Di sisi lain kota, Arga duduk di ruang kerjanya yang luas, namun kali ini suasananya tidak terasa nyaman baginya. Dia merasa gelisah sejak pertemuan tadi malam. Pikirannya terus kembali ke momen saat dia melihat Sera bersama Galendra, pria yang tampaknya begitu perhatian dan mendukung Sera. Hal itu membuatnya merasa kesal dan tidak nyaman.
Arga berjalan mondar-mandir di ruangan, mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi wajah Sera yang tersenyum bahagia terus muncul di benaknya. "Kenapa Sera harus bersama pria itu?" gumamnya dengan nada penuh frustrasi. Anissa, yang sedang berada di ruangan lain, merasakan ketegangan di udara. Dia mencoba untuk tetap tenang, namun tidak bisa menahan rasa penasaran. "Ada apa, Arga? Kamu kelihatan tidak tenang sejak tadi malam." Arga berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Tidak ada apa-apa, Anissa. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya singkat, meskipun jelas ada sesuatu yang mengganggunya. Anissa menghela napas, merasa bahwa Arga tidak sepenuhnya jujur. "Kalau kamu bilang begitu. Tapi aku bisa merasakan ada yang tidak beres. Kamu harus belajar untuk lebih jujur, terutama dengan dirimu sendiri." Arga tidak menanggapi, hanya kembali duduk di kursinya dengan ekspresi kesal. Dia merasa marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa mengabaikan perasaan itu. Kenyataan bahwa Sera telah menemukan kebahagiaan dengan pria lain, setelah dia meremehkannya begitu lama, membuatnya merasa terluka dan terhina. "Bagaimana bisa dia begitu cepat move on?" pikir Arga dengan amarah yang tertahan. Dia mencoba mengingat saat-saat ketika dia dan Sera masih bersama, tapi kenangan itu sekarang terasa pahit. Dia tahu bahwa dia yang bersalah, dia yang menghancurkan kepercayaan dan kebahagiaan Sera. Arga mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, membuka laptop dan melihat dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya. Tapi pikirannya terus kembali pada malam itu, pada senyum Sera dan tatapan penuh perhatian Galendra. Dia menghela napas panjang, merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang tidak bisa dia kembalikan. "Mungkin aku yang salah," bisiknya pada dirinya sendiri. "Mungkin aku yang kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Anissa, yang mendengar bisikan itu, mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Arga. "Arga, kadang kita harus menerima kenyataan dan belajar dari kesalahan kita. Mungkin ini saatnya kamu melangkah maju dan menemukan kebahagiaanmu sendiri." Arga menatap Anissa, merasa sedikit tenang oleh kehadirannya. "Kamu benar, Anissa. Aku harus belajar menerima kenyataan. Tapi itu tidak mudah." Anissa tersenyum lembut. "Tidak ada yang bilang itu mudah, Arga. Tapi kamu bisa mulai dengan menerima dirimu sendiri dan apa yang telah terjadi." Dengan perasaan campur aduk antara kesal dan introspeksi, Arga mencoba untuk memulai hari dengan sikap yang lebih positif. Dia tahu bahwa perjalanan untuk melupakan masa lalu dan menemukan kebahagiaan baru tidak akan mudah, tapi dia harus mencoba. Dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan kedamaian dalam hatinya. Di ruang kerja Arga yang dipenuhi dengan berkas-berkas dan dokumen, ketegangan masih terasa di udara. Arga duduk di kursinya, memandang kosong ke layar laptop. Pikirannya masih terjebak pada momen ketika dia melihat Sera bersama Galendra. Tidak jauh dari sana, Anissa memandangnya dengan tatapan penuh rasa penasaran dan sedikit cemburu. Dia tidak bisa lagi menahan perasaannya yang mengganggu. Anissa berjalan mendekati Arga, lalu berdiri di depan meja kerjanya dengan tangan terlipat di dada. "Arga, aku tahu kamu masih memikirkan Sera," ucapnya dengan nada yang terdengar kesal dan cemburu. Arga mendongak, menatap Anissa dengan pandangan lelah. "Anissa, aku sudah bilang tadi, aku hanya lelah. Ini bukan tentang Sera," jawabnya, meskipun jelas ada ketidakjujuran dalam kata-katanya. Anissa menggelengkan kepala, tidak mau menerima alasan itu. "Jangan bohong, Arga. Aku bisa melihatnya di matamu. Kamu masih belum bisa melupakan dia, dan itu menggangguku." Arga terdiam, tahu bahwa Anissa benar. