Di dalam ruang kantornya yang remang-remang, Johan menatap laporan terbaru yang dikirim oleh tim intelijennya. Raditya sudah kehilangan beberapa klien besar dalam waktu singkat. Beberapa perusahaan mulai beralih ke jalur bisnis yang ia bangun secara diam-diam bersama Daniel Surya. Tapi ini belum cukup. “Butra,” panggil Johan tanpa menoleh. Butra, yang sedang duduk di sofa dengan ekspresi serius, mengangkat kepalanya. “Ya?” “Aku ingin kau menemui seseorang di daftar ini,” Johan menunjuk salah satu nama di layar laptopnya. “Damar Santoso.” Butra menyipitkan mata. “Pemilik jaringan media terbesar di negeri ini? Kau ingin membawa media ke dalam permainan ini?” Johan tersenyum tipis. “Raditya sudah mulai bermain kotor, mencoba menjatuhkan reputasiku dengan dokumen palsu. Kita akan membalikkan keadaannya dengan cara yang lebih elegan.” Gilang yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kau ingin menjadikan media sebagai alat untuk menghancurkannya?” Johan menatap Gilang. “Aku in
Di ruangannya yang remang-remang, Johan menatap layar laptopnya yang menampilkan siaran berita terbaru. Raditya Gunawan kini menjadi headline utama di seluruh negeri. Damar Santoso telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. Dalam waktu kurang dari 24 jam, kredibilitas Raditya hancur. Media menggali lebih dalam, menghubungkan transaksi gelapnya dengan beberapa pejabat tinggi, dan kini publik menuntut penyelidikan resmi. Butra duduk di seberang meja, menghela napas. “Kau benar-benar tidak memberi dia ruang untuk bernapas.” Johan tersenyum tipis. “Raditya mengira bisa mengontrol permainan. Tapi dia lupa… aku tidak pernah bermain tanpa cadangan strategi.” Gilang memasuki ruangan dengan ekspresi serius. “Ada pergerakan yang aneh. Beberapa orang Raditya mulai bergerak di luar hukum. Aku menduga dia akan mencoba menyerang kita secara langsung.” Johan menutup laptopnya dan berdiri. “Aku sudah memperkirakan ini.” Gilang mengangguk. “Kita harus waspada. Aku sudah meminta tim keamanan unt
Udara malam terasa dingin saat Johan berdiri di balkon lantai atas markas sementaranya. Dari sini, ia bisa melihat sebagian kota yang masih berdenyut meski hari sudah larut. Tapi pikirannya tidak tertuju pada keindahan malam—ia memikirkan langkah terakhir dalam strateginya. Gilang muncul di sampingnya dengan wajah serius. “Raditya sudah mulai menggerakkan timnya. Mereka akan menyerang salah satu gudang utama kita dalam waktu kurang dari dua jam.” Johan tetap menatap ke kejauhan. “Bagus.” Gilang mengernyit. “Bagus?” Johan berbalik, menatapnya dengan tatapan tajam. “Mereka berpikir ini adalah serangan mereka. Padahal, ini justru momen yang kita tunggu.” Gilang mengangguk pelan, mulai memahami. “Kau sudah menyiapkan sesuatu di gudang itu?” Johan tersenyum tipis. “Bukan hanya di gudang itu. Seluruh jaringan Raditya akan mulai runtuh begitu dia menekan tombol serangan ini.” — Sementara Itu – Markas Raditya Raditya berdiri di depan peta elektronik besar yang menunjukkan berbagai ti
