Setelah menerima proyek besar dari Butra Wijaya, Johan menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar tugas biasa. Ini adalah kesempatan sekaligus ujian. Jika ia berhasil, maka tidak ada lagi yang bisa meremehkannya. Strategi Johan Johan menghabiskan malamnya membaca dokumen proyek dengan teliti. Ini adalah kerja sama dengan perusahaan asing yang memiliki standar tinggi. Ia tahu, jika ia melakukan satu kesalahan saja, semuanya bisa berantakan. Keesokan harinya, ia langsung membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa karyawan terbaik di perusahaan. Ia memilih orang-orang yang selama ini diremehkan, seperti dirinya. “Mulai hari ini, kita akan membuktikan bahwa kita lebih dari sekadar bayangan di perusahaan ini,” kata Johan dengan penuh semangat. Timnya mengangguk. Mereka tahu Johan bukan orang biasa, dan mereka bersedia bertaruh pada kepemimpinannya. Rintangan di Tengah Jalan Namun, tidak semua orang senang dengan kemajuan Johan. Satrio, adik Nadya, yang juga bekerja di perusahaan te
Keesokan harinya, Johan kembali ke pekerjaannya seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa insiden semalam bukanlah kebetulan. Saat ia berjalan masuk ke kantor, beberapa karyawan mulai berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahnya. Johan tidak terlalu memedulikannya, tetapi firasatnya mengatakan ada sesuatu yang sedang terjadi. Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian rapi dengan wajah penuh kesombongan berjalan ke arahnya. “Kau Johan, bukan?” tanya pria itu dengan nada merendahkan. Johan mengangguk santai. “Ya, ada yang bisa saya bantu?” Pria itu menyeringai. “Namaku Adrian. Aku ingin memberimu peringatan. Jangan berpikir bahwa hanya karena kau diterima bekerja di sini, kau bisa naik kelas. Aku tahu kau hanya menumpang hidup dari istrimu.” Beberapa orang di sekitar mulai tertawa kecil. Johan hanya tersenyum tipis. “Kalau sudah selesai bicara, aku harus kembali bekerja.” Ia melangkah pergi tanpa memperdulikan tatapan Adrian yang m
Suasana di ruang tamu keluarga Hartono terasa tegang. Mata semua orang tertuju pada pria asing yang baru saja masuk. Dia berjalan santai, mengenakan jas hitam rapi dengan tatapan penuh arti. Johan tetap tenang, meskipun matanya menyipit, mengenali sosok itu. Pria itu tersenyum tipis. “Sudah lama, Johan.” Pak Surya menatap Johan dengan curiga. “Siapa dia?” Johan tidak langsung menjawab. Dia tahu, jika berbicara terlalu banyak, keluarganya bisa terlibat dalam sesuatu yang lebih besar. “Orang yang salah alamat,” jawab Johan singkat. Namun, pria itu tertawa pelan. “Salah alamat? Kurasa tidak. Aku ke sini karena ada urusan denganmu.” Sebelum Johan bisa merespons, pria itu tiba-tiba melayangkan pukulan cepat ke arahnya. Serangan Mendadak Johan menghindar ke samping dengan refleks luar biasa, membuat pukulan itu hanya mengenai udara. Semua orang di ruangan terkejut. “Apa-apaan ini?!” seru Nadya panik. Rico dan beberapa anggota keluarga lainnya bangkit berdiri, tetapi mereka hanya
Johan berdiri di tengah ruangan remang-remang di Grand Hotel. Udara di sekitarnya terasa menekan, sementara beberapa pria berbadan kekar mulai mengepungnya dengan tatapan tajam penuh kebencian. Salah satu dari mereka melangkah maju. “Johan, kau benar-benar berani datang ke tempat ini. Sayang sekali, kau tidak akan bisa keluar dengan selamat.” Johan hanya tersenyum tipis. “Jadi ini jebakan? Aku sudah menduganya.” Pria itu tertawa kasar. “Kalau sudah tahu, kenapa tetap datang?” Johan tidak menjawab. Matanya meneliti sekeliling, menghafal posisi setiap orang. Meskipun mereka membawa senjata, mereka tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Tanpa peringatan, salah satu pria menyerang lebih dulu. Dengan kecepatan tinggi, tinjunya meluncur ke arah wajah Johan. Namun, Johan hanya sedikit menggeser kepalanya, menghindari serangan itu dengan mudah. Lalu, dengan satu gerakan cepat, ia menangkis serangan berikutnya dan menghantam dada lawannya. Tubuh pria itu terpental ke belakang, jatuh
