Malam itu, Johan duduk di balkon kamar hotelnya, memandangi langit kota Ardell yang diterangi lampu-lampu. Pikirannya masih dipenuhi kejadian di Grand Hotel tadi. Lawan yang menyerangnya bukan sekadar preman biasa—mereka adalah petarung terlatih. "Siapa yang menginginkanku mati?" pikir Johan. Ia tahu, sebagai seseorang yang pernah berada di medan perang, tidak sedikit musuh yang ingin membungkamnya. Namun, selama ini ia telah hidup dalam bayang-bayang, menahan diri agar tidak menarik perhatian. Tapi malam ini membuktikan satu hal—seseorang telah mengetahui keberadaannya. Johan mengepalkan tangannya. Sudah cukup. Jika musuhnya mulai bergerak, maka ia tidak bisa lagi berdiam diri. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama yang tertera di layar adalah Butra Wijaya, pria kaya raya yang sempat menawarkan pekerjaan padanya beberapa waktu lalu. Johan mengangkat telepon. “Johan, ada sesuatu yang harus kau tahu. Bisa kita bertemu sekarang?” Nada suara Butra terdengar serius. Tanpa banyak b
Johan berjalan keluar dari gedung perkantoran Butra Wijaya dengan langkah tenang. Udara malam yang dingin terasa menyegarkan setelah hari yang panjang di perusahaan logistik tempatnya bekerja. Namun, pikirannya tetap fokus—Leonard Hartono, nama yang disebut oleh anggota Serigala Hitam, kini menjadi target utamanya. Ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi Butra Wijaya. “Aku sudah mendapatkan nama yang kita cari.” Di ujung telepon, Butra terdengar menarik napas panjang. “Jadi benar Leonard?” Johan mengangguk meski tahu Butra tidak bisa melihatnya. “Ya. Sepertinya dia tidak tahan melihatku berdiri di atas kaki sendiri.” Butra terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati. Leonard bukan orang sembarangan dalam keluarga Hartono. Jika dia sampai menggunakan Serigala Hitam, artinya dia benar-benar ingin menyingkirkanmu.” Johan tersenyum tipis. “Aku tahu. Dan aku tidak akan tinggal diam.” Ia menutup telepon dan memasukkan ponselnya ke saku. Malam ini,
Malam semakin larut ketika Johan akhirnya meninggalkan kantor. Udara dingin menusuk kulitnya saat ia berjalan menuju mobil yang terparkir di basement. Ia sudah terbiasa dengan ancaman, tetapi kali ini, firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya. Ia membuka pintu mobil, namun sebelum sempat masuk, suara langkah kaki cepat terdengar dari belakang. Johan berbalik, matanya tajam menangkap sosok pria berjas hitam yang melompat ke arahnya dengan pisau di tangan. Dengan refleks cepat, Johan menepis serangan itu, lalu menyikut dagu pria tersebut hingga mundur beberapa langkah. Tapi serangan belum berakhir—tiga pria lain muncul dari balik pilar, mengelilinginya dengan posisi siap menyerang. Salah satu dari mereka adalah Hadi. "Johan," kata Hadi dengan suara rendah. "Aku sudah mendengar banyak tentangmu." Johan tersenyum tipis. "Dan aku belum pernah mendengar tentangmu. Sepertinya kamu tidak cukup penting." Hadi menyeringai. “Mari kita lihat apakah kau masih b
Johan menghabiskan sisa malam itu dengan berjaga-jaga. Ia tahu bahwa setelah pertemuan dengan Hadi di basement, Leonard tidak akan berhenti begitu saja. Ditambah dengan fakta bahwa keluarga Gunawan berada di belakangnya, Johan kini harus berpikir dua langkah lebih maju. Pagi harinya, ia kembali ke kantor seperti biasa, menjaga rutinitas agar tidak memancing kecurigaan. Namun, perasaannya tetap waspada. Ia bisa merasakan ada mata-mata yang mengawasinya. Setibanya di kantornya, Butra Wijaya sudah menunggunya dengan ekspresi serius. "Kita harus bicara," kata Butra begitu Johan masuk ke ruangannya. Johan menutup pintu dan duduk. "Apa yang terjadi?" Butra menyerahkan sebuah map tebal ke tangannya. "Aku menyelidiki lebih dalam tentang koneksi Leonard dan Keluarga Gunawan. Sepertinya mereka sudah mulai bergerak untuk menyingkirmu dari perusahaan ini." Johan membuka map tersebut. Di dalamnya terdapat dokumen-dokumen yang menunjukkan adanya transaksi mencurigakan—pengalihan saham, manipu
