Keesokan harinya, Sera terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah melakukan serangannya terhadap Nadine di media sosial semalam, perasaannya masih bercampur aduk antara puas dan waspada. Sambil menyiapkan sarapan untuk Daffi, ia tak henti-hentinya memeriksa ponselnya, melihat seberapa jauh gosip tentang Nadine telah menyebar. Notifikasi di ponselnya berderet panjang. Beberapa dari tetangga mulai membicarakan hal-hal yang ditemukan Sera, sementara yang lain, yang mungkin belum tahu, hanya mengirimkan pesan singkat dengan emoji mata besar, menandakan keterkejutan mereka. Ketika Galen turun dari lantai atas, dia melihat istrinya sudah sibuk dengan ponselnya. "Kamu masih mikirin soal itu, Ser?" tanyanya dengan nada prihatin. Sera tersenyum tipis, sambil mengangkat alisnya. "Gosipnya makin panas. Semua orang mulai tahu siapa Nadine yang sebenarnya. Aku cuma diam, tapi dampaknya besar." Galen menghela napas panjang, "Aku cuma nggak mau ini jadi bumerang buat kamu." Sera menatap suamin
Seiring berjalannya waktu, sikap Nadine semakin tak terkendali. Gosip dan fitnah yang ia sebarkan tentang Sera sudah mulai meresahkan tetangga sekitar. Setiap kali Sera keluar rumah, pandangan sinis dan bisikan-bisikan terdengar di belakangnya. Nadine, dengan senyum licik, tampaknya menikmati drama yang ia ciptakan.Suatu sore, Sera duduk di ruang tamu, memandangi ponselnya yang penuh dengan pesan dari teman-teman sosialitanya, menanyakan kebenaran gosip yang beredar. Satu pesan bahkan begitu terang-terangan menuduhnya sebagai seorang istri yang tak setia pada Galen."Serius, Ser? Mereka bilang kamu punya hubungan rahasia? Ini gila banget," suara temannya lewat panggilan telepon terdengar jelas di telinga Sera.Sera menutup matanya, napasnya semakin berat. Ia tahu fitnah ini pasti berasal dari Nadine, wanita yang tak pernah lelah mencoba merusak keharmonisan rumah tangganya. "Galen, aku nggak bisa diam aja soal ini lagi," kata Sera dengan nada penuh tekad ketika suaminya masuk ke rua
Siang itu, suara bel pintu berbunyi cukup keras, memecah keheningan di dalam mansion. Sera yang sedang duduk di ruang tamu, merapikan beberapa berkas, menoleh ke arah pintu dengan dahi berkerut. Galen yang berdiri tak jauh darinya berjalan ke pintu, membukanya dengan hati-hati. Di depan pintu, tampak seorang gadis kecil, Lily, dengan wajah basah oleh air mata. Di sampingnya ada seorang wanita yang Sera kenali sebagai adik Nadine. “Bibi Maya” menyebut namanya. Gadis kecil itu langsung berlari masuk tanpa izin, memeluk kaki Galen sambil menangis. “Mama... Mama! Kalian bawa mama ke penjara! Kenapa?!” tangis Lily terdengar pilu, seolah seluruh dunianya telah runtuh. Sera segera bangkit dari tempat duduknya, wajahnya berubah tegang. Dia melirik Galen sejenak sebelum mendekati Lily. “Lily, sayang, dengerin Tante Sera dulu...” Namun, Lily menolak, menangis semakin keras. “Enggak! Tante yang jahat! Papa bilang Tante Sera dan Om Galen yang bikin Mama diambil polisi! Aku benci kalian!”