Malam itu, Johan duduk di balkon kamar hotelnya, memandangi langit kota Ardell yang diterangi lampu-lampu. Pikirannya masih dipenuhi kejadian di Grand Hotel tadi. Lawan yang menyerangnya bukan sekadar preman biasa—mereka adalah petarung terlatih. "Siapa yang menginginkanku mati?" pikir Johan. Ia tahu, sebagai seseorang yang pernah berada di medan perang, tidak sedikit musuh yang ingin membungkamnya. Namun, selama ini ia telah hidup dalam bayang-bayang, menahan diri agar tidak menarik perhatian. Tapi malam ini membuktikan satu hal—seseorang telah mengetahui keberadaannya. Johan mengepalkan tangannya. Sudah cukup. Jika musuhnya mulai bergerak, maka ia tidak bisa lagi berdiam diri. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama yang tertera di layar adalah Butra Wijaya, pria kaya raya yang sempat menawarkan pekerjaan padanya beberapa waktu lalu. Johan mengangkat telepon. “Johan, ada sesuatu yang harus kau tahu. Bisa kita bertemu sekarang?” Nada suara Butra terdengar serius. Tanpa banyak b
Johan berjalan keluar dari gedung perkantoran Butra Wijaya dengan langkah tenang. Udara malam yang dingin terasa menyegarkan setelah hari yang panjang di perusahaan logistik tempatnya bekerja. Namun, pikirannya tetap fokus—Leonard Hartono, nama yang disebut oleh anggota Serigala Hitam, kini menjadi target utamanya. Ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi Butra Wijaya. “Aku sudah mendapatkan nama yang kita cari.” Di ujung telepon, Butra terdengar menarik napas panjang. “Jadi benar Leonard?” Johan mengangguk meski tahu Butra tidak bisa melihatnya. “Ya. Sepertinya dia tidak tahan melihatku berdiri di atas kaki sendiri.” Butra terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati. Leonard bukan orang sembarangan dalam keluarga Hartono. Jika dia sampai menggunakan Serigala Hitam, artinya dia benar-benar ingin menyingkirkanmu.” Johan tersenyum tipis. “Aku tahu. Dan aku tidak akan tinggal diam.” Ia menutup telepon dan memasukkan ponselnya ke saku. Malam ini,
Malam semakin larut ketika Johan akhirnya meninggalkan kantor. Udara dingin menusuk kulitnya saat ia berjalan menuju mobil yang terparkir di basement. Ia sudah terbiasa dengan ancaman, tetapi kali ini, firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya. Ia membuka pintu mobil, namun sebelum sempat masuk, suara langkah kaki cepat terdengar dari belakang. Johan berbalik, matanya tajam menangkap sosok pria berjas hitam yang melompat ke arahnya dengan pisau di tangan. Dengan refleks cepat, Johan menepis serangan itu, lalu menyikut dagu pria tersebut hingga mundur beberapa langkah. Tapi serangan belum berakhir—tiga pria lain muncul dari balik pilar, mengelilinginya dengan posisi siap menyerang. Salah satu dari mereka adalah Hadi. "Johan," kata Hadi dengan suara rendah. "Aku sudah mendengar banyak tentangmu." Johan tersenyum tipis. "Dan aku belum pernah mendengar tentangmu. Sepertinya kamu tidak cukup penting." Hadi menyeringai. “Mari kita lihat apakah kau masih b
Johan menghabiskan sisa malam itu dengan berjaga-jaga. Ia tahu bahwa setelah pertemuan dengan Hadi di basement, Leonard tidak akan berhenti begitu saja. Ditambah dengan fakta bahwa keluarga Gunawan berada di belakangnya, Johan kini harus berpikir dua langkah lebih maju. Pagi harinya, ia kembali ke kantor seperti biasa, menjaga rutinitas agar tidak memancing kecurigaan. Namun, perasaannya tetap waspada. Ia bisa merasakan ada mata-mata yang mengawasinya. Setibanya di kantornya, Butra Wijaya sudah menunggunya dengan ekspresi serius. "Kita harus bicara," kata Butra begitu Johan masuk ke ruangannya. Johan menutup pintu dan duduk. "Apa yang terjadi?" Butra menyerahkan sebuah map tebal ke tangannya. "Aku menyelidiki lebih dalam tentang koneksi Leonard dan Keluarga Gunawan. Sepertinya mereka sudah mulai bergerak untuk menyingkirmu dari perusahaan ini." Johan membuka map tersebut. Di dalamnya terdapat dokumen-dokumen yang menunjukkan adanya transaksi mencurigakan—pengalihan saham, manipu