Malam itu, Adrian Gunawan duduk di ruangannya, merenungkan langkah selanjutnya. Ia sudah tahu bahwa waktu Raditya sebagai kepala keluarga Gunawan semakin menipis. Tapi jika ia ingin menggantikannya, ia harus bermain dengan cermat. Ia tidak bisa begitu saja merebut kekuasaan dari tangan kakaknya tanpa konsekuensi besar. Keluarga Gunawan bukan hanya sekadar keluarga, mereka adalah salah satu dari 12 Keluarga Teratas di negeri ini—sebuah kelompok elit yang memiliki pengaruh besar dalam politik dan ekonomi. Jika ia ingin mengambil alih, ia membutuhkan sekutu yang tepat. Dan Johan bisa menjadi jawabannya. — Sementara Itu – Markas Johan Johan sedang berdiskusi dengan Butra dan Gilang ketika seorang informan datang membawa sebuah pesan. “Adrian Gunawan ingin bertemu denganmu.” Johan menatap informan itu dengan mata tajam. “Dia memberi syarat?” tanyanya. Informan itu menggeleng. “Tidak. Hanya pesan singkat: ‘Kita punya musuh yang sama. Aku ingin mendengar strategimu.’” Johan menyan
Adrian tahu bahwa untuk menyingkirkan Raditya, ia harus bergerak cepat tetapi tetap dalam bayangan. Terlalu banyak langkah yang ceroboh hanya akan membongkar niatnya sebelum waktunya. Malam itu, ia duduk di sebuah ruang pribadi di salah satu restoran eksklusif di kota, bertemu dengan tiga orang yang selama ini menjadi tangan kanan Raditya: Felix, Hartawan, dan Denny. Ketiganya memiliki peran penting dalam bisnis keluarga Gunawan. Felix menangani keuangan, Hartawan bertanggung jawab atas logistik dan distribusi, sementara Denny mengurusi hubungan politik dengan pihak luar. Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menatap mereka satu per satu. “Aku mengundang kalian ke sini bukan untuk berbicara soal bisnis biasa.” Felix mengangkat alis. “Lalu?” Adrian tersenyum tipis. “Aku ingin tahu pendapat kalian soal kepemimpinan Raditya.” Ruangan mendadak sunyi. Hartawan melirik ke arah Felix dan Denny, sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati, “Kenapa kau menanyakan itu?” Adrian tid
Adrian tahu bahwa langkah berikutnya harus dijalankan dengan presisi. Satu kesalahan kecil bisa membuat Raditya curiga, dan jika itu terjadi, maka seluruh rencananya akan runtuh. Malam itu, ia duduk di kantornya dengan laptop terbuka di hadapannya. Di layar, beberapa dokumen penting mengenai proyek-proyek baru keluarga Gunawan terpampang jelas. Beberapa dari proyek ini adalah inisiatif Raditya sendiri—kesepakatan dengan investor asing yang dianggapnya bisa memperluas pengaruh keluarga di luar negeri. Namun, Adrian telah mempelajari semuanya dengan saksama dan menemukan celah yang bisa dimanfaatkan. Langkah pertama: Memanipulasi data Ia menghubungi salah satu orang kepercayaannya di divisi keuangan, seseorang yang diam-diam tidak menyukai cara Raditya menjalankan bisnis. Dengan hati-hati, Adrian menginstruksikan agar laporan keuangan proyek-proyek utama dimodifikasi sedikit saja—cukup untuk menunjukkan bahwa investasi ini tampak lebih menguntungkan daripada yang sebenarnya. Radity
Setelah pertemuan itu, Adrian duduk di ruangannya, menatap laporan yang tersebar di meja. Raditya sudah masuk perangkap, tapi ini baru permulaan. Ia membuka ponselnya dan menghubungi seseorang yang sudah lama menunggu perintah. "Mulai jalankan tahap dua." Di ujung telepon, suara berat pria itu menjawab. "Dimengerti, Tuan Adrian." Malam itu, berita mengenai kerugian keluarga Gunawan mulai beredar secara diam-diam di kalangan bisnis. Beberapa mitra yang sebelumnya loyal mulai mempertanyakan kemampuan kepemimpinan Raditya. ________________________________________ Dua hari kemudian... Felix masuk ke ruangan Raditya dengan wajah penuh ketegangan. "Kita punya masalah." Raditya mendongak dari meja kerjanya, wajahnya masih menunjukkan kelelahan dari tekanan yang terus-menerus menghantamnya sejak perjanjian itu. "Masalah apa lagi?" Felix meletakkan beberapa dokumen di depan Raditya. "Beberapa mitra bisnis kita mulai menarik diri. Mereka mulai ragu dengan kepemimpinanmu, dan beberapa d
