Keesokan harinya, Johan merasa penuh harapan ketika melangkah menuju perusahaan milik Butra Wijaya. Perasaan cemas dan tidak pasti masih menyelimuti dirinya, tetapi jauh di dalam hatinya, dia tahu ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Saat tiba di kantor Butra Wijaya, ia terpesona dengan betapa megahnya gedung tersebut. Bangunan itu menjulang tinggi, mencerminkan kekuatan dan keberhasilan perusahaan yang dipimpin oleh Butra. Johan menarik napas panjang dan menguatkan hatinya. “Aku harus bisa,” gumamnya pada diri sendiri. Setelah melapor ke resepsionis, Johan diminta untuk menunggu beberapa saat. Tidak lama kemudian, seorang pria berpakaian rapi keluar dari ruangannya. Pria itu adalah Butra Wijaya. Butra tersenyum saat melihat Johan. “Ah, ini dia. Johan, kan? Masuklah,” katanya, menunjukkan arah ke ruangannya. Johan mengikuti Butra ke ruang kerja yang luas dan mewah. Butra duduk di belakang meja kerjanya, mempersilakan Johan duduk di kursi yang ada di depannya. “Jadi, Johan... ceritakan lebih banyak tentang dirimu,” ujar Butra sambil membuka berkas di atas mejanya. Johan menatap pria itu sejenak, lalu mulai berbicara. “Saya dulu bekerja di sebuah restoran kecil, Pak. Saya tidak punya banyak pengalaman, tapi saya selalu berusaha bekerja keras dan jujur. Saya ingin membuktikan pada dunia bahwa saya lebih dari sekadar menantu yang diremehkan.” Butra mendengarkan dengan seksama, lalu tersenyum. “Saya suka sikapmu, Johan. Kejujuran dan kerja keras sangat penting dalam bisnis. Aku yakin, dengan tekad seperti itu, kau akan bisa berkembang di sini.” Johan merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Dia tahu, ini adalah kesempatan pertama dalam hidupnya untuk benar-benar membuktikan siapa dirinya. Butra melanjutkan, “Kami sedang mencari orang untuk posisi manajer proyek. Aku rasa kamu cukup cocok untuk itu. Tapi, tentunya, kamu harus melalui ujian pertama.” Johan sedikit terkejut. “Ujian, Pak?” Butra mengangguk. “Ujian tidak selalu berarti hal yang sulit, Johan. Kadang, ujian yang sesungguhnya adalah bagaimana kita menghadapi tantangan kecil di kehidupan sehari-hari.” Butra memandangi Johan sejenak, kemudian melanjutkan, “Untuk ujian pertama, aku ingin kau menangani salah satu proyek kecil. Jika kamu berhasil, posisi itu akan menjadi milikmu. Apa kau siap?” Johan merasa beban berat di pundaknya, tetapi dia tidak bisa menolak. “Saya siap, Pak. Saya akan lakukan sebaik mungkin.” Butra tersenyum puas. “Bagus. Aku akan menghubungimu dalam beberapa hari untuk memberi petunjuk lebih lanjut.” Setelah percakapan itu, Johan meninggalkan kantor Butra dengan perasaan campur aduk. Perasaannya terombang-ambing antara kegembiraan dan kecemasan. Ini adalah kesempatan yang sangat besar, namun ujian yang diberikan oleh Butra membuatnya semakin merasa betapa berat jalan yang harus dia tempuh. Hari-hari berikutnya, Johan mulai bekerja keras untuk mempersiapkan proyek pertama yang akan ia tangani. Dia meneliti setiap detail, berbicara dengan rekan kerja, dan mencoba memahami setiap aspek yang ada. Namun, semakin ia terjun ke dalam pekerjaan itu, semakin banyak tantangan yang muncul. Mulai dari komunikasi dengan tim yang berbeda, hingga masalah teknis yang tidak terduga. Johan merasa terbebani, tapi dia tidak bisa mundur. Setiap malam, Johan pulang dengan rasa lelah yang luar biasa, namun ia tidak menyerah. Ia tahu, ini adalah langkah pertama untuk membuktikan dirinya kepada keluarga Hartono, dan lebih penting lagi, untuk membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa dia bisa lebih dari sekadar bayang-bayang keluarga besar yang meremehkannya. Hari itu datang juga. Johan merasa cemas dan tidak sabar, namun ada sesuatu yang membara dalam dirinya. Proyek kecil yang diberikan oleh Butra Wijaya kini ada di tangannya. Ini adalah ujian pertama untuknya—sebuah ujian yang bisa membuka jalan menuju kebangkitannya atau justru menghancurkannya. Setelah beberapa hari bekerja keras untuk mempersiapkan proyek tersebut, Johan duduk di ruang kerjanya, mengatur strategi dan merencanakan setiap langkah dengan hati-hati. Di luar sana, dunia bisnis menuntutnya untuk berpikir cepat dan bertindak lebih cepat lagi. Namun, ketika hari ujian itu tiba, segala sesuatu tidak berjalan sesuai rencana. Masalah pertama muncul saat dia harus melakukan presentasi kepada tim proyek. Komputer di ruang rapat tiba-tiba mati, membuat suasana menjadi tegang. Beberapa orang di ruang itu mulai saling berbisik, memperlihatkan ekspresi tidak sabar. Johan berusaha tetap tenang. “Tolong beri saya beberapa menit untuk memperbaiki ini,” ujarnya, berusaha mengendalikan situasi. Dia segera mencari solusi dengan bantuan seorang teknisi yang kebetulan berada di sana. Namun, waktu terus berjalan, dan ketegangan semakin terasa. Johan bisa merasakan mata-mata yang penuh keraguan dari timnya. Butra Wijaya, yang juga hadir dalam rapat tersebut, menatap Johan dari ujung meja. Johan bisa merasakan tatapan tajam itu, tetapi dia tidak ingin terlihat lemah. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, teknisi akhirnya berhasil memperbaiki komputer, dan presentasi pun akhirnya dimulai. Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Selama presentasi, ada beberapa pertanyaan yang sulit dijawab Johan dengan memadai. Setiap kali tim mengajukan pertanyaan teknis yang mendalam, Johan merasa terpojok. Dia berusaha menjawab sebaik mungkin, tetapi rasa gugup mulai menguasai dirinya. Di tengah ketegangan itu, Butra Wijaya mengangkat tangannya dan menghentikan presentasi sementara. Semua orang terdiam. “Kamu sudah berusaha dengan keras, Johan,” kata Butra dengan suara yang dalam dan tenang. “Tapi, ujian ini belum selesai.” Johan menundukkan kepala, merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. “Saya minta maaf, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi.” Butra mengangguk. “Ujian ini bukan hanya tentang bagaimana kamu menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna. Ini tentang bagaimana kamu menghadapi kesulitan dan mengatasinya.” Kemudian Butra memanggil beberapa anggota tim yang lebih berpengalaman untuk memberikan masukan dan membantu Johan memahami lebih dalam tentang proyek tersebut. Butra tidak hanya memberikan kritik, tetapi juga memberikan arahan dan pelajaran berharga tentang dunia bisnis yang sebenarnya. Setelah beberapa jam, rapat itu selesai. Meski merasa lelah dan kecewa dengan dirinya sendiri, Johan tidak bisa mengabaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada Butra atas kesempatan yang diberikan. Ketika dia keluar dari ruang rapat, Butra menghampirinya. “Johan, ini baru awal. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kamu sudah menunjukkan semangat yang luar biasa untuk belajar. Itu lebih penting daripada kesalahan yang terjadi.” Johan menatap Butra dengan mata yang penuh tekad. “Saya tidak akan menyerah, Pak. Saya akan terus belajar dan berusaha lebih keras.” Butra tersenyum. “Itulah sikap yang aku cari. Lanjutkan, Johan. Kesempatan selalu datang bagi mereka yang tidak takut gagal.” Johan berjalan keluar dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, meskipun ujian pertama ini tidak berjalan sempurna, itu bukan akhir dari segalanya. Ini adalah langkah pertama dalam perjalanan panjangnya untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah orang yang layak diremehkan. Jika ada satu hal yang dia pelajari hari ini, itu adalah bahwa kesalahan bukanlah kegagalan, melainkan kesempatan untuk belajar dan tumbuh.Johan duduk termenung di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang harus dia selesaikan untuk proyek pertamanya. Meski perasaan kecewa masih mengganggunya akibat kegagalan dalam presentasi beberapa hari yang lalu, dia tidak menyerah. Ujian yang dia hadapi bersama Butra Wijaya menjadi titik balik yang membangkitkan tekadnya. Selama beberapa hari terakhir, Johan terus berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Setiap masalah yang datang, ia hadapi dengan kepala tegak. Setiap kesulitan yang ia temui, ia pecahkan dengan cara yang berbeda. Meski hasilnya belum sempurna, dia merasa bahwa dirinya semakin berkembang. Namun, suasana di kantor tidak selalu mendukung. Beberapa kolega Butra mulai mengamati kehadiran Johan dengan pandangan meremehkan. Mereka berbisik di sudut-sudut ruangan, memandangnya dengan tatapan sinis. Sebagai menantu keluarga Hartono yang tidak dihargai, mereka melihatnya hanya sebagai orang yang tidak berkompeten, hanya beruntung bisa bekerja di perusahaan
Setelah melalui serangkaian tantangan yang mengguncang, Johan mulai merasa bahwa dia benar-benar berada di jalur yang benar. Proyek besar yang dia kelola berhasil diselesaikan dengan hasil yang memuaskan, meskipun ada beberapa hambatan di sepanjang jalan. Namun, dia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya. Kepercayaan Butra terhadap dirinya kini semakin kuat, dan itu membuka banyak kesempatan baru. Pagi itu, Johan memasuki kantor dengan langkah yang lebih mantap. Namun, saat dia membuka pintu ruang kerjanya, dia terkejut. Butra Wijaya sudah menunggunya di sana, tampak lebih serius daripada biasanya. "Johan," Butra memulai, suaranya penuh arti. "Kamu telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam proyek terakhir. Aku percaya kamu siap untuk tantangan yang lebih besar." Johan menatap Butra dengan rasa penasaran. "Apa yang Anda maksud, Pak?" Butra tersenyum tipis. "Aku ingin kamu menjadi bagian dari tim manajemen senior. Aku ingin kamu mengelola lebih banyak proyek besar
Setelah berhasil melewati tantangan besar dengan presentasi yang sukses, Johan merasa bahwa dia semakin dekat dengan tujuannya. Namun, di balik rasa lega yang dia rasakan, dia tahu bahwa ini hanyalah langkah kecil dari perjalanan panjang yang harus dilalui. Dunia bisnis yang dia masuki bukanlah dunia yang mudah. Setiap kemenangan membawa tantangan baru, dan semakin tinggi dia melangkah, semakin besar tekanan yang datang. Hari itu, setelah minggu yang penuh dengan pekerjaan yang menumpuk, Johan menerima undangan dari Butra Wijaya untuk bertemu di luar kantor. Dia merasa ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan. “Johan, duduklah,” kata Butra dengan nada serius saat mereka bertemu di sebuah restoran mewah. “Aku sudah memperhatikan perkembanganmu sejak kamu bergabung dengan perusahaan ini. Kamu sudah menunjukkan banyak potensi, dan aku ingin memberikan kesempatan lebih besar lagi. Tapi aku harus memberitahumu satu hal: dunia ini tidak hanya tentang kemampuan, tetapi juga tentang ba