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, mencoba meredakan ketegangan. "Anissa, aku hanya kaget melihat Sera dengan pria lain. Itu saja. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu." Anissa menatap Arga dengan tatapan yang lebih lembut, namun tetap ada rasa sakit di dalamnya. "Arga, kamu harus berhenti memikirkan Sera. Kamu tidak bisa terus-terusan hidup di masa lalu. Aku di sini sekarang, bersamamu. Aku ingin kamu fokus padaku, pada kita." Arga merasa bersalah melihat Anissa seperti itu. Dia tahu bahwa Anissa pantas mendapatkan perhatian penuh darinya, bukan bayang-bayang masa lalu. "Kamu benar, Anissa. Aku minta maaf. Aku akan mencoba untuk lebih fokus pada kita." Anissa mendekat dan meraih tangan Arga, menggenggamnya dengan lembut. "Aku hanya ingin kita bisa bahagia bersama, Arga. Tapi aku butuh kamu untuk benar-benar ada di sini, bersamaku, bukan dengan pikiranmu di tempat lain." Arga mengangguk, merasakan sentuhan Anissa yang hangat. "Aku mengerti, Anissa. Aku akan berusaha lebih baik. Terima kasih sudah mengingatkanku." Anissa tersenyum tipis, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Arga. "Bagus. Kita harus melangkah maju bersama, Arga. Kita bisa melewati ini, asal kita saling mendukung." Dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, Anissa dan Arga berusaha untuk memulai kembali, meninggalkan bayang-bayang masa lalu dan fokus pada hubungan mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi mereka siap untuk menghadapi segala tantangan bersama-sama. Malam itu, setelah percakapan yang menegangkan dengan Arga, Anissa duduk sendirian di kamar apartemen mereka, memandangi pemandangan kota dari jendela. Pikirannya sibuk merencanakan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan memastikan Sera tidak lagi menjadi ancaman bagi hubungannya dengan Arga. Perlahan, senyuman licik terbentuk di wajahnya. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Anissa mulai membuat rencana dengan hati-hati. Dia mengambil ponselnya dan mulai mencari informasi tentang Sera. Setelah beberapa saat, dia menemukan beberapa detail yang cukup berguna—tempat kerja Sera, proyek-proyek yang sedang dia tangani, dan beberapa kontak penting. Dia kemudian menghubungi seorang kenalannya yang bekerja di bidang informasi, seorang pria bernama Bimo yang dikenal karena kemampuannya mendapatkan informasi rahasia. "Bimo, ini Anissa. Aku butuh bantuanmu. Ada seseorang yang perlu diawasi," katanya dengan nada serius. Bimo, yang sudah biasa dengan permintaan semacam itu, menjawab dengan tenang, "Siapa yang harus diawasi dan informasi apa yang kamu butuhkan?" "Sera. Aku butuh semua informasi yang bisa kamu dapatkan tentang aktivitas bisnisnya, proyek-proyeknya, dan apapun yang bisa digunakan untuk menjatuhkannya. Dan ingat, semuanya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu," jawab Anissa, menekankan pentingnya kerahasiaan. Bimo setuju dan mulai bekerja, mencari semua informasi yang bisa dia dapatkan tentang Sera. Sementara itu, Anissa mulai memikirkan langkah berikutnya. Dia tahu bahwa menyerang Sera langsung bukanlah cara yang bijak; dia harus membuatnya tampak seperti Sera yang gagal atau membuat kesalahan fatal dalam pekerjaannya. Keesokan harinya, Anissa kembali ke rutinitasnya seperti biasa, berpura-pura tidak ada yang terjadi. Dia menjaga sikapnya tetap tenang dan manis di depan Arga, memastikan bahwa dia tidak menaruh curiga sedikit pun. Setiap kali Arga bertanya tentang rencana hariannya, Anissa selalu memberikan jawaban yang sama, tentang pekerjaan dan rutinitasnya yang biasa. Namun, di balik semua itu, Anissa terus bekerja dalam bayangan. Dia menghubungi beberapa orang di industri yang bisa membantu menyebarkan desas-desus atau informasi negatif tentang Sera. Dia tahu bahwa jika bisa menciptakan cukup banyak keraguan dan masalah di sekitar Sera, maka Sera akan kesulitan menjaga reputasinya. Setelah beberapa hari, Bimo menghubungi Anissa dengan informasi yang dia butuhkan. "Aku punya beberapa informasi penting tentang proyek besar yang sedang ditangani Sera. Jika ada kesalahan atau masalah yang terjadi di sana, itu bisa