Setelah pemakaman yang begitu melelahkan secara emosional, siang itu Sera dan Galen akhirnya kembali ke mansion. Begitu mereka sampai, Sera langsung berjalan cepat menuju kamar mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Galen mengikutinya dengan cemas, melihat betapa hancurnya wanita yang sangat dicintainya."Sera, sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya Galen dengan lembut, masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya.Sera tidak menjawab, dia hanya berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di tepi, menundukkan kepala. Air mata mulai mengalir lagi, dan bahunya terguncang oleh isakan yang tak bisa dia tahan.Galen mendekat, duduk di sampingnya, dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu ini berat, Sera. Aku juga merasakan kehilangan yang sama. Tapi kita harus kuat, sayang. Kita harus bersama-sama melalui ini."Sera menggelengkan kepala, menolak untuk menatap Galen. "Galen, aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya semua ini terlalu berat. Alana dan Alina... mereka suda
Sera menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, mengurung diri di dalam kamar yang sunyi. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela terasa begitu menyilaukan, tapi ia tetap duduk di tepi tempat tidur, memeluk bantal yang masih berbau harum anak-anaknya. Isaknya perlahan mereda, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan dada.Di luar kamar, Galen merasa semakin cemas dengan kondisi Sera. Ia sering kali berdiri di depan pintu, mendengarkan, berharap mendengar suara istrinya yang memberinya tanda bahwa ia butuh sesuatu. Namun, yang didengarnya hanya keheningan.Galen memutuskan untuk memberikan ruang yang Sera minta, tapi hatinya penuh dengan kekhawatiran. Dia berjalan keluar rumah, memutuskan untuk mengambil udara segar di taman belakang mansion mereka. Dia duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah bunga-bunga yang mekar. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Sera dan rasa sakit yang ia rasakan.Di dalam kamar, Sera mencoba menenangkan pikirannya. Dia merenung, memikirkan setiap
Beberapa hari setelah percakapan yang mendalam antara Sera dan Galen, Galen merasa bahwa istrinya membutuhkan waktu jauh dari semua kenangan yang menyakitkan di rumah mereka. Dia memutuskan untuk memberikan kejutan yang mungkin bisa membantu Sera mengalihkan perhatiannya dan mulai menyembuhkan diri dari rasa sakit yang selama ini menyelimuti hatinya.Di suatu pagi yang cerah, Galen masuk ke kamar dengan senyum di wajahnya, membawa sebuah amplop kecil yang disembunyikan di balik punggungnya. Sera sedang duduk di depan cermin, menyisir rambutnya dengan gerakan yang pelan dan lembut, masih dengan ekspresi wajah yang sendu. Galen mendekat dan meletakkan kedua tangannya di bahu Sera, memberikan ciuman singkat di puncak kepalanya."Sera, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan," kata Galen sambil tersenyum.Sera menoleh dengan sedikit keheranan. "Apa itu, Galen?"Galen mengeluarkan amplop dari balik punggungnya dan menyerahkannya kepada Sera. "Buka saja dulu."Sera meraih amplop itu dengan rag
Setelah tiba di pulau eksotis yang dipenuhi dengan pemandangan alam yang menakjubkan, Galen dan Sera merasa seperti memasuki dunia yang berbeda—tempat di mana beban kehidupan seakan lenyap dan hanya ada kedamaian. Angin laut yang sepoi-sepoi, aroma garam yang menyegarkan, dan suara ombak yang lembut menghantam pantai membuat keduanya merasa lebih rileks dari sebelumnya.Mereka berdua diantar ke villa pribadi yang langsung menghadap ke laut, dengan balkon besar yang dilengkapi kolam renang infinity. Pemandangan itu begitu memukau hingga Sera hampir tak percaya mereka benar-benar ada di sana. Setelah mereka meletakkan barang-barang di dalam kamar yang mewah namun tetap terasa hangat, Galen segera menarik Sera ke balkon.“Sera, lihat ini,” katanya dengan nada penuh kegembiraan sambil menunjuk ke arah laut yang biru berkilauan. “Aku tahu kita butuh tempat yang istimewa, tapi ini... ini lebih dari yang aku bayangkan.”Sera tersenyum, lalu menghela napas panjang. “Ini sempurna, Galen. Tempa
