Dua minggu telah berlalu sejak peristiwa yang mengguncang kehidupan Sera dan Galen, namun rasa sakit dan kehilangan masih terasa begitu nyata, seolah-olah baru kemarin terjadi. Meskipun mereka telah berusaha untuk melanjutkan hidup dengan berbagai cara—mencoba kembali ke rutinitas sehari-hari dan menikmati kebersamaan mereka—bayangan tentang Alana dan Alina selalu menghantui pikiran Sera. Pagi itu, Sera bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun sinarnya yang lembut sudah mulai merayapi jendela kamar mereka. Sera duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto Alana dan Alina yang selalu ia letakkan di meja samping. Wajah-wajah ceria kedua putrinya itu membuat hatinya terasa seperti diiris sembilu. Galen, yang merasakan pergerakan Sera, membuka matanya perlahan. Dia melihat istrinya yang duduk terdiam dan tahu bahwa sesuatu sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Tanpa berkata-kata, dia bangun dan duduk di samping Sera, merangkul bahunya
Siang itu, Galen tengah berada di ruang kerjanya ketika Jeff, detektif yang ia percayai untuk menyelidiki kasus ini, tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. Jeff langsung mendekati Galen dengan selembar dokumen di tangannya."Galen, aku punya sesuatu," kata Jeff tanpa basa-basi, tatapannya penuh dengan tekad.Galen, yang sudah begitu lelah dan frustrasi dengan seluruh situasi ini, menatap Jeff dengan sorot mata penuh harapan dan ketegangan. "Apa itu, Jeff? Apa yang kamu temukan?"Jeff meletakkan dokumen itu di atas meja Galen dan membukanya. Di dalamnya terdapat bukti-bukti yang sangat menguatkan bahwa Annisa terlibat dalam peristiwa tragis yang merenggut nyawa Alana dan Alina. Ada rekaman transaksi bank, percakapan telepon yang disadap, serta foto-foto yang menunjukkan aktivitas mencurigakan Annisa bersama beberapa orang bayaran."Ini semua mengarah pada Annisa, Galen," kata Jeff dengan suara tegas. "Dia yang merencanakan semua ini. Semua bukti ini cukup kuat untuk melaporkannya ke
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Arga berubah drastis. Matahari yang baru saja terbit terasa tidak membawa kehangatan, melainkan ketegangan yang semakin memuncak. Di tengah keheningan yang mencekam, dering telepon yang keras dan mendadak memecah keheningan di ruang tamu. Arga yang baru saja turun dari lantai dua untuk sarapan, segera meraih telepon itu."Halo?" suaranya terdengar lelah, pertanda kurang tidur beberapa hari terakhir ini."Apa? Anisa ditangkap polisi?!" suara Arga berubah menjadi teriakan terkejut, membuat ibunya, Nyonya Martha, yang sedang duduk di meja makan langsung menoleh dengan pandangan penuh kebingungan."Ada apa, Arga?" tanya Nyonya Martha, cemas melihat reaksi putranya yang tiba-tiba.Arga menutup telepon dengan tangan yang bergetar, wajahnya pucat pasi. "Mami… Anisa… dia… dia ditangkap polisi!""Apa?!" Nyonya Martha bangkit dari kursinya dengan tergesa-gesa. "Apa maksudmu Anisa ditangkap? Apa yang terjadi?!" suaranya naik beberapa oktaf, menunjukkan keti
Dua hari berlalu, namun perasaan Sera masih saja bergejolak. Meski kelegaan menyelimuti dirinya setelah tahu bahwa dalang kejahatan yang menimpa anak-anaknya telah terungkap, tetap saja hatinya tidak tenang. Setiap kali dia mengingat wajah Anisa, amarahnya seakan tak pernah surut, membara seolah-olah ingin membakar semua kepedihan yang selama ini dia pendam.Sera duduk di tepi ranjang, tangannya mencengkeram erat bantal yang ia dekap seolah mencari kekuatan. Di sudut kamar, sinar matahari pagi menyelinap masuk, tapi dia merasa tetap terperangkap dalam kegelapan pikirannya sendiri."Galen…" Suaranya parau saat memanggil suaminya yang sedang duduk di kursi dekat jendela, matanya menatap jauh ke luar. "Aku nggak bisa berhenti memikirkan itu… semua yang dia lakukan, semua yang dia rencanakan. Aku… aku merasa seperti orang bodoh, bagaimana bisa aku nggak menyadarinya?"Galen segera berpaling, menghampiri Sera dan duduk di sampingnya. Dia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Sera denga
