Malam itu, setelah Daffi tertidur lelap di kamarnya, Sera dan Galen duduk di teras belakang mansion mereka. Angin malam yang sejuk berhembus pelan, membawa suasana tenang. Namun, pikiran Sera masih berkecamuk.Galen melihat istrinya yang termenung, lalu dia memecah keheningan. “Sera, kamu udah mikirin apa yang kita harus lakukan selanjutnya?”Sera menghela napas panjang. “Aku udah tahu apa yang harus kita lakukan, Galen. Kita harus lawan Maya dan siapapun yang ada di belakangnya. Tapi aku nggak mau semuanya berakhir buruk buat Daffi.”Galen mengangguk pelan, memahami kekhawatiran istrinya. “Aku setuju. Kita harus hati-hati, terutama buat Daffi. Tapi kita nggak boleh diam aja, karena makin lama kita diem, makin parah tindakan mereka.”Sera menatap suaminya dalam-dalam. “Iya, aku tahu. Tapi Galen, aku beneran nggak ngerti. Kenapa mereka nggak bisa biarin kita hidup damai? Padahal kita nggak pernah ganggu mereka.”Galen tersenyum tipis, lalu meraih tangan Sera, menggenggamnya erat. “Oran
Di sisi lain, suasana di pemakaman terasa muram. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan pohon di sekitar makam Nadine, membuat suasana semakin hening. Maya berdiri di samping pusara yang masih basah dengan tanah yang baru saja dipadatkan. Di sebelahnya, keponakan kecilnya, Lily, menggenggam erat tangan bibinya, matanya merah dan bengkak karena menangis.Lily menatap nisan di depannya, tak bisa menahan tangis yang kembali pecah. “Bibi Maya... kenapa Mama harus pergi? Aku pengen Mama balik...”Maya memandang ke arah pusara dengan sorot mata dingin, berbeda dengan keponakannya yang penuh kesedihan. Meski tangannya memegang tangan Lily dengan lembut, pikirannya melayang jauh. "Ini bukan tentang Mamamu aja, Lily," gumam Maya pelan. "Ini tentang mereka semua yang bikin hidup Mamamu sengsara."Lily mengangkat wajahnya, menatap bibinya dengan bingung. “Maksud Bibi siapa?”Maya menarik napas panjang, berusaha menenangkan keponakannya meskipun di hatinya ada rasa dendam yang tak bisa dipadamka
Beberapa tahun berlalu, Lily kini menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun. Dia sedang menjalani kehidupan yang penuh kesibukan di bangku kuliah. Meski dia mencoba untuk fokus pada studinya, hatinya yang dipenuhi rasa dendam terhadap keluarga Daffi dan orang tua Daffi masih menggerogoti pikirannya. Setiap kali melihat foto-foto Daffi di media sosial atau mendengar kabar tentang keberhasilan mereka, amarahnya kembali memuncak.Suatu sore, setelah kelasnya selesai, Lily duduk di sebuah kafe dekat kampus, menatap layar ponselnya. Dia melihat unggahan Daffi yang merayakan ulang tahunnya dengan keluarga, tampak bahagia dikelilingi teman-teman dan orang-orang tercintanya. Dia menggigit bibirnya, merasa hatinya dipenuhi rasa tidak adil. “Bagaimana bisa mereka terus bahagia sementara aku harus hidup dalam bayang-bayang masa lalu?” gerutunya dalam hati.Seseorang menepuk bahunya dari belakang, membuatnya terlonjak kaget. “Lily! Kenapa kamu terlihat murung? Apakah ada yang mengg
Di ruang makan yang megah, Daffi duduk sambil menyuapkan makanan dengan santai. Sera dan Galen, orang tuanya, duduk di seberang meja, sesekali melontarkan obrolan ringan. Di sisi Daffi, Aira, adik perempuannya, sedang sibuk dengan ponsel sambil tersenyum sesekali. "Daffi, bagaimana kuliahmu?" tanya Galen, menyela keheningan. Daffi mengangkat bahu. "Lancar-lancar aja, Pa. Cuma, kemarin ada tugas besar yang bikin pusing." Sera tersenyum tipis, tatapannya lembut. "Kamu pasti bisa, Nak. Lagipula, kamu sudah terbiasa mengerjakan hal-hal sulit." Aira mengangkat pandangannya dari ponsel, ikut menimpali. "Iya, Kak Daffi kan paling pintar di rumah ini!" Daffi terkekeh, melirik adiknya. "Ah, kamu lebay, Ra. Gimana kuliah kamu sendiri? Masih sibuk ngumpul sama teman-teman, kan?"
