Saat mereka tiba kembali di rumah, suasana tenang mulai merasuki mansion. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh bunyi ponsel Galen yang tiba-tiba berdering. Dia meraih ponselnya dari saku dan melihat nama asistennya, Raka, di layar. Merasa ada sesuatu yang penting, dia langsung mengangkat panggilan tersebut.“Halo, Raka. Ada apa?” tanya Galen dengan nada serius.“Pak Galen, saya baru saja mendapat informasi penting. Penyebar berita palsu tentang Bu Sera berasal dari keluarga Arga dan ibunya,” kata Raka dengan cepat, suaranya terdengar tegang.Wajah Galen berubah tegas, sorot matanya menunjukkan kemarahan yang ia coba kendalikan. “Apakah kamu yakin dengan informasi ini?”“Ya, Pak. Kami memiliki bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan mereka. Saya juga sudah menghubungi beberapa sumber lain untuk memastikan informasi ini,” jawab Raka.Galen mengangguk, meskipun Raka tidak bisa melihatnya. “Baik, Raka. Terima kasih atas informasinya. Segera lakukan langkah selanjutnya seperti yang
Di sisi lain, di kediaman keluarga Arga, suasana penuh ketegangan dan kepanikan mulai terasa semakin nyata. Arga duduk di ruang kerjanya dengan wajah yang dipenuhi kekesalan dan frustasi. Ponsel di tangannya berdering tanpa henti, menerima panggilan dari para pemegang saham dan karyawan yang khawatir akan masa depan perusahaan. “Ini tidak mungkin terjadi!” seru Arga sambil melemparkan ponselnya ke meja, suaranya penuh kemarahan dan kekecewaan. “Perusahaan kita berada di ambang kebangkrutan, dan semua ini karena Galen!” Ibunya, Martha, yang duduk di sofa, mencoba menenangkan dirinya meskipun wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam. “Arga, kita harus mencari cara untuk mengatasi ini. Apa yang bisa kita lakukan sekarang?” Arga menghela napas panjang, mencoba menenangkan amarahnya sebelum berbicara. “Aku sudah mencoba berbicara dengan Galen, tapi dia menolak untuk membantu. Dia mengatakan bahwa kita harus menghadapi konsekuensi dari tind
Sera duduk di ruang keluarga mansion Galen, sambil menatap ke luar jendela dengan ekspresi tenang. Pagi itu, berita mengenai kekacauan yang melanda perusahaan Arga telah sampai ke telinganya melalui berbagai saluran informasi, dan dia merasa campur aduk—ada rasa puas yang sulit diungkapkan, namun dia memilih untuk tetap diam. Ketika Galen memasuki ruangan dengan secangkir kopi di tangannya, dia bisa merasakan perubahan di aura Sera. “Ada apa, sayang?” tanya Galen sambil duduk di sebelahnya. Sera menoleh dan memberikan senyuman lembut. “Oh, tidak ada apa-apa. Aku hanya memikirkan beberapa hal,” jawabnya sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Galen menyadari bahwa Sera tampaknya lebih tenang dari biasanya, dan dia bisa menebak bahwa kabar mengenai Arga dan keluarganya mungkin telah mencapai Sera. “Kamu mendengar berita tentang Arga dan ibunya, kan?” tanya Galen, mencoba untuk mengkonfirmasi. Sera mengangguk pelan,
Setelah makan siang selesai, Sera membawa Alana dan Alina ke ruang keluarga untuk bersantai sejenak sebelum pergi ke taman. Namun, di dalam hatinya, Sera merasa gelisah dan sedih setelah mendengar pertanyaan-pertanyaan dari kedua putrinya tentang Arga.Sambil duduk di sofa, Alana dan Alina mulai bermain dengan mainan mereka, sementara Sera duduk di dekatnya dengan tatapan kosong. Galen yang sedang membaca koran di dekatnya, menyadari perubahan pada Sera. Dia menurunkan korannya dan mendekati Sera dengan lembut."Sera, kamu kelihatan sedih," kata Galen sambil duduk di sebelahnya. "Ada apa? Apakah itu karena pertanyaan Alana dan Alina tentang Arga?"Sera menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Iya, Galen. Rasanya sulit menjawab pertanyaan mereka. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kenapa Papa Arga tidak pernah datang lagi. Dan itu membuatku merasa bersalah."Galen menggenggam tangan Sera dengan lembut. "Kamu tidak perlu merasa bersal
Pada keesokan harinya, Arga sudah memutuskan untuk menemui Alana dan Alina, mengumpulkan keberanian yang telah lama hilang. Dia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki kesalahan dan menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa dia masih peduli. Namun, ketika dia bersiap-siap untuk pergi, ibunya, Ny. Martha, datang menghampirinya dengan ekspresi marah di wajahnya."Arga, kamu mau pergi ke mana?" tanya Ny. Martha dengan suara tajam, menatapnya dengan mata menyala-nyala.Arga menghela napas, berusaha tetap tenang. "Aku mau menemui Alana dan Alina, Ma. Mereka perlu mendengar penjelasan dariku."Ny. Martha menggelengkan kepala dengan keras, nadanya semakin tinggi. "Tidak, Arga. Kamu tidak boleh menemui mereka. Mereka sudah cukup bahagia dengan Sera dan pria barunya itu. Kamu tidak perlu mengganggu kehidupan mereka lagi."Arga merasakan amarah dan frustrasi meluap. "Ma, ini bukan tentang mengganggu. Ini tentang tanggung jawabku sebagai ayah. Anak-anak perlu tahu bahwa aku masih peduli