merusak reputasinya," kata Bimo dengan nada puas. Anissa tersenyum, merasa bahwa rencananya semakin dekat dengan keberhasilan. "Bagus, Bimo. Kirim semua informasinya padaku dan pastikan tidak ada jejak yang mengarah padaku. Aku akan mengurus sisanya." Dengan informasi di tangannya, Anissa mulai menyusun rencana liciknyaAnissa duduk di ruang tamunya yang mewah, berpikir keras tentang langkah berikutnya. Meskipun rencana untuk merusak reputasi Sera di tempat kerja berjalan dengan baik, Anissa merasa itu belum cukup. Dia ingin memastikan Sera benar-benar keluar dari hidupnya dan Arga, tanpa ada kesempatan untuk kembali. Pikirannya terfokus pada satu ide yang lebih ekstrem dan berbahaya. Dengan hati-hati, dia memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh.Malam itu, saat Arga sedang sibuk dengan urusan bisnisnya di luar kota, Anissa mengambil ponselnya dan menghubungi seorang kenalan lama, seorang pria bernama Reza yang dikenal sebagai "fixer" untuk masalah yang sangat serius. Reza bukan orang biasa; dia adalah seseorang yang berurusan dengan hal-hal gelap dan ilegal, yang mampu melakukan apa saja asalkan bayarannya cukup tinggi.Mereka bertemu di sebuah restoran mewah yang terletak di sudut kota, tempat di mana privasi bisa terjaga dengan baik. Reza datang dengan setelan rapi, tapi matanya yang tajam m
Beberapa hari berlalu sejak kecelakaan itu. Sera mulai pulih dengan cepat, berkat perawatan intensif dan dukungan dari teman-temannya. Meski masih lemah, semangatnya tetap kuat. Galendra, yang selalu setia mendampingi, merasa lega melihat Sera semakin membaik. Hari itu, Galendra memutuskan untuk mengantar Sera pulang ke rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Sera, Galendra membantu Sera turun dari mobil dengan hati-hati. "Kamu yakin sudah siap pulang?" tanya Galendra dengan nada lembut, khawatir melihat Sera yang masih terlihat lemah.Sera tersenyum lemah namun penuh keyakinan. "Aku baik-baik saja, Galendra. Aku hanya ingin bertemu dengan Alana dan Alina. Aku rindu mereka."Galendra mengangguk, memahami perasaan Sera. Mereka berjalan menuju pintu depan, dan begitu mereka masuk, suara ceria dari dua anak kembar terdengar dari dalam rumah."Mama pulang!" teriak Alana dan Alina serempak, berlari ke arah Sera dengan wajah penuh kegembiraan.Sera membuka tangannya lebar-lebar, menyambut peluk
Setelah Galendra pergi, Sera masih duduk di ruang tamu dengan Alana dan Alina. Mereka duduk bersama di sofa, suasana ruangan dipenuhi dengan kehangatan meskipun terdapat rasa kekosongan di hati Sera. "Ma, kenapa Papa nggak datang lagi?" tanya Alana dengan polosnya. Sera terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi ini pada anak-anaknya. Dia merasakan kekosongan yang mendalam saat menyadari bahwa kehadiran ayah mereka tidak lagi ada dalam kehidupan sehari-hari mereka. Alina memandang ibunya dengan tatapan penuh harapan. "Papa kan baik, Ma. Kenapa dia nggak mau datang lagi?" Sera menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya. Dia ingin melindungi anak-anaknya dari kekecewaan dan kesedihan. "Kalian tahu, kadang-kadang orang dewasa punya urusan yang membuat mereka harus pergi jauh, dan tidak bisa datang setiap waktu." "Tapi kenapa Papa nggak bilang dulu ke kita, Ma?" potong Alana dengan nada kecewa. Sera memeluk kedua anaknya erat-erat. "P
Mereka berdua lalu melangkah bersama menuju meja petugas administrasi, di mana seorang pegawai yang ramah menyambut mereka dengan senyuman. Galen menjelaskan maksud kedatangan mereka, dan pegawai tersebut mulai mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Sera merasakan campuran emosi yang intens—bahagia, terharu, dan penuh harapan—saat dia menggenggam tangan Galen erat-erat.Setelah beberapa saat, pegawai tersebut menyerahkan selembar formulir kepada Sera dan Galen. Mereka duduk di kursi yang disediakan, mengisi formulir tersebut dengan penuh perhatian. Setiap goresan pena terasa seperti langkah penting menuju awal yang baru bagi mereka. Sera mencuri pandang ke arah Galen, yang tampak begitu serius namun tenang, dan merasakan kehangatan yang menyelimuti hatinya.Ketika semua berkas telah diisi dan ditandatangani, pegawai administrasi mengambilnya kembali dan mengkonfirmasi bahwa semuanya sudah lengkap. "Selamat, Bapak dan Ibu. Surat pernikahan kontrak Anda akan diproses dan akan sege