Keesokan harinya, Johan merasa seperti ada beban baru yang mengganjal di dadanya. Setelah berbicara dengan Nadya dan mendapat dukungan penuh darinya, dia merasa sedikit lebih ringan, namun pekerjaan dan tantangan yang menanti di luar sana tetap tidak bisa diabaikan. Kontrak besar yang sedang diperebutkan masih berada di ujung mata, dan setiap keputusan yang dia buat akan mempengaruhi nasib karier dan masa depan perusahaan tempat dia bekerja. Hari itu, Johan memutuskan untuk menemui Butra Wijaya lagi. Meskipun dia telah mendapatkan beberapa petunjuk tentang dunia politik perusahaan dari pertemuan mereka sebelumnya, dia merasa masih banyak yang perlu dia pelajari. Butra, sebagai mentor yang sudah berpengalaman, adalah orang yang tepat untuk memberinya wawasan lebih dalam. Di ruang kerja Butra, suasana terasa lebih serius daripada biasanya. Butra duduk di mejanya dengan wajah serius, sementara Johan duduk di hadapannya, menunggu untuk diberikan arahan lebih lanjut. “Johan, aku ingin ka
Setelah beberapa minggu berlalu, Johan semakin merasakan tekanan yang datang bersama dengan tanggung jawab yang semakin besar. Proyek besar yang sedang dia kerjakan bersama Butra Wijaya menjadi ujian terberat dalam kariernya. Tidak hanya masalah teknis yang harus diselesaikan, tetapi juga politik perusahaan dan hubungan antar rekan kerja yang semakin rumit. Johan menyadari bahwa untuk berhasil, dia harus bermain dengan hati-hati, tetapi juga tidak bisa terlalu mengorbankan prinsipnya.Hari itu, Butra mengundang Johan untuk berbicara di kantornya. “Johan, aku ingin berbicara denganmu tentang kontrak besar yang akan kita ambil. Kita perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin. Pesaing kita bukan sembarangan. Mereka memiliki jaringan yang kuat, dan mereka pasti akan menggunakan segala cara untuk memenangkan proyek ini.”Johan mendengarkan dengan seksama, menyadari bahwa ini adalah peluang terbesar yang pernah datang dalam hidupnya. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Johan, merasa cema
Keesokan harinya, Johan tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Udara pagi yang sejuk sedikit menenangkan pikirannya, tetapi tekanan besar masih membebani hatinya. Kontrak besar yang sedang ia perjuangkan bersama Butra Wijaya akan segera mencapai titik krusial. Semua mata tertuju padanya, baik dari pihak perusahaan maupun pesaing-pesaing yang ingin menjatuhkannya.Saat Johan masuk ke ruang rapat, dia melihat beberapa eksekutif senior sudah duduk dengan ekspresi serius. Butra Wijaya menatapnya sekilas sebelum memulai pertemuan. “Johan, hari ini kita akan menghadapi presentasi terakhir di depan pemegang keputusan utama. Ini momen penentu,” kata Butra dengan nada tegas.Johan mengangguk mantap. “Saya sudah menyiapkan semuanya, Pak.”Namun, sebelum presentasi dimulai, seorang pria dengan jas mahal memasuki ruangan. Itu adalah Adrian, seorang pengusaha licik yang dikenal memiliki cara-cara kotor dalam mendapatkan proyek. Dia tersenyum tipis ke arah Johan, lalu duduk dengan santai.“Butra,