Hari itu, Eisenwald menjadi pusat perhatian seluruh Astvaria. Bursa saham yang biasanya stabil kini bergejolak liar. Para investor panik setelah membaca berita tentang kemungkinan krisis finansial yang mengancam perusahaan-perusahaan di bawah kendali Keluarga Albrecht. Di dalam gedung megah Albrecht Financial Group, Leon Albrecht berdiri di depan jendela kantornya yang luas. Matanya menatap ke kejauhan, namun pikirannya penuh dengan kemarahan. "Siapa yang berani mengguncang pasarku seperti ini?" suaranya terdengar dingin. Asisten pribadinya, Friedrich Hahn, melangkah masuk dengan wajah serius. "Tuan Muda, kami telah melacak sumber pergerakan saham yang tidak biasa ini. Tampaknya beberapa investor besar mulai menarik dana mereka secara tiba-tiba." Leon berbalik, matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan. "Investor mana saja?" Friedrich membuka tablet di tangannya dan membacakan lapora
Velmoria kini berada dalam kendali Johan. Keluarga Hohenberg telah tumbang, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang langsung diisi oleh Arthura Trade & Co. Dengan jatuhnya keluarga ini, pengaruh jahat mereka dalam politik dan ekonomi mulai terkikis. Namun, Johan belum selesai. Di dalam sebuah ruang pertemuan rahasia di bekas markas Hohenberg, Johan berdiri di depan sebuah peta besar Astvaria yang penuh dengan tanda dan catatan. Evelyn, Darius, dan beberapa orang kepercayaannya duduk di sekeliling meja. "Hohenberg sudah lenyap," Evelyn membuka pembicaraan. "Siapa target kita berikutnya?" Johan menatap ke arah barat, kota Eisenwald, tempat markas Keluarga Albrecht. "Albrecht," ujar Johan dengan nada datar namun penuh makna. Darius bersiul pelan. "Jadi, kita akan menargetkan sumber keuangan mereka?" Evelyn menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Mereka bukan pejuang seperti Wilhelm a
Udara malam di Velmoria masih terasa tegang setelah pertempuran singkat di dalam markas Hohenberg. Johan, Evelyn, dan Darius bergerak cepat melalui gang-gang gelap, menghindari patroli yang mulai menyebar ke seluruh kota. "Dimana titik pertemuan?" tanya Evelyn sambil tetap waspada. "Di distrik industri," jawab Darius. "Rangga dan anak buahnya sudah menunggu di sana." Johan tetap diam, matanya tajam mengamati setiap sudut jalan. Ia tahu pertempuran ini belum selesai. Pemburuan Dimulai Tak lama kemudian, sirene berbunyi di seluruh Velmoria. Hohenberg telah menyadari bahwa ada penyusup, dan mereka tidak akan membiarkan Johan serta timnya pergi begitu saja. "Darius, seberapa penting informasi yang kita ambil?" tanya Johan sambil tetap berjalan. Darius tersenyum sinis. "Cukup untuk menjatuhkan beberapa cabang bisnis Hohenberg dan mengungkap operasi kotor mereka di Astvaria."
Kabut tipis menyelimuti kota Velmoria saat fajar mulai menyingsing. Kota ini adalah pusat informasi dan mata-mata Astvaria, dipenuhi oleh agen rahasia, tentara bayaran, dan para penguasa bayangan yang setia pada Keluarga Hohenberg. Jika ada satu tempat di mana informasi bisa menjadi senjata mematikan, itu adalah di sini. Johan dan timnya sudah memasuki kota dengan cara yang paling aman—melalui jaringan bawah tanah. Sejak beberapa waktu lalu, anak buahnya telah menyusup ke dalam Velmoria, mempersiapkan jalur aman dan mengamati pergerakan musuh. Darius membuka sebuah peta kecil dan menunjukkannya pada Johan. "Kita punya beberapa tempat yang bisa kita gunakan sebagai titik aman. Tapi ingat, Hohenberg punya mata-mata di mana-mana. Kita harus bergerak dengan sangat hati-hati." Johan mengangguk. "Target pertama kita adalah pusat intelijen mereka. Jika kita bisa melumpuhkan sistem komunikasi mereka, kita bisa mengendalikan informasi di kota i
Johan berdiri di atas balkon gedung utama di Granz, menatap ke arah cakrawala yang jauh. Kota Velmoria yang dikuasai Keluarga Hohenberg sudah mulai mengalami guncangan akibat serangkaian sabotase yang diperintahkan olehnya. Tapi ini baru awal. Darius berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. "Johan, aku sudah lama ingin bertanya," katanya, suaranya serius. "Kenapa kau begitu gigih ingin menghancurkan kejahatan dalam 12 Keluarga Teratas dan juga 6 Keluarga Kuno?" Johan tetap diam beberapa saat, lalu berbicara tanpa menoleh. "Karena mereka adalah akar dari kegelapan di Astvaria." Darius mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" Johan menutup matanya sejenak, mengingat masa lalu yang tidak pernah bisa ia lupakan. Luka Lama dan Pengkhianatan Dulu, Astvaria adalah negara yang lebih kuat dan bersatu, tetapi kekuatan itu hanya bertahan di permukaan. Di balik layar, 12 Keluarga Teratas da
