Serena Agatha, wanita yang sakit hati atas perlakuan mantan suami dan mantan mertuanya membuat wanita itu gelap mata. Dia membalas perbuatan keluarga angkuh dengan cara licik. akankah Sera akan terus larut dalam dendam atau justru memilih berhenti kala seorang pria mencintainya dengan tulus meski status wanita itu sendiri janda anak dua?
Lihat lebih banyakSera duduk di ruang tamu yang sepi, di rumah petakan kecil tempatnya tinggal setelah Arga meninggalkannya. Matahari bersinar terang di luar, namun ruangan itu terasa dingin dan sunyi baginya. Sudah beberapa bulan sejak Arga meninggalkannya, menyisakan Sera dengan anak-anak mereka dan tekanan hidup yang semakin berat. Kehidupan yang dulunya dipenuhi cinta dan kenyamanan, kini terasa begitu jauh.
Tapi Sera bukanlah tipe orang yang menyerah begitu saja. Meski hidupnya kini jauh dari kemewahan, dia memutuskan untuk bangkit dari keterpurukan itu. Pertama-tama, dia mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dengan modal keberanian dan tekad yang kuat, Sera melamar pekerjaan di sebuah kafe di sudut jalan. Meski gaji yang didapat tidak seberapa, dia bekerja keras dan penuh semangat setiap hari. Di sela-sela kesibukannya bekerja, Sera memanfaatkan waktu luangnya untuk memperdalam keterampilan. Dia mengikuti kursus online gratis tentang manajemen keuangan dan kewirausahaan, bermaksud untuk membuka usaha kecil sendiri suatu hari nanti. Meskipun kehidupannya sederhana, Sera tetap berusaha menjaga semangatnya agar tidak padam. Namun, di balik tekadnya untuk bangkit, dendam terhadap Arga dan keluarganya tetap menghantui pikirannya. Mereka, dengan angkuhnya, pernah merendahkan dan menceraikannya tanpa belas kasihan. Rasa itu terus membara di dalam dirinya, mendorongnya untuk membalas dendam dengan cara apa pun yang dia bisa. Suatu hari, ketika Sera sedang bekerja di kafe, dia melihat Arga dan keluarganya lewat di depan kafe itu. Dengan hati yang berdegup kencang, dia menyembunyikan diri di balik meja, tidak mau mereka melihatnya dalam keadaan seperti ini. Tetapi melihat mereka itu menambah bara dendam di dalam dirinya. Dia merasa marah dan tersinggung oleh sikap mereka yang seolah-olah tidak peduli padanya. Setelah hari itu, Sera semakin bertekad untuk membalas dendam. Dia mulai mengumpulkan bukti-bukti tentang pengkhianatan Arga dan perlakuan tidak adil keluarganya terhadapnya. Dia meminta bantuan teman-temannya yang ada di lingkungan yang sama dengan Arga, mencari tahu kelemahan dan kelemahan mereka. Ketika dia merasa sudah cukup kuat, Sera mengambil langkah berani dengan menghadap Arga di pengadilan. Dia menggunakan bukti-bukti yang dikumpulkannya untuk mengajukan gugatan cerai yang mengharuskan Arga memberinya nafkah yang layak untuk dirinya dan anak-anak mereka. Melalui proses yang panjang dan melelahkan, Sera akhirnya memperoleh keadilan yang selama ini dia cari. Meskipun prosesnya tidak mudah, Sera bangkit dari keterpurukan dan berhasil membalas dendam pada Arga dan keluarganya. Dengan keberanian dan tekadnya, dia membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita bersedia berjuang untuk itu. Dan meski hidupnya penuh dengan rintangan, Sera tetap melangkah maju dengan penuh keyakinan, siap menghadapi apapun yang akan datang. Setelah berhasil memperoleh keadilan di pengadilan, Sera merasa lega dan sedikit lega. Dia duduk di teras rumahnya yang sederhana, menikmati secangkir teh hangat di tangan. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, memberinya kesegaran setelah perjuangan panjang yang baru saja dia lalui. Sementara itu, anak-anaknya bermain riang di halaman rumah, tertawa dan berteriak dengan gembira. Melihat mereka bahagia, hati Sera terasa hangat. Meskipun perjalanan mereka masih panjang, dia merasa yakin bahwa mereka akan baik-baik saja. Di balik kelegaan dan kebahagiaan itu, masih ada rasa hampa di dalam dirinya. Rasa sakit akibat pengkhianatan Arga dan keluarganya belum sepenuhnya hilang, meski dia berhasil memperoleh keadilan. Namun, Sera memilih untuk fokus pada masa depan yang lebih baik. Dia memutuskan untuk tidak lagi membiarkan dendam mempengaruhi hidupnya, dan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal yang lebih positif dan bermanfaat bagi dirinya dan anak-anaknya. Dengan tekad baru itu, Sera memutuskan untuk kembali