Keesokan harinya, Daffi mulai memikirkan cara terbaik untuk melamar Giska. Dia ingin momen itu menjadi sesuatu yang spesial, sesuatu yang akan selalu diingat Giska. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman dekatnya, dia memutuskan untuk membuat kejutan di restoran favorit mereka, tempat pertama kali mereka bertemu. Daffi mengatur semua dengan cermat. Ia memilih restoran kecil yang terletak di pinggir danau dengan pemandangan yang indah. Sinar matahari senja yang memantul di atas air akan menjadi latar sempurna untuk melamar Giska. Dia bahkan sudah meminta izin kepada pemilik restoran untuk menyiapkan meja di luar, tepat di dekat danau. Sore harinya, Daffi menjemput Giska. Gadis itu tampak cantik dengan gaun sederhana berwarna pastel. "Kita mau ke mana?" tanya Giska, sedikit curiga melihat Daffi yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Daffi tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Rahasia. Kamu akan tahu nanti."
Beberapa hari kemudian, Daffi dan Giska memutuskan untuk mengunjungi mansion keluarga Daffi. Mereka sudah berjanji untuk makan malam bersama Sera dan Galen, sebuah kesempatan besar bagi Giska karena ini pertama kalinya ia akan bertemu keluarga Daffi secara resmi. Di sepanjang perjalanan menuju mansion, Giska terlihat gelisah, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. “Daffi, aku takut,” kata Giska dengan nada cemas, menggigit bibirnya. “Bagaimana kalau aku nggak bisa membuat kesan yang baik di depan orang tuamu?” Daffi meraih tangannya dan menenangkannya. "Tenang aja, Gis. Kamu nggak perlu terlalu khawatir. Orang tuaku sangat terbuka dan mereka pasti akan suka sama kamu. Lagipula, kamu adalah orang yang paling penting buat aku, itu aja udah cukup." Mereka tiba di mansion, sebuah bangunan megah dengan taman yang terawat rapi di sekelilingnya. Giska menarik napas panjang sebelum turun dari mobil, mencoba mengumpulkan keberanian. Daffi menggandeng tangannya dengan lembut, memberi dukun
Di sisi lain, Lily berdiri di balik jendela apartemennya, memandang ke arah mansion keluarga Daffi. Tatapannya penuh dengan rasa sakit dan kecemburuan yang tak tertahankan. Di kejauhan, ia bisa melihat Daffi dan Giska sedang berjalan bersama di taman, tertawa lepas, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Lily mengepalkan tangannya, bibirnya bergetar penuh amarah. "Kenapa harus dia?" gumamnya pelan, nadanya penuh dendam. "Kenapa Daffi lebih memilih dia daripada aku? Aku yang seharusnya ada di sampingnya. Bukan Giska!" Pikiran Lily mulai dipenuhi oleh bayangan masa lalu, saat dia dan Daffi masih dekat. Semua tawa dan kebersamaan itu, yang kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Dia merasa Giska telah merampas semuanya darinya—kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya, kebahagiaan yang seharusnya dia rasakan bersama Daffi. Dia berbalik dari jendela, menatap cermin di hadapannya. Wajahnya penuh kebencian, matanya
Beberapa bulan setelah kelulusan kuliahnya, Daffi kini mulai sibuk bekerja di perusahaan milik ayahnya, Galen. Hari-harinya dipenuhi dengan rapat dan proyek-proyek penting, tetapi di sela-sela kesibukannya, dia selalu meluangkan waktu untuk memikirkan satu hal yang menjadi fokus utamanya: pernikahannya dengan Giska. Di meja kerjanya, Daffi memandang undangan pernikahan yang baru saja disetujui oleh Giska. Dia tersenyum puas membayangkan hari bahagianya yang semakin dekat. Namun, bayangan Lily tiba-tiba menyeruak di pikirannya. Selama ini, Lily tak pernah berhenti mencari cara untuk mengusik hubungannya dengan Giska. Sejak Daffi lulus kuliah dan bekerja di perusahaan ayahnya, Lily seolah semakin gencar mendekatinya. Di setiap kesempatan, dia selalu mencari cara untuk muncul di hadapan Daffi, berharap bisa memecah hubungan antara Daffi dan Giska. “Daffi, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani,” suara sekretarisnya memecah lamunannya. “Oh, terima kasih,” Daffi tersadar, lalu denga
Hari itu adalah hari yang seharusnya menyenangkan bagi Daffi dan Giska. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah memeriksa beberapa rincian pernikahan terakhir ketika tragedi terjadi. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan menghantam mobil mereka di tikungan tajam. Daffi berhasil mengendalikan kemudi dengan panik, tapi tidak sempat menghindari benturan keras itu. Giska yang duduk di kursi penumpang terluka parah. Beberapa jam kemudian, di rumah sakit, suasana tegang menguasai ruang tunggu. Daffi duduk di kursi, wajahnya penuh kecemasan dan kesedihan. Dia menggenggam tangan Sera yang duduk di sebelahnya, sementara Galen berdiri di belakang mereka dengan raut serius. “Bagaimana bisa ini terjadi, Pa?” Suara Daffi bergetar, hampir tak terdengar. “Giska... dia bahkan belum sempat mengenakan gaun pengantinnya...” Sera memeluk putranya, mencoba menenangkan, meski air mata terus mengalir di pipinya. “Kita harus percaya pada dokter, Daffi. Giska kuat, dia pasti akan bertahan.”