Hari itu langit cerah, tetapi hati Arga terasa sepekat malam tanpa bintang. Dengan langkah berat, dia berjalan menuju pemakaman, tempat di mana kedua anak kembarnya, Alana dan Alina, beristirahat selamanya. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak terhingga, beban dari penyesalan, kehilangan, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.Saat tiba di makam, Arga melihat dua nisan kecil berdampingan, dihiasi bunga-bunga segar yang tampak kontras dengan suasana kelam yang memenuhi hatinya. Air mata yang sudah dia tahan akhirnya tak terbendung, mengalir deras membasahi pipinya. Dia berlutut di hadapan makam itu, tangannya gemetar saat menyentuh tanah yang masih baru. "Papa minta maaf," suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Papa gagal melindungi kalian..."Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Arga menoleh dan melihat Sera berdiri tak jauh dari sana, ditemani oleh Galen, suaminya yang baru. Wajah Sera penuh dengan
Beberapa tahun berlalu, kehidupan Galen dan Sera semakin dipenuhi dengan kebahagiaan, terutama setelah kehadiran putra mereka yang diberi nama Daffi. Kehadiran Daffi membawa keceriaan yang baru dalam keluarga mereka, menutup luka lama yang pernah ada. Suatu pagi yang tenang, Sera duduk di taman belakang rumah mereka, mengawasi Daffi yang berlari-lari kecil dengan tawa riang. Galen menghampiri Sera dengan senyum lembut, lalu duduk di sampingnya, mengamati putra mereka yang begitu penuh semangat. "Daffi benar-benar membawa cahaya dalam hidup kita, ya?" ujar Galen, suaranya dipenuhi kehangatan. Sera mengangguk sambil tersenyum, matanya tak lepas dari Daffi yang terus berlari tanpa lelah. "Iya, aku bersyukur kita bisa melewati semua ini dan menemukan kebahagiaan lagi," jawabnya dengan penuh perasaan. Galen meraih tangan Sera dan menggenggamnya erat. "Aku janji, kita akan selalu menjaga kebahagiaan ini. Daffi adalah anugerah yang tak ternilai," katanya dengan suara yang tulus. Sera men
Beberapa hari berlalu, Galen dan Sera menerima undangan dari seorang teman lama yang akan mengadakan pesta di rumahnya. Pesta ini bukan hanya reuni, tapi juga sebuah perayaan sederhana untuk mempertemukan kembali teman-teman lama yang sudah lama tak bersua. Sera dan Galen memutuskan untuk mengajak Daffi, yang terlihat begitu bersemangat setiap kali diajak pergi keluar.Ketika mereka tiba di rumah temannya, suara musik lembut terdengar dari dalam, sementara aroma makanan yang lezat menguar dari dapur. Daffi, yang berpegangan pada tangan Galen, tampak kagum melihat rumah besar dengan taman yang luas dan banyak orang di dalamnya."Wah, rumahnya besar sekali, Papa! Apa di sini ada mainan juga?" tanya Daffi dengan mata berbinar.Galen tersenyum dan mengusap rambut Daffi. "Mungkin ada, sayang. Nanti kita lihat, ya?"Mereka bertiga melangkah masuk, dan seketika disambut dengan hangat oleh tuan rumah, seorang pria berwajah ramah yang langsung mengenali Galen dan Sera."Galen! Sera! Lama tak b
Malam itu, setelah mereka sampai di rumah, Sera dengan hati-hati mengangkat Daffi yang masih terlelap dari dalam mobil. Galen membantunya dengan lembut, menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajah Daffi yang menutupi matanya. "Biarkan aku yang bawa dia ke kamar," ujar Galen dengan suara lembut, matanya penuh perhatian. Sera mengangguk setuju, menyerahkan putra mereka kepada Galen, dan mengikuti dari belakang saat Galen membawa Daffi menuju kamar tidurnya.Sesampainya di kamar, Galen menidurkan Daffi di ranjang kecilnya, menyelimutinya dengan lembut. Sera berdiri di sisi ranjang, menatap wajah Daffi yang terlihat sangat damai dalam tidurnya. Wajah polos putranya itu seakan menghapus semua lelah yang mereka rasakan setelah seharian beraktivitas."Dia sangat mirip denganmu," bisik Galen sambil tersenyum kecil, menatap Sera dengan penuh cinta.Sera tersenyum, lalu mengelus pipi Daffi dengan lembut. "Kamu yang selalu bilang begitu," jawabnya dengan nada main-main, namun matanya tetap t