Adrian tahu bahwa menggulingkan Raditya tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Segala sesuatu harus berjalan dengan alami, seolah-olah Raditya jatuh karena kesalahannya sendiri, bukan karena ada tangan yang bermain di belakang layar. Dan sekarang, strategi itu mulai membuahkan hasil. ________________________________________ Minggu berikutnya... Raditya mulai merasakan tekanan. Walaupun berita mengenai restrukturisasi telah mengangkat citranya kembali, ada sesuatu yang mengganggunya. Beberapa petinggi keluarga mulai meragukannya. Saat ia mencoba menghubungi beberapa investor lama, respon mereka tidak seantusias biasanya. Mereka terdengar ragu-ragu, bahkan ada yang secara halus meminta jaminan tambahan sebelum melanjutkan kerja sama. Di sisi lain, Felix dan Denny juga tampak semakin waspada terhadap setiap keputusan yang dibuatnya. Raditya merasakan ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak bisa menemukan sumbernya. Yang tidak ia sadari adalah bahwa Adrian telah menanamkan bibit
Pertarungan di dalam klub Abyss meledak seperti badai yang tak terbendung. Suara tembakan bercampur dengan dentingan logam, teriakan, dan amukan para petarung bayaran Falken yang kini satu per satu tumbang di hadapan Evelyn dan Darius. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, perhatian semua orang tertuju pada satu titik—pertarungan antara Johan dan Vladimir. Johan menghindari ayunan brutal dari palu besar Vladimir, lalu membalas dengan tendangan keras ke arah rusuk. Vladimir terguncang tapi tetap berdiri, tertawa gila. “Ayolah! Tunjukkan kau bukan hanya simbol keadilan bodoh!” Namun tepat sebelum Johan menyerang kembali, suara berdesing terdengar dari atas—dan atap klub tiba-tiba runtuh sebagian. Semua orang berhenti. Debu dan reruntuhan jatuh, dan dari lubang yang terbuka… muncul sosok bertudung gelap, dengan lambang Seekor Serigala Bersayap di punggungnya. Evelyn menegang. “Itu… bukan lambang Falken.” Darius segera menarik pistolnya. “Itu... lambang keluarga Nacht.” Johan tak bergemi
Malam menjelang di Zeigrad, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di distrik hitam, tempat hukum bergantung pada siapa yang memegang lebih banyak peluru. Klub malam Abyss berdiri di tengahnya, mewah dan menjulang, menjadi jantung kehidupan gelap kota. Tepat pukul dua dini hari, sebuah mobil lapis baja berhenti beberapa blok dari klub. Johan melangkah keluar dengan Darius dan Evelyn di belakangnya. Pakaian mereka hitam, menyatu dengan malam, tetapi aura Johan tetap terpancar—dingin, tajam, dan penuh amarah yang terpendam. “Menurut laporan, lantai bawah tanah klub itu dipakai Vladimir sebagai ruang pertemuan dan penyiksaan,” ujar Darius sambil menunjukkan denah digital. Evelyn menambahkan, “Keamanan di dalam dijaga oleh unit elit Falken. Petarung jalanan, tentara bayaran, dan mesin tempur modifikasi.” Johan hanya mengangguk. “Bagus. Aku ingin melihat siapa saja yang cukup bodoh untuk melindungi Vladimir.” Mereka berjalan melewati lorong semp