Beberapa minggu setelah kebahagiaan mereka di mansion baru, Galen mengajak Sera untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu koleganya. Sera mengenakan gaun elegan berwarna biru tua yang menonjolkan kecantikannya, sementara Galen tampil gagah dengan setelan jas hitam. Mereka berdua berangkat dengan mobil menuju hotel mewah tempat pesta diadakan.Saat tiba, Galen memegang tangan Sera dengan lembut, menuntunnya masuk ke dalam aula yang sudah didekorasi dengan megah. Lampu-lampu kristal bergemerlapan di langit-langit, menciptakan suasana yang mewah dan elegan. Musik klasik lembut mengalun, menyambut para tamu yang hadir dengan senyuman dan sapaan ramah.Di tengah kerumunan, Galen memperkenalkan Sera kepada beberapa koleganya, berbicara dengan santai tentang berbagai topik bisnis dan kehidupan sehari-hari. Sera merasa nyaman di samping suaminya, tersenyum dan ikut terlibat dalam percakapan. Namun, tiba-tiba, tatapan Sera tertuju pada seseorang di seberang ruangan.Arga, mantan suaminya,
Pagi hari setelah pesta, sinar matahari menembus jendela kamar mereka, membangunkan Sera dengan lembut. Ia merasakan kehangatan Galen di sampingnya, dan tersenyum. Sera perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan suaminya, dan melangkah menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dapur, Sera mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat pancake favorit Alana dan Alina. Aroma kopi segar yang ia seduh mulai memenuhi ruangan, memberikan perasaan nyaman dan damai. Tak lama kemudian, Galen muncul di pintu dapur, masih dengan rambut yang acak-acakan dan senyuman mengantuk di wajahnya."Pagi, Sayang," sapa Galen sambil menghampiri Sera dan memberikan ciuman di pipinya."Pagi, Galen. Tidurmu nyenyak?" tanya Sera sambil terus memasak.Galen mengangguk dan duduk di meja dapur. "Sangat nyenyak. Pesta tadi malam luar biasa, tapi aku lebih senang bisa menghabiskan waktu pagi ini bersamamu."Sera tersenyum dan menuangkan adonan pancake ke wajan. "Aku juga. Anak-anak pasti senang
Keesokan harinya, setelah sarapan lezat dan mengantar Alana dan Alina ke sekolah, Galen dan Sera memutuskan untuk pergi berbelanja ke pusat perbelanjaan. Mereka berencana membeli beberapa barang keperluan rumah dan pakaian baru untuk anak-anak. Pagi itu cerah, dan suasana hati Sera sangat baik setelah menghabiskan akhir pekan yang sempurna bersama keluarganya.Mereka tiba di pusat perbelanjaan yang megah, dengan deretan toko-toko yang menjual berbagai macam barang. Galen menggenggam tangan Sera, memberikan senyuman hangat yang membuatnya merasa nyaman dan penuh semangat. Mereka berjalan santai dari satu toko ke toko lainnya, memilih beberapa pakaian dan mainan untuk Alana dan Alina.Saat mereka sedang memilih pakaian di salah satu butik terkenal, tanpa disangka, mereka bertemu dengan Arga dan ibunya, Mami Arga. Wajah Sera seketika berubah tegang, tetapi Galen menggenggam tangannya lebih erat, memberikan dukungan yang ia butuhkan."Ah, lihat siapa yang kita temui di sini," kata Arga de
Sore itu, setelah menjemput Alana dan Alina dari sekolah dan menghabiskan waktu sejenak bersama mereka, Sera menerima pesan tak terduga dari Annisa, istri Arga. Pesan tersebut meminta Sera untuk bertemu di sebuah kafe di pusat kota. Sera merasa sedikit terkejut dengan undangan tersebut, tetapi rasa penasaran membuatnya setuju untuk bertemu. Dia mengatur agar Galen menjaga anak-anak selama dia pergi sebentar.Setibanya di kafe, Sera melihat Annisa sudah duduk di sudut ruangan, menunggunya dengan wajah serius. Sera mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya sebelum mendekati meja tersebut.“Hai, Annisa,” sapa Sera sambil duduk di kursi yang berhadapan dengannya.Annisa menatap Sera dengan tatapan yang campur aduk antara kekhawatiran dan sedikit permusuhan. “Terima kasih sudah datang, Sera.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Sera langsung, tak ingin berlama-lama menunda inti pertemuan ini.Annisa menghel