Johan dan Nadya berjalan tanpa tujuan setelah meninggalkan rumah keluarga Hartono. Hawa malam terasa dingin, namun tidak lebih menusuk daripada tatapan penuh penghinaan yang mereka terima tadi. “Apa yang akan kita lakukan sekarang, Johan?” tanya Nadya dengan suara lirih. Johan menggenggam tangan istrinya erat. “Kita mulai dari awal. Aku akan membuktikan bahwa kita tidak butuh mereka untuk bertahan.” Mereka akhirnya menemukan sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Tempat itu jauh dari kemewahan rumah keluarga Hartono, tetapi setidaknya memberi mereka tempat untuk berlindung sementara. Kesempatan Baru Keesokan harinya, Johan kembali menemui Butra Wijaya. Setelah insiden dengan keluarga Hartono, dia sadar bahwa satu-satunya jalan untuk maju adalah dengan membangun kariernya sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Saat Johan tiba di kantor Butra, pria paruh baya itu sudah menunggunya dengan ekspresi serius. “Kudengar kau akhirnya meninggalkan rumah keluarga Hartono,” kata Butra
Johan bangun dengan tubuh yang masih terasa sakit akibat serangan semalam. Namun, dia tidak punya waktu untuk mengeluh. Ini bukan pertama kalinya dia diperlakukan seperti ini, dan dia yakin bukan yang terakhir. Nadya duduk di sampingnya, mengompres wajahnya yang bengkak dengan kain basah. “Johan, siapa yang melakukan ini padamu?” tanyanya khawatir. Johan menggenggam tangan istrinya. “Seseorang ingin memperingatkanku, tapi aku tidak akan mundur.” Kembali ke Kantor Meski tubuhnya masih terasa nyeri, Johan tetap datang ke kantor. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan orang-orang yang berharap dia gagal. Saat dia masuk, Dika menatapnya dengan senyum mengejek. “Kau terlihat berantakan, Johan. Jangan-jangan, ada yang tidak senang denganmu?” Johan tidak menggubrisnya. Dia langsung menuju ruangannya dan mulai bekerja. Tak lama kemudian, Butra Wijaya memanggilnya. “Johan, proyek ekspansi kita menghadapi masalah. Salah satu mitra utama tiba-tiba menarik diri.” Johan mengernyit. “Apaka
Kubah energi di tengah kota Granz terus berkedip, menciptakan riak gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah inti kota. Kilatan cahaya biru yang menguar dari struktur itu menunjukkan bahwa ini bukan sekadar penghalang biasa. Evelyn mengamati dari kejauhan dengan ekspresi tegang. "Kau mengenali ini, Darius?" Darius mengangguk, rahangnya mengeras. "Ini bukan sembarang teknologi pertahanan. Ini adalah Kubah Omega—sistem perlindungan tingkat tinggi yang dikembangkan Wilhelm. Biasanya hanya digunakan untuk melindungi fasilitas militer paling penting atau… sesuatu yang sangat berbahaya." Johan masih berdiri di dekat Frederick Wilhelm yang terbaring lemah di tanah. Matanya menatap lurus ke arah kota, menilai situasi dengan tenang. Frederick tertawa kecil meski kesakitan. "Apa kau tahu, Johan… dari semua keluarga yang ingin menyingkirkanmu, Wilhelm-lah yang membencimu sejak awal." Johan menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap dingin. "Dan kenapa begitu?" Frederick menyeringai, dar
BZZZT! Dengungan listrik memenuhi udara saat robot-robot tempur Wilhelm mulai bergerak. Mata merah mereka bersinar ganas, menargetkan Johan dan pasukannya dengan senjata otomatis yang terpasang di lengan mereka. Klik! Klik! Klik! Laras senjata mereka berputar cepat, mengeluarkan suara ancaman. Dor! Dor! Dor! Dalam sekejap, hujan peluru ditembakkan dari berbagai arah. Peluru-peluru itu meluncur dengan kecepatan tinggi, menerjang ke arah Johan dan pasukannya. Evelyn dan Darius langsung berlindung di balik reruntuhan dermaga. Anak buah Johan bergerak cepat mencari tempat berlindung, sementara beberapa orang yang kurang beruntung terkena tembakan dan tumbang di tempat. Namun, di tengah hujan peluru itu, Johan tidak bergerak sedikit pun. Ia berdiri tegap, matanya menatap lurus ke depan. Frederick Wilhelm menyeringai. "Kali ini, kau tidak bisa sekadar mengandalkan kecepatanmu, Johan." Tapi senyuman Frederick langsung pudar ketika melihat sesuatu yang aneh. Swish! Swish! Johan ha
