenangan sebelum mengungkap rahasia besar yang ia simpan. "Kesepakatan Akhir... bukan hanya tentang perdagangan atau aliansi. Ini tentang mengubah keseimbangan dunia." Evelyn menyipitkan mata. "Jelaskan." Gregoire menatapnya sejenak sebelum melanjutkan. "Keluarga Moreau dan sekutu mereka tidak hanya ingin memperkuat posisi mereka di dunia perdagangan dan politik. Mereka ingin menggulingkan enam keluarga kuno dan mengambil alih seluruh tatanan lama." Johan yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Mereka sudah terlalu berani." Gregoire tersenyum sinis. "Mereka tidak sekadar berani. Mereka sudah siap." Darius melangkah maju. "Apa maksudmu?" Gregoire menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan nada berat, "Mereka telah mengumpulkan pasukan bayangan selama bertahun-tahun. Orang-orang yang bahkan keluarga kuno pun tidak sadari keberadaannya. Pembunuh, tenta
Malam masih pekat ketika Johan berdiri di atas bukit, mengamati pergerakan pasukan lawan di bawahnya. Angin dingin bertiup kencang, membuat jubahnya berkibar. Dari kejauhan, Evelyn dan Darius sudah berhasil membawa Gregoire menuju pantai. Namun, Johan masih punya urusan yang harus diselesaikan. Di bawah sana, sisa pasukan musuh, termasuk para petarung terbaik dari Keluarga Moreau, bersiap mengejarnya. Beberapa dari mereka adalah veteran pertempuran, tetapi wajah mereka menunjukkan sedikit ketakutan. Mereka tahu siapa yang mereka hadapi. Johan tersenyum tipis. "Sudah lama sejak aku terakhir kali benar-benar bertarung... Mari kita lihat apakah kalian bisa bertahan lebih dari sepuluh menit." Seorang pria besar bertubuh kekar maju dari barisan musuh. Armor hitamnya berkilat di bawah cahaya bulan. Gerard Moreau, salah satu petarung terkuat di keluarganya, menatap Johan dengan ekspresi serius. "Johan... Kau mungkin kuat, tapi kau sendirian. Kami ada puluhan di sini. Serahkan dirimu, da