mengejar impian dan cita-citanya yang dulu sempat terlupakan. Dia ingin membuka usaha kecil sendiri, seperti yang selalu dia impikan. Mulai dari sekarang, dia akan bekerja keras untuk mewujudkannya, demi masa depan yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya. Dengan langkah yang mantap, Sera bangkit dari kursi, membuang sisa teh di cangkirnya, dan memasuki rumah dengan senyum di wajahnya. Dia yakin bahwa apa pun yang terjadi, dia akan selalu mampu menghadapinya dengan keberanian dan keteguhan hati yang dimilikinya. Dan di balik senyumnya yang hangat, tersembunyi kekuatan yang tak terbatas, siap membawa mereka menuju masa depan yang cerah dan penuh harapan. Sera berjalan menuju toko kelontong terdekat, menikmati sinar matahari yang hangat yang menyentuh wajahnya. Ketika dia tiba di toko, dia melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depan rak bumbu. "Hai, Bu Rita! Bagaimana kabarmu hari ini?"tanya Sera "Hai, Sera! Kabar baik, terima kasih. Bagaimana denganmu?"jawab Bur Rita. "Alhamdulillah, baik juga. Apakah kamu punya paprika segar hari ini?"tanya Sera lagi. "Maaf, Sera. Kami kehabisan stok paprika. Tapi saya bisa memesan untukmu jika kamu mau."jawab bu Rita. "Ah, tidak apa-apa. Terima kasih sudah menawarkan. Mungkin nanti saja. Oh ya, berapa harga beras kiloan hari ini?" "Hmm, harga beras sedikit naik, Sera. Sekitar lima ribu per kilo."jawab Bu Rita "Baiklah, saya ambil dua kilo. Terima kasih, Bu Rita."sahutnya dengan ramah. "Sama-sama, Sera. Semoga harimu menyenangkan!" Sera membayar berasnya dan meninggalkan toko dengan senyum. Meskipun tidak mendapatkan paprika yang diinginkan, dia merasa puas dengan transaksinya. Sera melanjutkan langkahnya pulang, menggendong dua kilo beras di tangannya. Saat mendekati rumah, dia melihat anak-anaknya masih asyik bermain di halaman. Tawa mereka terdengar ceria, mengusir penat yang dirasakannya. Sera: "Anak-anak, ayo masuk sebentar! Kita siapkan makan siang!" "Iya, Bu!"jawab serempak. Mereka berlari masuk, mengikuti Sera yang langsung menuju dapur. Dia mulai memasak nasi dan menyiapkan bahan-bahan untuk sayur sederhana. Anak-anak membantu dengan semangat, mengambil piring dan sendok, tertawa dan bercanda di sekitar meja makan. "Bagaimana sekolah tadi? Ada cerita menarik?"tanya Sera. "Bu, tadi di sekolah aku dapat bintang emas karena bisa menyelesaikan tugas matematika!"jawab Alana pada sang ibu. "Wah, hebat sekali! Ibu bangga padamu, Alana."jawab Sera. "Aku juga, Bu. Tadi aku dapat pujian dari Bu Guru karena rajin membaca."sahut Alina. "Luar biasa, kalian berdua memang anak-anak yang pintar dan rajin."ungkap Sera yang merasa bersyukur. Setelah makanan siap, mereka duduk bersama di meja makan. Sera menyajikan nasi hangat dan sayur bening yang sederhana namun lezat. Suasana hangat dan penuh cinta memenuhi ruangan saat mereka makan bersama, bercanda, dan berbagi cerita. Sera merasakan kebahagiaan yang tulus di hatinya. Meskipun hidup mereka sederhana dan penuh tantangan, momen-momen seperti ini membuat semua perjuangannya terasa berarti. Dia yakin bahwa dengan kasih sayang dan tekad yang kuat, dia dan anak-anaknya akan selalu mampu menghadapi apa pun yang datang.Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha
Beberapa minggu berlalu, dan Daffi semakin terjerat dalam kebohongan yang dibangun oleh Lily. Dia mulai menganggap Lily sebagai sosok penting dalam hidupnya, meskipun bayang-bayang Giska terus menghantuinya. Suatu sore, Daffi dan Lily duduk di taman belakang mansion, menikmati cuaca yang cerah. “Daffi, aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Lily dengan nada serius. “Aku merasa kita harus mengambil langkah selanjutnya dalam hubungan ini.” Daffi menatap Lily dengan bingung. “Langkah selanjutnya? Seperti apa?” “Pernikahan,” jawab Lily, menatap Daffi dalam-dalam. “Aku tahu kamu mengalami banyak hal, dan kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana dulu, tanpa pesta besar-besaran. Hanya kita berdua.” Daffi terdiam sejenak, berusaha memproses kata-kata Lily. “Pernikahan? Tapi, aku tidak yakin. Semua ini terasa begitu cepat. Aku masih berusaha mengingat masa laluku.” Lily mendekat, mengambil tangan Daffi dengan lembut. “Sayang, aku mengerti. Namun, kita harus melanjutk
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen