Di sisi lain, Lily berdiri di balik jendela apartemennya, memandang ke arah mansion keluarga Daffi. Tatapannya penuh dengan rasa sakit dan kecemburuan yang tak tertahankan. Di kejauhan, ia bisa melihat Daffi dan Giska sedang berjalan bersama di taman, tertawa lepas, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Lily mengepalkan tangannya, bibirnya bergetar penuh amarah. "Kenapa harus dia?" gumamnya pelan, nadanya penuh dendam. "Kenapa Daffi lebih memilih dia daripada aku? Aku yang seharusnya ada di sampingnya. Bukan Giska!" Pikiran Lily mulai dipenuhi oleh bayangan masa lalu, saat dia dan Daffi masih dekat. Semua tawa dan kebersamaan itu, yang kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Dia merasa Giska telah merampas semuanya darinya—kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya, kebahagiaan yang seharusnya dia rasakan bersama Daffi. Dia berbalik dari jendela, menatap cermin di hadapannya. Wajahnya penuh kebencian, matanya
Beberapa bulan setelah kelulusan kuliahnya, Daffi kini mulai sibuk bekerja di perusahaan milik ayahnya, Galen. Hari-harinya dipenuhi dengan rapat dan proyek-proyek penting, tetapi di sela-sela kesibukannya, dia selalu meluangkan waktu untuk memikirkan satu hal yang menjadi fokus utamanya: pernikahannya dengan Giska. Di meja kerjanya, Daffi memandang undangan pernikahan yang baru saja disetujui oleh Giska. Dia tersenyum puas membayangkan hari bahagianya yang semakin dekat. Namun, bayangan Lily tiba-tiba menyeruak di pikirannya. Selama ini, Lily tak pernah berhenti mencari cara untuk mengusik hubungannya dengan Giska. Sejak Daffi lulus kuliah dan bekerja di perusahaan ayahnya, Lily seolah semakin gencar mendekatinya. Di setiap kesempatan, dia selalu mencari cara untuk muncul di hadapan Daffi, berharap bisa memecah hubungan antara Daffi dan Giska. “Daffi, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani,” suara sekretarisnya memecah lamunannya. “Oh, terima kasih,” Daffi tersadar, lalu denga
Hari itu adalah hari yang seharusnya menyenangkan bagi Daffi dan Giska. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah memeriksa beberapa rincian pernikahan terakhir ketika tragedi terjadi. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan menghantam mobil mereka di tikungan tajam. Daffi berhasil mengendalikan kemudi dengan panik, tapi tidak sempat menghindari benturan keras itu. Giska yang duduk di kursi penumpang terluka parah. Beberapa jam kemudian, di rumah sakit, suasana tegang menguasai ruang tunggu. Daffi duduk di kursi, wajahnya penuh kecemasan dan kesedihan. Dia menggenggam tangan Sera yang duduk di sebelahnya, sementara Galen berdiri di belakang mereka dengan raut serius. “Bagaimana bisa ini terjadi, Pa?” Suara Daffi bergetar, hampir tak terdengar. “Giska... dia bahkan belum sempat mengenakan gaun pengantinnya...” Sera memeluk putranya, mencoba menenangkan, meski air mata terus mengalir di pipinya. “Kita harus percaya pada dokter, Daffi. Giska kuat, dia pasti akan bertahan.”
