Hari itu langit cerah, tetapi hati Arga terasa sepekat malam tanpa bintang. Dengan langkah berat, dia berjalan menuju pemakaman, tempat di mana kedua anak kembarnya, Alana dan Alina, beristirahat selamanya. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak terhingga, beban dari penyesalan, kehilangan, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.Saat tiba di makam, Arga melihat dua nisan kecil berdampingan, dihiasi bunga-bunga segar yang tampak kontras dengan suasana kelam yang memenuhi hatinya. Air mata yang sudah dia tahan akhirnya tak terbendung, mengalir deras membasahi pipinya. Dia berlutut di hadapan makam itu, tangannya gemetar saat menyentuh tanah yang masih baru. "Papa minta maaf," suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Papa gagal melindungi kalian..."Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Arga menoleh dan melihat Sera berdiri tak jauh dari sana, ditemani oleh Galen, suaminya yang baru. Wajah Sera penuh dengan
Beberapa tahun berlalu, kehidupan Galen dan Sera semakin dipenuhi dengan kebahagiaan, terutama setelah kehadiran putra mereka yang diberi nama Daffi. Kehadiran Daffi membawa keceriaan yang baru dalam keluarga mereka, menutup luka lama yang pernah ada. Suatu pagi yang tenang, Sera duduk di taman belakang rumah mereka, mengawasi Daffi yang berlari-lari kecil dengan tawa riang. Galen menghampiri Sera dengan senyum lembut, lalu duduk di sampingnya, mengamati putra mereka yang begitu penuh semangat. "Daffi benar-benar membawa cahaya dalam hidup kita, ya?" ujar Galen, suaranya dipenuhi kehangatan. Sera mengangguk sambil tersenyum, matanya tak lepas dari Daffi yang terus berlari tanpa lelah. "Iya, aku bersyukur kita bisa melewati semua ini dan menemukan kebahagiaan lagi," jawabnya dengan penuh perasaan. Galen meraih tangan Sera dan menggenggamnya erat. "Aku janji, kita akan selalu menjaga kebahagiaan ini. Daffi adalah anugerah yang tak ternilai," katanya dengan suara yang tulus. Sera men
Beberapa hari berlalu, Galen dan Sera menerima undangan dari seorang teman lama yang akan mengadakan pesta di rumahnya. Pesta ini bukan hanya reuni, tapi juga sebuah perayaan sederhana untuk mempertemukan kembali teman-teman lama yang sudah lama tak bersua. Sera dan Galen memutuskan untuk mengajak Daffi, yang terlihat begitu bersemangat setiap kali diajak pergi keluar.Ketika mereka tiba di rumah temannya, suara musik lembut terdengar dari dalam, sementara aroma makanan yang lezat menguar dari dapur. Daffi, yang berpegangan pada tangan Galen, tampak kagum melihat rumah besar dengan taman yang luas dan banyak orang di dalamnya."Wah, rumahnya besar sekali, Papa! Apa di sini ada mainan juga?" tanya Daffi dengan mata berbinar.Galen tersenyum dan mengusap rambut Daffi. "Mungkin ada, sayang. Nanti kita lihat, ya?"Mereka bertiga melangkah masuk, dan seketika disambut dengan hangat oleh tuan rumah, seorang pria berwajah ramah yang langsung mengenali Galen dan Sera."Galen! Sera! Lama tak b
Malam itu, setelah mereka sampai di rumah, Sera dengan hati-hati mengangkat Daffi yang masih terlelap dari dalam mobil. Galen membantunya dengan lembut, menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajah Daffi yang menutupi matanya. "Biarkan aku yang bawa dia ke kamar," ujar Galen dengan suara lembut, matanya penuh perhatian. Sera mengangguk setuju, menyerahkan putra mereka kepada Galen, dan mengikuti dari belakang saat Galen membawa Daffi menuju kamar tidurnya.Sesampainya di kamar, Galen menidurkan Daffi di ranjang kecilnya, menyelimutinya dengan lembut. Sera berdiri di sisi ranjang, menatap wajah Daffi yang terlihat sangat damai dalam tidurnya. Wajah polos putranya itu seakan menghapus semua lelah yang mereka rasakan setelah seharian beraktivitas."Dia sangat mirip denganmu," bisik Galen sambil tersenyum kecil, menatap Sera dengan penuh cinta.Sera tersenyum, lalu mengelus pipi Daffi dengan lembut. "Kamu yang selalu bilang begitu," jawabnya dengan nada main-main, namun matanya tetap t
