Sejak percakapan aneh dengan Nadine, Sera merasa tak nyaman. Ada sesuatu tentang wanita itu yang terus membekas di pikirannya, membuatnya waspada. Pagi itu, setelah mengantar Daffi ke sekolah, Sera mulai memasang sikap berjaga-jaga. Setiap kali Nadine lewat di depan mansion mereka, Sera memperhatikan dari balik jendela ruang tamu."Dia selalu lewat sini, tapi nggak pernah bilang mau mampir lagi. Rasanya dia cuma mau lihat-lihat keadaan rumah," gumam Sera pada dirinya sendiri, sambil terus memandang keluar.Galen, yang tengah duduk di ruang kerja, mendengar gumaman istrinya. "Kamu masih mikirin soal Nadine?" tanyanya sambil berjalan mendekat.Sera mengangguk. "Iya, aku nggak bisa lepasin perasaan aneh ini. Sejak dia datang ke sini dan bilang hal-hal aneh tentang betapa beruntungnya aku punya kamu, aku jadi curiga. Kayaknya dia pengen lebih dari sekadar tetangga baik."Galen meraih bahu Sera, memberikan rasa tenang. "Kamu nggak usah khawatir. Kalau dia mulai bertingkah, aku yang akan ha
Malam itu, Sera menghadiri pesta glamor di sebuah ballroom mewah di pusat kota. Lampu kristal berkilauan, musik jazz lembut mengalun, dan para tamu sosialita saling berbincang sambil menyesap minuman berkelas. Sera mengenakan gaun elegan berwarna merah marun, rambutnya ditata rapi, membuatnya terlihat anggun dan memukau. Di sampingnya, beberapa wanita sosialita yang merupakan teman-temannya sibuk berbincang."Sera, kamu terlihat luar biasa malam ini!" seru Lisa, salah satu temannya, sambil tersenyum lebar."Terima kasih, Lisa. Kamu juga," balas Sera dengan anggukan kecil, meski pikirannya melayang ke masalah yang masih mengganggunya: Nadine.Tak lama kemudian, Tania, teman lamanya yang terkenal bijak di kalangan sosialita, menghampiri dan bergabung dalam percakapan mereka. "Sera, lama nggak lihat kamu. Gimana kabarmu?" tanyanya dengan nada ramah namun ada sorot perhatian di matanya.Sera tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan sedikit kelelahan. "Baik, Tania. Meskipun beberapa hal b
Nadine mulai merancang langkah berikutnya dengan hati-hati. Di tengah keheningan sore itu, ia mulai menelpon beberapa tetangga yang dikenal doyan bergosip. Tujuannya jelas—menciptakan cerita tentang Sera yang akan merusak citra sempurna wanita itu di mata orang-orang sekitar."Eh, kamu tahu nggak, soal Sera?" Nadine berbicara lembut dengan nada penuh keakraban di telepon. "Aku nggak mau ikut campur, tapi belakangan ini aku dengar hal-hal nggak enak tentang dia, lho."Dari ujung telepon, suara seorang wanita yang penuh rasa ingin tahu terdengar, "Serius, Nadine? Emang ada apa?"Nadine pura-pura ragu sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. "Ya, katanya... dia nggak sesempurna yang kelihatan. Gosipnya sih, Galen mulai terganggu sama sikap posesif Sera. Kamu tahu kan, Sera tuh terlalu overprotective sama keluarganya, sampai-sampai Galen nggak bisa nafas, gitu.""Astaga, kok bisa? Jadi mereka nggak bahagia dong?" Suara di ujung telepon terdengar semakin penasaran.Nadine tersenyum puas, tahu
Keesokan harinya, Sera terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah melakukan serangannya terhadap Nadine di media sosial semalam, perasaannya masih bercampur aduk antara puas dan waspada. Sambil menyiapkan sarapan untuk Daffi, ia tak henti-hentinya memeriksa ponselnya, melihat seberapa jauh gosip tentang Nadine telah menyebar. Notifikasi di ponselnya berderet panjang. Beberapa dari tetangga mulai membicarakan hal-hal yang ditemukan Sera, sementara yang lain, yang mungkin belum tahu, hanya mengirimkan pesan singkat dengan emoji mata besar, menandakan keterkejutan mereka. Ketika Galen turun dari lantai atas, dia melihat istrinya sudah sibuk dengan ponselnya. "Kamu masih mikirin soal itu, Ser?" tanyanya dengan nada prihatin. Sera tersenyum tipis, sambil mengangkat alisnya. "Gosipnya makin panas. Semua orang mulai tahu siapa Nadine yang sebenarnya. Aku cuma diam, tapi dampaknya besar." Galen menghela napas panjang, "Aku cuma nggak mau ini jadi bumerang buat kamu." Sera menatap suamin