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa lebih mencekam dari biasanya. Hanya suara langkah kaki para perawat yang sesekali terdengar di lorong panjang yang kosong. Daffi masih duduk di samping Giska, matanya tak lepas dari wajah wanita yang sangat ia cintai itu. Mesin-mesin di sekitar ranjang terus berbunyi, menandakan fungsi vital tubuh Giska yang masih bertahan meskipun kondisinya kritis. Sera dan Galen telah pulang beberapa jam sebelumnya setelah membujuk Daffi untuk beristirahat sebentar. Namun, pria itu tak pernah benar-benar bisa tenang. Ada perasaan was-was yang terus menggerogoti hatinya sejak pertemuannya dengan Lily di lorong rumah sakit. Sesuatu tentang cara bicara Lily membuatnya merasa ada yang tidak beres. Di luar ruang ICU, tak ada yang memperhatikan sosok Lily yang berjalan dengan langkah hati-hati. Malam itu, dia memakai hoodie hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya. Matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Dia tahu bahwa rencananya malam ini harus
Di sisi lain, di dalam sel penjara yang dingin dan suram, Lily terduduk di pojok, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa rencananya untuk menghancurkan kehidupan Daffi dan keluarganya gagal total. Giska masih hidup, dan sekarang dia yang terjebak dalam jeruji besi ini. "Ini nggak adil! Nggak mungkin kayak gini!" teriak Lily, tinjunya menghantam dinding sel dengan keras. Dia menahan tangis yang bercampur dengan kemarahan. Tak ada yang mendengar atau peduli dengan teriakannya, tapi itu tak menghentikan Lily untuk melampiaskan kekecewaannya. Di kepalanya hanya ada satu pikiran: dia harus keluar dari tempat ini. Tak peduli bagaimana caranya, dia butuh bantuan. Tanpa menunggu lebih lama, Lily segera merogoh sakunya dan mengambil ponsel yang berhasil ia sembunyikan sebelum ditahan. Dengan jari-jari yang gemetar, dia menekan nomor bibinya, Maya. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara di ujung sana. "Lily? Kamu di mana? Apa y
Beberapa hari setelah pertemuan di penjara, kehidupan Daffi mulai kembali normal, tetapi bayang-bayang ancaman Lily terus mengganggu pikirannya. Sementara Giska masih terbaring di rumah sakit, perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan, Daffi tidak bisa benar-benar tenang. Setiap kali dia mengunjungi Giska, rasa khawatir bahwa Lily akan kembali menghantui mereka selalu membayangi. Di sisi lain, Lily semakin frustrasi di dalam penjara. Meski sudah mendapatkan kunjungan dari bibinya, Maya, rasa dendam yang membara di hatinya tak kunjung padam. Dia terus memutar otaknya, merencanakan langkah selanjutnya. Tidak ada satu pun yang bisa menghentikan niatnya untuk membalas dendam pada keluarga Daffi. Hari itu, Maya kembali datang ke penjara, duduk di depan Lily yang tampak gelisah. "Lily, kamu harus mulai berhenti berpikir seperti ini. Aku sudah berbicara dengan pengacara. Kalau kamu terus-terusan bersikap seperti ini, kasusmu akan makin sulit." Lily menggeleng keras, tatapannya t
Hari pernikahan Daffi dan Giska tiba, membawa kebahagiaan yang begitu besar bagi kedua keluarga. Sejak pagi, rumah besar keluarga Daffi sudah dipenuhi dengan hiruk pikuk persiapan. Para pekerja sibuk memastikan setiap detail sempurna, dari bunga-bunga yang menghiasi taman hingga kursi tamu yang tersusun rapi di halaman belakang mansion yang luas. Daffi berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak semakin tampan. Ayahnya, Galen, berdiri di sampingnya sambil memperhatikan putranya dengan bangga. “Daffi, ini hari besar yang sudah lama kau tunggu,” ujar Galen sambil menepuk bahu putranya. “Ayah sangat bangga padamu. Kamu sudah dewasa, sudah siap memulai kehidupan baru bersama Giska.” Daffi tersenyum kecil, meskipun wajahnya terlihat sedikit tegang. “Aku juga merasa siap, Ayah. Tapi tetap saja, ada perasaan gugup. Giska adalah wanita yang sangat berarti bagiku, dan aku ingin semuanya berjalan sempurna.” Galen tertawa kecil, mengangg
Keesokan harinya, Daffi berangkat ke kantor seperti biasa. Giska menghabiskan waktu di rumah, merapikan beberapa hal sambil mengobrol dengan Sera. Hari itu tampak tenang, tetapi sesuatu mengusik Sera. Perasaan tidak nyaman yang semalam dirasakannya semakin kuat. "Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Giska saat mereka duduk bersama di ruang keluarga. Sera menghela napas, mencoba mengusir rasa khawatirnya. "Entahlah, Giska. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Ibu merasa ada orang yang mengawasi kita." Giska tersenyum lembut, mencoba menenangkan mertuanya. "Mungkin Ibu terlalu khawatir. Lagipula, setelah semua yang kita lalui, wajar saja kalau Ibu merasa waspada." Sera mengangguk pelan, meskipun hatinya masih gelisah. "Mungkin kamu benar. Tapi, kita tetap harus berhati-hati. Ibu tidak ingin hal buruk terjadi lagi." Sementara itu, di sisi lain kota, Lily sedang merencanakan langkah selanjutnya. Dia duduk di kafe yang sepi, tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh dengan rencana li