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa lebih mencekam dari biasanya. Hanya suara langkah kaki para perawat yang sesekali terdengar di lorong panjang yang kosong. Daffi masih duduk di samping Giska, matanya tak lepas dari wajah wanita yang sangat ia cintai itu. Mesin-mesin di sekitar ranjang terus berbunyi, menandakan fungsi vital tubuh Giska yang masih bertahan meskipun kondisinya kritis. Sera dan Galen telah pulang beberapa jam sebelumnya setelah membujuk Daffi untuk beristirahat sebentar. Namun, pria itu tak pernah benar-benar bisa tenang. Ada perasaan was-was yang terus menggerogoti hatinya sejak pertemuannya dengan Lily di lorong rumah sakit. Sesuatu tentang cara bicara Lily membuatnya merasa ada yang tidak beres. Di luar ruang ICU, tak ada yang memperhatikan sosok Lily yang berjalan dengan langkah hati-hati. Malam itu, dia memakai hoodie hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya. Matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Dia tahu bahwa rencananya malam ini harus
Di sisi lain, di dalam sel penjara yang dingin dan suram, Lily terduduk di pojok, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa rencananya untuk menghancurkan kehidupan Daffi dan keluarganya gagal total. Giska masih hidup, dan sekarang dia yang terjebak dalam jeruji besi ini. "Ini nggak adil! Nggak mungkin kayak gini!" teriak Lily, tinjunya menghantam dinding sel dengan keras. Dia menahan tangis yang bercampur dengan kemarahan. Tak ada yang mendengar atau peduli dengan teriakannya, tapi itu tak menghentikan Lily untuk melampiaskan kekecewaannya. Di kepalanya hanya ada satu pikiran: dia harus keluar dari tempat ini. Tak peduli bagaimana caranya, dia butuh bantuan. Tanpa menunggu lebih lama, Lily segera merogoh sakunya dan mengambil ponsel yang berhasil ia sembunyikan sebelum ditahan. Dengan jari-jari yang gemetar, dia menekan nomor bibinya, Maya. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara di ujung sana. "Lily? Kamu di mana? Apa y
Beberapa hari setelah pertemuan di penjara, kehidupan Daffi mulai kembali normal, tetapi bayang-bayang ancaman Lily terus mengganggu pikirannya. Sementara Giska masih terbaring di rumah sakit, perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan, Daffi tidak bisa benar-benar tenang. Setiap kali dia mengunjungi Giska, rasa khawatir bahwa Lily akan kembali menghantui mereka selalu membayangi. Di sisi lain, Lily semakin frustrasi di dalam penjara. Meski sudah mendapatkan kunjungan dari bibinya, Maya, rasa dendam yang membara di hatinya tak kunjung padam. Dia terus memutar otaknya, merencanakan langkah selanjutnya. Tidak ada satu pun yang bisa menghentikan niatnya untuk membalas dendam pada keluarga Daffi. Hari itu, Maya kembali datang ke penjara, duduk di depan Lily yang tampak gelisah. "Lily, kamu harus mulai berhenti berpikir seperti ini. Aku sudah berbicara dengan pengacara. Kalau kamu terus-terusan bersikap seperti ini, kasusmu akan makin sulit." Lily menggeleng keras, tatapannya t