Johan tahu bahwa kesalahan terbesar musuh yang terlalu percaya diri adalah meremehkan lawannya. Jika Raditya dan Leonard berpikir bahwa ia hanya seekor anak serigala di tengah kawanan singa, maka ia akan membuat mereka menyesali anggapan itu.Malam itu, Johan kembali ke apartemennya. Ia duduk di meja kerja, menyusun peta strategi yang tersimpan di dalam pikirannya. Langkah pertama sudah jelas—buat Leonard dan Raditya merasa bahwa ia semakin terpojok.Namun, untuk menjalankan rencana ini, ia butuh umpan.Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Orang yang selama ini tidak pernah terlibat langsung dalam konflik ini, tapi memiliki akses penting ke dalam sistem hukum.Setelah beberapa detik, panggilan tersambung.“Johan?” suara di seberang terdengar terkejut.“Daniel,” ujar Johan pelan. “Aku butuh bantuanmu.”Daniel Prasetyo adalah seorang jaksa muda yang dikenal bersih dan berintegritas. Ia bukan bagian dari permainan kotor yang dijalankan Raditya, tapi ia punya akses ke dokumen
Di ruangannya yang luas dan megah, Raditya Gunawan menatap layar televisi dengan ekspresi tak terbaca. Pernyataan Johan dalam wawancara tadi siang masih terngiang di telinganya. "Karena ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang disembunyikan." Raditya mengetuk meja kayu mahoninya perlahan, lalu menghela napas panjang. Johan bukan sekadar pemain kecil yang bisa disingkirkan begitu saja. Seorang pria bersetelan hitam masuk ke ruangan, membungkuk sedikit sebelum berbicara. “Pak, Leonard ingin bertemu dengan Anda malam ini. Dia khawatir Johan akan menggali sesuatu yang bisa membahayakan kita.” Raditya hanya tersenyum tipis. “Leonard mulai panik?” Pria itu mengangguk. “Sepertinya begitu. Johan berhasil membuatnya gelisah.” Raditya menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Bagus. Itu artinya Johan mulai mengungkap sesuatu. Dan itu justru memberi kita keuntungan.” Pria itu tampak bingung. “Maksud Anda?” Raditya menyeringai. “Orang yang terlalu percaya diri akan membuka lebih banyak celah.
Di dalam mobilnya yang melaju tenang, Raditya Gunawan menatap keluar jendela dengan ekspresi dingin. Jalanan ibu kota yang ramai tidak mampu mengalihkan pikirannya dari apa yang baru saja terjadi di ruang sidang.Leonard yang duduk di sebelahnya tampak tegang. Gugatan mereka gagal total. Johan tidak hanya berhasil membuktikan adanya manipulasi data, tetapi juga membalikkan permainan dalam sekejap.“Kita harus segera bertindak,” kata Leonard, suaranya penuh frustrasi. “Johan baru saja mempermalukan kita di depan publik. Kalau kita tidak segera membalas, kita akan terlihat lemah.”Raditya tidak langsung menjawab. Ia hanya mengetuk-ngetukkan jarinya di sandaran tangan kursi mobil, seperti sedang berpikir keras.Akhirnya, ia membuka suara. “Leonard, kau terlalu gegabah. Itulah kenapa kau selalu kalah.”Leonard mengepalkan tangannya, tetapi tidak berani membantah.Raditya melanjutkan dengan nada lebih tenang, tetapi sarat dengan ancaman.“Kita tidak akan membalasnya sekarang. Kita akan mem
Malam itu, di ruang kerjanya, Johan menatap dinding besar yang dipenuhi diagram dan foto-foto koneksi bisnis Raditya Gunawan. Butra dan Gilang berdiri di belakangnya, menunggu dengan sabar saat Johan menyusun strateginya. “Raditya ingin menghancurkan kita dari dalam dengan menarik klien dan investor,” ujar Johan pelan. “Tapi dia lupa satu hal…” Gilang menyipitkan mata. “Apa itu?” Johan menoleh dan tersenyum tipis. “Dia pikir aku hanya bisa bermain di dalam sistem, padahal aku sudah menyiapkan jalur keluar.” Butra melipat tangan. “Kau punya rencana?” Johan mengangguk. “Kita tidak bisa mengandalkan bisnis biasa untuk bertahan. Tapi kita bisa menggoyahkan fondasi bisnis Raditya dengan cara yang tidak dia duga.” Ia berjalan ke meja, mengambil marker, lalu menandai beberapa perusahaan yang terhubung dengan Raditya. “Kita akan membuat mereka saling menghancurkan.” — Keesokan Harinya – Markas Rahasia Johan Di sebuah lokasi tersembunyi, Johan bertemu dengan beberapa tokoh bisnis yan
