Di sisi lain, di dalam sel penjara yang dingin dan suram, Lily terduduk di pojok, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa rencananya untuk menghancurkan kehidupan Daffi dan keluarganya gagal total. Giska masih hidup, dan sekarang dia yang terjebak dalam jeruji besi ini. "Ini nggak adil! Nggak mungkin kayak gini!" teriak Lily, tinjunya menghantam dinding sel dengan keras. Dia menahan tangis yang bercampur dengan kemarahan. Tak ada yang mendengar atau peduli dengan teriakannya, tapi itu tak menghentikan Lily untuk melampiaskan kekecewaannya. Di kepalanya hanya ada satu pikiran: dia harus keluar dari tempat ini. Tak peduli bagaimana caranya, dia butuh bantuan. Tanpa menunggu lebih lama, Lily segera merogoh sakunya dan mengambil ponsel yang berhasil ia sembunyikan sebelum ditahan. Dengan jari-jari yang gemetar, dia menekan nomor bibinya, Maya. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara di ujung sana. "Lily? Kamu di mana? Apa y
Beberapa hari setelah pertemuan di penjara, kehidupan Daffi mulai kembali normal, tetapi bayang-bayang ancaman Lily terus mengganggu pikirannya. Sementara Giska masih terbaring di rumah sakit, perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan, Daffi tidak bisa benar-benar tenang. Setiap kali dia mengunjungi Giska, rasa khawatir bahwa Lily akan kembali menghantui mereka selalu membayangi. Di sisi lain, Lily semakin frustrasi di dalam penjara. Meski sudah mendapatkan kunjungan dari bibinya, Maya, rasa dendam yang membara di hatinya tak kunjung padam. Dia terus memutar otaknya, merencanakan langkah selanjutnya. Tidak ada satu pun yang bisa menghentikan niatnya untuk membalas dendam pada keluarga Daffi. Hari itu, Maya kembali datang ke penjara, duduk di depan Lily yang tampak gelisah. "Lily, kamu harus mulai berhenti berpikir seperti ini. Aku sudah berbicara dengan pengacara. Kalau kamu terus-terusan bersikap seperti ini, kasusmu akan makin sulit." Lily menggeleng keras, tatapannya t
Hari pernikahan Daffi dan Giska tiba, membawa kebahagiaan yang begitu besar bagi kedua keluarga. Sejak pagi, rumah besar keluarga Daffi sudah dipenuhi dengan hiruk pikuk persiapan. Para pekerja sibuk memastikan setiap detail sempurna, dari bunga-bunga yang menghiasi taman hingga kursi tamu yang tersusun rapi di halaman belakang mansion yang luas. Daffi berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak semakin tampan. Ayahnya, Galen, berdiri di sampingnya sambil memperhatikan putranya dengan bangga. “Daffi, ini hari besar yang sudah lama kau tunggu,” ujar Galen sambil menepuk bahu putranya. “Ayah sangat bangga padamu. Kamu sudah dewasa, sudah siap memulai kehidupan baru bersama Giska.” Daffi tersenyum kecil, meskipun wajahnya terlihat sedikit tegang. “Aku juga merasa siap, Ayah. Tapi tetap saja, ada perasaan gugup. Giska adalah wanita yang sangat berarti bagiku, dan aku ingin semuanya berjalan sempurna.” Galen tertawa kecil, mengangg
Keesokan harinya, Daffi berangkat ke kantor seperti biasa. Giska menghabiskan waktu di rumah, merapikan beberapa hal sambil mengobrol dengan Sera. Hari itu tampak tenang, tetapi sesuatu mengusik Sera. Perasaan tidak nyaman yang semalam dirasakannya semakin kuat. "Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Giska saat mereka duduk bersama di ruang keluarga. Sera menghela napas, mencoba mengusir rasa khawatirnya. "Entahlah, Giska. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Ibu merasa ada orang yang mengawasi kita." Giska tersenyum lembut, mencoba menenangkan mertuanya. "Mungkin Ibu terlalu khawatir. Lagipula, setelah semua yang kita lalui, wajar saja kalau Ibu merasa waspada." Sera mengangguk pelan, meskipun hatinya masih gelisah. "Mungkin kamu benar. Tapi, kita tetap harus berhati-hati. Ibu tidak ingin hal buruk terjadi lagi." Sementara itu, di sisi lain kota, Lily sedang merencanakan langkah selanjutnya. Dia duduk di kafe yang sepi, tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh dengan rencana li
