Beberapa minggu setelah kebahagiaan mereka di mansion baru, Galen mengajak Sera untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu koleganya. Sera mengenakan gaun elegan berwarna biru tua yang menonjolkan kecantikannya, sementara Galen tampil gagah dengan setelan jas hitam. Mereka berdua berangkat dengan mobil menuju hotel mewah tempat pesta diadakan.Saat tiba, Galen memegang tangan Sera dengan lembut, menuntunnya masuk ke dalam aula yang sudah didekorasi dengan megah. Lampu-lampu kristal bergemerlapan di langit-langit, menciptakan suasana yang mewah dan elegan. Musik klasik lembut mengalun, menyambut para tamu yang hadir dengan senyuman dan sapaan ramah.Di tengah kerumunan, Galen memperkenalkan Sera kepada beberapa koleganya, berbicara dengan santai tentang berbagai topik bisnis dan kehidupan sehari-hari. Sera merasa nyaman di samping suaminya, tersenyum dan ikut terlibat dalam percakapan. Namun, tiba-tiba, tatapan Sera tertuju pada seseorang di seberang ruangan.Arga, mantan suaminya,
Pagi hari setelah pesta, sinar matahari menembus jendela kamar mereka, membangunkan Sera dengan lembut. Ia merasakan kehangatan Galen di sampingnya, dan tersenyum. Sera perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan suaminya, dan melangkah menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dapur, Sera mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat pancake favorit Alana dan Alina. Aroma kopi segar yang ia seduh mulai memenuhi ruangan, memberikan perasaan nyaman dan damai. Tak lama kemudian, Galen muncul di pintu dapur, masih dengan rambut yang acak-acakan dan senyuman mengantuk di wajahnya."Pagi, Sayang," sapa Galen sambil menghampiri Sera dan memberikan ciuman di pipinya."Pagi, Galen. Tidurmu nyenyak?" tanya Sera sambil terus memasak.Galen mengangguk dan duduk di meja dapur. "Sangat nyenyak. Pesta tadi malam luar biasa, tapi aku lebih senang bisa menghabiskan waktu pagi ini bersamamu."Sera tersenyum dan menuangkan adonan pancake ke wajan. "Aku juga. Anak-anak pasti senang
Keesokan harinya, setelah sarapan lezat dan mengantar Alana dan Alina ke sekolah, Galen dan Sera memutuskan untuk pergi berbelanja ke pusat perbelanjaan. Mereka berencana membeli beberapa barang keperluan rumah dan pakaian baru untuk anak-anak. Pagi itu cerah, dan suasana hati Sera sangat baik setelah menghabiskan akhir pekan yang sempurna bersama keluarganya.Mereka tiba di pusat perbelanjaan yang megah, dengan deretan toko-toko yang menjual berbagai macam barang. Galen menggenggam tangan Sera, memberikan senyuman hangat yang membuatnya merasa nyaman dan penuh semangat. Mereka berjalan santai dari satu toko ke toko lainnya, memilih beberapa pakaian dan mainan untuk Alana dan Alina.Saat mereka sedang memilih pakaian di salah satu butik terkenal, tanpa disangka, mereka bertemu dengan Arga dan ibunya, Mami Arga. Wajah Sera seketika berubah tegang, tetapi Galen menggenggam tangannya lebih erat, memberikan dukungan yang ia butuhkan."Ah, lihat siapa yang kita temui di sini," kata Arga de
Sore itu, setelah menjemput Alana dan Alina dari sekolah dan menghabiskan waktu sejenak bersama mereka, Sera menerima pesan tak terduga dari Annisa, istri Arga. Pesan tersebut meminta Sera untuk bertemu di sebuah kafe di pusat kota. Sera merasa sedikit terkejut dengan undangan tersebut, tetapi rasa penasaran membuatnya setuju untuk bertemu. Dia mengatur agar Galen menjaga anak-anak selama dia pergi sebentar.Setibanya di kafe, Sera melihat Annisa sudah duduk di sudut ruangan, menunggunya dengan wajah serius. Sera mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya sebelum mendekati meja tersebut.“Hai, Annisa,” sapa Sera sambil duduk di kursi yang berhadapan dengannya.Annisa menatap Sera dengan tatapan yang campur aduk antara kekhawatiran dan sedikit permusuhan. “Terima kasih sudah datang, Sera.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Sera langsung, tak ingin berlama-lama menunda inti pertemuan ini.Annisa menghel
Setelah mendengar gosip yang beredar di restoran, Sera dan Galen memutuskan untuk bertindak cepat. Mereka tidak bisa membiarkan kebohongan ini berkembang lebih jauh dan merusak reputasi serta kehidupan mereka. Malam itu juga, mereka berdua menghubungi beberapa teman yang bisa membantu menyelidiki asal mula gosip tersebut.Keesokan harinya, Sera dan Galen bertemu dengan Dinda, sahabat Sera yang bekerja sebagai jurnalis investigasi. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi yang tenang, berharap bisa mendiskusikan situasi ini tanpa gangguan.“Aku dengar gosip itu mulai menyebar di media sosial, tapi belum sampai ke media besar,” kata Dinda sambil membuka laptopnya. “Kita harus menghentikannya sebelum hal ini membesar.”Sera menghela napas panjang, merasa lega bisa berbagi beban ini dengan seseorang yang bisa diandalkan. “Dinda, aku nggak tahu siapa yang memulai semua ini, tapi aku yakin ada seseorang yang punya niat buruk padaku.”“Menurutku juga begitu,” tambah Galen. “Kita perlu mencari tah