Setelah beberapa hari berlalu, Sera mulai merasa lebih tenang meski bayang-bayang kejadian sebelumnya masih menghantui pikirannya. Namun, kehadiran Galen dan Daffi membuatnya lebih kuat. Hari itu, Sera tengah duduk di ruang tamu ketika Galen masuk dengan senyum lebar di wajahnya, membawa secangkir kopi yang masih hangat. "Hey, aku bawain kopi kesukaan kamu," ujar Galen sambil menaruh cangkir di meja di depan Sera. "Aku tahu kamu butuh sesuatu yang bisa bikin suasana hati kamu jadi lebih baik." Sera menghela napas pelan, menatap cangkir kopi itu sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Thanks, Galen. Kamu selalu tahu gimana cara bikin aku merasa sedikit lebih tenang." Galen duduk di sampingnya, menggeser posisi tubuhnya agar lebih dekat. "Karena aku ngerti kamu, Sera. Aku tahu kamu masih kepikiran tentang semuanya, tapi aku harap kamu nggak terus-terusan menyalahkan diri sendiri." Sera menggenggam tangan suaminya, lalu men
Keesokan harinya, Maya semakin memperkuat pengaruhnya pada Lily. Saat Lily bangun pagi, Maya sudah menunggunya di ruang makan dengan sarapan terhidang di meja. Namun, suasana yang hangat itu terasa dingin karena kata-kata Maya sebelumnya masih menggantung di pikiran Lily.“Kamu siap buat hari ini, Lily?” tanya Maya sambil menyuapkan sarapan ke mulutnya. “Ingat apa yang Tante bilang, ya. Nggak ada lagi main sama Daffi.”Lily hanya mengangguk pelan, perasaan ragu masih memenuhi hatinya. Dia merasa ada yang salah, tapi tak tahu harus berbuat apa. Saat jam sekolah hampir tiba, dia diantar oleh Maya, yang dengan tegas berpesan sekali lagi sebelum turun dari mobil.“Jangan biarkan Daffi mendekat, Lily. Kamu sekarang bukan teman dia lagi.”Lily mengangguk meski masih bingung, lalu turun dari mobil dan masuk ke sekolah. Selama hari itu, dia berusaha menghindari Daffi, meskipun Daffi berkali-kali mencoba mendekat.“Lily, kenapa kamu nggak main sama aku?” tanya Daffi saat jam istirahat. “Kamu m
Sore itu, setelah bermain di taman, Sera dan Galen duduk di ruang tamu, menatap Daffi dan Lily yang masih asyik bermain. Meski senyuman tipis menghiasi wajah mereka, Sera tahu masalah yang lebih besar masih mengintai. Kebencian yang Maya tanamkan di hati Lily tidak akan hilang begitu saja. Ini hanya permulaan.Galen memecah keheningan, “Kayaknya Lily mulai melunak, tapi kita harus hati-hati, Sayang. Maya nggak akan berhenti semudah itu.”Sera menatap suaminya sambil menghela napas panjang. “Iya, aku tahu. Aku ngerasa kayak kita ini diintai dari jauh, Galen. Maya mungkin sudah ditahan, tapi aku yakin dia masih punya cara untuk bikin masalah.”Galen mengangguk. “Aku bakal pastiin polisi jaga jarak aman dari kita, dan aku juga bakal pastiin pengacara kita siap buat ngadepin apa pun.”Sera menatap anak-anak yang tertawa kecil di depan mereka. “Aku nggak mau Lily terjebak lebih jauh dalam kebencian itu, Galen. Dia masih terlalu kecil buat ngerti semua intrik ini. Kita harus jagain dia juga
Malam itu, setelah Daffi tertidur lelap di kamarnya, Sera dan Galen duduk di teras belakang mansion mereka. Angin malam yang sejuk berhembus pelan, membawa suasana tenang. Namun, pikiran Sera masih berkecamuk.Galen melihat istrinya yang termenung, lalu dia memecah keheningan. “Sera, kamu udah mikirin apa yang kita harus lakukan selanjutnya?”Sera menghela napas panjang. “Aku udah tahu apa yang harus kita lakukan, Galen. Kita harus lawan Maya dan siapapun yang ada di belakangnya. Tapi aku nggak mau semuanya berakhir buruk buat Daffi.”Galen mengangguk pelan, memahami kekhawatiran istrinya. “Aku setuju. Kita harus hati-hati, terutama buat Daffi. Tapi kita nggak boleh diam aja, karena makin lama kita diem, makin parah tindakan mereka.”Sera menatap suaminya dalam-dalam. “Iya, aku tahu. Tapi Galen, aku beneran nggak ngerti. Kenapa mereka nggak bisa biarin kita hidup damai? Padahal kita nggak pernah ganggu mereka.”Galen tersenyum tipis, lalu meraih tangan Sera, menggenggamnya erat. “Oran
Di sisi lain, suasana di pemakaman terasa muram. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan pohon di sekitar makam Nadine, membuat suasana semakin hening. Maya berdiri di samping pusara yang masih basah dengan tanah yang baru saja dipadatkan. Di sebelahnya, keponakan kecilnya, Lily, menggenggam erat tangan bibinya, matanya merah dan bengkak karena menangis.Lily menatap nisan di depannya, tak bisa menahan tangis yang kembali pecah. “Bibi Maya... kenapa Mama harus pergi? Aku pengen Mama balik...”Maya memandang ke arah pusara dengan sorot mata dingin, berbeda dengan keponakannya yang penuh kesedihan. Meski tangannya memegang tangan Lily dengan lembut, pikirannya melayang jauh. "Ini bukan tentang Mamamu aja, Lily," gumam Maya pelan. "Ini tentang mereka semua yang bikin hidup Mamamu sengsara."Lily mengangkat wajahnya, menatap bibinya dengan bingung. “Maksud Bibi siapa?”Maya menarik napas panjang, berusaha menenangkan keponakannya meskipun di hatinya ada rasa dendam yang tak bisa dipadamka