Dua minggu telah berlalu sejak peristiwa yang mengguncang kehidupan Sera dan Galen, namun rasa sakit dan kehilangan masih terasa begitu nyata, seolah-olah baru kemarin terjadi. Meskipun mereka telah berusaha untuk melanjutkan hidup dengan berbagai cara—mencoba kembali ke rutinitas sehari-hari dan menikmati kebersamaan mereka—bayangan tentang Alana dan Alina selalu menghantui pikiran Sera. Pagi itu, Sera bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun sinarnya yang lembut sudah mulai merayapi jendela kamar mereka. Sera duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto Alana dan Alina yang selalu ia letakkan di meja samping. Wajah-wajah ceria kedua putrinya itu membuat hatinya terasa seperti diiris sembilu. Galen, yang merasakan pergerakan Sera, membuka matanya perlahan. Dia melihat istrinya yang duduk terdiam dan tahu bahwa sesuatu sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Tanpa berkata-kata, dia bangun dan duduk di samping Sera, merangkul bahunya
Siang itu, Galen tengah berada di ruang kerjanya ketika Jeff, detektif yang ia percayai untuk menyelidiki kasus ini, tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. Jeff langsung mendekati Galen dengan selembar dokumen di tangannya."Galen, aku punya sesuatu," kata Jeff tanpa basa-basi, tatapannya penuh dengan tekad.Galen, yang sudah begitu lelah dan frustrasi dengan seluruh situasi ini, menatap Jeff dengan sorot mata penuh harapan dan ketegangan. "Apa itu, Jeff? Apa yang kamu temukan?"Jeff meletakkan dokumen itu di atas meja Galen dan membukanya. Di dalamnya terdapat bukti-bukti yang sangat menguatkan bahwa Annisa terlibat dalam peristiwa tragis yang merenggut nyawa Alana dan Alina. Ada rekaman transaksi bank, percakapan telepon yang disadap, serta foto-foto yang menunjukkan aktivitas mencurigakan Annisa bersama beberapa orang bayaran."Ini semua mengarah pada Annisa, Galen," kata Jeff dengan suara tegas. "Dia yang merencanakan semua ini. Semua bukti ini cukup kuat untuk melaporkannya ke
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Arga berubah drastis. Matahari yang baru saja terbit terasa tidak membawa kehangatan, melainkan ketegangan yang semakin memuncak. Di tengah keheningan yang mencekam, dering telepon yang keras dan mendadak memecah keheningan di ruang tamu. Arga yang baru saja turun dari lantai dua untuk sarapan, segera meraih telepon itu."Halo?" suaranya terdengar lelah, pertanda kurang tidur beberapa hari terakhir ini."Apa? Anisa ditangkap polisi?!" suara Arga berubah menjadi teriakan terkejut, membuat ibunya, Nyonya Martha, yang sedang duduk di meja makan langsung menoleh dengan pandangan penuh kebingungan."Ada apa, Arga?" tanya Nyonya Martha, cemas melihat reaksi putranya yang tiba-tiba.Arga menutup telepon dengan tangan yang bergetar, wajahnya pucat pasi. "Mami… Anisa… dia… dia ditangkap polisi!""Apa?!" Nyonya Martha bangkit dari kursinya dengan tergesa-gesa. "Apa maksudmu Anisa ditangkap? Apa yang terjadi?!" suaranya naik beberapa oktaf, menunjukkan keti
Dua hari berlalu, namun perasaan Sera masih saja bergejolak. Meski kelegaan menyelimuti dirinya setelah tahu bahwa dalang kejahatan yang menimpa anak-anaknya telah terungkap, tetap saja hatinya tidak tenang. Setiap kali dia mengingat wajah Anisa, amarahnya seakan tak pernah surut, membara seolah-olah ingin membakar semua kepedihan yang selama ini dia pendam.Sera duduk di tepi ranjang, tangannya mencengkeram erat bantal yang ia dekap seolah mencari kekuatan. Di sudut kamar, sinar matahari pagi menyelinap masuk, tapi dia merasa tetap terperangkap dalam kegelapan pikirannya sendiri."Galen…" Suaranya parau saat memanggil suaminya yang sedang duduk di kursi dekat jendela, matanya menatap jauh ke luar. "Aku nggak bisa berhenti memikirkan itu… semua yang dia lakukan, semua yang dia rencanakan. Aku… aku merasa seperti orang bodoh, bagaimana bisa aku nggak menyadarinya?"Galen segera berpaling, menghampiri Sera dan duduk di sampingnya. Dia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Sera denga