Pagi itu, Daffi sedang duduk di kafe kecil dekat kampus bersama Giska, pacarnya. Suasana tampak ceria, keduanya sedang membahas rencana liburan. Giska, yang selalu penuh energi, tertawa saat menceritakan rencana perjalanan ke pantai. “Daffi, kamu harus coba surfing! Seru banget!” Giska menepuk pundak Daffi dengan semangat. Daffi tersenyum hangat, menggenggam tangan Giska. “Aku nggak janji bisa belajar cepat, tapi kalau kamu yang ngajarin, mungkin aku bisa.” Tawa Giska semakin lepas, tapi sekejap kemudian tawa itu terhenti saat mereka melihat seseorang yang mendekat. Lily, dengan langkah percaya diri dan senyum tipis di bibirnya, datang menghampiri meja mereka. Dia mengenakan pakaian yang modis, jelas berusaha menarik perhatian. “Hai, Daffi. Lama nggak ketemu,” sapa Lily dengan nada yang manis, seakan tak peduli dengan kehadiran Giska. Daffi mengangkat alis, merasa aneh dengan kehadiran Lily tiba-tiba. “Lily? Ngapain kamu di sini?” “Oh, aku cuma lewat... ngeliat kamu, ya, a
Beberapa hari setelah percakapan mereka di kafe, Daffi mulai merencanakan lamaran. Dia sudah memikirkan segalanya dengan matang. Meskipun keluarganya mungkin akan bertanya-tanya atau bahkan merasa skeptis, Daffi tahu bahwa cintanya pada Giska lebih kuat daripada kekhawatiran apa pun. Sementara itu, Giska juga mulai meresapi kata-kata Daffi, meski rasa minder itu tetap mengganjal di hatinya. Pada malam yang ditentukan, Daffi membawa Giska ke sebuah restoran mewah di tepi pantai. Udara malam terasa hangat, dan lampu-lampu temaram dari restoran membuat suasana semakin romantis. Giska mengenakan gaun sederhana namun anggun, sementara Daffi tampak gagah dengan setelan jas yang dipilihnya khusus untuk malam itu. Giska, yang semula merasa gugup, sedikit demi sedikit merasa lebih tenang melihat perhatian dan kasih sayang Daffi yang tak henti-hentinya. Mereka berbincang ringan sepanjang makan malam, tertawa dan menikmati suasana. Namun, di tengah obrolan mereka, Giska menyadari bahwa Daffi t
Keesokan harinya, Daffi mulai memikirkan cara terbaik untuk melamar Giska. Dia ingin momen itu menjadi sesuatu yang spesial, sesuatu yang akan selalu diingat Giska. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman dekatnya, dia memutuskan untuk membuat kejutan di restoran favorit mereka, tempat pertama kali mereka bertemu. Daffi mengatur semua dengan cermat. Ia memilih restoran kecil yang terletak di pinggir danau dengan pemandangan yang indah. Sinar matahari senja yang memantul di atas air akan menjadi latar sempurna untuk melamar Giska. Dia bahkan sudah meminta izin kepada pemilik restoran untuk menyiapkan meja di luar, tepat di dekat danau. Sore harinya, Daffi menjemput Giska. Gadis itu tampak cantik dengan gaun sederhana berwarna pastel. "Kita mau ke mana?" tanya Giska, sedikit curiga melihat Daffi yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Daffi tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Rahasia. Kamu akan tahu nanti."
Beberapa hari kemudian, Daffi dan Giska memutuskan untuk mengunjungi mansion keluarga Daffi. Mereka sudah berjanji untuk makan malam bersama Sera dan Galen, sebuah kesempatan besar bagi Giska karena ini pertama kalinya ia akan bertemu keluarga Daffi secara resmi. Di sepanjang perjalanan menuju mansion, Giska terlihat gelisah, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. “Daffi, aku takut,” kata Giska dengan nada cemas, menggigit bibirnya. “Bagaimana kalau aku nggak bisa membuat kesan yang baik di depan orang tuamu?” Daffi meraih tangannya dan menenangkannya. "Tenang aja, Gis. Kamu nggak perlu terlalu khawatir. Orang tuaku sangat terbuka dan mereka pasti akan suka sama kamu. Lagipula, kamu adalah orang yang paling penting buat aku, itu aja udah cukup." Mereka tiba di mansion, sebuah bangunan megah dengan taman yang terawat rapi di sekelilingnya. Giska menarik napas panjang sebelum turun dari mobil, mencoba mengumpulkan keberanian. Daffi menggandeng tangannya dengan lembut, memberi dukun