Seiring berjalannya waktu, sikap Nadine semakin tak terkendali. Gosip dan fitnah yang ia sebarkan tentang Sera sudah mulai meresahkan tetangga sekitar. Setiap kali Sera keluar rumah, pandangan sinis dan bisikan-bisikan terdengar di belakangnya. Nadine, dengan senyum licik, tampaknya menikmati drama yang ia ciptakan.Suatu sore, Sera duduk di ruang tamu, memandangi ponselnya yang penuh dengan pesan dari teman-teman sosialitanya, menanyakan kebenaran gosip yang beredar. Satu pesan bahkan begitu terang-terangan menuduhnya sebagai seorang istri yang tak setia pada Galen."Serius, Ser? Mereka bilang kamu punya hubungan rahasia? Ini gila banget," suara temannya lewat panggilan telepon terdengar jelas di telinga Sera.Sera menutup matanya, napasnya semakin berat. Ia tahu fitnah ini pasti berasal dari Nadine, wanita yang tak pernah lelah mencoba merusak keharmonisan rumah tangganya. "Galen, aku nggak bisa diam aja soal ini lagi," kata Sera dengan nada penuh tekad ketika suaminya masuk ke rua
Siang itu, suara bel pintu berbunyi cukup keras, memecah keheningan di dalam mansion. Sera yang sedang duduk di ruang tamu, merapikan beberapa berkas, menoleh ke arah pintu dengan dahi berkerut. Galen yang berdiri tak jauh darinya berjalan ke pintu, membukanya dengan hati-hati. Di depan pintu, tampak seorang gadis kecil, Lily, dengan wajah basah oleh air mata. Di sampingnya ada seorang wanita yang Sera kenali sebagai adik Nadine. “Bibi Maya” menyebut namanya. Gadis kecil itu langsung berlari masuk tanpa izin, memeluk kaki Galen sambil menangis. “Mama... Mama! Kalian bawa mama ke penjara! Kenapa?!” tangis Lily terdengar pilu, seolah seluruh dunianya telah runtuh. Sera segera bangkit dari tempat duduknya, wajahnya berubah tegang. Dia melirik Galen sejenak sebelum mendekati Lily. “Lily, sayang, dengerin Tante Sera dulu...” Namun, Lily menolak, menangis semakin keras. “Enggak! Tante yang jahat! Papa bilang Tante Sera dan Om Galen yang bikin Mama diambil polisi! Aku benci kalian!”
Setelah beberapa hari berlalu, Sera mulai merasa lebih tenang meski bayang-bayang kejadian sebelumnya masih menghantui pikirannya. Namun, kehadiran Galen dan Daffi membuatnya lebih kuat. Hari itu, Sera tengah duduk di ruang tamu ketika Galen masuk dengan senyum lebar di wajahnya, membawa secangkir kopi yang masih hangat. "Hey, aku bawain kopi kesukaan kamu," ujar Galen sambil menaruh cangkir di meja di depan Sera. "Aku tahu kamu butuh sesuatu yang bisa bikin suasana hati kamu jadi lebih baik." Sera menghela napas pelan, menatap cangkir kopi itu sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Thanks, Galen. Kamu selalu tahu gimana cara bikin aku merasa sedikit lebih tenang." Galen duduk di sampingnya, menggeser posisi tubuhnya agar lebih dekat. "Karena aku ngerti kamu, Sera. Aku tahu kamu masih kepikiran tentang semuanya, tapi aku harap kamu nggak terus-terusan menyalahkan diri sendiri." Sera menggenggam tangan suaminya, lalu men
Keesokan harinya, Maya semakin memperkuat pengaruhnya pada Lily. Saat Lily bangun pagi, Maya sudah menunggunya di ruang makan dengan sarapan terhidang di meja. Namun, suasana yang hangat itu terasa dingin karena kata-kata Maya sebelumnya masih menggantung di pikiran Lily.“Kamu siap buat hari ini, Lily?” tanya Maya sambil menyuapkan sarapan ke mulutnya. “Ingat apa yang Tante bilang, ya. Nggak ada lagi main sama Daffi.”Lily hanya mengangguk pelan, perasaan ragu masih memenuhi hatinya. Dia merasa ada yang salah, tapi tak tahu harus berbuat apa. Saat jam sekolah hampir tiba, dia diantar oleh Maya, yang dengan tegas berpesan sekali lagi sebelum turun dari mobil.“Jangan biarkan Daffi mendekat, Lily. Kamu sekarang bukan teman dia lagi.”Lily mengangguk meski masih bingung, lalu turun dari mobil dan masuk ke sekolah. Selama hari itu, dia berusaha menghindari Daffi, meskipun Daffi berkali-kali mencoba mendekat.“Lily, kenapa kamu nggak main sama aku?” tanya Daffi saat jam istirahat. “Kamu m