Siang itu, setelah menjemput Daffi dari sekolah, Sera dan Galen memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di taman dekat rumah. Sinar matahari yang hangat menyinari mereka saat mereka duduk di bangku taman, memandangi Daffi yang bermain ceria di area bermain."Daffi senang sekali main di sini," kata Sera, matanya tak lepas dari putra kecilnya yang sedang berlari-lari mengejar bola.Galen mengangguk, "Dia butuh waktu untuk bersenang-senang setelah sekolah. Aku senang melihat dia begitu bahagia."Sera tersenyum tipis, "Aku juga. Kehadirannya membuat semua luka itu terasa lebih ringan."Galen memandang Sera dengan lembut, "Kamu sudah menjadi ibu yang luar biasa, Sera. Aku bangga padamu."Sera menoleh ke arah suaminya, merasa hatinya hangat oleh kata-kata itu. "Terima kasih, Galen. Tapi aku nggak bisa melakukannya tanpa kamu."Galen meraih tangan Sera dan menggenggamnya erat. "Kita tim, kan? Selalu bersama-sama."Mereka terdiam sejenak, menikmati momen tenang itu. Suara tawa Daffi yang
Malam itu, setelah Nara tertidur lelap, Nadine duduk sendirian di ruang tamu rumah barunya. Rumah itu sunyi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek daun di luar jendela. Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung di langit-langit, pikirannya melayang-layang. Tadi siang, ketika dia berbincang dengan Sera dan Galen, ada sesuatu yang tak bisa diabaikannya—rasa iri yang tiba-tiba mengusik hati.Nadine menyesap teh hangatnya, tapi kehangatan itu tak mampu menenangkan kegundahan yang mulai tumbuh. Dia menghela napas panjang, membayangkan bagaimana hidupnya jika masih memiliki seorang suami yang mencintainya, seperti Galen yang terlihat begitu perhatian pada Sera. Tatapannya tertuju ke arah rumah Sera yang bisa terlihat samar dari jendela, rasa iri itu semakin menyesakkan."Kok bisa ya hidup Sera kelihatan begitu sempurna?" gumam Nadine pelan, berbicara pada dirinya sendiri.Galen adalah sosok suami yang penuh perhatian. Nadine mengingat cara Galen memegang tangan Sera, bagaim
Setelah Nadine pulang, Sera duduk di ruang tamu bersama Galen, masih memikirkan obrolannya dengan tetangga barunya itu. Galen yang duduk di sebelahnya, sibuk dengan laptopnya, mendongak dan menyadari bahwa istrinya tampak agak gelisah."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Galen, suaranya lembut namun penuh perhatian.Sera menghela napas, lalu menoleh ke arah suaminya. "Aku nggak tahu, tapi... aku merasa ada yang aneh sama Nadine."Galen menutup laptopnya, siap mendengarkan. "Aneh gimana maksudmu?"Sera menggigit bibir bawahnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Dia kelihatan... gimana ya, sepertinya dia merasa hidupnya kurang bahagia. Tadi dia bilang kesepian, tapi ada cara dia ngomong yang bikin aku nggak nyaman."Galen mengernyitkan kening. "Maksudmu dia iri sama kita?"Sera mengangguk pelan. "Mungkin, ya. Aku cuma merasa ada sesuatu yang nggak beres."Galen tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan di wajah istrinya. "Sayang, kamu terlalu baik. Mungkin dia cuma butuh waktu buat menyes
Sejak percakapan aneh dengan Nadine, Sera merasa tak nyaman. Ada sesuatu tentang wanita itu yang terus membekas di pikirannya, membuatnya waspada. Pagi itu, setelah mengantar Daffi ke sekolah, Sera mulai memasang sikap berjaga-jaga. Setiap kali Nadine lewat di depan mansion mereka, Sera memperhatikan dari balik jendela ruang tamu."Dia selalu lewat sini, tapi nggak pernah bilang mau mampir lagi. Rasanya dia cuma mau lihat-lihat keadaan rumah," gumam Sera pada dirinya sendiri, sambil terus memandang keluar.Galen, yang tengah duduk di ruang kerja, mendengar gumaman istrinya. "Kamu masih mikirin soal Nadine?" tanyanya sambil berjalan mendekat.Sera mengangguk. "Iya, aku nggak bisa lepasin perasaan aneh ini. Sejak dia datang ke sini dan bilang hal-hal aneh tentang betapa beruntungnya aku punya kamu, aku jadi curiga. Kayaknya dia pengen lebih dari sekadar tetangga baik."Galen meraih bahu Sera, memberikan rasa tenang. "Kamu nggak usah khawatir. Kalau dia mulai bertingkah, aku yang akan ha