Granz telah jatuh ke tangan Johan dan sekutunya. Keluarga Wilhelm telah kehilangan pengaruh mereka, dan sisa-sisa loyalis mereka tersebar tanpa arah. Namun, pekerjaan Johan belum selesai. Malam itu, Johan berdiri di balai kota Granz, tempat para pemimpin dan komandan Wilhelm yang tersisa dikumpulkan. Mereka semua berlutut di lantai, tangan terikat, wajah mereka penuh ketakutan. Di sisi lain ruangan, Frederick Wilhelm duduk tenang, menatap mereka dengan ekspresi kosong. Ini adalah keluarganya sendiri—orang-orang yang pernah mendukungnya sebelum akhirnya mengkhianatinya. Sidang Singkat, Hukuman Cepat Johan melangkah maju, menatap para tahanan dengan dingin. "Aku tidak akan membuang waktu kalian," katanya. "Granz kini ada di bawah kendaliku. Dan kalian semua memiliki dua pilihan." Ruangan sunyi. Para tahanan menahan napas. "Pilihan pertama," Johan melanjutkan, "adalah bergabu
Malam di Kota Granz tak lagi tenang. Johan dan pasukannya tidak bisa langsung bergerak ke kota lain sebelum memastikan bahwa Granz benar-benar bersih dari sisa-sisa perlawanan Keluarga Wilhelm. Di dalam markas Wilhelm yang kini telah menjadi pusat operasi, Frederick Wilhelm duduk dengan ekspresi serius. Ia telah bersumpah setia kepada Johan setelah kekalahan keluarganya, tapi ia tahu tidak semua orang di bawah Wilhelm akan melakukan hal yang sama. Evelyn memasuki ruangan dengan langkah cepat. "Johan, laporan dari intelijen kita. Masih ada tiga kelompok militan yang aktif di dalam kota. Mereka terdiri dari mantan loyalis Wilhelm yang menolak tunduk dan beberapa pedagang yang ingin mempertahankan kepentingan mereka." Johan mengambil laporan itu dan membacanya sekilas. "Di mana mereka?" Darius, yang berdiri di dekat jendela, menjawab. "Yang pertama bersembunyi di distrik industri. Mereka mengendalikan sebagian jalur distri
Frederick Wilhelm terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah melihat bagaimana Johan merobohkan Kriegsturm dalam waktu kurang dari satu menit. Mecha kebanggaan keluarga Wilhelm, hancur begitu saja. Sementara itu, Johan berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin. Pilihannya jelas: hidup atau mati. Evelyn dan Darius berdiri di belakang Johan, mengamati situasi dengan waspada. Para pasukan Wilhelm yang masih hidup di sekitar mereka pun mulai goyah. Beberapa sudah menjatuhkan senjata mereka. Frederick menggertakkan giginya. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja, Johan?" Johan tidak menjawab. Ia hanya menatap Frederick dengan ekspresi yang sulit ditebak. Frederick tertawa miris. "Kau memang monster… Aku bisa mengerti kenapa keluargamu sendiri ingin menyingkirkanmu." Mata Johan sedikit menyipit. Namun, ia tetap diam, menunggu jawaban. Frederick melirik ke arah reruntuha
Kubah energi di tengah kota Granz terus berkedip, menciptakan riak gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah inti kota. Kilatan cahaya biru yang menguar dari struktur itu menunjukkan bahwa ini bukan sekadar penghalang biasa. Evelyn mengamati dari kejauhan dengan ekspresi tegang. "Kau mengenali ini, Darius?" Darius mengangguk, rahangnya mengeras. "Ini bukan sembarang teknologi pertahanan. Ini adalah Kubah Omega—sistem perlindungan tingkat tinggi yang dikembangkan Wilhelm. Biasanya hanya digunakan untuk melindungi fasilitas militer paling penting atau… sesuatu yang sangat berbahaya." Johan masih berdiri di dekat Frederick Wilhelm yang terbaring lemah di tanah. Matanya menatap lurus ke arah kota, menilai situasi dengan tenang. Frederick tertawa kecil meski kesakitan. "Apa kau tahu, Johan… dari semua keluarga yang ingin menyingkirkanmu, Wilhelm-lah yang membencimu sejak awal." Johan menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap dingin. "Dan kenapa begitu?" Frederick menyeringai, dar