Zeigrad, ibu kota Astvaria, adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Di balik megahnya gedung-gedung pemerintahan dan cahaya lampu istana malam hari, jaringan kekuasaan dan pengaruh bekerja seperti nadi yang tak terlihat. Di sanalah keluarga-keluarga terkuat—Castello, Falken, Nacht, dan Voss—menanamkan cengkeramannya paling dalam. Namun, sejak kabar tentang kejatuhan keluarga Ludger dan Rangga tersebar secara diam-diam, ketegangan mulai terasa. Terutama bagi keluarga Castello dan Falken, yang selama ini merasa kebal terhadap ancaman. Di salah satu ruang bawah tanah kastil Castello, Lady Selene Castello duduk bersandar, membaca laporan intel dari agen rahasia mereka. “Johan sebentar lagi akan tiba di Zeigrad.” Matanya menyipit. "Jadi anak itu akhirnya menantang kami secara langsung?" Di sisinya, salah satu penasihat keluarga menjawab pelan. “Dan dia tidak datang sendirian. Perusahaannya, Arthura Trade & Co, telah mengirimkan tim penyusup ke distrik perdagangan. Mereka diam
Zeigrad. Jantung kekuasaan Astvaria. Kota dengan menara perak menjulang dan lorong-lorong kelam yang penuh konspirasi. Saat malam turun, cahaya lampu neon menciptakan siluet tajam di balik kaca-kaca gedung pemerintahan dan markas keluarga bangsawan. Di salah satu distrik kelas atas yang dijaga ketat, Keluarga Castello sedang mengadakan perjamuan. Para pejabat, bangsawan, dan pengusaha asing terlihat tertawa dan bersulang, seolah tidak ada perubahan apa pun di dunia luar. Tapi di bawah tanah, jauh dari hingar-bingar pesta, bayangan mulai bergerak. Salah satu agen Arthura Trade & Co menyusup ke dalam jaringan intel keluarga Falken. Mereka menyampaikan laporan melalui jalur komunikasi rahasia ke Johan yang masih berada di Riefenstadt. “Johan,” suara Evelyn terdengar dari alat komunikasi. “Kita dapat akses. Salah satu penjaga arsip keluarga Falken bersedia bicara. Tapi kita harus segera kirim tim penyusup ke Zeigrad.” Johan menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Beberapa titi
Api dan baja menghujani laut. Gelombang tinggi berubah menjadi merah saat dua armada raksasa saling bertabrakan di Teluk Treius. Kapal-kapal meledak satu per satu, serpihan kayu dan baja beterbangan di udara. Namun di tengah semua itu, dua sosok berdiri tenang di jantung pertempuran: Johan dan Sebastian Ludger. Arthura Prime menabrak sisi kapal utama Ludger, menciptakan gemuruh keras yang mengguncang seluruh dek. Anak buah Johan menyerbu ke kapal lawan lewat jembatan baja yang diturunkan. Johan sendiri melompat lebih dulu. Tubuhnya mendarat tepat di depan Sebastian. Sebastian menarik pedangnya yang bersinar biru, terbuat dari logam laut dalam. “Akhirnya kau datang juga.” Johan memasang sarung tangan perangnya. “Aku tidak suka membuang waktu.” “Begitu juga aku.” Tanpa aba-aba, duel pun dimulai. Pedang Sebastian berputar cepat, memotong angin dan baja. Tapi Johan membaca gerakannya dengan dingin, menangkis dan melawan balik dengan pukulan-pukulan berat yang membuat gelad
Pagi menyelimuti kota Levantine dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada lagi suara siaran propaganda dari istana keluarga Levant, tak ada lagi rapat rahasia dengan para pejabat bayangan. Kota itu kini dalam kendali penuh Johan dan pasukannya. Di sebuah ruangan taktis di pusat administrasi, Johan berdiri diam menghadap jendela, memperhatikan matahari yang terbit perlahan. Peta besar Astvaria terhampar di belakangnya, merah pada setiap nama keluarga yang telah tumbang. Evelyn melangkah masuk membawa dokumen. “Auren sudah dipindahkan ke sel isolasi. Pasukan keluarga Levant yang tersisa sudah menyerah. Tak ada perlawanan berarti.” Johan menoleh sedikit. “Penjabat tuan muda?” “Selene Levant,” jawab Evelyn. “Sepupu jauh Gregoire. Latar belakangnya diplomatik, tidak ambisius, dan—sejauh ini—tidak terlibat dalam skema politik jahat keluarga Levant.” Darius ikut menimpali, “Kami juga mengkonfirmasi bahwa jaringan luar negeri Gregoire telah runtuh. Koneksi