Kapal patroli Wilhelm yang tersisa berusaha mundur dengan kecepatan penuh, tetapi Johan tidak memberi mereka kesempatan. Darius mengendalikan kapal dengan lincah, menyalip satu kapal musuh yang berusaha kabur. "Kalau mereka berhasil melapor ke Granz, kita akan berhadapan dengan lebih banyak pasukan!" Evelyn tidak membuang waktu. Dengan sniper di tangannya, ia mengamati kapal musuh dan memilih target dengan cepat. Dor! Peluru menembus kepala kapten kapal musuh, menyebabkan kapal itu kehilangan kendali dan meluncur ke arah bebatuan di tepi laut. Brak! Kapal itu hancur, sementara para kru berteriak panik sebelum terjun ke laut. Johan, yang masih berada di atas kapal patroli pertama yang telah ia kuasai, mengangkat pedangnya dan menunjuk ke kapal terakhir yang masih tersisa. "Habisi mereka," ujarnya dingin. Anak buahnya yang berada di kapal mereka sendiri segera mengangkat senjata dan menembak tanpa ampun. —BOOM! Ledakan terjadi di kapal terakhir Wilhelm, api membumbung tinggi. Da
Angin dingin menerpa wajah Johan saat ia berdiri di dek kapal, menatap cakrawala yang perlahan menampakkan kota Granz, tempat Keluarga Wilhelm berkuasa. Kota itu besar, dengan pelabuhan yang selalu sibuk, menandakan perannya sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar di Astvaria. Namun, di balik gemerlapnya, Johan tahu ada kegelapan yang bersembunyi. Darius mendekat dengan ekspresi serius. "Kita hampir sampai. Informasi dari tim bayangan mengatakan bahwa Wilhelm telah memperketat keamanan sejak kita mengambil alih Varestia. Mereka pasti tahu kita datang." Evelyn menyesap tehnya dengan tenang. "Mereka bisa memperketat keamanan sesuka mereka. Pada akhirnya, itu hanya akan menunda yang tak terhindarkan." Johan hanya tersenyum tipis. "Mereka boleh bersiap. Tapi mereka tidak akan bisa menghindari kehancuran jika mereka telah menyimpang terlalu jauh." Di sisi lain kota, di dalam sebuah vila mewah, Erich Wilhelm, kepala Keluarga Wilhelm, menatap laporan dari anak buahnya dengan ekspre
Langit malam di Varestia yang seharusnya tenang mendadak diwarnai letusan senjata dan suara bentrokan senjata tajam. Johan dan timnya baru saja bersiap meninggalkan kota ketika serangan mendadak terjadi. Dari atap-atap bangunan dan gang-gang sempit, sosok-sosok berpakaian hitam muncul, mengepung mereka dalam diam. Evelyn, yang berjalan di samping Johan, langsung merasakan keanehan. "Kita disergap," bisiknya tajam. Johan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pasukannya untuk tetap tenang. Matanya menyapu ke sekeliling, memperhatikan musuh yang muncul satu per satu dari kegelapan. Kemudian, langkah-langkah berat terdengar mendekat. Dari bayangan, seorang pria berambut panjang keperakan dengan jubah hitam mewah berjalan dengan angkuh. Di belakangnya, puluhan prajurit berpakaian serupa berbaris rapi. Pria itu menatap Johan dengan ekspresi mencemooh. "Johan… sudah lama sekali," katanya dengan nada rendah yang sarat kebencian. Johan mengenali suara itu seketika. Matanya menyipit