Hari itu, Eisenwald menjadi pusat perhatian seluruh Astvaria. Bursa saham yang biasanya stabil kini bergejolak liar. Para investor panik setelah membaca berita tentang kemungkinan krisis finansial yang mengancam perusahaan-perusahaan di bawah kendali Keluarga Albrecht. Di dalam gedung megah Albrecht Financial Group, Leon Albrecht berdiri di depan jendela kantornya yang luas. Matanya menatap ke kejauhan, namun pikirannya penuh dengan kemarahan. "Siapa yang berani mengguncang pasarku seperti ini?" suaranya terdengar dingin. Asisten pribadinya, Friedrich Hahn, melangkah masuk dengan wajah serius. "Tuan Muda, kami telah melacak sumber pergerakan saham yang tidak biasa ini. Tampaknya beberapa investor besar mulai menarik dana mereka secara tiba-tiba." Leon berbalik, matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan. "Investor mana saja?" Friedrich membuka tablet di tangannya dan membacakan lapora
Velmoria kini berada dalam kendali Johan. Keluarga Hohenberg telah tumbang, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang langsung diisi oleh Arthura Trade & Co. Dengan jatuhnya keluarga ini, pengaruh jahat mereka dalam politik dan ekonomi mulai terkikis. Namun, Johan belum selesai. Di dalam sebuah ruang pertemuan rahasia di bekas markas Hohenberg, Johan berdiri di depan sebuah peta besar Astvaria yang penuh dengan tanda dan catatan. Evelyn, Darius, dan beberapa orang kepercayaannya duduk di sekeliling meja. "Hohenberg sudah lenyap," Evelyn membuka pembicaraan. "Siapa target kita berikutnya?" Johan menatap ke arah barat, kota Eisenwald, tempat markas Keluarga Albrecht. "Albrecht," ujar Johan dengan nada datar namun penuh makna. Darius bersiul pelan. "Jadi, kita akan menargetkan sumber keuangan mereka?" Evelyn menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Mereka bukan pejuang seperti Wilhelm a
Udara malam di Velmoria masih terasa tegang setelah pertempuran singkat di dalam markas Hohenberg. Johan, Evelyn, dan Darius bergerak cepat melalui gang-gang gelap, menghindari patroli yang mulai menyebar ke seluruh kota. "Dimana titik pertemuan?" tanya Evelyn sambil tetap waspada. "Di distrik industri," jawab Darius. "Rangga dan anak buahnya sudah menunggu di sana." Johan tetap diam, matanya tajam mengamati setiap sudut jalan. Ia tahu pertempuran ini belum selesai. Pemburuan Dimulai Tak lama kemudian, sirene berbunyi di seluruh Velmoria. Hohenberg telah menyadari bahwa ada penyusup, dan mereka tidak akan membiarkan Johan serta timnya pergi begitu saja. "Darius, seberapa penting informasi yang kita ambil?" tanya Johan sambil tetap berjalan. Darius tersenyum sinis. "Cukup untuk menjatuhkan beberapa cabang bisnis Hohenberg dan mengungkap operasi kotor mereka di Astvaria."
Kabut tipis menyelimuti kota Velmoria saat fajar mulai menyingsing. Kota ini adalah pusat informasi dan mata-mata Astvaria, dipenuhi oleh agen rahasia, tentara bayaran, dan para penguasa bayangan yang setia pada Keluarga Hohenberg. Jika ada satu tempat di mana informasi bisa menjadi senjata mematikan, itu adalah di sini. Johan dan timnya sudah memasuki kota dengan cara yang paling aman—melalui jaringan bawah tanah. Sejak beberapa waktu lalu, anak buahnya telah menyusup ke dalam Velmoria, mempersiapkan jalur aman dan mengamati pergerakan musuh. Darius membuka sebuah peta kecil dan menunjukkannya pada Johan. "Kita punya beberapa tempat yang bisa kita gunakan sebagai titik aman. Tapi ingat, Hohenberg punya mata-mata di mana-mana. Kita harus bergerak dengan sangat hati-hati." Johan mengangguk. "Target pertama kita adalah pusat intelijen mereka. Jika kita bisa melumpuhkan sistem komunikasi mereka, kita bisa mengendalikan informasi di kota i
Johan berdiri di atas balkon gedung utama di Granz, menatap ke arah cakrawala yang jauh. Kota Velmoria yang dikuasai Keluarga Hohenberg sudah mulai mengalami guncangan akibat serangkaian sabotase yang diperintahkan olehnya. Tapi ini baru awal. Darius berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. "Johan, aku sudah lama ingin bertanya," katanya, suaranya serius. "Kenapa kau begitu gigih ingin menghancurkan kejahatan dalam 12 Keluarga Teratas dan juga 6 Keluarga Kuno?" Johan tetap diam beberapa saat, lalu berbicara tanpa menoleh. "Karena mereka adalah akar dari kegelapan di Astvaria." Darius mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" Johan menutup matanya sejenak, mengingat masa lalu yang tidak pernah bisa ia lupakan. Luka Lama dan Pengkhianatan Dulu, Astvaria adalah negara yang lebih kuat dan bersatu, tetapi kekuatan itu hanya bertahan di permukaan. Di balik layar, 12 Keluarga Teratas da