Dari atas menara observasi Kota Levantine, Johan berdiri bersama Evelyn dan Darius, mengamati hiruk pikuk ibu kota politik itu. Meski kota itu tampak tenang, Johan tahu, di balik ketenangan itu tersembunyi kekuatan yang berbahaya—kekuatan Keluarga Levant yang kini dipimpin oleh Auren. Darius menatap ke arah kantor pusat keluarga. “Kita yakin Auren akan muncul?" Johan mengangguk pelan. “Dia bukan seperti Gregoire. Dia lebih licik. Tapi dia pasti sedang menunggu. Mereka yang terlalu percaya pada bayang-bayang, biasanya lupa kalau bayangan bisa ditelan kegelapan.” Evelyn menambahkan dengan dingin, “Kita perlu pukul pusat pengaruh mereka. Bukan hanya fisik. Kita harus potong akar jaringan politik mereka.” Johan menyeringai kecil. “Sudah aku kirim orang ke tiga negara yang pernah tunduk pada Levant. Di Lusitania, Indrasia, dan Hollstein. Mereka akan buka kembali luka yang ditanam keluarga Levant selama ini.” Sementara itu, di kedalaman markas rahasia keluarga Levant, Auren membac
Malam mulai turun saat Johan tiba di markas intel Arthura yang tersembunyi di sudut kota Drakenfeld. Di sana, Darius telah menunggu bersama Evelyn dan beberapa agen kepercayaannya. "Ini laporan terakhir," ucap Darius sambil menyerahkan dokumen. "Setelah kekalahan keluarga Rangga, hanya tersisa enam keluarga dari 12 Teratas. Tapi ini bukan kemenangan mutlak—mereka yang tersisa jauh lebih kuat… dan lebih berbahaya." Evelyn menyela, "Terutama Keluarga Levant. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, tapi jejak mereka ada di mana-mana—dari parlemen negara tetangga sampai dalam tubuh pemerintahan Astvaria sendiri." Johan membuka berkas itu dan melihat foto lama Gregoire Levant, tuan muda dari keluarga tersebut. Meski pria itu telah tewas di Varestia, bayang-bayang kekuasaan Levant masih terasa. Pasalnya, Gregoire bukan satu-satunya yang berperan. Di balik kematiannya, masih ada para tangan kanan, boneka politik, dan jaringan kekuasaan yang tersebar di berbagai wilayah. "Mereka
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, tetapi Johan tetap berdiri dengan tenang di hadapan Tristan Rangga dan Rendra Rangga. Keduanya memimpin keluarga yang terkenal dengan pasukan bayangan dan pengawal elit Astvaria. Tristan akhirnya bersandar di kursinya, menghela napas perlahan sebelum berbicara. "Johan, kau datang untuk memastikan kesetiaan keluargaku, tapi aku ingin tahu satu hal lebih dulu." Johan mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Tristan menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak tunduk padamu? Jika aku memutuskan bahwa Keluarga Rangga tetap berdiri sendiri, tidak berpihak pada siapa pun?" Johan tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kalian tunduk. Aku hanya meminta kalian memilih. Apakah kalian tetap berpegang pada tugas kalian untuk melindungi negara, ataukah kalian akan menjadi bagian dari mereka yang melupakan kewajibannya?" Rendra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami bukan pengkhianat, Joha