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan di kafe, dan Sera merasa lega bahwa gosip tentang dirinya perlahan-lahan mereda. Namun, dia dan Galen tetap waspada, mengawasi setiap pergerakan yang mencurigakan di sekitar mereka. Suatu sore, ketika Sera sedang menyiapkan makan malam di dapur, teleponnya berdering. Sera mengangkat telepon dan melihat bahwa itu dari sahabatnya, Dinda. “Halo, Din. Ada kabar apa?” tanya Sera sambil menyiapkan bahan-bahan masakan di meja.“Hai, Ser. Aku baru saja dengar dari seorang teman di media kalau ada yang mencoba mengorek-ngorek informasi tentang kamu dan Galen. Kayaknya ada yang nggak bisa move on dari masalah kemarin,” kata Dinda dengan nada prihatin.Sera menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. “Duh, siapa lagi, ya? Kayaknya kita udah berusaha baik-baik sama Annisa dan Rani. Kok, mereka nggak kapok juga?”“Ini masih spekulasi, sih, tapi kamu tahu kan, berita kayak gini bisa cepat menyebar kalau nggak diatasi d
Beberapa hari kemudian, Annisa duduk di ruang tamunya, menatap ponselnya dengan penuh ketegangan. Dia menunggu kabar dari Fikri tentang langkah berikutnya dalam rencananya mencelakai Sera. Rani, yang duduk di sebelahnya, tampak gelisah.“An, kamu yakin mau lanjut dengan rencana ini? Ini bisa berbahaya banget,” kata Rani, mencoba meyakinkan Annisa untuk mempertimbangkan ulang.Annisa menghela napas panjang, pandangannya masih tertuju pada layar ponselnya. “Ran, kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Aku nggak akan biarkan Sera terus merasa menang.”Ponsel Annisa bergetar, sebuah pesan masuk dari Fikri. “Semuanya sudah siap. Kamu tinggal tunggu waktu yang tepat,” bunyi pesannya.Annisa tersenyum tipis, merasa lega bahwa rencananya berjalan lancar. Dia lalu melihat Rani dengan tatapan penuh tekad. “Kita harus pastikan Sera nggak tahu dari mana asalnya semua ini. Kita harus cerdas dan hati-hati.”Rani mengangguk, meskipun hatinya masih penuh keraguan. “Baiklah, An. Tapi aku berhar
Setelah situasi di luar mansion mulai reda, Galen kembali ke ruang tamu di mana Sera masih duduk di sofa dengan tatapan kosong. Dia duduk di sampingnya, menyentuh tangan Sera dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan di tengah kekacauan yang mereka hadapi. “Sera,” Galen mulai dengan suara lembut, “aku tahu ini semua sangat berat buat kamu. Kamu sudah berusaha sekuat tenaga, dan sekarang kita harus melawan semua ini bersama.” Sera menatap suaminya dengan mata yang masih penuh rasa cemas. “Aku merasa seperti semuanya berantakan. Semua orang menuduhku tanpa dasar, dan aku merasa tidak berdaya.” Galen mengeratkan pelukannya, memberikan rasa hangat dan keamanan. “Kita semua tahu siapa kamu sebenarnya, Sera. Kamu orang yang baik dan penuh kasih sayang. Apa yang orang-orang katakan sekarang hanyalah kebohongan. Yang penting, kita tahu kebenarannya dan kita akan berjuang untuk membuktikannya.” Sera menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Tapi bagaimana kalau semua ini terus
Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha
Beberapa minggu berlalu, dan Daffi semakin terjerat dalam kebohongan yang dibangun oleh Lily. Dia mulai menganggap Lily sebagai sosok penting dalam hidupnya, meskipun bayang-bayang Giska terus menghantuinya. Suatu sore, Daffi dan Lily duduk di taman belakang mansion, menikmati cuaca yang cerah. “Daffi, aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Lily dengan nada serius. “Aku merasa kita harus mengambil langkah selanjutnya dalam hubungan ini.” Daffi menatap Lily dengan bingung. “Langkah selanjutnya? Seperti apa?” “Pernikahan,” jawab Lily, menatap Daffi dalam-dalam. “Aku tahu kamu mengalami banyak hal, dan kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana dulu, tanpa pesta besar-besaran. Hanya kita berdua.” Daffi terdiam sejenak, berusaha memproses kata-kata Lily. “Pernikahan? Tapi, aku tidak yakin. Semua ini terasa begitu cepat. Aku masih berusaha mengingat masa laluku.” Lily mendekat, mengambil tangan Daffi dengan lembut. “Sayang, aku mengerti. Namun, kita harus melanjutk
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.