Granz telah jatuh ke tangan Johan dan sekutunya. Keluarga Wilhelm telah kehilangan pengaruh mereka, dan sisa-sisa loyalis mereka tersebar tanpa arah. Namun, pekerjaan Johan belum selesai. Malam itu, Johan berdiri di balai kota Granz, tempat para pemimpin dan komandan Wilhelm yang tersisa dikumpulkan. Mereka semua berlutut di lantai, tangan terikat, wajah mereka penuh ketakutan. Di sisi lain ruangan, Frederick Wilhelm duduk tenang, menatap mereka dengan ekspresi kosong. Ini adalah keluarganya sendiri—orang-orang yang pernah mendukungnya sebelum akhirnya mengkhianatinya. Sidang Singkat, Hukuman Cepat Johan melangkah maju, menatap para tahanan dengan dingin. "Aku tidak akan membuang waktu kalian," katanya. "Granz kini ada di bawah kendaliku. Dan kalian semua memiliki dua pilihan." Ruangan sunyi. Para tahanan menahan napas. "Pilihan pertama," Johan melanjutkan, "adalah bergabu
Malam di Kota Granz tak lagi tenang. Johan dan pasukannya tidak bisa langsung bergerak ke kota lain sebelum memastikan bahwa Granz benar-benar bersih dari sisa-sisa perlawanan Keluarga Wilhelm. Di dalam markas Wilhelm yang kini telah menjadi pusat operasi, Frederick Wilhelm duduk dengan ekspresi serius. Ia telah bersumpah setia kepada Johan setelah kekalahan keluarganya, tapi ia tahu tidak semua orang di bawah Wilhelm akan melakukan hal yang sama. Evelyn memasuki ruangan dengan langkah cepat. "Johan, laporan dari intelijen kita. Masih ada tiga kelompok militan yang aktif di dalam kota. Mereka terdiri dari mantan loyalis Wilhelm yang menolak tunduk dan beberapa pedagang yang ingin mempertahankan kepentingan mereka." Johan mengambil laporan itu dan membacanya sekilas. "Di mana mereka?" Darius, yang berdiri di dekat jendela, menjawab. "Yang pertama bersembunyi di distrik industri. Mereka mengendalikan sebagian jalur distri
Frederick Wilhelm terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah melihat bagaimana Johan merobohkan Kriegsturm dalam waktu kurang dari satu menit. Mecha kebanggaan keluarga Wilhelm, hancur begitu saja. Sementara itu, Johan berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin. Pilihannya jelas: hidup atau mati. Evelyn dan Darius berdiri di belakang Johan, mengamati situasi dengan waspada. Para pasukan Wilhelm yang masih hidup di sekitar mereka pun mulai goyah. Beberapa sudah menjatuhkan senjata mereka. Frederick menggertakkan giginya. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja, Johan?" Johan tidak menjawab. Ia hanya menatap Frederick dengan ekspresi yang sulit ditebak. Frederick tertawa miris. "Kau memang monster… Aku bisa mengerti kenapa keluargamu sendiri ingin menyingkirkanmu." Mata Johan sedikit menyipit. Namun, ia tetap diam, menunggu jawaban. Frederick melirik ke arah reruntuha
Kubah energi di tengah kota Granz terus berkedip, menciptakan riak gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah inti kota. Kilatan cahaya biru yang menguar dari struktur itu menunjukkan bahwa ini bukan sekadar penghalang biasa. Evelyn mengamati dari kejauhan dengan ekspresi tegang. "Kau mengenali ini, Darius?" Darius mengangguk, rahangnya mengeras. "Ini bukan sembarang teknologi pertahanan. Ini adalah Kubah Omega—sistem perlindungan tingkat tinggi yang dikembangkan Wilhelm. Biasanya hanya digunakan untuk melindungi fasilitas militer paling penting atau… sesuatu yang sangat berbahaya." Johan masih berdiri di dekat Frederick Wilhelm yang terbaring lemah di tanah. Matanya menatap lurus ke arah kota, menilai situasi dengan tenang. Frederick tertawa kecil meski kesakitan. "Apa kau tahu, Johan… dari semua keluarga yang ingin menyingkirkanmu, Wilhelm-lah yang membencimu sejak awal." Johan menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap dingin. "Dan kenapa begitu?" Frederick menyeringai, dar