Setelah malam yang menyenangkan di mal, Daffi dan Giska pulang dengan hati yang lebih ringan. Mereka berjalan berdua menuju mobil, tertawa bersama saat membicarakan hal-hal kecil yang baru saja mereka alami. Setibanya di rumah, suasana mansion terasa tenang, lampu-lampu remang menciptakan suasana hangat yang membuat keduanya nyaman. Saat masuk ke dalam rumah, Daffi merangkul Giska dan berbisik, "Aku senang banget hari ini. Rasanya seperti kita bisa melupakan semua masalah untuk sementara waktu." Giska mengangguk, menyandarkan kepalanya di bahu Daffi. "Aku juga. Tapi... aku masih nggak bisa berhenti mikirin Lily. Kamu tahu, ada sesuatu tentang dia yang bikin aku nggak nyaman." Daffi menghela napas panjang, lalu memeluk Giska lebih erat. "Aku ngerti. Aku juga nggak bisa mengabaikan semuanya begitu saja. Tapi aku janji, aku nggak akan biarkan dia merusak hubungan kita. Apapun yang dia rencanakan, kita akan hadapi bersama." Giska menatap Daffi dengan penuh rasa syukur. "Kamu selal
Setelah melewati perjalanan yang penuh harapan dan kebahagiaan, Daffi dan Giska akhirnya tiba di bandara. Suasana di dalam bandara begitu ramai, dengan suara pengumuman penerbangan yang saling bersahutan dan kerumunan orang yang datang dan pergi. Daffi menggenggam tangan Giska erat, membimbingnya melalui kerumunan menuju area check-in. “Ini dia, kita sudah sampai,” ujar Daffi, matanya penuh semangat saat melihat papan informasi penerbangan yang menunjukkan jadwal mereka. Giska tersenyum lebar, tetapi ada sedikit kecemasan di wajahnya. “Aku harap semua berjalan lancar. Aku belum pernah ke luar negeri sebelumnya.” “Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Kita akan menjalani ini bersama-sama,” Daffi meyakinkan, sambil mengusap lembut punggung tangannya ke tangan Giska. Setelah selesai check-in dan melewati proses keamanan, mereka bergegas menuju ruang tunggu. Daffi melihat ke arah Giska, yang terlihat sedikit tegang. “Kamu mau minum sesuatu sebelum kita berangkat? Mungkin kopi at
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha
Beberapa minggu berlalu, dan Daffi semakin terjerat dalam kebohongan yang dibangun oleh Lily. Dia mulai menganggap Lily sebagai sosok penting dalam hidupnya, meskipun bayang-bayang Giska terus menghantuinya. Suatu sore, Daffi dan Lily duduk di taman belakang mansion, menikmati cuaca yang cerah. “Daffi, aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Lily dengan nada serius. “Aku merasa kita harus mengambil langkah selanjutnya dalam hubungan ini.” Daffi menatap Lily dengan bingung. “Langkah selanjutnya? Seperti apa?” “Pernikahan,” jawab Lily, menatap Daffi dalam-dalam. “Aku tahu kamu mengalami banyak hal, dan kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana dulu, tanpa pesta besar-besaran. Hanya kita berdua.” Daffi terdiam sejenak, berusaha memproses kata-kata Lily. “Pernikahan? Tapi, aku tidak yakin. Semua ini terasa begitu cepat. Aku masih berusaha mengingat masa laluku.” Lily mendekat, mengambil tangan Daffi dengan lembut. “Sayang, aku mengerti. Namun, kita harus melanjutk
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.