Di suatu sore, Annisa duduk di ruang tamunya yang mewah dengan ekspresi marah yang tidak bisa dia sembunyikan. Sejak Arga mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Alana dan Alina, Annisa merasa cemburu dan terancam. Dia merasa terabaikan dan tidak senang melihat suaminya lebih memprioritaskan anak-anak tirinya. Keberadaan mereka semakin membuatnya merasa tidak nyaman."Sekarang apa? Kenapa Arga malah makin sering pulang ke rumah Galen?" gerutunya pada Rani, sahabatnya yang setia mendengarkan.Rani, yang duduk di seberang Annisa dengan wajah penuh perhatian, menjawab dengan nada hati-hati. "Annisa, aku paham perasaanmu. Tapi kamu tahu kan, Arga memang ayah biologis mereka. Dia berhak untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya."Annisa menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban itu. "Aku tidak peduli tentang hak-hak biologisnya. Yang aku lihat adalah dia semakin mengabaikanku demi anak-anak itu. Mereka sudah memiliki ibu mereka sendiri, dan aku tidak mau dia terus-terusan
Hari itu, langit mendung seakan merasakan kesedihan yang akan segera melanda keluarga Sera. Di rumah sakit, Sera dan Galen menunggu dengan cemas di luar ruang gawat darurat. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik berlalu seperti sebuah beban yang menghimpit hati mereka. Dokter akhirnya keluar dengan wajah muram, membuat jantung Sera berhenti berdetak sejenak."Dokter, bagaimana keadaan anak-anak saya?" tanya Sera dengan suara bergetar, matanya penuh harapan namun ketakutan tak bisa disembunyikan.Dokter menghela napas panjang, menatap mereka dengan penuh simpati. "Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi luka mereka terlalu parah. Kami tidak bisa menyelamatkan mereka. Saya sangat menyesal."Sera langsung merasakan dunianya runtuh. Dia menjerit histeris, jatuh berlutut di lantai. "Tidak mungkin! Tolong selamatkan anak-anak saya! Tolong, lakukan sesuatu!" isaknya, air mata mengalir deras tanpa henti.Galen berusaha memeluknya, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancu
Setelah pemakaman yang begitu melelahkan secara emosional, siang itu Sera dan Galen akhirnya kembali ke mansion. Begitu mereka sampai, Sera langsung berjalan cepat menuju kamar mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Galen mengikutinya dengan cemas, melihat betapa hancurnya wanita yang sangat dicintainya."Sera, sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya Galen dengan lembut, masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya.Sera tidak menjawab, dia hanya berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di tepi, menundukkan kepala. Air mata mulai mengalir lagi, dan bahunya terguncang oleh isakan yang tak bisa dia tahan.Galen mendekat, duduk di sampingnya, dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu ini berat, Sera. Aku juga merasakan kehilangan yang sama. Tapi kita harus kuat, sayang. Kita harus bersama-sama melalui ini."Sera menggelengkan kepala, menolak untuk menatap Galen. "Galen, aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya semua ini terlalu berat. Alana dan Alina... mereka suda
Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha
Beberapa minggu berlalu, dan Daffi semakin terjerat dalam kebohongan yang dibangun oleh Lily. Dia mulai menganggap Lily sebagai sosok penting dalam hidupnya, meskipun bayang-bayang Giska terus menghantuinya. Suatu sore, Daffi dan Lily duduk di taman belakang mansion, menikmati cuaca yang cerah. “Daffi, aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Lily dengan nada serius. “Aku merasa kita harus mengambil langkah selanjutnya dalam hubungan ini.” Daffi menatap Lily dengan bingung. “Langkah selanjutnya? Seperti apa?” “Pernikahan,” jawab Lily, menatap Daffi dalam-dalam. “Aku tahu kamu mengalami banyak hal, dan kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana dulu, tanpa pesta besar-besaran. Hanya kita berdua.” Daffi terdiam sejenak, berusaha memproses kata-kata Lily. “Pernikahan? Tapi, aku tidak yakin. Semua ini terasa begitu cepat. Aku masih berusaha mengingat masa laluku.” Lily mendekat, mengambil tangan Daffi dengan lembut. “Sayang, aku mengerti. Namun, kita harus melanjutk
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.