Malam telah larut ketika kapal Johan merapat di sebuah dermaga rahasia di luar kota Varestia. Sejumlah pria bersenjata sudah menunggu di sana—mereka adalah anak buah Johan yang telah lebih dulu menyusup ke dalam jaringan bisnis Keluarga Moreau. Seorang pria berpakaian gelap mendekat dan memberi hormat kepada Johan. “Tuan, kami sudah menyiapkan semuanya. Moreau tidak punya tempat untuk lari.” Johan mengangguk pelan. “Bagaimana dengan aset mereka?” Pria itu tersenyum tipis. “Sudah berada di bawah kendali kita. Senjata, jalur distribusi, dan sebagian besar pasukan bayaran mereka sekarang bekerja untuk kita atau telah dimusnahkan.” Darius bersiul kagum. “Kau benar-benar tidak memberi mereka kesempatan bernapas.” Johan menatap kota yang mulai sunyi dari atas bukit kecil dekat pelabuhan. “Moreau telah menghancurkan terlalu banyak orang. Mereka memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri. Kita bukan hanya mengambil alih aset mereka, kita membersihkan sampah yang men
Malam di pantai Varestia semakin kelam. Ombak menghantam batuan di sepanjang pesisir, seakan menggema ketegangan yang melingkupi medan pertempuran. Di kejauhan, Johan dan Lucien masih bertarung sengit, kilatan senjata mereka beradu di bawah cahaya bulan. Sementara itu, Evelyn dan Darius berdiri di dekat kapal kecil, napas mereka masih memburu setelah pertempuran sebelumnya. Tubuh Gregoire tergeletak tak bernyawa di pasir, darahnya terserap oleh tanah yang dingin. Peluru yang menembus dadanya telah mengakhiri permainan politiknya lebih cepat dari yang diharapkan. Evelyn menatap tubuh Gregoire dengan tatapan kosong, tetapi hanya sebentar. Kini, fokusnya tertuju pada Johan yang masih bertarung dengan Lucien, pemimpin pasukan elite musuh yang terkenal kejam dan tak kenal ampun. Lucien melompat mundur, mengangkat pedangnya dengan kedua tangan. “Johan, kau selalu jadi batu sandungan. Tapi malam ini, semuanya akan berakhir!” Johan hanya tersenyum kecil. “Kau sudah mengatakannya berkali-k
Gregoire menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. Matanya menatap laut yang bergelombang, seakan mencari ketenangan sebelum mengungkap rahasia besar yang ia simpan. "Kesepakatan Akhir... bukan hanya tentang perdagangan atau aliansi. Ini tentang mengubah keseimbangan dunia." Evelyn menyipitkan mata. "Jelaskan." Gregoire menatapnya sejenak sebelum melanjutkan. "Keluarga Moreau dan sekutu mereka tidak hanya ingin memperkuat posisi mereka di dunia perdagangan dan politik. Mereka ingin menggulingkan enam keluarga kuno dan mengambil alih seluruh tatanan lama." Johan yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Mereka sudah terlalu berani." Gregoire tersenyum sinis. "Mereka tidak sekadar berani. Mereka sudah siap." Darius melangkah maju. "Apa maksudmu?" Gregoire menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan nada berat, "Mereka telah mengumpulkan pasukan bayangan selama bertahun-tahun. Orang-orang yang bahkan keluarga kuno pun tidak sadari keberadaannya. Pembunuh, tenta
Malam masih pekat ketika Johan berdiri di atas bukit, mengamati pergerakan pasukan lawan di bawahnya. Angin dingin bertiup kencang, membuat jubahnya berkibar. Dari kejauhan, Evelyn dan Darius sudah berhasil membawa Gregoire menuju pantai. Namun, Johan masih punya urusan yang harus diselesaikan. Di bawah sana, sisa pasukan musuh, termasuk para petarung terbaik dari Keluarga Moreau, bersiap mengejarnya. Beberapa dari mereka adalah veteran pertempuran, tetapi wajah mereka menunjukkan sedikit ketakutan. Mereka tahu siapa yang mereka hadapi. Johan tersenyum tipis. "Sudah lama sejak aku terakhir kali benar-benar bertarung... Mari kita lihat apakah kalian bisa bertahan lebih dari sepuluh menit." Seorang pria besar bertubuh kekar maju dari barisan musuh. Armor hitamnya berkilat di bawah cahaya bulan. Gerard Moreau, salah satu petarung terkuat di keluarganya, menatap Johan dengan ekspresi serius. "Johan... Kau mungkin kuat, tapi kau sendirian. Kami ada puluhan di sini. Serahkan dirimu, da